Ragam Titik Kritis Manusia dalam Kisah di Al-Qur’an
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
“Di titik itulah manusia teruji: saat nikmat digenggam, saat kebenaran datang, saat kuasa merasuk. Sebagian naik, sebagian tumbang. Dan Al-Qur’an mengabadikannya dalam kisah-kisah yang menyentak jiwa.”
Apa itu titik kritis dalam hidup manusia? Dalam psikologi eksistensial, momen itu disebut decisive point—persimpangan nasib di mana keputusan menentukan arah: taat atau durhaka, bangkit atau terjerembab, surga atau neraka. Viktor Frankl menyebutnya sebagai “momen makna”—saat hidup bertanya, dan jiwa harus menjawab.
Dalam logika Al-Qur’an, titik kritis bukanlah ketika seseorang baru memulai, melainkan ketika ia telah menggenggam. Bukan saat kekurangan, tetapi saat limpahan nikmat datang: panen tiba, harta menumpuk, kuasa memuncak, atau wahyu diturunkan.
Mari kita telaah bagaimana Al-Qur’an memotret titik-titik krusial itu.
1. Ketika Panen Tiba: Kisah Pemilik Kebun
Al-Qur’an menampilkan dua kisah pemilik kebun yang tampaknya biasa, namun menyimpan kedalaman spiritual yang mengguncang. Pertama, dalam Surah Al-Kahfi ayat 32–44, Allah mengisahkan dua sahabat. Salah satunya diberi dua kebun anggur, sungai mengalir, dan panen melimpah. Namun saat memanen, ia berkata pongah:
"Aku lebih banyak harta dan lebih kuat pengaruhnya." (QS. Al-Kahfi: 34)
Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an menegaskan bahwa nikmat dunia yang dikira berkah bisa menjadi jebakan, saat hati mulai bergantung padanya dan lalai pada akhirat.
Kisah kedua terdapat dalam Surah Al-Qalam ayat 17–33, tentang pemilik kebun yang bersepakat tidak ingin memberi sedekah dari hasil panennya. Mereka berangkat pagi-pagi secara diam-diam, namun kebunnya sudah hangus dilalap api.
"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka sebagaimana Kami menguji pemilik kebun." (QS. Al-Qalam: 17)
Mengapa saat panen menjadi titik kritis? Karena itulah saat manusia merasa berjasa. Psikolog dan motivator Barat seperti Tony Robbins mengatakan: “Krisis terbesar manusia terjadi bukan saat gagal, tapi saat berhasil. Di sanalah ego dan kesombongan mengintai.”
2. Qarun: Ketika Harta Menjadi Tuhan Baru
Al-Qur’an tidak mengisahkan Qarun saat ia miskin. Langsung dimunculkan sebagai tokoh superkaya.
"Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, lalu ia berlaku zalim kepada mereka. Kami berikan kepadanya harta yang kunci-kuncinya berat dipikul oleh orang kuat." (QS. Al-Qashash: 76)
Puncak tragedinya adalah ketika ia berkata:
"Aku diberi semua ini karena ilmu yang ada padaku." (QS. Al-Qashash: 78)
Sayyid Qutb menafsirkan bahwa Qarun adalah lambang keangkuhan materialistik—orang yang menganggap kekayaan sebagai hasil usaha pribadi tanpa keterlibatan Tuhan. Maka Allah tenggelamkan dia beserta hartanya.
Motivator Barat, Stephen Covey, menyatakan: “Character is revealed in prosperity, not adversity.” Artinya, keberhasilan seringkali memperlihatkan sifat asli manusia. Inilah yang dialami Qarun. Kekayaan menjadi ujian yang menelanjangi jiwanya.
3. Fir’aun dan Namrud: Ketika Kekuasaan Menggoda Ketuhanan
Lihatlah bagaimana Al-Qur’an memotret penguasa durjana seperti Fir’aun dan Namrud. Tidak ada cerita tentang masa kecil mereka, proses politik, atau intrik istana. Al-Qur’an langsung menggambarkan mereka di puncak kekuasaan, saat mereka mulai menuhankan diri:
"Aku adalah tuhanmu yang paling tinggi." (QS. An-Nazi'at: 24)
"Siapakah Tuhanmu, wahai Musa?" (QS. Asy-Syu'ara: 23)
Menurut Sayyid Qutb, kekuasaan memiliki daya hipnosis spiritual—membuat manusia lupa bahwa dirinya hamba. Kuasa tanpa iman menjelma menjadi kezaliman yang meyakini dirinya sebagai pusat segalanya.
Dalam teori politik Barat, Lord Acton mengatakan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Al-Qur’an tidak hanya menegaskan itu, tapi memperlihatkan betapa mutlaknya kehancuran saat kekuasaan mematikan kesadaran ilahiyah.
4. Saat Wahyu Diturunkan: Titik Kritis Sebuah Kaum
Salah satu titik kritis terbesar dalam sejarah umat manusia adalah saat diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab suci. Al-Qur’an mencatat bahwa mayoritas kaum justru menolak di titik ini.
"Dan tidaklah datang kepada mereka seorang rasul melainkan mereka memperolok-olokkannya." (QS. Yasin: 30)
Kaum Yahudi dan Nasrani pun mengalami titik kritis ini ketika Rasulullah ﷺ diutus:
"Tatkala datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui (dalam Taurat), mereka mengingkarinya." (QS. Al-Baqarah: 89)
Mengapa momen datangnya wahyu menjadi titik kritis? Karena ia membawa cahaya yang memaksa jiwa untuk jujur: apakah ia akan tunduk atau melawan?
Sayyid Qutb menegaskan bahwa wahyu adalah pernyataan perang terhadap hawa nafsu. Ia mengganggu zona nyaman dan struktur kuasa lama. Maka responsnya adalah dua: iman atau permusuhan.
5. Titik Kritis: Ketika Manusia Diuji oleh Perasaan
Titik kritis bukan hanya soal harta, kuasa, dan wahyu. Kadang datang dalam bentuk emosi yang meletup: sombong, risau, takut, merasa tertindas, atau merasa aman berlebihan. Ketika Nabi Musa dihina kaumnya, ketika Nabi Yunus pergi dalam amarah, ketika para sahabat gentar di Uhud—semuanya ujian batin.
Jordan Peterson, psikolog klinis kontemporer, menyatakan bahwa “Crisis strips away illusion.” Krisis membuka tabir kepribadian. Di titik kritis, manusia berdiri sendiri di hadapan Tuhan dan dirinya sendiri.
Di Persimpangan Jalan Takdir
Titik kritis adalah persimpangan takdir. Di sanalah manusia membuat keputusan yang mengubah segalanya. Itulah saat yang tidak diceritakan panjang lebar, tapi justru menentukan nasib akhir.
"Dan adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, dia berkata: 'Tuhanku memuliakanku.' Tapi apabila Dia mengujinya dan membatasi rezekinya, dia berkata: 'Tuhanku menghinakanku.'" (QS. Al-Fajr: 15–16)
Titik kritis tak dapat dihindari. Tapi bisa disikapi. Siapa yang sadar dan kembali kepada Allah, akan bangkit. Siapa yang sombong dan tertipu oleh kejayaan dunia, akan tergelincir.
Dan pada akhirnya, bukan awal hidup yang menentukan, tapi sikap di titik-titik kritis itulah yang membentuk sejarah manusia.
0 komentar: