Peti Dinar yang Menjadi Belenggu di Akhirat
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Angin senja berembus pelan di halaman rumah Hasan Al-Bashri. Seorang lelaki datang dengan wajah letih, duduk di antara para hadirin. Nafasnya terengah, seakan membawa kabar yang berat dari perjalanan jiwa.
“Wahai Hasan,” katanya lirih. “Baru saja kami menjenguk Abdullah bin al-Ahtam.”
Hasan menoleh dengan tenang. Para hadirin pun diam. Lelaki itu melanjutkan,
“Keadaannya… sangat lemah. Tubuhnya lunglai di atas ranjang. Nafasnya berat, wajahnya pucat. Kami kira ajal sudah dekat.”
Hasan menyimak tanpa menyela.
Lelaki itu menceritakan kembali percakapannya, “Kami bertanya padanya, ‘Wahai Abu Ma’mar, bagaimana keadaanmu?’”
Ia menjawab lemah, “Demi Allah… aku sakit…”
Namun tiba-tiba, ia menunjuk ke arah peti di sudut rumahnya. “Di situ ada seratus ribu dinar. Belum aku keluarkan zakatnya… Belum juga kugunakan untuk sanak kerabatku…”
Hening.
“Wahai Abu Ma’mar,” kami bertanya, “untuk apa engkau mengumpulkan semua itu?”
Dengan suara berat, ia menjawab, “Aku kumpulkan sebagai antisipasi… untuk menghadapi zaman yang penuh bencana. Untuk menjaga diri dari kesewenangan penguasa… dan, ya… untuk kebanggaan diri…”
Mendengar cerita itu, Hasan Al-Bashri menarik nafas dalam. Pandangannya tajam namun getir.
"Celaka..." bisiknya lirih, lalu suaranya meninggi pelan-pelan, "Celaka orang yang diperdaya oleh setan—dengan ketakutan palsu tentang masa depan. Ketakutan akan lapar, akan penguasa, akan kehilangan… Hingga lupa pada amanah Allah dan kesempatan hidup yang telah diberikan padanya."
Hasan menunduk. Suasana jadi sendu. Lalu ia berkata lagi dengan suara bergetar:
“Sungguh… ia pergi dari dunia ini sebagai orang yang terampas. Pergi dengan hati yang gundah, hina, dan penuh cela.”
Kemudian, dengan tatapan tajam kepada para muridnya, ia berseru,
“Wahai para pewaris! Jangan tertipu sebagaimana sahabat kalian tertipu!”
Beberapa kepala menunduk. Ada yang memejamkan mata. Kata-kata Hasan menusuk ke dalam dada.
“Harta datang kepadamu secara halal. Maka jangan sampai ia berubah menjadi malapetaka.”
Hasan berjalan beberapa langkah, lalu berhenti, seolah menimbang sesuatu di dadanya. Kemudian ia melanjutkan:
“Lihatlah orang yang mengumpulkannya! Ia kerja keras siang dan malam, menempuh gurun dan rimba, melewati dataran tandus dan tanah asing… Ia genggam hartanya erat-erat, mengikatnya rapat dalam peti. Tapi ia lupa—lupa pada zakat, lupa pada fakir miskin, lupa pada kerabatnya sendiri.”
Lalu Hasan terdiam.
Diam yang menggantung di langit-langit ruangan. Para muridnya menahan nafas, menunggu kata selanjutnya.
Dengan suara pelan, nyaris berbisik, Hasan berkata:
“Sesungguhnya… hari kiamat adalah hari penyesalan. Dan penyesalan yang paling besar… adalah ketika seseorang melihat hartanya berada di timbangan amal orang lain…”
Seseorang terperanjat. Yang lain menoleh penuh tanda tanya. Bagaimana mungkin?
Hasan menjelaskan,
“Ya… dia diberi harta oleh Allah. Disuruh menginfakkan, tapi ia kikir. Takut miskin. Maka harta itu jatuh ke tangan ahli warisnya. Lalu ahli warisnya gunakan… dan amalnya tercatat di timbangan orang lain…”
Ia menatap satu per satu wajah di sekelilingnya. Kemudian ia menutup:
“Sebuah kesalahan yang tak termaafkan… dan pertaubatan yang tidak teraih.”
Malam pun turun pelan. Tapi kata-kata Hasan tak tenggelam. Ia menetap seperti api yang membakar kesadaran:
Bahwa harta bisa menjadi ujian paling halus yang meninabobokan iman,
dan peti dinar yang tidak terbuka di dunia,
bisa menjadi belenggu di akhirat.
"Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih."
(QS. At-Taubah: 34)
"Kita bukan pemilik harta, hanya pemikul amanah yang akan ditanya satu per satu."
Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar
0 komentar: