Wanita Muda yang Tangannya Dipotong Karena Bersedekah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Angin lembah berhembus pelan menyusuri celah-celah bukit, menyentuh rumah-rumah mungil yang bersandar pada sunyi. Di salah satu desa terpencil wilayah kerajaan itu, ada satu rumah kecil berdinding tanah dan beratap jerami, berdiri tenang namun rapuh seperti penghuninya.
Malam itu, di dalam rumah, seorang perempuan muda duduk memeluk lutut di dekat tungku yang mulai padam. Ia tidak tidur. Tatapannya kosong. Matanya menyimpan gelisah. Suara pengumuman siang tadi masih bergema di telinganya:
“Barang siapa bersedekah, akan kupotong tangannya.”
Ia menggenggam kedua tangannya. Tangan yang selama ini tak pernah enggan memberi. Tangan yang terbiasa menjulurkan roti kepada yang lapar, menaruh koin di tangan anak yatim. Tapi malam ini... tangan-tangan itu terasa berat. Ada ancaman menggantung di langit-langit rumahnya.
"Apakah kini kebaikan harus dibayar dengan kehilangan?" bisiknya lirih.
Matanya basah. Ia rebahkan diri, tapi hatinya tak bisa diam. Jiwa yang selama ini damai karena berbagi, kini berperang dengan rasa takut.
Pagi harinya, matahari belum sepenuhnya naik. Udara masih lembab. Saat perempuan itu membuka pintu rumahnya, ia terpaku.
Di depan pintu, berdiri seorang lelaki tua renta. Tubuhnya kurus, bajunya lusuh, dan wajahnya seperti pecahan musim kemarau. Ia tidak bicara banyak. Hanya mengangkat tangannya yang bergetar:
“Wahai putri… tolong beri aku sedekah… demi Allah... aku belum makan sejak dua hari lalu…”
Perempuan itu menatapnya lama. Suasana batin keduanya mendidih dalam diam. Ia tahu, memberi berarti kehilangan. Tapi di hadapannya berdiri seseorang yang mungkin akan kehilangan nyawa tanpa secuil roti.
Dengan suara pelan dan gemetar, ia menjawab:
“Bagaimana aku bisa memberimu… sedang raja mengancam akan memotong tanganku jika aku bersedekah?”
Pengemis itu menunduk, tapi kemudian berkata lagi dengan mata berkaca:
“Aku tidak meminta tanganmu... hanya roti... demi Allah…”
Perempuan itu memalingkan wajah, lalu menatap ke dalam dapurnya. Hanya dua potong roti tersisa. Satu untuk hari ini, satu untuk besok. Tapi hatinya mengingat suara lain—bukan suara raja, melainkan suara nurani:
“Apa gunanya tangan yang utuh, jika hati menjadi beku?”
Ia mengambil dua roti itu, kembali ke pintu, dan meletakkannya di tangan pengemis dengan lirih:
“Ambillah… semoga Allah memberiku kekuatan jika tangan ini harus hilang…”
Hari berganti. Tapi berita tak pernah berhenti. Di istana, telinga sang raja mendengar kabar perempuan yang berani menantang titahnya. Maka tanpa banyak bicara, ia mengirim pasukan.
“Potong tangannya. Biar jadi pelajaran.”
Dan perempuan itu pun kehilangan kedua tangannya. Ia tak menangis. Ia tak melawan. Ia hanya menatap langit, seolah berkata:
“Ya Allah, jika ini harga dari memberi, maka jangan biarkan aku menyesal.”
Tahun berlalu.
Di istana, raja muda itu duduk termenung di kursi takhtanya. Hari-harinya penuh pesta dan pujian, tapi hatinya kosong. Ia berkata kepada ibunya,
“Wahai ibu, aku ingin menikah. Tapi bukan dengan siapa pun. Aku ingin perempuan yang wajahnya bersih… yang hatinya bening… yang jika kupandang, jiwaku tenang.”
Ibunya tersenyum tipis.
“Ada seorang perempuan seperti itu, Nak. Wajahnya sejuk. Tatapannya dalam. Tapi… ia memiliki cacat yang parah.”
“Cacat seperti apa?” tanya sang raja.
“Kedua tangannya buntung.”
Sang raja terdiam. Tapi hatinya justru penasaran.
“Datangkan dia ke istana.”
Ketika perempuan itu hadir di istana, ia datang dengan sederhana. Jubahnya biasa. Tapi langkahnya teguh. Ia tidak membawa kemewahan, tapi membawa ketenangan.
Sang raja menatapnya. Dan dalam hatinya bergema satu bisikan:
“Ada luka yang justru menjadikan seseorang bercahaya.”
Dengan suara mantap, ia berkata:
“Maukah engkau menjadi istriku?”
Perempuan itu menjawab dengan kepala tertunduk:
“Jika engkau menghendaki, aku bersedia…”
Raja pun menikahinya.
Setelah pernikahan itu, raja bertanya dengan hati yang mulai ingin tahu:
“Katakan padaku… mengapa tanganmu tiada?”
Perempuan itu mengangkat wajahnya. Ia tidak ragu. Tidak pula menyimpan marah.
“Tangan ini hilang… karena aku memberikan dua potong roti… kepada orang yang lapar… ketika seluruh negeri takut memberi…”
Sang raja terdiam. Seolah petir menyambar batinnya. Ia sadar.
“Perempuan yang kini menjadi istriku… adalah perempuan yang dahulu kuhukum…”
Dan air matanya mengalir. Bukan karena penyesalan semata, tetapi karena ia melihat di hadapannya bukan perempuan cacat, melainkan perempuan yang tangannya mungkin hilang… tapi hatinya lebih utuh dari seluruh kerajaan.
Kadang Allah mengambil sesuatu dari kita, agar kita melihat dengan cara yang tak bisa dijangkau oleh tangan.
Terkadang, satu potong roti… lebih berat dari seluruh emas di istana.
Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar
0 komentar: