Membongkar Mitos 350 Tahun Penjajahan: Padahal Ada Kesultanan yang Baru Dikalahkan pada 1925?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu kapan ia pernah benar-benar merdeka dan kapan ia pernah benar-benar dijajah.”
Kita sering mendengar narasi yang terus diulang sejak bangku sekolah dasar: Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Angka itu begitu kuat menancap di benak, seakan tak tergugat, menjadi dogma yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tapi mari kita bertanya secara kritis: benarkah Belanda menjajah Indonesia selama itu? Apakah mungkin satu bangsa asing mampu menjinakkan ratusan kerajaan, suku, dan pulau dalam satu tarikan napas selama tiga setengah abad?
Wilayah yang Luas, Kesultanan yang Tangguh
Nusantara bukan satu pulau kecil. Ia gugusan ribuan pulau dengan ratusan kerajaan bercorak Islam, Hindu, Budha, hingga animisme yang memiliki identitas politik dan militer sendiri. Apakah mungkin Belanda menguasainya semua secara bersamaan sejak 1602, tahun berdirinya VOC?
Sejarawan Prof. Dr. Onghokham menegaskan, kolonialisme Belanda lebih banyak berbentuk “pengaruh terbatas di titik-titik ekonomi strategis”, terutama di pelabuhan besar seperti Batavia, Makassar, dan Semarang. Wilayah pedalaman, apalagi daerah yang dipimpin oleh kesultanan Islam, kerap menjadi medan perang yang tak pernah selesai. Bahkan dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), disebutkan bahwa hingga awal abad ke-20, Belanda hanya menguasai sekitar 60% dari total wilayah geografis Indonesia secara administratif efektif.
Pecahnya Mataram: Tanda Kekalahan atau Awal Perlawanan?
Perjanjian Giyanti pada 1755 yang membelah Kesultanan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta sering dianggap sebagai awal kolonialisasi Belanda di pedalaman Jawa. Tapi benarkah itu bentuk kekuasaan penuh?
Justru setelah itu, perlawanan semakin massif. Perang Jawa 1825–1830, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, bukanlah perang kecil. Dalam buku The Java War karya Peter Carey, dijelaskan bahwa ini adalah perang gerilya terbesar di Asia abad ke-19, melibatkan lebih dari 200.000 korban jiwa dan menguras kas kolonial sampai ke ambang kebangkrutan.
Jika benar Belanda telah menjajah Jawa sejak abad ke-18, kenapa butuh waktu seabad kemudian untuk “menjinakkan” rakyatnya?
Banten: Dari Batavia hingga Jejak Para Haji Mujahid
Ketika Belanda mendirikan Batavia pada 1619, itu bukan berarti mereka telah menaklukkan seluruh Banten. Kesultanan Banten, yang kala itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa, masih menjadi kekuatan maritim yang tangguh. Bahkan pada 1677, Sultan Ageng nyaris merebut kembali Batavia.
Namun keunikan Banten bukan hanya pada militansinya, tapi pada keterhubungannya dengan pusat-pusat keilmuan Islam. Ketika perlawanan rakyat Banten pecah kembali pada Tahun 1888, para pemimpinnya adalah ulama jebolan Mekkah yang pernah berguru kepada Syekh Nawawi al-Bantani, mufti terkemuka di Haramain.
Sejarawan Sartono Kartodirdjo menulis bahwa pemberontakan 1888 bukan sekadar pemberontakan sosial, tetapi “berbasis ideologi jihad dan ilmu agama.” Bahkan Syekh Yusuf al-Makassari, mufti Kesultanan Banten yang dibuang Belanda ke Afrika Selatan, tetap menyulut perlawanan dengan menemui jamaah haji dari Nusantara yang menunaikan ibadah ke Tanah Suci. Budak memang bisa dibelenggu, tapi ruh kemerdekaan tak bisa ditawan.
Aceh, Padri, dan Bali: Api Tak Pernah Padam
Aceh bukan sekadar wilayah yang ditaklukkan. Ia adalah simbol perlawanan yang abadi. Belanda baru berhasil menembus jantung Kesultanan Aceh pada 1904, setelah puluhan tahun pertempuran, dan itupun bukan berarti selesai. Perlawanan rakyat Aceh berlanjut hingga tahun 1942, ketika Belanda dipukul mundur oleh Jepang. Bahkan ketika semua wilayah lain telah “diam”, rakyat Aceh tetap menggenggam senjata.
Di wilayah Minangkabau, Perang Padri (1803–1838) adalah babak lain perlawanan. Belanda berhasil masuk ke pedalaman setelah terlibat dalam konflik internal antara kaum adat dan ulama, tapi tetap harus menghadapi perlawanan gigih dari tokoh seperti Tuanku Imam Bonjol. Sejarawan Taufik Abdullah menyebut Perang Padri sebagai bentuk “pembangkangan struktural terhadap sistem kolonial.”
Sementara di timur, Bali dan Lombok baru bisa direbut Belanda setelah 1894. Bahkan dalam buku Bali: A Paradise Created, Adrian Vickers mencatat bahwa pendudukan Belanda di Bali selalu berhadapan dengan sistem kasta dan kehormatan yang membuat rakyat lebih memilih mati dalam puputan (perang total) daripada tunduk pada kolonial.
Banjar dan Jambi: Kesultanan Terakhir yang Berdiri Tegak
Di Kalimantan, Perang Banjar (1859–1905) menunjukkan bahwa kolonialisme tak pernah nyaman di tanah Dayak dan Banjar. Pangeran Antasari menjadi simbol perlawanan yang hingga kini hidup dalam ingatan sejarah Kalimantan Selatan.
Adapun kesultanan terakhir yang baru dikuasai adalah Kesultanan Jambi. Sultan Thaha Syaifuddin, yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional, memimpin Perang Raja Batu hingga wafat pada 1904, namun sisa-sisa perlawanan masih hidup hingga 1925. Dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah (Kemendikbud), sejarawan mencatat bahwa Jambi adalah salah satu daerah yang waktu penjajahannya paling singkat, tak sampai satu abad.
350 Tahun? Dari Mana Angka Itu?
Jadi darimana datangnya angka 350 tahun itu? Jawaban paling umum: dari berdirinya Batavia (1619) hingga proklamasi kemerdekaan (1945). Tapi apakah seluruh wilayah Nusantara sudah benar-benar tunduk pada 1619? Ataukah Belanda hanya bercokol di beberapa kota pelabuhan saja?
Jika kita menggunakan tolok ukur kontrol militer dan administrasi, maka Belanda baru benar-benar menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia setelah 1925, usai penaklukan terakhir terhadap Jambi. Dan jika kita hitung hingga 1942, ketika Jepang masuk, maka masa “penguasaan total” Belanda atas Nusantara hanya ±17 tahun saja.
Nusantara: Tidak Pernah Tunduk Sepenuhnya
Ustadz Salim A. Fillah dalam berbagai ceramahnya sering menyebut bahwa “Nusantara adalah satu-satunya kawasan yang berhasil bertahan dari kolonialisme secara identitas.” Di Afrika, Asia Selatan, bahkan Australia dan Amerika Latin, penjajahan menyapu bersih agama asli, bahasa, hingga peradaban. Tapi di Nusantara?
Bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan. Islam tetap menjadi ruh masyarakat. Rakyat tetap menunaikan haji. Ulama tetap menjadi pemimpin moral. Belanda gagal menjajah pikiran dan jiwa bangsa ini.
Narasi Harus Dikoreksi, Agar Mental Bangsa Tidak Salah Asuh
Narasi bahwa kita dijajah selama 350 tahun harus dikaji ulang. Ia bukan hanya soal kronologi, tapi soal mentalitas kolektif. Jika kita terus percaya bahwa kita adalah korban pasif selama tiga setengah abad, maka kita akan tumbuh sebagai bangsa yang inferior.
Namun jika kita sadar bahwa kita adalah bangsa yang melawan, menolak, dan berjihad sepanjang sejarah, maka kita bisa bangkit dengan kepala tegak. Kita bukan bangsa yang dijajah, kita adalah bangsa yang terus berjihad sampai penjajah hengkang.
“Sejarah bukan sekadar masa lalu, ia adalah cermin martabat masa depan.”
0 komentar: