Allah Swt. Percaya pada Manusia, Mengapa Manusia Tidak Percaya Diri?
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Allah Swt. memompa kepercayaan diri manusia. Allah Swt. menumpahkan kepercayaan yang seolah-olah jiwa tak sanggup menerimanya, dengan berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
(Muhammad [47]:7)
Buya Hamka dalam bukunya Kesepaduan Iman dan Amal Saleh mengatakan:
“Bila dicari hakikat yang mendalam, bagaimana kita dapat menolong Allah Swt.? Padahal Allah Swt. Mahakuat dan kita mahalemah. Kita insaf akan kelemahan kita! Allah Swt. pun tahu kita lemah! Namun, dengan ayat ini, Allah Swt. menyuruh kita bangkit. Allah Swt. menyuruh kita menggunakan kekuatan anugerah Ilahi yang tersimpan dalam jiwa kita. Supaya kita bangun! Supaya kita bekerja, berusaha, dan beramal.”
Menolong agama Allah berarti mengambil peran dan tanggung jawab—dari mengambil duri di jalan hingga menegakkan tauhid; dari sedekah senyuman hingga berwakaf sumur seperti Utsman di Madinah.
Dari membangun pasar di Madinah hingga menjadi ketua pemilihan khalifah seperti Abdurrahman bin Auf setelah Umar bin Khattab wafat. Dari menggantikan tidur Rasulullah Saw. saat hijrah hingga menjadi panglima dan khalifah seperti Ali bin Abi Thalib.
Dari menyediakan air untuk wudu Rasulullah Saw. hingga menjadi ulama besar seperti Ibnu Abbas. Dari muazin hingga menjadi wali kota seperti Bilal bin Rabah.
Itulah lapangan perjuangan menolong agama Allah. Maka, Allah akan menolong dan meneguhkan peran tersebut menjadi sebuah peradaban.
Jika Allah Swt. begitu “meyakini” kemampuan manusia, mengapa manusia justru tidak percaya diri terhadap kekuatan yang terpendam dalam dirinya?
Analisis Isi dan Gaya Bahasa Tulisan
Isi:
Tulisan ini mengangkat tema teologis yang kuat dan menggugah: bahwa Allah Swt. memberikan kepercayaan besar kepada manusia, bahkan memanggilnya untuk berperan aktif menolong agama-Nya. Penulis menegaskan bahwa ajakan untuk “menolong agama Allah” adalah bentuk kepercayaan Ilahi pada kemampuan manusia, meskipun manusia lemah. Ini ditunjukkan melalui kutipan Al-Qur’an dan didukung dengan pandangan Buya Hamka serta contoh-contoh konkret dari sejarah Islam.
Isi tulisan bersifat reflektif, inspiratif, dan motivasional—mengajak pembaca untuk bangkit, percaya diri, dan berkontribusi dalam perjuangan menegakkan nilai-nilai agama. Pesan akhirnya bersifat retoris namun kuat: jika Allah percaya pada manusia, mengapa manusia justru meragukan dirinya sendiri?
Gaya Bahasa:
Gaya bahasa yang digunakan bersifat persuasif, religius, dan naratif. Ciri-cirinya antara lain:
1. Retoris: Banyak menggunakan pertanyaan yang menggugah pembaca, misalnya pada kalimat penutup.
2. Bahasa Agamis: Diperkaya dengan kutipan ayat Al-Qur’an, tafsir tokoh ulama (Buya Hamka), serta contoh sahabat Nabi.
3. Figuratif dan Emosional: Kalimat seperti “memompa kepercayaan diri manusia” dan “menumpahkan kepercayaan yang seolah-olah jiwa tak sanggup menerimanya” memuat majas hiperbola dan metafora.
4. Struktur Argumentatif: Tulisan tersusun secara runtut: dimulai dari dasar argumen (ayat), peneguhan tafsir, ilustrasi sejarah, hingga ajakan dan kesimpulan.
Kesimpulan:
Tulisan ini berhasil menyampaikan pesan religius yang kuat dengan gaya yang menggugah dan membangun semangat. Cocok dijadikan bahan refleksi spiritual, artikel motivasi Islami, atau konten dakwah populer. Jika ingin diterbitkan dalam buku, tulisan seperti ini cocok dalam kumpulan esai-esai tematik bertema iman dan perjuangan.
0 komentar: