Reformasi Kota-Kota di Tangan Umar bin Abdul Aziz
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Angin gurun berhembus pelan membawa debu-debu sejarah, menyentuh reruntuhan kota yang dulu megah namun kini dililit kekacauan dan kehilangan arah. Di antara reruntuhan itu, muncullah sosok pemimpin yang tidak datang membawa bala tentara, tetapi membawa cahaya ilmu dan keteguhan iman: Umar bin Abdul Aziz.
Ia tidak menatap kota-kota yang rusak dengan amarah, melainkan dengan air mata dan hati yang penuh doa. Ia tidak membawa cambuk di tangannya, tetapi membawa adab dan keadilan di setiap keputusan. Di balik diamnya, bersembunyi kebijaksanaan yang menumbuhkan harapan.
Ketika Kota Dipenuhi Pencuri dan Perampok
Seorang hakim, ditugaskan ke Mosul. Kota itu bagai luka menganga—penuh pencurian, perampokan, dan kekacauan. Sang hakim, cucu dari Ibrahim bin Hisyam, menulis surat kepada sang khalifah.
"Wahai Amirul Mukminin, Mosul adalah kota yang rusak. Kejahatan ada di setiap sudutnya. Apakah aku harus menyelidiki, mencari bukti, dan menyelesaikannya dengan tradisi mereka?"
Surat itu terbang menembus gurun, dan sampai di tangan Umar bin Abdul Aziz. Ia membalas dengan lembut, tapi tajam:
"Selesaikanlah dengan sunnah Nabi. Jika mereka menolak kebenaran, maka jangan berharap Allah akan memberikan kebaikan kepada mereka."
Sang hakim menggigit bibirnya. Ia patuh. Ia kembali ke Mosul bukan dengan pedang, tapi dengan sunnah. Bukan dengan teriakan, tapi dengan keteladanan.
Tahun-tahun berlalu. Ketika ia pergi dari Mosul, ia mendapati kota itu berubah. Yang dahulu sarang pencuri, kini menjadi tempat paling aman. Yang dulu diselimuti gelap, kini bersinar dalam naungan keadilan.
Apakah Kota Hanya Bisa Dibangun dengan Pedang?
Di Khurasan, gubernur Al-Jarrah bin Abdullah menulis dengan nada putus asa:
"Penduduk Khurasan ini keras kepala, rusak, liar. Mereka hanya bisa diluruskan dengan pedang dan cambukan. Jika engkau izinkan, aku akan melakukannya."
Surat itu sampai di tangan sang khalifah. Umar menarik napas panjang. Ia tahu, saat pemimpin mengandalkan cambuk, itu tanda rapuhnya jiwa.
Ia balas:
"Wahai Al-Jarrah, engkau telah berdusta. Mereka bukan diluruskan dengan cambuk, tapi dengan keadilan dan kebenaran. Maka tegakkanlah keadilan. Itu cukup. Wassalam."
Apakah Kota Harus Dibangun dengan Dana yang Melimpah?
Seorang gubernur lain mengeluh dalam suratnya:
"Kota kami hancur. Jika engkau berkenan, kirimkan dana untuk membangunnya kembali."
Umar menatap langit, dan menuliskan jawabannya:
"Kamu tidak mengatakan bahwa kotamu telah roboh. Tapi kamu tahu jalan membangunnya: tegakkan keadilan. Bersihkan jalan-jalan dari kezaliman. Jika engkau melakukannya, niscaya kotamu akan bangkit dengan sendirinya."
Refleksi dari Sejarah
Beginilah Umar memandang kota. Ia tidak bicara tentang semen dan batu bata. Ia bicara tentang nilai, tentang sunnah, tentang keadilan.
Baginya, kota rusak bukan karena dindingnya runtuh, tapi karena jiwanya mati. Masyarakat yang tak lagi takut kepada Allah, itulah reruntuhan yang sebenarnya. Maka, solusi Umar bukan membangun tembok, tapi membangunkan hati.
Ketika umat kehilangan adab, hukum menjadi tumpul. Ketika pemimpin kehilangan rasa takut kepada Tuhan, maka seluruh kota kehilangan cahaya.
Umar mengajarkan bahwa membangun kota bukan perkara uang atau senjata, tetapi perkara akhlak dan keberanian menegakkan kebenaran—meski sunyi, meski sendiri.
Dan kini, saat kota-kota kita kembali berlumur keluhan dan kehancuran, barangkali sudah saatnya kita mengingat satu kalimat dari Umar:
"Tegakkan keadilan. Itu cukup."
Sumber:
Mahmud Musthafa Sa'ad, Golden Story, Pustaka Al-Kautsar
0 komentar: