Pembagian Peran Aceh dan Demak: Strategi Menjelang Badai Penjajahan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Ketika Eropa mulai mencari jalan laut ke Timur, Islam di Nusantara justru telah menyiapkan dermaga iman, pelabuhan dakwah, dan mercusuar peradaban.” — Catatan Sejarah Nusantara, 1511
Aceh dan Demak: Sebuah Kebetulan atau Desain Ilahi?
Sejarah memiliki caranya sendiri untuk menyimpan rahasia. Kadang ia tampak seperti kebetulan, padahal sejatinya adalah bagian dari skenario besar. Demikian pula kehadiran dua poros besar Islam di Nusantara: Kesultanan Aceh di barat dan Kesultanan Demak di timur. Keduanya tidak berdiri dalam kehampaan, melainkan saling mengisi dalam dua peran yang berbeda namun saling menguatkan. Aceh menjaga simpul hubungan luar negeri dengan dunia Islam internasional. Demak membangun jantung Islam dalam negeri. Apakah ini kebetulan? Ataukah ini desain Allah SWT menjelang badai penjajahan?
Walisongo: Kiriman Turki Utsmani?
Dalam karya klasik "Sejarah Umat Islam" (jilid 4), Buya Hamka mengungkapkan bahwa Turki Utsmani memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Salah satu bentuknya adalah dukungan kepada para ulama yang kelak dikenal sebagai Walisongo. Mereka bukan sekadar ulama lokal, tetapi bagian dari jaringan dakwah transnasional, hasil dari kerjasama antara Haramain, Pasai, dan Turki.
Sejarawan Prof. Azyumardi Azra juga menulis dalam "Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII", bahwa ulama Nusantara memiliki koneksi langsung dengan pusat-pusat keilmuan di Makkah dan Kairo. Bahkan sebelumnya, Aceh dan Pasai sudah menjadi pintu gerbang keilmuan bagi ulama dari Jawa. Sunan Giri, Sunan Bonang, bahkan Sunan Gunung Jati disebut-sebut menimba ilmu di wilayah ini. Artinya, sebelum berdirinya Demak, benih-benih intelektual dan spiritualnya telah disemai di bumi Aceh dan Pasai.
Simpul Keilmuan: Aceh–Demak, Satu Jaringan
Kesultanan Aceh bukan hanya sebuah kerajaan. Ia adalah universitas terbuka dunia Islam di timur. Di sinilah para ulama besar dari Jawa belajar. Aceh menjadi pelabuhan ilmu, sebelum menjadi pelabuhan diplomasi dan militer. Di sinilah peran Aceh menjadi penting: sebagai pusat orientasi keilmuan Islam yang berhubungan langsung dengan Timur Tengah, baik melalui jalur haji maupun jaringan tarekat.
Demak, di sisi lain, adalah pengejawantahan dari ilmu yang telah diserap di Aceh dan Pasai. Ia membangun sistem sosial, budaya, ekonomi, dan kekuasaan yang sepenuhnya bertumpu pada ajaran Islam. Inisiatif ini tidak lepas dari peran Walisongo yang menjadi arsitek sosial Demak.
Sejarawan Dr. Taufik Abdullah menulis bahwa jaringan keilmuan dan dakwah antara Aceh, Pasai, dan Jawa adalah bukti bahwa Islamisasi Nusantara tidak terjadi secara sporadis, melainkan sistemik dan terkoordinasi. Ini menandakan bahwa antara Aceh dan Demak ada simpul keilmuan yang satu.
Jaringan Diplomatik: Aceh sebagai Duta Besar Islam Nusantara
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, jalur dagang dunia Islam menuju Asia Tenggara terputus. Namun Aceh tidak diam. Ia tampil sebagai garda depan menghadapi armada Portugis. Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar dari Aceh bahkan mengirim utusan ke Istanbul. Dan hasilnya? Turki Utsmani mengirimkan senjata, teknisi militer, hingga armada bantuan ke Aceh pada abad ke-16. Kapal-kapal Aceh bahkan diizinkan mengibarkan bendera Turki di lautan Hindia demi melindungi diri dari bajak laut Portugis.
Hal ini diperkuat oleh catatan Anthony Reid dalam "Southeast Asia in the Age of Commerce", bahwa Aceh adalah satu-satunya kerajaan di Asia Tenggara yang secara terbuka menjalin hubungan diplomatik dan militer dengan Turki Utsmani. Ini bukan hanya strategi politik, tapi ekspresi solidaritas ukhuwah Islamiyah lintas benua.
Demak: Membangun Sistem dari Dalam
Sementara Aceh berjibaku di luar negeri, Demak memperkuat dari dalam. Dari tangan Sunan Ampel dan Sunan Giri, dibangunlah jaringan sosial dan ekonomi Islam di Jawa. Di sinilah konsep negara berbasis tauhid mulai dijalankan: zakat sebagai penguatan ekonomi rakyat, masjid sebagai pusat pemerintahan, dan pesantren sebagai pabrik pemimpin.
Demak bukan hanya kekuasaan, tapi strategi. Ia bukan hanya kesultanan, tapi jantung perlawanan. Buah dari Demak tampak di abad-abad selanjutnya: munculnya Cirebon, Banten, Mataram, Ternate, Tidore. Semua adalah hasil dari benih yang ditanam oleh Walisongo, benih yang akarnya pernah menyentuh tanah Aceh.
Tidak Pernah Bertempur, Karena Berasal dari Akar yang Sama
Adakah fakta bahwa Aceh dan Demak pernah saling memerangi? Tidak ada. Sebaliknya, hubungan mereka adalah aliansi strategis—meski tidak selalu dalam bentuk resmi. Mereka memiliki kesadaran yang sama bahwa penjajah tidak hanya datang menaklukkan tanah, tapi juga aqidah dan peradaban.
Buya Hamka mencatat bahwa sejak abad ke-16, ada semacam konsolidasi antar-kesultanan Islam di Nusantara untuk menghadang masuknya kekuatan kolonial. Ini terbukti dari surat-surat diplomatik antar-kerajaan, bantuan senjata, pertukaran ulama, dan jaringan perdagangan bersama.
“Di kala Portugis mulai menjajah dan menyebarkan agamanya, muncullah kesultanan-kesultanan Islam di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Mereka saling memberi semangat dan kekuatan, walaupun tidak semua tercatat dalam surat menyurat resmi. Tapi semangat persatuan dan satu aqidah itu menjadi perisai menghadapi bahaya dari luar.”
— Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid 5, hal. 47
Bukankah Aceh menjalin diplomatik dengan Turki Utsmani? Bukankah Demak pun lahir dari ulama yang dikirim oleh khalifah Turki Utsmani?
Menjelang Badai Penjajahan
Portugis gagal menguasai jalur rempah karena Nusantara telah bersatu. Aceh memagari jalur laut. Demak menyiapkan jalur darat. Jamaah haji dan pedagang masih bisa berangkat ke Makkah, bahkan ketika Malaka dikuasai Portugis. Di masa-masa itulah, ruh Islam Nusantara mencapai bentuknya yang paling murni: mandiri, kokoh, dan terhubung langsung dengan jantung Islam dunia.
Demak melahirkan Cirebon, lalu Banten, dan dari sana lahir pula kekuatan Mataram Islam. Sementara Aceh tetap menjadi pelabuhan dunia Islam dan basis perlawanan militer. Ketika Belanda masuk ke Batavia, sudah ada jaringan perlawanan di pesisir. Ketika Inggris menjejakkan kaki di Sumatera, Aceh sudah menjadi “khalifah kecil” yang disegani.
Penjajahan Eropa tidak pernah membayangkan bahwa Nusantara memiliki koordinasi sekokoh itu. Maka butuh 350 tahun bagi Belanda untuk menguasai Nusantara. Bahkan saat menguasainya pun, mereka tidak pernah benar-benar bisa menguasai hati umat Islam di sini. Karena hati itu selalu menghadap Makkah. Buktinya, saat Kesultanan telah digenggam, perlawanan di luar istana terus berkecamuk.
Perlawanan yang Tidak Pernah Padam
Hari ini, kita bertanya: Mengapa Aceh dan Demak muncul hampir bersamaan? Mengapa satu menjaga jalur luar, satu membangun dari dalam? Mengapa mereka tidak pernah bertempur? Jawabannya mungkin hanya satu: karena mereka bukan dua, tetapi satu tubuh dari ruh yang sama. Sebuah desain dari Allah SWT untuk menghadapi badai dari barat.
Ketika peradaban zalim datang, mereka tidak berhadapan dengan bangsa biasa. Mereka berhadapan dengan umat yang terhubung dengan Haramain, bersenjata dengan ilmu, dan dipimpin oleh para wali. Inilah rahasia kekuatan Nusantara: hati yang tidak bisa dijajah, karena telah terhubung dengan Tauhid.
0 komentar: