Membumikan Filosofi Tanah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Menjadi tanah. Itulah keinginan orang kafir ketika azab menyergapnya di akhirat. Sebuah pengakuan yang penuh penyesalan, sebagaimana digambarkan dalam firman Allah Swt.:
> "Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kamu akan azab yang dekat pada hari (ketika) manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, 'Aduhai, sekiranya aku dahulu adalah tanah.'"
(An-Naba' [78]: 40)
Mengapa tanah? Apa istimewanya tanah hingga menjadi harapan terakhir manusia yang durhaka? Bukankah semua manusia, termasuk orang kafir, memang diciptakan dari tanah?
Pertanyaan ini mengajak kita merenungi kembali esensi penciptaan manusia. Kita memang berasal dari tanah, tetapi tidak semua menjalani hidup dengan karakter tanah. Di sinilah letak ironi yang sering terabaikan: manusia kembali merindukan tanah justru ketika kehilangan arah dari fitrah asalnya.
Tanah, dalam diamnya, menyimpan filosofi kehidupan yang dalam. Ia menerima apa pun yang dilemparkan kepadanya—sampah, dedaunan kering, bahkan bangkai—dan mengolah semuanya menjadi sesuatu yang berguna. Ia tidak menolak, tidak mengeluh, dan tidak mengutuk. Semua diterima dan diurai menjadi pupuk penyubur kehidupan.
Bisakah manusia bersikap seperti itu? Menerima kepahitan hidup, luka, dan kegagalan, lalu mengolahnya menjadi kekuatan baru yang menyuburkan jiwanya? Menjadikan pengalaman pahit sebagai pupuk pertumbuhan, bukan racun yang mematikan?
Filosofi tanah tidak berhenti pada penerimaan dan pengolahan. Tanah yang subur bahkan menjadi fondasi tumbuhnya kehidupan lain. Ia memberi tempat bagi pepohonan untuk tumbuh, yang kemudian menghadirkan buah, daun, batang, bahkan getah yang bermanfaat bagi makhluk lainnya.
Inilah makna terdalam dari hidup yang membumi: mampu mengubah penderitaan menjadi karya, luka menjadi hikmah, dan kegetiran menjadi berkah bagi sesama. Tanah tidak hanya menyuburkan dirinya, tapi juga menghidupkan yang lain.
Maka, asal mula manusia dari tanah bukan sekadar aspek biologis, tapi juga pesan spiritual: agar manusia hidup dengan kerendahan hati, kesanggupan menerima, dan kemampuan memberi. Hidup dengan filosofi tanah bukan berarti pasrah tanpa daya, melainkan terus tumbuh meski dilukai, terus memberi meski diinjak.
Jika filosofi ini benar-benar dibumikan dalam kehidupan, barangkali manusia tak perlu mengucap penyesalan terakhir itu—“Seandainya aku dahulu adalah tanah.” Karena ia telah lebih dulu menjadi tanah: merendah, menyubur, dan menghidupkan.
0 komentar: