Kualitas Teknologi Kapal Nabi Nuh
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Hari ini, dunia dihantui oleh perubahan iklim, banjir besar, gempa bumi, dan badai ekstrem yang muncul bersamaan. Para ilmuwan sibuk merancang sistem pertahanan—dari bendungan canggih, bangunan anti gempa, hingga kapal selam penyelamat. Namun, di tengah semua itu, sejarah pernah mencatat satu-satunya kapal yang bisa bertahan dari kehancuran total: bahtera Nabi Nuh.
Kapal ini bukan sekadar cerita kitab suci. Ia adalah teknologi penyelamat yang dibangun bukan dengan software komputer atau alat ukur canggih, tapi dengan petunjuk langsung dari langit. Jika hari ini manusia mengandalkan kecerdasan buatan, Nuh mengandalkan wahyu. Bila sekarang kita bicara tentang rekayasa tahan bencana, maka bahtera ini adalah purwarupa sistem bertahan hidup lintas zaman.
1. Dibangun di Darat, Tanpa Peta, Tanpa Pelabuhan
> “Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan wahyu Kami...”
(QS Al-Mu’minun: 27)
Bayangkan: sebuah kapal raksasa dibangun di atas tanah kering, jauh dari laut, tanpa alat ukur, tanpa teknologi modern. Dalam dunia teknik, ini jelas "kesalahan fatal". Tapi Nuh melakukannya. Dan bukan asal bangun—kapal itu kokoh, tahan banting, dan muat berbagai makhluk hidup.
Kapal itu dibuat dari papan kayu dan pasak, mirip seperti cara tukang kayu Jepang menyusun rumah tahan gempa, atau seperti bangunan kayu modern yang bisa bertahan dari guncangan. Tanpa sekrup, tanpa paku, tapi justru lebih kuat dan lebih lentur saat menghadapi tekanan.
Dua keunggulannya:
1. Kalau satu bagian rusak, yang lain tetap bisa menopang.
2. Struktur kayunya bisa sedikit bergerak—ini justru membuatnya tidak mudah retak saat ada tekanan dari berbagai arah.
2. Banjirnya Bukan Lokal, Tapi Skala Dunia
> “Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan air tercurah, dan Kami pancarkan bumi dengan mata air…”
(QS Al-Qamar: 11–12)
Banjir Nabi Nuh bukan sekadar hujan deras. Itu adalah bencana ganda: air memancar dari bumi, dan langit mencurahkan hujan tak henti-henti. Kalau kita gambarkan sekarang, ini seperti:
1. Letusan lumpur panas dari bawah tanah
2. Hujan besar tanpa henti selama berbulan-bulan
3. Tanah retak, gunung bergeser, sungai berubah arah
Bahkan kapal perang modern bisa tenggelam dalam tekanan bencana seperti ini. Tapi kapal Nuh bertahan. Artinya, bentuk dan bahan kapalnya sangat cocok menghadapi tekanan dari atas, bawah, dan samping secara bersamaan.
Bayangkan: ini seperti kapsul penyelamat seluruh isi bumi—bukan sekadar perahu biasa.
3. Melayar di Gelombang Sebesar Gunung
> “Dan kapal itu berlayar membawa mereka dalam gelombang seperti gunung…”
(QS Hud: 42)
Kalimat ini bukan cuma ungkapan. Ilmu kelautan menyebut fenomena seperti ini sebagai rogue waves—ombak besar yang muncul tiba-tiba, bisa setinggi 30 meter, dan sering menenggelamkan kapal modern.
Tapi desain kapal Nabi Nuh justru sangat stabil. Tahun 2004, para ilmuwan di Korea Selatan menguji rasio ukuran kapalnya (panjang:lebar:tinggi = 6:1:0.6). Ternyata, dibanding 13 desain kapal modern yang diuji, desain bahtera Nuh adalah yang paling stabil.
Ia tidak mudah terguling, bisa menahan tekanan air, dan tetap seimbang saat mengangkut muatan besar. Mirip seperti sayap pesawat jet yang tetap tenang di tengah badai udara.
4. Kayu yang Lebih Tahan dari Baja
Zaman sekarang, kapal dibuat dari baja, titanium, bahkan serat karbon. Tapi semua itu bisa berkarat, retak, atau rusak jika terlalu lama dipakai. Kapal Nabi Nuh justru dibuat dari kayu alami—tapi bukan sembarang kayu.
Kayu itu memiliki kekuatan khusus:
1. Lentur, jadi tidak gampang patah saat terkena tekanan arus
2. Tahan panas dan dingin, cocok untuk perubahan suhu ekstrem
3. Ringan tapi kuat, mirip struktur tulang manusia
Desain seperti ini kini ditiru dalam bangunan hijau dan arsitektur yang ramah lingkungan.
5. Tanpa Kompas, Tapi Selamat Sampai Tujuan
> “Berlayarlah dengan nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya…”
(QS Hud: 41)
Hari ini, kapal dikendalikan dengan GPS, radar, dan komputer otomatis. Tapi bahtera Nuh tidak memiliki satu pun alat navigasi modern. Ia sepenuhnya berjalan otomatis, tapi bukan karena program komputer—melainkan karena bimbingan langsung dari Allah.
Istilah sekarangnya: divine automation—kendali otomatis dari langit.
Ini mirip dengan kapsul luar angkasa yang membawa manusia melintasi atmosfer tanpa pilot. Bedanya, ini membawa peradaban baru di tengah gelombang kehancuran lama.
Kapal Masa Lalu, Pelajaran Masa Depan
Mengapa teknologi dan riset manusia hari ini belum bisa meniru bahtera Nabi Nuh?
Karena kapal ini bukan sekadar transportasi. Ia adalah jembatan antara dua dunia: dunia yang dihancurkan, dan dunia yang akan dibangun kembali. Ia menyelamatkan kehidupan, bukan sekadar mengangkut barang. Ia dibangun bukan dengan kecerdasan buatan, tapi dengan kecerdasan iman.
Dalam era yang penuh bencana seperti sekarang, dunia butuh lebih dari sekadar teknologi canggih. Kita perlu arah yang benar, niat yang bersih, dan ketundukan kepada kehendak langit. Mungkin, inilah saatnya manusia belajar kembali dari teknologi yang lahir dari wahyu, bukan dari laboratorium.
0 komentar: