Belaian Ibu, Bagai Ampunan dari Allah SWT
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di sebuah gang sempit di jantung kota Mesir, seorang lelaki tua berjalan pelan, matanya kosong menatap ke depan, namun hatinya tampak berkabut. Ia bukan orang sembarangan. Ia adalah sahabat Dzun Nun al-Misri, seorang sufi yang dalam ilmunya, lembut jiwanya, dan telah lama menyelami samudra makrifat.
Tapi hari-hari terakhirnya tampak berbeda. Ia sering terlihat mondar-mandir menyusuri jalan-jalan kota, menggumam sendiri dengan suara pelan:
> "Di mana hatiku…?"
> "Siapa yang mengambil hatiku?"
> "Siapa yang menemukannya untukku…?"
Anak-anak kecil, seperti biasa, tak memahami kesedihan yang diam. Mereka mengejek, melemparinya dengan kerikil kecil, menirukan ucapannya seperti lelucon. Namun lelaki tua itu tidak marah. Ia tidak membalas. Ia hanya terus berjalan… mencari sesuatu yang hilang dari dalam dirinya.
---
Sebuah Gang Sunyi, dan Tangisan yang Menggetarkan
Suatu hari, untuk menghindari gangguan anak-anak itu, ia masuk ke sebuah gang kecil. Gang itu sunyi, sempit, berdebu. Ia duduk bersandar di dinding, menarik napas panjang, seolah berkata dalam diam, "Mungkin di sini aku bisa diam. Mungkin di sini aku akan menemukan hatiku kembali."
Tapi baru saja ia mencoba memejamkan mata, sebuah suara meledak dari balik salah satu pintu rumah:
> "Berapa kali harus ibu bilang padamu! Jangan membantah!"
> "Keluar sana! Jangan masuk ke rumah ini sebelum kau sadar!"
Terdengar suara tamparan. Lalu suara tangisan anak kecil. Pintu rumah terbuka. Seorang anak dilempar keluar rumah oleh ibunya. Pintu ditutup kembali dengan keras.
Anak itu berdiri di depan pintu, tubuhnya kecil, napasnya tersengal. Ia menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak ada siapa-siapa. Lalu dengan langkah gontai, ia duduk di depan pintu rumahnya, menyandarkan kepala mungilnya ke kusen kayu yang dingin, dan tertidur… masih sambil menangis.
Beberapa saat berlalu. Malam mulai turun. Angin mengendap dari balik tembok. Anak itu terbangun dan kembali menangis. Tapi kini tak ada kemarahan, hanya kerinduan.
> "Ibu…"
> "Jika engkau menutup pintu ini untukku…"
> "Siapa lagi yang akan membukakannya?"
> "Siapa yang akan mendekatkanku kepadamu, jika engkau sendiri yang menjauhkan aku?"
> "Siapa yang akan menyayangiku jika engkau membenciku?"
Tangisan itu bukan sekadar suara. Ia adalah suara jiwa yang mengetuk kasih, mengetuk ampunan.
---
Ketika Ibu Turun dari Takhta Marahnya
Dari balik pintu, sang ibu mendengar. Mungkin amarahnya belum reda. Tapi batin seorang ibu, betapapun marahnya, akan luluh jika yang mengetuk adalah tangis tulus anaknya.
Ia mengintip dari celah. Dan tampaklah anaknya: kecil, kotor, tubuhnya gemetar, wajahnya lelah, matanya sembab, namun mulutnya masih menyebut: “Ibu…”
Tak lama, pintu itu terbuka.
Sang ibu berlari. Ia rangkul anaknya. Ia peluk tubuh mungil itu ke dalam dadanya. Ia ciumi pipinya. Ia usap air matanya. Ia letakkan kepala anaknya di pangkuannya.
> "Sayang..."
> "Engkaulah yang membuat ibu marah seperti tadi."
> "Engkaulah yang menyebabkan semua ini terjadi."
> "Tapi kalau saja engkau patuh dari awal, niscaya engkau tak akan di luar pintu seperti ini..."
Namun saat kata-kata itu diucapkan, nada marahnya telah hilang. Ia hanya berkata begitu untuk menegaskan cinta. Cinta yang tetap ada meski sebelumnya ditutupi awan kemarahan.
Sang anak diam. Ia tidak menjawab. Ia hanya menangis dalam pelukan ibunya. Karena ia tahu: ia telah kembali.
---
"Saya Telah Menemukan Kembali Hati Saya"
Sahabat Dzun Nun, yang sejak tadi menyaksikan dari kejauhan, terpaku. Tangannya gemetar. Matanya basah. Jiwanya seperti disambar oleh sesuatu yang sudah lama ia cari.
Lalu ia berdiri. Dan menjerit.
> “Saya telah menemukannya!”
> “Saya telah menemukan hati saya!”
Orang-orang pun berdatangan. Mereka menyangka ia gila. Tapi kali ini, sorot matanya tajam. Ada kehadiran dalam dirinya yang sebelumnya hilang.
> “Apa yang terjadi denganmu?” tanya mereka.
> “Di mana kau menemukannya?”
Dan ia menjawab dengan suara pelan tapi dalam:
> “Di gang ini… di depan pintu rumah itu… saat seorang ibu membuka kembali pelukannya kepada anaknya…”
> “Di sanalah… aku menemukan hatiku kembali.”
Ia pun mencari Dzun Nun Al-Misri. Ia ceritakan semuanya. Dan sejak saat itu, setiap kali ia merasa sedih, takut kepada Allah, atau kehilangan arah… ia mengulang-ulang kata-kata itu:
> “Saya telah menemukan kembali hati saya… di depan pintu kasih seorang ibu.”
---
Sebuah Cermin dari Langit
Saudaraku…
Bukankah itu juga kisah kita dengan Allah?
Kita sering nakal. Kita sering menentang. Kita lupa. Kita enggan taat. Kita memunggungi perintah. Hingga suatu saat, musibah datang. Kehidupan menolak kita. Rezeki seolah tertutup. Ketentraman menghilang.
Dan kita pun merasa seperti anak kecil yang diusir ibunya: sendiri, bingung, tak tahu harus kemana.
Tapi sebagaimana si anak kecil tadi, kita pun bisa mengetuk kembali pintu itu. Kita sandarkan kepala kita di ambangnya. Kita menangis:
> “Ya Allah…
Jika Engkau menutup pintu-Mu… siapa lagi yang akan membukanya untukku?”
> "Jika Engkau menjauh… siapa lagi yang akan mendekatkanku?”
> "Jika Engkau marah… siapa lagi yang akan menyayangi?”
Dan ketika suara itu keluar dari dada yang benar-benar merindu…
Pintu itu akan terbuka.
Pelukan itu akan kembali.
Dan hati kita… akan kembali kepada pemiliknya.
---
Ampunan Allah Tak Pernah Pergi, Kita Saja yang Menjauh
Jika cinta ibu saja sanggup menghapus marah karena satu kalimat rindu, maka bagaimana dengan cinta Allah?
Allah tidak menciptakan kita untuk membenci.
Allah tidak membuka pintu-Nya untuk kemudian menutupnya selamanya.
Ampunan-Nya lebih besar dari murka-Nya.
Kasih-Nya lebih dalam dari lautan.
Kita hanya perlu belajar menangis seperti anak kecil itu.
Dan berkata jujur dari hati seperti sahabat Dzun Nun itu.
> “Wahai Tuhan… aku kembali.
> Jangan biarkan aku di luar pintu-Mu.”
Sumber:
Ibnu Jauzi, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar
--
0 komentar: