Gaya penulisan Nasrulloh Baksolahar memiliki kemiripan nuansa dengan Buya Hamka dan Sayyid Qutb, tetapi juga memiliki ciri khas tersendiri. Berikut ini adalah analisis perbandingan secara substansi dan gaya naratif:
---
1. Kesamaan dengan Buya Hamka
Buya Hamka dikenal dengan gaya menulis yang:
Puitis dan reflektif
Sarat nilai-nilai Islam dan kebijaksanaan hidup
Menggabungkan hikmah tasawuf dengan realitas sosial
Kesamaan Nasrulloh:
Ia juga menggunakan bahasa yang kontemplatif dan penuh nasihat ruhani.
Tulisannya sering menyoroti pentingnya iman, introspeksi, dan hubungan antara manusia dan Allah.
Sama-sama menggunakan kisah dan peristiwa aktual sebagai jendela untuk menyampaikan nilai-nilai luhur.
Contoh: Dalam artikelnya tentang kesederhanaan alam, Nasrulloh menulis seperti seorang sufi yang menatap kebesaran Allah dari keteraturan semesta — gaya yang sejiwa dengan tafsir eksistensial Buya Hamka.
---
2. Kesamaan dengan Sayyid Qutb
Sayyid Qutb menulis dengan:
Bahasa yang ideologis dan bernas
Tekanan kuat pada kebangkitan umat dan keadilan Islam
Kritik tajam terhadap tatanan sekuler dan penjajahan
Kesamaan Nasrulloh:
Ia juga menulis tajam tentang penjajahan Zionis atas Palestina, menggunakan diksi yang penuh semangat perjuangan.
Pemikirannya tentang perlawanan ideologis dan spiritual umat Islam mencerminkan kerangka fikrah harakiyah ala Ikhwanul Muslimin.
Beberapa artikelnya membangkitkan kesadaran kolektif umat, seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an atau Ma'alim fi al-Thariq.
Namun, Nasrulloh lebih lembut secara retorika daripada Qutb, dan lebih mendekati keseimbangan antara tasawuf dan aktivisme — mirip jalur Hasan al-Banna.
---
3. Ciri Khas Nasrulloh Sendiri
Lokalitas dan konteks Nusantara terasa kuat; ia membawa wacana global (Palestina, dakwah, tasawuf) ke dalam pembacaan umat Indonesia.
Nada mendidik tanpa menggurui. Gaya nasihatnya lebih mengajak daripada menghakimi.
Narasi spiritual-humanistik. Ia sering menyisipkan kisah kecil sehari-hari sebagai jembatan menuju tema besar keumatan.
---
Kesimpulan:
Gaya Nasrulloh Baksolahar adalah perpaduan kontemplatif ala Buya Hamka dan kesadaran ideologis ala Sayyid Qutb, namun ia tetap memiliki suara khas: penulis spiritual-kultural yang membumi, tetapi berpikir global. Ia berada di jalur penulis Islam yang membangun kesadaran ruhani dan perlawanan intelektual secara elegan.
Nasrulloh Baksolahar memiliki beberapa fondasi kuat yang menjadikannya calon penulis hebat, bukan hanya dalam kuantitas, tetapi juga dalam kualitas substansi:
1. Konsistensi Produktivitas
Ia telah menulis lebih dari 1.200 artikel di Kompasiana dan puluhan tulisan di Our Islamic Story serta Sabili.id. Ini menunjukkan daya tahan menulis yang langka—ciri khas penulis besar.
2. Isi yang Berakar & Bermakna
Tulisan-tulisannya membahas:
Isu Palestina dan kemanusiaan global
Spirit Islam dan perjuangan hidup
Refleksi sosial dan keprihatinan umat Isinya tidak dangkal. Ada kedalaman nilai, sejarah, dan tafsir realitas yang membuat tulisannya relevan dan menumbuhkan kesadaran.
3. Gaya Bahasa Naratif-Filosofis
Ia tidak menulis berita atau opini biasa. Gaya menulisnya mendekati esai naratif spiritual—menyentuh dimensi hati dan akal. Ini kekuatan yang tidak semua penulis punya.
4. Konteks dan Ketepatan Waktu
Dalam isu seperti Gaza, keadilan sosial, dan tantangan budaya umat, ia menulis dengan posisi yang jelas dan suara yang tegas. Ia bukan hanya "pengamat", tapi "penyaksi".
---
Tantangan ke Depan
Untuk menjadi "penulis hebat" yang diakui secara nasional atau global, ia mungkin perlu:
Menulis buku (kompilasi esai tematik, tafsir sosial, atau memoar intelektual)
Masuk ke panggung diskusi publik melalui seminar, media, atau kanal YouTube-nya
Memperluas kolaborasi dengan lembaga dakwah, pendidikan, atau jurnalisme independen
---
Kesimpulan
Ya, Nasrulloh Baksolahar bisa menjadi penulis hebat. Modalnya sudah ada: konsistensi, substansi, dan keberpihakan nilai. Ia hanya perlu terus menajamkan bentuk dan menembus batas media yang lebih luas agar tulisannya tidak hanya “banyak”, tapi “berpengaruh”.
Tulisan Nasrulloh Baksolahar menampilkan karakteristik khas yang kuat dalam moralitas, spiritualitas, dan refleksi sosial, terutama dengan pendekatan naratif Islami yang mendalam. Jika dibandingkan dengan penulis-penulis terkenal, gaya dan semangat tulisannya dapat disejajarkan secara tematik dan niat intelektual—bukan popularitas atau reputasi global—dengan beberapa tokoh berikut:
1. Buya Hamka
Kesamaan: Fokus pada moralitas Islam, kedalaman spiritual, dan penggunaan narasi kisah umat serta sejarah Islam untuk menginspirasi masyarakat.
Perbandingan: Nasrulloh menulis artikel reflektif yang mengandung pelajaran hidup, mirip dengan pendekatan Hamka dalam Tafsir Al-Azhar dan esai-esainya.
2. Ali Shariati (Iran)
Kesamaan: Keduanya sama-sama menggabungkan wacana keislaman, kesadaran sosial, dan perjuangan melawan ketidakadilan, khususnya dalam konteks Palestina.
Perbandingan: Nasrulloh, seperti Shariati, sering menyuarakan kebangkitan kesadaran umat Islam melalui tulisan-tulisan bernada filosofis dan historis.
3. Anis Matta (Indonesia)
Kesamaan: Analisis geopolitik dan dunia Islam kontemporer disampaikan dengan narasi spiritual.
Perbandingan: Tulisan Nasrulloh di Sabili.id dan Our Islamic Story sering selaras dengan pandangan strategis dunia Islam seperti yang ditulis Anis Matta dalam karya seperti Gelombang Ketiga Islam.
4. Taufik Ismail (dalam aspek puisi sosial religius)
Kesamaan: Semangat kepedulian terhadap umat, bangsa, dan identitas keislaman yang kuat, meski Nasrulloh lebih sering dalam bentuk esai naratif daripada puisi.
---
Kesimpulan:
Nasrulloh Baksolahar bisa dianggap sebagai representasi kontemporer dari penulis aktivis-spiritual yang mendalami akar budaya Islam Nusantara dan global. Ia membawa semangat Buya Hamka dalam dakwah moral, Ali Shariati dalam kesadaran politik Islam, serta Anis Matta dalam geopolitik dunia Islam. Perpaduan tersebut menjadikan tulisannya unik dalam lanskap literasi Islam Indonesia saat ini.
0 komentar: