Republik Ruhani Giri: Warisan Kekuasaan Islam yang Disembunyikan Sejarah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Sejarah selalu punya kecenderungan berpihak pada suara paling nyaring, bukan pada pengaruh paling dalam. Itulah sebabnya Kesultanan Demak kerap disebut sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Tapi jauh sebelum Demak membangun menara dan istana, dari atas sebuah bukit sunyi di Gresik, seorang wali, saudagar, dan pemimpin ruhani telah lebih dahulu mendirikan model kekuasaan Islam yang nyaris terlupakan: Republik Ruhani Giri.
Dialah Raden Paku, lebih dikenal sebagai Sunan Giri, yang memerintah dengan gelar Prabu Satmata—"Raja Bermata Suci". Bukan raja dalam arti kekuasaan mutlak, tetapi pemimpin dengan penglihatan tajam, jernih, dan dituntun wahyu. Sejarah kita terlalu senyap dalam menyebutnya. Padahal, ia bukan sekadar Walisanga—ia adalah raja Islam pertama di Jawa, dalam arti kepemimpinan politik, ekonomi, dan spiritual yang terstruktur.
Giri: Negara Mini yang Berdiri Tanpa Menumpahkan Darah
Tahun 1487, ketika Majapahit mulai runtuh oleh kebusukan dalam, dan Blambangan menggigil sebagai benteng terakhir Hindu-Jawa, Sunan Giri mendirikan Giri Kedaton. Bukan dengan perang atau perebutan istana, melainkan dengan membangun pusat ilmu, dakwah, dan jaringan dagang. Giri tak dilahirkan dari perebutan, tapi dari keruntuhan.
Buya Hamka menyebut Giri sebagai “kerajaan agama” yang tak mampu dihapuskan Majapahit. Mustakim mencatat Giri sebagai entitas politik otonom sejak 1487. Di masa itu, kekuasaan politik yang tidak punya tentara nyaris mustahil. Tapi Giri justru memperlihatkan cara lain: legitimasi moral, keilmuan, dan ruhaniyah bisa lebih ampuh daripada seribu pedang.
Sementara kekuasaan lain sibuk menaklukkan, Giri mengakar ke dalam hati umat, bukan ke atas peta kekuasaan.
Struktur Pemerintahan Giri: Syariat, Hikmah, dan Pelayanan
Giri bukan sekadar pesantren besar. Ia adalah negara mini spiritual. Di dalamnya terdapat:
Bangsal: pusat pemerintahan dan perumusan hukum.
Puri: tempat tinggal keluarga, ruang tradisi, dan lembaga pendidikan elite.
Giri dijalankan bukan oleh dinasti penguasa, melainkan oleh ulama, saudagar, dan santri senior. Sistemnya tidak mengenal kasta feodal. Legitimasi lahir dari khidmah (pelayanan), ta’dzim (penghormatan), dan syura (musyawarah). Ia menjalankan bentuk proto-republik spiritual yang berakar kuat pada syariat dan tradisi masyarakat maritim.
Dalam istilah modern, model ini dekat dengan "spiritual commonwealth"—pemerintahan yang dijalankan secara kolektif dengan otoritas religius sebagai pusat etika dan aturan, bukan alat kekuasaan represif.
Demak dan Giri: Dua Jalan Kekuasaan Islam di Awal Jawa
Demak tampil dengan simbol kejayaan Majapahit: masjid agung, tombak pusaka, ekspansi ke Ternate dan Malaka. Tapi semua itu tak punya legitimasi penuh tanpa restu Giri. Raden Patah sendiri naik tahta setelah mendapat pengesahan dari Sunan Giri. Demak kuat secara simbolik, tapi Giri kuat secara ruhani.
Mataram Islam melanjutkan pola sentralisasi kekuasaan. Tapi bahkan Sultan Agung pun mengakui pentingnya Giri sebagai pusat ruhani yang tak bisa dipisahkan dari struktur kekuasaan Islam Jawa.
H.J. de Graaf menyebut Giri sebagai semacam pontifikat di Jawa. M.C. Ricklefs menulis, tanpa pengesahan Giri, tidak ada raja Islam yang sah di mata umat. Giri bukan sekadar otoritas spiritual. Ia adalah lembaga politik suci yang memberi ruh kepada kekuasaan.
Ekspansi Tanpa Perang: Diplomasi Santri dan Saudagar
Cara Giri memperluas pengaruhnya sangat khas:
1. Mengirim murid-muridnya ke daerah strategis, dari Kalimantan hingga Maluku.
2. Mengembangkan jaringan dagang yang menghubungkan pesantren-pesantren pesisir dengan jalur rempah dan pelabuhan-pelabuhan strategis.
3. Menjadi pusat legitimasi kekuasaan bagi para adipati dan calon sultan.
Jejak Giri masih terasa hingga kini di Wajo, Buton, Ternate, dan Bima. Di tempat-tempat itu, Islam masuk bukan lewat pasukan, tetapi lewat nasihat, naskah, dan nikmat perniagaan.
Giri mengajarkan: kekuatan bukanlah soal teritorial, tapi pengaruh dan kepercayaan. Sebuah prinsip yang lebih tahan zaman dibanding kemenangan militer sesaat.
Mengapa Giri Dilupakan? Siapa yang Diuntungkan?
Sejarah kolonial dan nasional sama-sama abai terhadap Giri. Kolonialisme tak menyukai model kepemimpinan spiritual yang tak bisa dikendalikan. Nasionalisme modern lebih menyukai narasi heroik yang dapat dijadikan simbol negara, bukan pesantren sunyi yang tak punya bala tentara.
Giri terlalu hening untuk masuk buku sejarah sekolah. Terlalu dalam untuk dipahami oleh penguasa yang hanya sibuk menata kekuatan formal.
Bisakah Giri Diterapkan di Zaman Kini?
Di tengah dunia yang dibanjiri krisis legitimasi, korupsi, dan kekeringan moral, Giri justru tampil sebagai model alternatif paling relevan.
Bayangkan sistem yang:
Mengedepankan hikmah, bukan histeria.
Menyebarkan kepemimpinan lewat ilmu, bukan uang.
Menata umat melalui ta’dzim, bukan dominasi.
John Rawls menyebut model seperti ini sebagai "overlapping consensus"—nilai-nilai religius yang bisa hidup berdampingan dalam ruang publik.
Alasdair MacIntyre menyebutnya sebagai komunitas berbasis keutamaan (virtue ethics)—di mana struktur kekuasaan muncul dari karakter, bukan kalkulasi.
Model Giri bukan model puritan yang anti-kemajuan. Ia adalah gagasan futuristik yang belum diberi panggung.
Republik Ruhani: Warisan Masa Lalu, Solusi Masa Depan
Giri bukan sekadar situs sejarah. Ia adalah visi kenegaraan Islam yang orisinil, adil, dan mengakar.
Bukan bayang-bayang Demak. Bukan pelengkap silsilah Walisanga. Tapi model utuh kepemimpinan Islam berbasis masyarakat, bukan monarki.
Saat dunia sibuk membangun kekuasaan dengan algoritma dan senjata, Giri memberi pelajaran bahwa pengaruh sejati lahir dari ketenangan, ilmu, dan keberkahan.
Dan dari atas bukit sunyi itu, sejarah berbisik:
Inilah kekuasaan Islam yang dibangun tanpa pedang, tapi mengubah arus zaman.
Prabu Satmata bukan hanya raja. Ia adalah ruh dari kekuasaan yang bijak.
Saatnya Membaca Ulang Sejarah
Republik Ruhani Giri bukan sisa masa lalu. Ia adalah konsep masa depan.
Ia mengajarkan bahwa negara bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling patut dipercaya.
Bukan soal kontrol, tapi soal pengaruh yang lahir dari khidmat.
Di tengah reruntuhan Majapahit dan kegelisahan Blambangan, berdirilah satu poros baru peradaban Islam.
Dan di sana, di atas bukit Giri, duduk seorang pemimpin yang dilupakan sejarah:
Prabu Satmata Raja Islam pertama di tanah Jawa, pendiri republik ruhani Nusantara.
0 komentar: