Ketika Mimpi Menyalakan Api Takdir
“Wahai raja Mesir, bangunlah…! Api itu bukan sembarang api…”
Suatu malam, Fir’aun terbangun dari tidurnya. Tubuhnya basah oleh keringat, napasnya terengah, dan wajahnya muram bagai mendung yang menahan petir.
“Ada api,” katanya terbata. “Aku melihat api keluar dari arah Baitul Maqdis…”
Api itu melintasi padang gurun, mendekat ke Mesir, lalu menyambar satu per satu rumah bangsaku. Hancur, terbakar. Tapi… ada yang tidak tersentuh: rumah-rumah Bani Israil. Tetap tegak. Tetap teduh.
“Mungkinkah ini hanya bunga tidur?” gumamnya, tapi ketakutan telah mencengkeram jiwanya lebih dahulu daripada akalnya.
Pagi-pagi buta, ia perintahkan para pengawal kerajaan:
“Kumpulkan semua peramal, tukang sihir, dan penakwil mimpi!”
Mereka datang, satu per satu, wajah-wajah tua dengan sorban berdebu dan mata yang menyimpan rahasia. Di ruang sidang megah istana Mesir, mereka duduk melingkar, berdiskusi panjang. Suara-suara lirih berseliweran seperti angin gurun membawa kabar buruk.
Akhirnya, seorang dari mereka berkata, “Wahai Raja, itu bukan sekadar mimpi. Itu isyarat dari langit.”
“Katamu?” desak Fir’aun.
“Akan lahir seorang anak laki-laki dari Bani Israil… dan kelahirannya akan menjadi awal kehancuranmu.”
Fir’aun terdiam. Takut. Tapi tidak menunjukkan gentarnya di hadapan yang lain.
“Apa maksud kalian? Seorang bayi bisa menggulingkan kekuasaan yang dibangun dengan darah dan sungai?”
Perdebatan pun memanas di antara mereka. Sebagian berkata: “Bunuh semua anak laki-laki Israil.” Sebagian lain menyela, “Tapi, siapa yang akan menjadi budak bagi pembangunan kota dan kuilmu, wahai Raja, jika seluruh generasi lelaki dibinasakan?”
Fir’aun termenung. Ia tahu: jika ia biarkan, takdir bisa berjalan. Jika ia bantai, takdir pun bisa tetap datang lewat jalan yang tak terlihat.
Tapi rasa takut lebih kuat dari nalar.
“Laksanakan perintahku!” serunya. “Setiap bayi lelaki yang lahir dari kaum Bani Israil… sembelihlah!”
Maka pasukan pun dikerahkan. Mereka menyisir rumah demi rumah. Tangis bayi diubah menjadi jerit duka. Ketakutan menyebar seperti kabut pekat yang tak tahu kapan sirna.
Namun di suatu tempat sunyi, dalam sebuah rumah kecil, ada seorang ibu yang gelisah menimang anaknya.
“Musa,” bisiknya pelan, seolah dunia tak boleh mendengar namanya.
Di tengah air matanya yang tak sanggup tertahan, ia merasa sesuatu yang lain hadir dalam dirinya.
Bukan suara manusia. Tapi seperti desir halus yang merambat dari langit ke jiwanya.
"Wa auḥainā ilā ummi Mūsā an arḍi‘īhi…"
Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa, “Susuilah dia…”
Jantungnya berdegup. Ia mendengar perintah itu, tapi tangannya gemetar.
"Fa iẓā khifti ‘alaihi…"
“Jika engkau khawatir terhadapnya…”
Ya Allah, mana ada ibu yang tidak takut saat bayinya bisa dibunuh kapan saja?
"Fa alqīhi fil yammi…"
“Maka hanyutkanlah dia ke sungai…”
Ia tertegun. Sungai? Sungai Nil yang luas dan dingin itu? Haruskah anak ini diletakkan begitu saja, tanpa pelindung, hanya dalam sebuah peti kecil?
Tapi kalimat selanjutnya datang seperti pelukan yang menenangkan:
"Wa lā takhāfī wa lā taḥzanī…"
“Janganlah kamu takut, dan jangan bersedih hati…”
Air matanya mengalir deras. Tapi ada kekuatan dalam kalimat itu. Seolah Allah sendiri yang mendekap dan memeluknya.
"Innā rāddūhu ilaiki…"
“Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu…”
"Wa jā‘ilūhu minal mursalīn."
“Dan Kami akan menjadikannya seorang Rasul.”
Dengan tenang ia siapkan peti kecil. Ia balut anak itu dengan selimut. Dikecupnya dahi mungil itu… lalu ia berjalan, di antara gelap malam dan suara tentara yang menjauh.
Di tepi Sungai Nil, ia menatap air yang mengalir. Bukan dengan takut, tapi dengan iman.
“Musa… aku titipkanmu kepada Tuhan yang memberiku kekuatan untuk melepaskanmu.”
Lalu ia lepaskan peti kecil itu.
Dan peti itu pun mengalir… bersama takdir besar yang akan mengguncang tahta seorang raja.
0 komentar: