Kedermawanan yang Sempurna dari Bani Hasyim
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di bawah cahaya rembulan yang menyentuh ubin halaman, dua budak duduk berhadapan. Mata mereka bersinar oleh bara kesetiaan, tapi juga oleh rasa ingin membuktikan kemuliaan tuan masing-masing.
"Aku yakin," ujar budak dari Bani Hasyim, "tuan-tuan kami lebih mulia dan dermawan."
Budak dari Bani Umayyah tersenyum miring. "Kita lihat saja. Kita buktikan. Kau ke keluargamu, aku ke keluargaku. Lalu kita hitung, siapa yang benar-benar dermawan."
Keesokan harinya, budak dari Bani Umayyah mulai berkeliling. Ia ketuk pintu satu per satu dari sepuluh orang tuan dalam kabilahnya. Dengan wajah memelas dan suara lirih, ia ceritakan penderitaan dan kemiskinannya.
"Berikanlah padaku," katanya.
"Ambillah ini," kata mereka.
Seratus ribu dirham ia kumpulkan. Jumlah yang tidak kecil. Ia kembali dengan dada membusung. "Sekarang giliranmu."
Budak dari Bani Hasyim tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berjalan ke rumah pertama—rumah Husain bin Ali.
Di hadapan cucu Rasulullah ï·º itu, ia membuka kisah kemiskinan dan luka hidupnya. Husain menatapnya sejenak, lalu tersenyum lembut. Tanpa tanya, tanpa syarat, Husain menyerahkan 100.000 dirham.
Belum puas, ia berjalan ke rumah Abdullah bin Ja'far. Lelaki saleh itu mendengarkan, lalu mengulurkan jumlah yang sama—100.000 dirham.
Lalu, ia melangkah ke rumah terakhir: Abdullah bin Rabiah. Dan, untuk ketiga kalinya, 100.000 dirham ia terima.
Ia kembali ke pertemuan mereka. Wajah budak dari Bani Umayyah mendadak berubah. Matanya menatap tiga kantong berat di tangan lawannya.
"Dari tiga orang saja kau dapat tiga kali lipat?!" tanyanya tak percaya.
"Ya. Dan masih ada satu ujian lagi untuk benar-benar mengetahui siapa yang dermawan."
"Apa itu?"
"Kita kembalikan semuanya. Lihat apakah mereka rela menerima kembali apa yang telah mereka berikan."
Budak dari Bani Umayyah kembali ke sepuluh tuannya. Dengan suara tenang ia berkata, "Aku tak lagi membutuhkannya. Allah telah membukakan jalan. Aku ingin mengembalikannya."
Satu per satu menerima kembali uang yang pernah diberikan. Tak seorang pun menolak.
Sementara itu, budak dari Bani Hasyim kembali ke tiga rumah yang pernah ia datangi. Kepada mereka ia berkata dengan penuh hormat, "Aku sudah tidak membutuhkannya. Allah telah mencukupkan aku. Maukah kalian menerimanya kembali?"
Husain menatapnya penuh kasih. "Kami tak mengambil kembali apa yang telah kami berikan karena Allah."
Abdullah bin Ja'far berkata, "Kami tidak menarik pemberian yang telah bercampur dengan hakmu."
Dan Abdullah bin Rabiah menyempurnakan: "Apa yang telah kami hibahkan, biarlah menjadi milikmu. Jangan kau kembalikan sesuatu yang telah ditulis untukmu."
Di bawah pohon kurma, kedua budak itu kembali duduk. Satu dengan tangan kosong, satu lagi dengan harta utuh yang tak berkurang sedikit pun.
Lalu, sunyi menyelimuti malam. Tapi dari kesunyian itu, suara hati berbicara lebih lantang daripada segala kebanggaan:
"Kedermawanan bukan hanya soal memberi, tapi tentang jiwa yang tidak pernah meminta kembali."
Dan pada malam itu, sejarah menuliskan satu pelajaran:
Bani Umayyah bisa memberi. Tapi Bani Hasyim… memberi tanpa mengambil kembali.
Sumber:
Al-Ghazali, Adab Berpolitik, Qaf Publishing.
0 komentar: