Tabib Mengugat Kumbang, Ternyata Sembuh dengan Kumbang
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Ia adalah seorang filsuf besar. Seorang tabib kenamaan. Ilmunya luas laksana samudra, keangkuhannya pun kadang menyaingi cakrawala. Namanya Galen. Ia dihormati oleh murid dan raja, karena kepakarannya yang nyaris tak tertandingi dalam dunia pengobatan dan filsafat.
Namun pada suatu hari, dalam diam dan duduknya yang panjang, ia berbicara pada dirinya sendiri:
"Aku tidak paham... mengapa Allah menciptakan serangga yang menjijikkan itu... kumbang?
Apakah manfaatnya?
Apa hikmah dari makhluk kecil yang tampaknya tak berguna?
Bukankah lebih baik jika ciptaan-Nya hanya yang bermanfaat bagi manusia?"
Suara hati itu lirih, tetapi mengandung kesombongan yang tak kasat mata. Sebuah pengingkaran kecil terhadap kebijaksanaan ilahi. Ia, sang cendekiawan, baru saja menggugat salah satu ciptaan Tuhan—dengan ukuran rasionalitasnya sendiri.
Hari berganti. Dalam takdir yang tak pernah salah arah, Galen tiba-tiba terserang penyakit mata. Pedihnya menusuk. Kaburnya pandangan menggelisahkan. Semua ramuan yang ia ketahui, semua metode yang ia pelajari, tak mampu menyembuhkan rasa sakit itu.
Para dokter terbaik yang ia kenal pun tak mampu mengubah nasibnya.
Ia mulai gelisah. Ia mulai bertanya-tanya. Ia mulai merasa kecil.
Sampai suatu pagi, datanglah seorang perempuan tua. Penampilannya sederhana. Namun matanya memancarkan keyakinan.
Dengan suara tenang ia berkata,
"Wahai Tuan Galen, aku memiliki puyer sederhana... insya Allah bisa menyembuhkan sakit matamu."
Galen memandangnya. Separuh ragu, separuh berharap.
"Apakah kau yakin?" tanyanya, dengan nada pelan.
"Bismillah, yakin. Cobalah."
Dengan perlahan, sang perempuan menaburkan puyer itu ke kedua mata Galen. Sejuk. Reda. Lalu... sembuh.
Galen terpaku. Seolah tak percaya.
"Siapa kau, wahai Ibu?
Apa isi puyer ini?
Dari mana engkau mendapatkannya?"
Perempuan tua itu tersenyum. Matanya bening menatap langit.
"Aku membuatnya dari kumbang...
Aku menjemurnya, lalu menumbuknya hingga halus."
Seketika itu, Galen terdiam. Dadanya bergetar. Wajahnya pucat.
Serangga yang dulu ia cemooh...
Makhluk yang ia anggap sia-sia...
Kini justru menjadi sebab kesembuhannya.
Ia menunduk dalam. Dalam jiwanya terdengar gema ayat yang seakan baru ia pahami:
> رَبَّÙ†َا Ù…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتَ Ù‡َٰذَا بَاطِÙ„ًا ۖ سُبْØَانَÙƒَ
"Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau..."
— (QS. Ali 'Imran: 191)
Air matanya menitik. Keangkuhan ilmunya runtuh di hadapan hikmah seekor kumbang.
Hari itu, Galen tak hanya sembuh dari sakit mata,
tapi juga sembuh dari penyakit hati—
yang buta terhadap makna ciptaan Allah yang tersembunyi.
Sumber:
Fuad Abdurahman, The Golden Stories, Tinta Medina
0 komentar: