basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Cara Hamas Menghadapi Point Trump-Netanyahu dengan Strategi Sirah Nabawiyah tentang Yahudi di Madinah Prolog: Panggung PBB dan B...

Cara Hamas Menghadapi Point Trump-Netanyahu dengan Strategi Sirah Nabawiyah tentang Yahudi di Madinah


Prolog: Panggung PBB dan Bayangan Gaza

Di New York, lampu-lampu Majelis Umum PBB menyala terang. Kamera dunia tertuju pada satu sosok yang berdiri di podium: Benjamin Netanyahu. Ia berbicara lantang, mengangkat tangannya, mencoba meyakinkan dunia bahwa Israel bukan penolak perdamaian.

Namun di balik layar, Gaza masih diliputi asap mesiu. Puluhan ribu nyawa berguguran, reruntuhan menutupi tubuh anak-anak, dan suara takbir masih terdengar di sela sirene. Dunia lelah dengan perang panjang itu. Tekanan moral menumpuk, bahkan di Barat sendiri muncul suara lantang yang menolak agresi Israel.

Netanyahu tahu, citra Israel di mata internasional tengah hancur. Maka ketika ia menyetujui gagasan gencatan senjata bersama Donald Trump, itu bukan sekadar upaya menghentikan perang. Itu adalah strategi citra. Seolah ia ingin menunjukkan:

> “Kami siap damai, tapi Hamas yang keras kepala.”



Narasi lama kembali dimainkan: Israel sebagai pihak yang rasional, sementara lawannya digambarkan fanatik, keras kepala, barbar, dan mustahil diajak kompromi.

Namun, di balik retorika panggung diplomasi itu, sejarah berputar. Ada satu kejutan yang membuat Netanyahu kelabakan: Hamas tidak menolak, tapi justru menyetujui.


---

Hamas Membalikkan Narasi

Hamas menjawab bukan pada tanggal 5—deadline yang ditetapkan Trump—melainkan lebih cepat, pada tanggal 3. Sebuah langkah diplomatik yang sarat simbol: “Kami bukan penolak, kami bahkan lebih siap dari yang kalian kira.”

Isi surat Hamas sederhana tapi kuat: siap membebaskan semua sandera, siap menyerahkan pemerintahan Gaza kepada teknokrat independen, siap berunding dalam kerangka nasional Palestina. Bahasa yang digunakan rapi, diplomatis, penuh kalkulasi.

Narasi pun terbalik. Hamas—yang selama ini dicap sebagai penolak perdamaian—muncul sebagai pihak yang konstruktif. Netanyahu kehilangan panggung yang ia bangun di PBB. Dunia mulai bertanya: jika Hamas sudah setuju, mengapa Israel yang mundur?

Inilah titik goyahnya permainan citra. Netanyahu yang tadinya ingin tampil sebagai pencari damai, tiba-tiba harus mengubah wajah menjadi penuduh:

> “Itu bukan penerimaan. Itu penolakan.”



Mengapa? Karena bagi Netanyahu, masalahnya bukan pada isi proposal, melainkan siapa yang menguasai narasi. Jika Hamas menerima, maka Israel otomatis dipandang sebagai pihak yang memperpanjang perang. Sebuah bencana citra yang tak bisa ia terima.


---

Diplomasi sebagai Perang Narasi

Perang Gaza bukan hanya soal rudal dan tank. Ia juga perang kata-kata, tafsir, dan simbol.

Hamas menerima, Netanyahu menafsirkan sebagai penolakan.

Israel mengklaim mencari perdamaian, tapi ketika jalan terbuka, merekalah yang menutup pintu.

Trump ingin tampak sebagai “pembawa damai”, tapi jawaban cepat Hamas menunjukkan Amerika bukan pengatur tunggal.


Al-Qur’an menggambarkan tipu daya seperti ini:

> “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 8)



Inilah perang narasi: cahaya kebenaran dicoba dipadamkan dengan tafsir yang dibelokkan, tapi cahaya itu tetap menyinari jalan bagi yang mau melihat.


---

Jejak Sirah Nabawiyah: Perjanjian dengan Yahudi di Madinah

Sejarah bukan sekadar cermin, tapi juga guru. Ketika kita menoleh ke Madinah di awal hijrah Nabi ﷺ, kita menemukan pola yang serupa.

Rasulullah ﷺ membuat Piagam Madinah, sebuah perjanjian yang mengikat Muslim, Yahudi, dan kaum lain di Madinah untuk hidup bersama, saling melindungi, dan tidak berkhianat. Di atas kertas, itu adalah kontrak sosial paling maju di zamannya.

Namun apa yang terjadi?

Bani Qainuqa’ melanggar perjanjian dengan melecehkan kehormatan seorang wanita Muslimah di pasar. Rasulullah ﷺ menegurnya melalui mediasi Abdullah bin Ubay, tapi akhirnya mereka terusir dari Madinah.

Bani Nadhir berkhianat ketika hendak membunuh Nabi ﷺ dalam sebuah jamuan, padahal ada kesepakatan damai. Rasulullah ﷺ mengepung mereka hingga akhirnya diusir.

Bani Qurayzhah melakukan pengkhianatan paling fatal: saat Perang Khandaq, mereka bergabung dengan musuh, membuka pintu benteng untuk pasukan Ahzab. Setelah perang usai, Rasulullah ﷺ menegakkan hukuman militer yang tegas.


Kita melihat pola yang sama: Yahudi kerap menandatangani perjanjian, tapi berulang kali melanggarnya. Rasulullah ﷺ selalu memulai dengan perjanjian, selalu membuka ruang mediasi, tapi ketika pengkhianatan berulang, beliau punya alasan moral dan politik untuk menekan dengan kekuatan senjata.

Inilah pelajaran utama: diplomasi bukan berarti menutup mata terhadap pengkhianatan. Diplomasi adalah memberi ruang bagi keadilan, tapi senjata tetap dipegang untuk menghadapi tipu daya.


---

Netanyahu, Trump, dan Bayangan Madinah

Jika kita tarik ke konteks hari ini, Netanyahu memainkan peran yang mirip dengan Yahudi Madinah: menandatangani kesepakatan di panggung diplomasi, tapi di balik itu merancang pengkhianatan.

Trump—dengan proposal damainya—berposisi seperti mediator. Ia ingin mencatat namanya dalam sejarah sebagai “pembawa damai Timur Tengah”. Tapi, seperti Abdullah bin Ubay di Madinah, mediasi itu rapuh, penuh kalkulasi kepentingan pribadi.

Hamas, dalam posisi yang terjepit, memilih strategi yang diilhami oleh Nabi ﷺ: menjawab dengan bahasa diplomasi, membalik narasi, dan sekaligus menunjukkan siap menanggung risiko.

Netanyahu kemudian melakukan apa yang selalu dilakukan oleh para leluhurnya di Madinah: memutar balik fakta. Hamas menerima disebut sebagai menolak. Persis seperti Bani Qurayzhah yang mengklaim masih bagian dari Piagam Madinah, padahal di baliknya mereka sudah bersekutu dengan pasukan Ahzab.


---

Dimensi Militer: Diplomasi dengan Bayangan Pedang

Para pakar militer modern, seperti Carl von Clausewitz, menegaskan: “Perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain.” Dalam sirah, Rasulullah ﷺ menunjukkan sisi lain: politik adalah kelanjutan dari perang yang ditahan dengan perjanjian.

Hamas tampaknya membaca strategi ini. Mereka tahu, diplomasi hanyalah satu sisi dari perlawanan. Sandera bisa ditukar, pemerintahan bisa diserahkan kepada teknokrat, tapi selama Gaza masih diblokade dan tanah Palestina masih diduduki, senjata tidak akan benar-benar diturunkan.

Al-Qur’an sendiri mengingatkan:

> “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah engkau kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika mereka hendak menipumu, maka cukuplah Allah menjadi pelindungmu.” (QS. Al-Anfal: 61–62)



Ayat ini seakan menuntun Hamas: terimalah tawaran damai jika memang ada, tapi jangan pernah lengah. Karena di balik kata “damai”, bisa tersembunyi tipu daya.


---

Refleksi Gaza: Antara Diplomasi dan Pengorbanan

Seorang ulama Palestina di Gaza pernah berkata: “Kami bukan pencinta perang. Kami mencintai hidup, tapi hidup yang bermartabat. Jika hanya ada dua pilihan: hidup sebagai budak atau mati sebagai syuhada, maka kami memilih mati.”

Mungkin inilah yang tidak pernah bisa dipahami Netanyahu. Bagi dirinya, perdamaian hanyalah alat citra. Tapi bagi Gaza, perdamaian adalah hak hidup yang layak, hak bernapas, hak anak-anak untuk tumbuh tanpa bayangan drone di atas kepala.

Hamas tahu, diplomasi kadang hanya panggung sandiwara. Tapi mereka juga tahu, sejarah Nabi ﷺ menunjukkan bahwa perjanjian bisa menjadi alat untuk membalik narasi, mengulur waktu, dan menunjukkan siapa yang benar-benar berkhianat.


---

Epilog: Cahaya yang Tak Pernah Padam

Netanyahu mungkin berhasil berdiri di panggung PBB, memainkan kata-kata seolah ia pencari damai. Trump mungkin merasa dirinya pengatur utama sejarah. Tapi jawaban cepat Hamas membalik semua narasi itu.

Sejarah Madinah mengajarkan kita: perjanjian tidak pernah netral. Ia selalu menguji siapa yang konsisten dan siapa yang berkhianat. Dan dalam sejarah, selalu ada satu pihak yang mencoba memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka.

Namun, sebagaimana firman-Nya:

> “Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 8)



Di Gaza, cahaya itu terus menyala. Bukan hanya di medan tempur, tapi juga di meja diplomasi. Karena pada akhirnya, kemenangan bukanlah milik manipulasi, tapi milik kebenaran yang teguh.

Hamas dan PLO dalam Perjuangan Palestina: Bisakah Bersinergi? > “Dan siapakah di antara kamu yang paling baik perkataannya, m...

Hamas dan PLO dalam Perjuangan Palestina: Bisakah Bersinergi?

> “Dan siapakah di antara kamu yang paling baik perkataannya, maka dia adalah orang yang tetap senantiasa bertaubat.”
(QS. Fushshilat: 33)



Dalam samudra derita Palestina, dua nama besar selalu berbicara: PLO dan Hamas. Keduanya lahir dari hati yang berdarah, dari tanah yang terus diinjak — meskipun dengan strategi yang berbeda. Tapi pertanyaan penting: setelah segala luka, konflik, dan perbedaan, apakah keduanya bisa menyatu? Bisakah mereka bersinergi untuk satu tujuan: Palestina yang merdeka dan bermartabat?


---

I. Asal-usul dan Waktu Berdirinya: Dua Lahir yang Berbeda

PLO (Palestine Liberation Organization) muncul di panggung sejarah pada tahun 1964, di Kairo, atas prakarsa Liga Arab. Ia dibuat sebagai payung bagi kelompok perjuangan Palestina yang tersebar — di Yordania, Lebanon, Tunisia. Di bawah pesaing politik dan perlawanan, PLO menjadi wakil bangsa dalam forum internasional, dengan tokoh yang paling dikenal adalah Yasser Arafat dari sayap Fatah. Dari awal, PLO memandang diplomasi dan gerakan internasional sebagai cara untuk memperjuangkan Palestina dari luar wilayah pendudukan.

Hamas, sebaliknya, lahir dalam pola yang berbeda: pada tahun 1987, saat Intifadhah Pertama merebak — rakyat Palestina di dalam wilayah pendudukan bangkit melawan penindasan. Pendiri utamanya, Syaikh Ahmad Yasin, adalah seorang ulama dan tokoh dakwah, yang menggabungkan keimanan dan jihad sebagai inti perlawanan. Ini bukan organisasi yang lahir karena perjanjian, tetapi karena kebutuhan rakyat yang hidup di bawah kekuasaan asing, blokade, dan penjajahan.

Kedua organisasi lahir dari luka, tetapi PLO lahir di pengasingan dan diplomasi, Hamas lahir di mendung pertumpahan darah dan kebutuhan langsung rakyat.


---

II. Basis Geografis: Pengasingan & Kedekatan

PLO sejak awal beroperasi mayoritas dari luar Palestina — markasnya berpindah beberapa kali (Yordania, Lebanon, Tunisia). Ini adalah organisasi pengasingan, bergerak dari kamp pengungsi, menyusun strategi diplomatik, gerilya di luar, lobi di meja konferensi.

Hamas berada di dalam negeri: di Gaza dan sebagian Tepi Barat. Banyak anggotanya hidup dan berjuang di antara rakyat, menghadapi blokade, serangan udara, kelaparan, listrik yang padam. Kehidupan sehari-hari mereka menjadi medan perlawanan. Karena itu, kedekatan Hamas dengan penderitaan Palestina lebih langsung.

Kedua basis itu memberi kelebihan dan kelemahan: pusat pengasingan bisa berbicara di dunia internasional, mendapat dukungan diplomatik; pusat dalam negeri bisa menggerakkan rakyat, tetapi juga paling terasa dampak agresi, serangan, kelaparan.


---

III. Ideologi dan Tujuan

PLO awalnya berideologi nasionalisme sekuler Arab — “Palestine for the Palestinians”. Ia memperjuangkan pembebasan seluruh wilayah Palestina dari sungai Yordan sampai Laut Tengah. Namun, sejak 1988, PLO mulai melakukan perubahan besar: mengakui keberadaan Israel dan mulai menerima solusi dua negara (two-state solution). Ini adalah manuver pragmatis: meskipun banyak yang menolak kompromi, perubahan ini mencerminkan realitas politik ketika diplomasi menjadi bagian dari strategi.

Hamas tetap pada landasan Islam. Dalam piagamnya, ia menyebut bahwa Palestina adalah tanah islami, jihad adalah kewajiban untuk membebaskan tanah suci dari penjajahan. Keadilan menurut Hamas adalah tidak hanya di akhiran perang atau perjanjian, tetapi keadilan dalam setiap detik kehidupan: dalam doa, dalam pelarangan ibadah yang dilarang, dalam solidaritas dengan rakyat yang kelaparan.

Tujuan Hamas tidak hanya negara Palestina, tetapi juga mempertahankan integrasi agama dan identitas Islam dalam perjuangan — sebuah dimensi spiritual yang tidak selalu terang bagi PLO yang lebih banyak mengedepankan nasionalisme.


---

IV. Strategi & Metode Perjuangan: Pena vs Pedang?

PLO memilih untuk bernegosiasi, dialog, diplomasi. Setelah peristiwa Oslo (1993), PLO membentuk Palestinian Authority (PA), menjalankan pemerintahan terbatas di Tepi Barat dan Gaza (sebelum perpecahan). Mereka berusaha menekan Israel melalui tekanan internasional, resolusi PBB, bantuan internasional, dukungan media, pengakuan negara asing.

Namun strategi ini juga membawa risiko: banyak warga Palestina merasa PLO terlalu kompromistis, terlalu lamban melawan pendudukan, tidak mampu menghentikan pembangunan permukiman Israel, atau melindungi rakyat dari agresi militer.

Hamas menggunakan metode perlawanan langsung: gerilya, roket, pertahanan militer, sekaligus pembangunan sosial (masjid, sekolah, layanan kesehatan). Dalam pandangan Hamas, perlawanan fisik adalah bagian dari jihad, bagian dari ibadah, terutama bila pendudukan dan ketidakadilan terus berlangsung.

Kedua metode ini sering kali bertabrakan: ketika PLO melakukan perundingan, Hamas menolak beberapa kesepakatan jika dianggap melemahkan klaim umat; ketika Hamas menyerang atau melakukan aksi militer, PLO khawatir terhadap konsekuensi diplomatik dan korban sipil.


---

V. Pemilu Palestina 2006: Momentum Besar & Titik Perpecahan

Satu contoh nyata sinergi dan juga gesekan adalah Pemilihan Umum Parlemen Palestina tahun 25 Januari 2006. Hamas turut mencalonkan diri, dan memenangkan kursi mayoritas dalam parlemen. Hasil ini mengejutkan dunia dan mengguncang dominasi Fatah (sayap utama PLO). ﹙ANTARA DW﹚ 

Tokoh PLO (Fatah) menghadapi dilema: menerima kekalahan demokratis atau menolak legitimasi Hamas. Dalam beberapa tempat, hasil pemilu memunculkan ketegangan, terutama ketika Hamas menolak tunduk pada beberapa kondisi yang dipatok oleh Israel dan oleh negara-negara donor yang menolak bekerjasama dengan mereka.

Pemilu 2006 menjadi saksi bahwa rakyat Palestina bisa memberi mandat kepada Hamas — bahwa mereka tidak hanya simbol militan, tapi juga wakil legislatif. Namun setelah itu, perpecahan internal memperuncing: Gaza dan Tepi Barat terpisah dalam kontrol administratif, militer, dan politik.


---

VI. Upaya Rekonsiliasi: Beijing Declaration

Berita terkini menunjukkan ada usaha nyata untuk bersinergi. Pada 23 Juli 2024, 14 faksi Palestina, termasuk Hamas dan Fatah (PLO), menandatangani Beijing Declaration di China. Mereka sepakat “Ending Division and Strengthening Palestinian National Unity”, dengan komitmen membentuk pemerintahan persatuan sementara dan rekonstruksi Gaza pasca perang. 

Dalam pertemuan ini, para pemimpin menyebut pentingnya memasukkan semua faksi di bawah payung PLO sebagai wakil sah rakyat Palestina. Persetujuan ini adalah sinyal bahwa kedua kubu menyadari bahwa persatuan adalah kebutuhan tidak hanya politis tetapi moral dan strategis. 


---

VII. Kisah Nabi & Hikmah dalam Perjuangan

Dalam kisah nabi-nabi kita terdapat banyak pelajaran tentang ketika umat berbeda dan berpecah, tapi bisa disatukan dalam iman dan tujuan.

Nabi Yusuf a.s dilupakan oleh saudaranya, dijual, dan dipenjara — tetapi akhirnya ia keluar dengan kebijaksanaan dan taatnya kepada Allah, menjadi pemimpin di Mesir. Dari kisah Yusuf kita belajar bahwa pengasingan dan pengkhianatan bisa berubah menjadi kekuasaan yang menyelamatkan, bila iman dijaga.

Nabi Musa a.s memimpin Bani Israil keluar dari penindasan Fir’aun; mereka dipecah, dianiaya, bahkan hilang dalam padang pasir. Namun persatuan mereka, iman mereka, doa bersama mereka, membuat mereka tetap kuat meskipun jumlah kecil dan dengan senjata seadanya.


Hadits Nabi ﷺ juga mengingatkan:

> “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal kasih sayang, rahmat, saling mencintai adalah seperti satu tubuh; jika satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh merasakan demam dan sulit tidur.”
(HR. Muslim, Bab Ukhuwah)



Bukankah ini relevan: jika satu bagian Palestina terluka — Gaza misalnya — seluruh Palestina merasa sakit; jika satu organisasi tertindas, organisasi yang lain juga merasakan kebinasaan moral?


---

VIII. Pandangan Pakar dan Sejarawan Islam

Rashid Khalidi, sejarawan Palestina-Amerika, sering menyebut bagaimana diplomasi PLO penting untuk mendapatkan pengakuan internasional, namun memperingatkan bahwa diplomasi tanpa kekuatan moral, akar rakyat, dan keteguhan iman mudah direduksi menjadi slogan.

Norman Finkelstein menyebut kemenangan Hamas di 2006 sebagai “tsunami politik”, yang membuktikan bahwa rakyat Palestina ingin representasi yang nyata, bukan hanya negosiasi yang sering kali tidak membuahkan hasil.

Di dunia Islam, cendekiawan seperti Said Nursi dan Ali Shariati menulis bahwa perjuangan yang paling benar adalah yang menggabungkan iman, keadilan, dan solidaritas — bukan kekuasaan belaka.



---

IX. Ayat Al-Qur’an & Nilai Keadilan

Al-Qur’an menaruh berat pada keadilan dan pengakuan atas penderitaan:

> “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, mungkar dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
(QS. An-Nahl: 90)



Dan:

> “Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.”
(QS. Al-Hujurat: 9)



Kedua ayat ini menunjukkan bahwa ketika ada konflik (antara faksi, organisasi, pihak), Islam memperintahkan upaya perdamaian, kesatuan, dan keadilan. Bukan kebencian yang dipelihara, tetapi dialog dan reconciliasi.


---

X. Bisakah Bersinergi? Harapan & Tantangan

Dari fakta-fakta di atas, syarat dan peluang bersinergi antara Hamas dan PLO terlihat nyata, tapi tidak mudah.

Peluang Bersinergi

1. Mandat Rakyat: Pemilu 2006 menunjukkan bahwa rakyat Palestina memberikan mandat kepada Hamas dalam sistem demokrasi. Ini memberi kesempatan PLO untuk mengakui realitas politik yang ada, dan menjadikan Hamas sebagai bagian dari pemerintahan nasional.


2. Deklarasi Persatuan: Beijing Declaration 2024 adalah langkah konstruktif. Kesepakatan menekankan rekonsiliasi, persatuan institusi, komitmen atas PLO sebagai representatif sah, dan persiapan pemilu nasional. 


3. Nilai Bersama: Keduanya menginginkan kemerdekaan Palestina, menolak penjajahan, menuntut hak kembali (right of return), mendukung Yerusalem sebagai ibu kota negeri Palestina yang merdeka.


4. Tekanan Internasional & Dukungan Medan Politik Global: Banyak negara, termasuk Arab & Islam, serta komunitas internasional, mendesak agar Palestina bersatu agar tuntutan mereka lebih kuat di forum PBB & hukum internasional.



Tantangan yang Memisahkan

1. Ideologi & Tujuan Fundamental: Hamas masih menolak pengakuan atas Israel dan solusi dua negara. PLO telah menerima dua negara sebagai bagian dari strateginya diplomatik. Ini adalah perbedaan mendalam yang memengaruhi semua keputusan jangka panjang.


2. Kekuasaan & Legitimitas: Hamas menguasai Gaza sejak 2007, PLO (PA) menguasai Tepi Barat secara administratif tapi terbatas. Rivalitas politik, kontrol lembaga keamanan, sumber daya ekonomi, dan blokade membuat koordinasi sulit.


3. Pengaruh Eksternal: Negara-negara donor, negara-negara Islam, Israel sendiri, dan kekuatan global seperti AS, EU, China dan Timur Tengah lainnya memiliki kepentingan sendiri yang kadang memperburuk perpecahan.


4. Korupsi dan Kredibilitas: Banyak warga Palestina kecewa pada korupsi, ketidakadilan administratif PLO, dan kelemahan dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Hamas dipuji karena layanan sosialnya, tapi juga dikritik atas biaya korban sipil, pembatasan kebebasan, dan tak selalu transparan.




---

XI. Kesimpulan: Persatuan dalam Iman & Strategi

Kita kembali pada akar iman: bahwa keadilan, persatuan, dan persaudaraan adalah nilai Islam yang paling tinggi. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

> “Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Ia melihat hati dan amalan kalian.”
(HR. Muslim)



Persatuan tidaklah berarti kehilangan identitas; melainkan menemukan makna bahwa perjuangan terbaik terjadi ketika kekuatan hati dikumpulkan, ketika diplomasi & perlawanan, pena & pedang, suara internasional & suara rakyat, berjalan dalam satu barisan.

Bersinergi antara Hamas dan PLO bukanlah utopia; Beijing Declaration adalah bukti bahwa ketika kepentingan rakyat dan iman sama-sama didengar, jalan keluar bisa mulai terbuka.

Perang-Perang di Jawa yang Dipimpin Ulama Pendahuluan: Ulama sebagai Panglima Jihad Sejarah Jawa tidak hanya dipenuhi kisah raja...


Perang-Perang di Jawa yang Dipimpin Ulama

Pendahuluan: Ulama sebagai Panglima Jihad

Sejarah Jawa tidak hanya dipenuhi kisah raja dan kesultanan, tetapi juga deretan perang suci (jihad) yang digerakkan oleh para ulama — pewaris spiritual para wali.
Mereka berdiri di garis depan melawan penjajahan Portugis, VOC Belanda, hingga kolonial modern abad ke-19.

Perang-perang ini tidak bisa dipahami hanya sebagai “pemberontakan lokal.” Di baliknya, terdapat kesadaran tauhid yang mendalam: bahwa penguasaan manusia atas manusia adalah bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan Allah.
Itulah sebabnya jihad di Jawa selalu lahir dari pesantren, langgar, tarekat, dan majelis ilmu, bukan dari istana atau partai.


---

1. Perang Demak Melawan Portugis (1513–1527)

Dipimpin oleh Sultan Trenggana dan para ulama wali

Setelah Portugis menaklukkan Malaka tahun 1511, Kesultanan Demak — didirikan oleh Raden Patah, murid para wali — menjadi benteng pertama Islam di Jawa yang menentang kekuasaan Kristen Eropa.

Atas dorongan Walisongo, Sultan Trenggana memimpin ekspedisi jihad laut ke Malaka (1513). Walau belum berhasil merebutnya, perang itu menjadi simbol awal perlawanan Islam terhadap kolonialisme Barat.

Tahun 1527, Fatahillah (Faletehan), murid Sunan Gunung Jati, memimpin serangan ke Sunda Kelapa yang saat itu hendak dijadikan pelabuhan Portugis.
Kemenangan di sana melahirkan kota Jayakarta (Jakarta) — nama yang berarti “kemenangan yang luhur.”
Peristiwa ini menandai awal perlawanan Islam terhadap penjajahan di tanah Jawa, dipimpin langsung oleh ulama dan kesatria didikan para wali.

> “Inilah perang pertama antara dunia Islam dan Eropa di tanah Jawa — bukan karena harta, tapi karena iman,” tulis sejarawan de Graaf (1985).




---

2. Perang Ulama Banten Melawan Belanda (1600–1750)

Dari Maulana Yusuf hingga Sultan Ageng Tirtayasa

Kesultanan Banten, pewaris spiritual Demak dan Cirebon, adalah pusat ulama, perdagangan, dan dakwah internasional.
Ketika Belanda (VOC) datang tahun 1596 dan mulai menguasai perdagangan, Banten menolak tunduk.

Puncak perlawanan terjadi pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683), seorang sultan yang sangat dekat dengan ulama dan tarekat Syattariyah.
Ia memimpin perang melawan VOC yang ingin memonopoli perdagangan lada dan menguasai pelabuhan.

Di baliknya berdiri ulama besar Syekh Yusuf al-Makassari, penasihat spiritual dan mujahid internasional yang pernah berjihad di Makassar dan Yaman.
Perang ini menunjukkan bahwa politik Islam dan spiritualitas tidak terpisah: Sultan berperang di laut dan darat, ulama memimpin zikir dan strategi moral pasukan.

Namun karena pengkhianatan internal (anaknya yang berpihak pada VOC), kerajaan melemah. Sultan Ageng ditangkap dan wafat di tahanan Batavia.
Meski begitu, pesan jihadnya abadi. Syekh Yusuf kemudian melanjutkan perlawanan di Makassar, hingga diasingkan ke Cape Town, Afrika Selatan — tempat dakwah Islam justru tumbuh subur.


---

3. Perang Diponegoro (1825–1830)

Dipimpin oleh Pangeran Diponegoro — murid ulama dan sufi tarekat Qadiriyah–Naqsyabandiyah

Perang ini adalah puncak jihad ulama di Jawa abad ke-19.
Pangeran Diponegoro bukan sekadar bangsawan Mataram, tetapi seorang santri, murid para kiai, dan pengamal tarekat sufi.
Ia belajar kepada Kiai Mojo, Kiai Maja, Kiai Hasan Besari Tegalsari, dan banyak ulama karismatik lainnya.

Ketika tanahnya di Tegalrejo digusur oleh pemerintah kolonial, Diponegoro memandangnya bukan sekadar pelanggaran hak pribadi, tetapi simbol penistaan terhadap kehormatan Islam dan tanah warisan para wali.

Perang yang ia pimpin berlangsung lima tahun, mencakup seluruh Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur.
Rakyat, petani, santri, dan kiai ikut bergerak. Mereka menyebut perjuangan ini sebagai “Perang Sabil” — perang di jalan Allah.

> “Diponegoro tidak berperang untuk tahta, tetapi untuk menegakkan agama,” tulis sejarawan Peter Carey (2011).
Dalam catatan Belanda, bendera pasukan Diponegoro bertuliskan ayat La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah.



Ketika perang berakhir dan Diponegoro ditangkap dengan tipu muslihat, Belanda mengira segalanya selesai.
Namun justru sejak itu lahir jaringan tarekat dan pesantren perlawanan yang melahirkan generasi ulama pejuang berikutnya.


---

4. Perang Santri Jawa Timur (1850–1880-an)

Dipimpin oleh para kiai pesantren: Kiai Kasan Besari, Kiai Sholeh Darat, dan jaringan santri Mataraman

Setelah Perang Diponegoro, Jawa Timur menjadi pusat baru jaringan tarekat dan pesantren.
Para ulama memandang penjajahan bukan sekadar politik, tetapi penjajahan terhadap iman.
Di pesantren Tegalsari (Ponorogo), Termas, dan Lasem, muncul ulama seperti Kiai Hasan Besari, Kiai Sholeh Darat, dan Kiai Kholil Bangkalan yang membentuk kader ulama pejuang.

Mereka menolak sistem pajak kolonial, kerja paksa, dan upaya sekularisasi pendidikan.
Meskipun tidak semua perang mereka berbentuk militer, perlawanan intelektual dan spiritual yang mereka bangun menjadi fondasi munculnya gerakan Islam modern seperti Nahdlatul Ulama.


---

5. Perang di Jawa Barat dan Banten: Gerakan Ulama Tarekat (1888)

Dipimpin oleh Kiai Wasid dan para mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Pada 1888 terjadi pemberontakan Banten, yang sering direduksi oleh sejarah kolonial sebagai “kerusuhan rakyat fanatik.”
Padahal, penelitian Sartono Kartodirdjo dan Martin van Bruinessen menunjukkan bahwa perlawanan ini dipimpin oleh para kiai tarekat yang menyerukan jihad fi sabilillah.

Mereka menolak praktik korupsi pejabat kolonial, pajak berlebihan, dan penghinaan terhadap simbol Islam.
Para kiai dan santri menyerbu pos-pos Belanda di Anyer, Cilegon, dan Pandeglang.
Meski akhirnya ditumpas, gerakan ini menandai kesadaran Islam politik rakyat bawah yang lahir dari tarekat dan pesantren.

> Azyumardi Azra menyebut gerakan ini sebagai “Islam sosial transformatif,”
karena para ulama tidak hanya mengajarkan zikir, tetapi mengubah masyarakat menuju keadilan.




---

6. Perang Ulama di Jawa Timur dan Madura (1900–1920)

Dipimpin oleh Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Kholil Bangkalan, dan jaringan pesantren

Memasuki abad ke-20, perang bersenjata mulai berganti bentuk menjadi perang pemikiran dan organisasi.
Namun semangat jihad ulama tetap sama: menolak dominasi kolonial dan menghidupkan Islam sebagai sistem kehidupan.

Ulama seperti Kiai Kholil Bangkalan mendidik kader seperti Hasyim Asy’ari (Tebuireng) dan Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).
Mereka berjuang melalui dakwah, pendidikan, dan fatwa — tetapi ketika Jepang dan Belanda kembali mengancam, para ulama-lah yang pertama menyerukan resolusi jihad (1945).

Artinya, perang ulama di Jawa tidak berhenti di abad 19.
Ia bertransformasi dari jihad fisik menjadi jihad intelektual dan spiritual yang melahirkan gerakan kebangkitan Islam Indonesia.


---

Refleksi: Pola yang Sama, Ruh yang Tak Padam

Jika ditelusuri dari Demak hingga Diponegoro, semua perang ulama di Jawa memiliki empat ciri utama:

1. Basis Pesantren dan Tarekat
Perlawanan lahir dari pendidikan ruhani — bukan politik istana. Ulama mendidik umat agar berani karena iman, bukan karena ambisi dunia.


2. Motif Tauhid dan Keadilan
Setiap perang lahir dari kesadaran bahwa hanya Allah yang berhak ditaati mutlak. Segala bentuk penjajahan adalah taghut.


3. Kepemimpinan Karismatik Spiritual
Ulama bukan pemimpin administratif, tetapi mursyid — yang memimpin dengan teladan, doa, dan kesucian hidup.


4. Kesinambungan Generasi
Dari Walisongo → Sultan Ageng Tirtayasa → Diponegoro → Kiai Kholil → Hasyim Asy’ari.
Semua terhubung dalam rantai keilmuan dan ruh perjuangan.




---

Kesimpulan: Ulama sebagai Pusat Sejarah Perlawanan Jawa

Perang-perang di Jawa menunjukkan bahwa Islam adalah nadi perlawanan bangsa.
Tanpa pesantren, tarekat, dan jaringan ulama, perlawanan di Jawa hanya menjadi politik feodal.
Tetapi dengan kehadiran ulama, perang menjadi ibadah dan dakwah, bukan sekadar reaksi politik.

Seperti ditulis Mansur Suryanegara,

> “Kemerdekaan Indonesia adalah buah dari jihad panjang umat Islam.
Di Jawa, para ulama-lah yang menanam benihnya.”

Adat dan Islam di Minangkabau: Harmoni dalam Ketegangan yang Panjang 1. Pendahuluan: Dua Arus yang Tak Pernah Padam Di antara pe...


Adat dan Islam di Minangkabau: Harmoni dalam Ketegangan yang Panjang

1. Pendahuluan: Dua Arus yang Tak Pernah Padam

Di antara pegunungan dan lembah Sumatera Barat, mengalir dua arus yang sejak berabad-abad menjadi denyut kehidupan masyarakat Minangkabau: adat dan Islam. Dua arus ini ibarat dua sungai yang bertemu di muara: sesekali bergelombang karena derasnya arus, namun pada akhirnya menyatu dalam kesadaran kolektif masyarakat yang dikenal dengan falsafah “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah.”

Karya Taufik Abdullah, “Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau” (1966), menjadi tonggak penting dalam memahami dialektika dua kekuatan ini. Ia menelusuri bukan hanya sejarah lahirnya konflik antara adat dan Islam, tetapi juga proses sosial, politik, dan spiritual yang melahirkan sintesis baru: Islam yang berbudaya dan adat yang bersyariat.

Kajian Taufik ini memperlihatkan bahwa sejarah Minangkabau tidak dapat dipahami hanya dari sisi agama atau tradisi semata, melainkan dari dialog panjang antara wahyu dan warisan budaya. Seperti kata Azyumardi Azra, “Islam di Nusantara tidak datang untuk menggantikan budaya, tetapi untuk menafsirkannya kembali dalam cahaya tauhid.”


---

2. Akar Adat: Dari Gunung ke Nagari

Sebelum kedatangan Islam, Minangkabau telah memiliki sistem sosial yang sangat mapan. Adat bukan sekadar kebiasaan, melainkan struktur kehidupan yang mengatur segalanya — dari hubungan keluarga, warisan, pertanian, hingga hukum pidana dan penyelesaian sengketa. Sistem ini lahir dari pengalaman kolektif masyarakat yang hidup dalam kesatuan nagari.

Salah satu ciri khasnya ialah matrilinealitas — garis keturunan ditarik dari ibu. Rumah gadang, pusaka tinggi, dan sistem kekerabatan semuanya berpijak pada perempuan sebagai pusat keluarga. Bagi masyarakat Minang, adat berarti keteraturan, keseimbangan, dan kehormatan.

Dalam terminologi lokal, adat bukan hanya norma sosial, melainkan “hukum tak tertulis yang turun dari nenek moyang.” Maka bagi mereka, melanggar adat bukan sekadar kesalahan sosial, tapi juga dosa moral.

Namun, sistem adat ini lahir dari pengalaman manusia, bukan wahyu. Ketika Islam datang membawa nilai-nilai transenden yang berlandaskan tauhid, muncullah gesekan. Apakah hukum adat yang lahir dari tradisi dapat hidup berdampingan dengan hukum syariat yang datang dari Tuhan? Pertanyaan inilah yang menjadi inti pembahasan Taufik Abdullah.


---

3. Datangnya Islam: Dari Pesisir ke Pedalaman

Islam datang ke Minangkabau sekitar abad ke-16, melalui jalur perdagangan dan dakwah para ulama pesisir barat Sumatera. Salah satu tokoh pentingnya ialah Syekh Burhanuddin Ulakan, murid dari ulama Aceh Syekh Abdurrauf as-Singkili. Burhanuddin memadukan ajaran tasawuf dengan nilai-nilai lokal Minang, sehingga Islam diterima tanpa benturan keras di wilayah pesisir.

Namun, ketika Islam mulai menembus ke daerah pedalaman (darek), ia berhadapan dengan sistem adat yang kuat dan tertutup terhadap pengaruh luar. Para penghulu adat merasa kedatangan Islam bisa menggeser posisi mereka sebagai pemegang otoritas moral dan sosial. Di sinilah mulai terjadi perbedaan cara pandang: Islam memandang kebenaran berasal dari wahyu, sedangkan adat memandangnya dari konsensus dan warisan leluhur.

Sebagaimana dicatat Taufik Abdullah, konflik ini tidak serta-merta meledak, tetapi tumbuh perlahan sebagai ketegangan nilai antara dua dunia — dunia syara’ (agama) dan dunia adat.


---

4. Konflik: Dari Ketegangan Nilai ke Perang Sosial

Ketegangan itu mencapai puncaknya pada awal abad ke-19, ketika muncul gerakan Kaum Paderi. Gerakan ini dipimpin oleh para ulama Minang yang baru pulang dari Mekkah, di antaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Mereka terinspirasi oleh semangat pemurnian tauhid dan reformasi sosial seperti yang digerakkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Hijaz.

Kaum Paderi melihat banyak unsur adat yang bertentangan dengan ajaran Islam: pesta adat yang berlebihan, minuman keras, judi, serta struktur matrilineal yang dianggap menyalahi hukum waris Islam. Mereka ingin mengembalikan masyarakat Minangkabau kepada syariat yang murni.

Sementara itu, kaum adat merasa Islam versi Paderi terlalu keras, memutus tradisi, dan mengancam keseimbangan sosial yang sudah lama terjaga. Akibatnya, terjadilah Perang Paderi (1803–1837), salah satu perang paling penting dalam sejarah Indonesia pra-kolonial.

Perang ini bukan hanya antara Islam dan adat, tetapi juga antara kekuatan lokal dan kolonial. Ketika kaum adat merasa terdesak oleh kaum Paderi, mereka meminta bantuan Belanda. Permintaan itu membuka pintu penjajahan yang lebih dalam ke wilayah Minangkabau.

Dalam perspektif Azyumardi Azra, Perang Paderi adalah tragedi besar dalam sejarah Islam Nusantara, karena sesungguhnya kedua belah pihak — adat dan Islam — memiliki akar yang sama: sama-sama lahir dari usaha menjaga moral masyarakat. Hanya saja, keduanya terjebak dalam perbedaan metode, bukan tujuan.


---

5. Sintesis: Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah

Dari konflik berdarah itu, masyarakat Minangkabau belajar bahwa permusuhan antara adat dan Islam hanya membawa kehancuran. Maka lahirlah sintesis besar yang menjadi jiwa Minangkabau hingga kini:

> “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah.”



Artinya, adat harus berpijak pada syariat, dan syariat berpijak pada Al-Qur’an. Prinsip ini bukan hanya kompromi politik, tetapi juga hasil kesadaran spiritual kolektif bahwa adat tidak boleh memisahkan diri dari kebenaran wahyu.

Taufik Abdullah menulis bahwa formula ini adalah “hasil dari proses panjang negosiasi antara elite agama dan elite adat.” Ia lahir dari luka sejarah, namun juga dari kebijaksanaan yang tumbuh di tengah masyarakat yang tidak ingin kehilangan keduanya: akar budaya dan tuntunan agama.

Di sinilah Minangkabau memberikan teladan bagi dunia Islam: bahwa Islamisasi tidak harus berarti Arabisasi, dan pemurnian agama tidak harus menghapus kearifan lokal.


---

6. Perspektif Azyumardi Azra: Jaringan Ulama dan Integrasi Islam

Dalam karya-karyanya seperti Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, Azyumardi Azra memperluas pembacaan Taufik Abdullah dengan menunjukkan bahwa proses Islamisasi Minangkabau tidak terisolasi, melainkan terhubung dengan jaringan ulama internasional.

Para ulama Minang yang belajar ke Mekkah, Aceh, dan Patani membawa pulang gagasan pembaruan, kemudian menyesuaikannya dengan konteks lokal. Di sinilah muncul dinamika unik: Islam di Minangkabau menjadi kosmopolit sekaligus lokal.

Menurut Azra, kesepakatan Adat basandi Syara’ adalah bentuk ijtihad sosial — yaitu usaha masyarakat muslim menggabungkan nilai universal Islam dengan realitas lokal. Ia menulis:

> “Minangkabau menjadi contoh bagaimana Islam menemukan bahasa budayanya sendiri.”



Pandangan ini menegaskan bahwa tidak ada dikotomi antara adat dan Islam; yang ada adalah upaya berkelanjutan untuk menyelaraskan keduanya agar masyarakat tetap hidup dalam kesatuan iman dan identitas.


---

7. Pandangan Mansur Suryanegara: Dari Dakwah ke Kebangsaan

Sementara itu, Ahmad Mansur Suryanegara, dalam Api Sejarah, melihat peristiwa Paderi dan rekonsiliasi adat-Islam sebagai bagian dari proses lahirnya nasionalisme Islam Indonesia. Bagi Mansur, ulama Minang seperti Tuanku Imam Bonjol bukan sekadar pejuang agama, tetapi juga pelopor perlawanan terhadap kolonialisme.

Dalam pandangannya, integrasi adat dan Islam di Minangkabau menjadi fondasi bagi kesadaran kebangsaan. Masyarakat yang berakar pada adat tetapi disinari oleh syariat melahirkan kekuatan moral untuk menentang penjajahan.

> “Dari Minangkabau lahir gagasan bahwa cinta tanah air tidak bertentangan dengan cinta kepada Allah.”



Dengan demikian, apa yang tampak sebagai konflik spiritual ternyata juga merupakan awal dari kesadaran politik Islam di Nusantara — bahwa kemerdekaan sejati hanya lahir dari masyarakat yang berpegang pada kebenaran wahyu dan menghormati warisan budaya.


---

8. Dimensi Sosiologis: Islam Sebagai Etika, Adat Sebagai Struktur

Taufik Abdullah juga membaca konflik adat-Islam melalui pendekatan sosiologi. Menurutnya, Islam membawa etos moral dan spiritual, sedangkan adat menyediakan kerangka sosial dan kelembagaan. Ketika keduanya bertemu, terjadilah proses “pembudayaan agama dan pengislaman budaya.”

Contohnya, konsep musyawarah nagari (forum adat) disinari oleh semangat syura dalam Islam. Hukum waris yang awalnya matrilineal disesuaikan dengan prinsip faraidh, meski tidak sepenuhnya identik. Pesta adat tetap dilakukan, tetapi dengan nilai keislaman yang lebih kuat.

Artinya, adat tidak hilang — ia berislam; dan Islam tidak menghapus — ia mewarnai.


---

9. Relevansi untuk Indonesia Kini

Apa yang terjadi di Minangkabau sesungguhnya mencerminkan perjalanan panjang Islam di Nusantara: dari fase penerimaan, ketegangan, hingga sintesis. Proses itu melahirkan bentuk keberagamaan yang tidak kaku, tetapi juga tidak kehilangan kemurnian.

Dalam konteks Indonesia modern, pelajaran Minangkabau menjadi penting. Ketika sebagian umat terjebak pada polarisasi antara “Islam puritan” dan “Islam budaya”, sejarah Minangkabau mengingatkan bahwa keduanya dapat bersatu. Yang dibutuhkan hanyalah hikmah dalam memaknai wahyu dan kearifan dalam menghargai warisan.

Azyumardi Azra sering menegaskan, “Islam Nusantara adalah hasil sejarah panjang negosiasi antara langit dan bumi, antara syariat dan adat.” Prinsip itu nyata dalam falsafah Minangkabau yang hingga kini masih hidup dalam praktik sosial, ekonomi, dan pendidikan mereka.


---

10. Penutup: Dari Konflik Menuju Kesempurnaan

Dalam penutup karyanya, Taufik Abdullah menulis bahwa sejarah Minangkabau bukanlah kisah pertentangan antara dua kebenaran, melainkan perjalanan menuju keseimbangan. Konflik antara adat dan Islam bukan kegagalan, tetapi bukti bahwa masyarakat hidup dan berpikir.

Hari ini, falsafah Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah bukan sekadar slogan, melainkan fondasi sosial dan spiritual. Ia mengajarkan bahwa tidak ada peradaban yang kokoh tanpa iman, dan tidak ada iman yang membumi tanpa budaya.

Sebagaimana firman Allah:

> “Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)



Minangkabau telah membuktikan makna ayat ini: mereka mengenal Allah tanpa melupakan asal-usulnya, dan menjaga adat tanpa menodai syariat. Dalam ketegangan yang panjang itu, lahir harmoni — sebuah pelajaran bagi seluruh dunia Islam tentang bagaimana iman dan identitas dapat hidup bersama dalam keseimbangan yang indah.

Hegemoni Quraisy: Ketika Agama dan Kekuasaan Saling Menyapa > “Kekuasaan tidak pernah netral. Bahkan dalam agama, ia selalu m...

Hegemoni Quraisy: Ketika Agama dan Kekuasaan Saling Menyapa

> “Kekuasaan tidak pernah netral. Bahkan dalam agama, ia selalu memilih siapa yang berhak menafsirkan kebenaran.” — Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy (LKIS, 2002)




---

1. Pendahuluan: Ketika Agama Bertemu Kekuasaan

Setiap zaman melahirkan bentuk baru dari pertarungan lama: antara kebenaran dan kepentingan.
Di balik kisah agung tentang kebangkitan Islam, selalu ada narasi kecil yang luput dari wacana resmi: pergulatan antara idealisme wahyu dan naluri kekuasaan manusia. Di titik inilah, suku Quraisy — suku asal Nabi Muhammad ﷺ — memainkan peran yang rumit: sebagai pembawa risalah sekaligus pengelola kekuasaan setelah risalah itu tersebar.

Khalil Abdul Karim, seorang pemikir dan sejarawan Mesir yang berani menabrak arus, menulis buku Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan (Penerbit LKIS, 2002) bukan untuk menjatuhkan sejarah Islam, tetapi untuk mengajukan pertanyaan yang kerap dihindari:
Apakah kekuasaan Quraisy setelah Nabi benar-benar mencerminkan ajaran Islam?
Ataukah ia menyimpan sisa-sisa kebanggaan suku yang belum sepenuhnya luruh di hadapan keadilan wahyu?

Khalil tidak menulis dengan emosi, tetapi dengan pisau sejarah dan sosiologi. Ia menelusuri lapisan sosial di balik teks, membaca relasi antara agama dan kekuasaan sebagaimana membaca nadi sejarah: berdenyut, kompleks, dan tak selalu suci.

Dan di sanalah daya gugah buku ini: ia tidak menistakan agama, tapi mengajak kita mengujinya — agar Islam tidak terjebak menjadi sekadar struktur kuasa yang berbalut simbol ilahi.


---

2. Akar Sejarah: Quraisy Sebelum Islam

Jauh sebelum wahyu turun, Makkah telah menjadi jantung ekonomi dan spiritual Jazirah Arab. Ka‘bah, rumah tua peninggalan Nabi Ibrahim, menjadi magnet bagi kafilah dan peziarah dari berbagai suku. Quraisy — penjaga Ka‘bah — menjadi elite yang menguasai dua hal sekaligus: agama dan perdagangan.

Mereka adalah aristokrasi padang pasir. Dalam istilah sosiologi, mereka memiliki capital simbolik: kehormatan suci yang disegani oleh suku-suku lain. Tapi mereka juga memiliki capital ekonomi: jalur perdagangan yang menghubungkan Yaman, Syam, dan wilayah Hijaz. Mereka bukan sekadar penyembah berhala, tapi juga pengelola sistem sosial yang mapan — dengan kontrak, perjanjian, dan jaringan internasional yang canggih untuk ukuran abad ke-6 Masehi.

Khalil menyebutnya sebagai kelas hegemonik: kelompok yang berkuasa bukan hanya karena pedang, tetapi karena mampu mendefinisikan makna suci. Ritual agama dijadikan sumber legitimasi, dan Ka‘bah menjadi pusat ekonomi-politik.
Maka, ketika Islam datang dengan pesan kesetaraan dan tauhid, yang terguncang bukan hanya keyakinan, melainkan seluruh tatanan sosial dan ekonomi.


---

3. Nabi Muhammad ﷺ dan Revolusi Sosial

Nabi Muhammad ﷺ datang bukan untuk menambah daftar dewa, tetapi untuk meniadakannya.
Tauhid, bagi masyarakat Quraisy, bukan hanya perubahan teologis — ia adalah ledakan sosial. Ia meruntuhkan hierarki antara tuan dan budak, antara yang berkuasa dan yang dikuasai.

“Tidak ada keistimewaan bagi Arab atas non-Arab kecuali dengan takwa,” sabda beliau.
Kata-kata ini, dalam konteks sosiologis, adalah revolusi. Ia menghantam jantung hegemoni Quraisy yang selama ini hidup dari status sosial dan garis keturunan.

Dalam pandangan Khalil Abdul Karim, ajaran Islam awal adalah gerakan moral sekaligus sosial: menantang struktur ekonomi Quraisy yang bertumpu pada riba, eksploitasi, dan kesetiaan pada klan. Nabi mengajarkan solidaritas lintas suku, zakat sebagai mekanisme keadilan sosial, dan persaudaraan Muhajirin–Anshar sebagai model masyarakat baru.

Namun, setelah kemenangan Islam di Makkah, muncul paradoks sejarah.
Orang-orang Quraisy yang dulu menjadi musuh, kini bergabung ke dalam Islam — bukan hanya sebagai pemeluk, tetapi sebagai penguasa.
Sejarah seolah berputar: mereka yang dahulu menentang Nabi atas nama kekuasaan kini justru menjadi pewaris kekuasaan atas nama Nabi.


---

4. Dari Madinah ke Kekaisaran Quraisy

Sejarah tidak pernah berhenti di kemenangan. Setelah Rasulullah ﷺ wafat, umat Islam memasuki fase kepemimpinan manusia — dan di sinilah problem klasik muncul: bagaimana menjaga kemurnian wahyu di tengah realitas politik.

Pada masa Abu Bakar dan Umar, semangat egaliter dan keadilan sosial masih terjaga. Namun sejak masa Khalifah Utsman bin Affan — seorang bangsawan Quraisy dari klan Umayyah — jaringan kekerabatan mulai kembali menguat. Jabatan penting banyak diisi oleh keluarga dan sekutu suku.
Bagi Khalil, inilah awal “kembalinya hegemoni Quraisy”.

Hegemoni itu mencapai puncaknya di masa Bani Umayyah, ketika kekhalifahan berubah menjadi monarki dinastik. Kekuasaan diwariskan seperti kerajaan, bukan dipilih berdasarkan amanah. Bahasa Arab dijadikan simbol keunggulan, sementara bangsa-bangsa non-Arab (mawālī) sering diperlakukan sebagai warga kelas dua.

Namun, apakah ini sekadar kesalahan Quraisy?
Di sinilah letak refleksi penting.

Menurut sejarawan Azyumardi Azra, dalam setiap fase sejarah Islam, selalu ada ketegangan antara “agama normatif” dan “agama historis.” Agama normatif mengajarkan keadilan dan kesetaraan, sementara agama historis adalah hasil tafsir manusia yang sering kali tunduk pada kepentingan kekuasaan.
Artinya, yang mendominasi bukan Islam-nya, tapi penafsirnya.

Khalil menegaskan: ketika Islam menjadi kekaisaran, kekuasaan bukan lagi sekadar amanah — ia menjadi institusi ideologis. Kekuasaan yang dulu melindungi wahyu, kini mulai menggunakan wahyu untuk melindungi kekuasaan.


---

5. Agama Sebagai Legitimasi Kekuasaan

Salah satu bab paling tajam dalam buku Hegemoni Quraisy adalah analisis tentang bagaimana legitimasi agama digunakan untuk memperkuat posisi elite Quraisy. Khalil menunjukkan, beberapa teks hadis seperti “para pemimpin harus dari Quraisy” muncul dalam konteks politik pasca-Nabi, bukan dalam konteks pewahyuan.

Bagi Khalil, ini bukan tuduhan sembarangan. Ia menempatkan hadis-hadis itu dalam bingkai sejarah sosial: ketika para elite Quraisy merasa perlu membangun narasi teologis untuk membenarkan monopoli kekuasaan.
Maka, terbentuklah struktur hegemonik baru: kekuasaan yang disakralkan.

Namun para pakar Islam kontemporer tidak semuanya sepakat.
Azyumardi Azra mengingatkan, banyak hadis sahih tentang kepemimpinan Quraisy memang mencerminkan konteks stabilitas sosial Arab kala itu — bukan untuk menetapkan kasta politik.
Sedangkan Mansur Suryanegara menegaskan bahwa kekuasaan Islam yang bertahan lama, justru karena basisnya adalah sistem keadilan yang bersumber dari wahyu, bukan dari garis keturunan.

Ia menulis, “Kekuasaan Islam tidak bisa bertahan 13 abad hanya dengan loyalitas suku. Ia bertahan karena sistem nilai yang adil.”

Artinya, jika memang ada hegemoni Quraisy secara politik, maka itu hanyalah satu fase dari pergulatan sejarah yang lebih besar: perjuangan antara kekuasaan manusia dan keadilan ilahi.


---

6. Dari Bani Umayyah ke Mamluk: Apakah Hegemoni Itu Bertahan?

Pertanyaan penting kemudian muncul:
Apakah hegemoni Quraisy secara kesukuan benar-benar bertahan hingga berabad-abad kemudian?

Secara faktual, tidak.
Sejak runtuhnya Bani Umayyah, kekuasaan Islam berpindah ke tangan berbagai bangsa: Abbasiyah (Arab dan Persia), Ayyubiyah (Kurdi), Mamluk (Turki), hingga Utsmani (Turki). Tidak satu pun dari mereka berasal dari Quraisy.

Jika hegemoni Quraisy dipahami sebagai dominasi suku, maka sejarah justru menunjukkan sebaliknya. Tapi jika dipahami sebagai simbol — bahwa kekuasaan agama cenderung dimonopoli oleh kelas elite — maka pola itu memang terus berulang.

Sejarawan Mesir, Khalil Abdul Karim, menggunakan istilah “hegemoni simbolik”: kekuasaan yang mengatur tafsir, bukan sekadar wilayah.
Sementara Azyumardi Azra memaknainya sebagai “institusionalisasi otoritas keagamaan” — di mana tafsir wahyu dipegang oleh segelintir elite, sementara rakyat hanya menjadi penerima.

Maka benar, kekuasaan Islam dari era Nabi hingga Mamluk tidak bertahan karena loyalitas kesukuan, tetapi karena daya hidup sistem keadilan yang bersumber dari Al-Qur’an.
Namun di saat yang sama, sejarah juga menunjukkan betapa sering tafsir agama dikendalikan oleh struktur politik — itulah bentuk “hegemoni Quraisy” yang lebih dalam dari sekadar darah atau suku.


---

7. Ulama: Pelurus Hegemoni

Setiap kali kekuasaan tergelincir, muncul para ulama yang meluruskan arah sejarah.
Imam Abu Hanifah menolak hadiah dari khalifah yang zalim. Imam Malik dipenjara karena fatwanya tidak sesuai dengan kepentingan penguasa. Imam Ahmad disiksa karena menolak doktrin resmi tentang Al-Qur’an.
Mereka adalah simbol bahwa “hegemoni Quraisy” tidak pernah total — selalu ada suara wahyu yang menolak tunduk pada kekuasaan.

Dalam sejarah panjang Islam, para ulama adalah benteng moral melawan dominasi politik. Mereka tidak membawa pedang, tapi pena dan keberanian.
Maka, jika benar ada hegemoni Quraisy, para ulama-lah yang menjadi antitesisnya.

Azyumardi Azra melihat dinamika ini juga terjadi di dunia Melayu-Indonesia.
Menurutnya, ulama Nusantara tidak sekadar mengajarkan fikih, tetapi juga memelihara keseimbangan antara agama dan kekuasaan. Ketika raja lalim, ulama menegurnya; ketika rakyat melenceng, ulama menasihati.
Itulah mengapa Islam di Nusantara tidak berkembang melalui penaklukan politik, melainkan melalui otoritas moral — bukan hegemoni.


---

8. Membaca Ulang Hegemoni di Zaman Modern

Apa makna Hegemoni Quraisy bagi umat Islam masa kini?

Mungkin bukan tentang suku, tapi tentang kecenderungan manusia untuk memonopoli kebenaran.
Ketika agama dijadikan alat politik, ketika fatwa menjadi senjata, dan ketika otoritas agama diprivatisasi oleh segelintir kelompok — di situlah “hegemoni Quraisy” menemukan wajah barunya.

Khalil Abdul Karim tidak sedang menyerang Islam. Ia mengingatkan bahwa setiap struktur kekuasaan, bahkan yang berbaju agama, berpotensi menyimpang jika tidak diawasi oleh kesadaran moral.

Dan inilah pelajaran reflektifnya:
Islam tidak butuh hegemoni Quraisy baru. Islam butuh keadilan, ilmu, dan keberanian berpikir.
Ia tidak lahir untuk melayani suku, partai, atau kekuasaan — ia lahir untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kecuali kepada Allah.


---

9. Penutup: Di Mana Quraisy dalam Diri Kita?

Khalil Abdul Karim wafat tahun 2002, meninggalkan jejak intelektual yang mengguncang banyak kalangan. Ia dipuji karena keberaniannya, tapi juga dikritik karena metodenya yang “terlalu sosiologis.” Namun satu hal tak bisa disangkal: ia memaksa kita bercermin.

Karena mungkin, Quraisy itu bukan lagi suku di padang pasir.
Quraisy itu ada dalam diri kita — dalam keinginan untuk merasa paling benar, paling suci, dan paling berhak menafsirkan agama.

Ketika agama berubah menjadi alat status,
ketika ilmu digunakan untuk membenarkan kekuasaan,
ketika simbol menggantikan keadilan —
di situlah hegemoni Quraisy hidup kembali, bukan di istana, tapi di hati manusia.

Dan di sinilah tugas umat Islam sejati: bukan menghancurkan sejarah, tetapi menyucikannya kembali.
Bukan menolak kekuasaan, tetapi menundukkannya di bawah keadilan ilahi.
Bukan menolak Quraisy, tetapi mengembalikannya menjadi seperti Nabi Muhammad ﷺ: manusia Quraisy yang menghapus hegemoni, bukan menghidupkannya.


---

Kesimpulan Reflektif:

> Hegemoni Quraisy, dalam bacaan Khalil Abdul Karim, bukanlah peristiwa suku, tetapi peringatan moral: bahwa setiap kali agama disatukan dengan kekuasaan tanpa kontrol spiritual, maka ia akan berubah menjadi alat dominasi.



Azyumardi Azra menambahkan:

> “Agama harus tetap menjadi sumber nilai, bukan sumber legitimasi kekuasaan.”



Dan Mansur Suryanegara menutupnya dengan bijak:

> “Kekuasaan Islam bertahan bukan karena darah Quraisy, tetapi karena nurani keadilan yang diwariskan Nabi.”



Maka pertanyaannya bukan lagi: di mana hegemoni Quraisy?
Melainkan: apakah kita sedang melanjutkannya — atau meluruskannya?

Apakah Hamas Benar dalam Serangan 7 Oktober 2023? Sebuah Renungan atas Surat Al-Baqarah Ayat 186** --- Prolog: Doa di Bawah Reru...


Apakah Hamas Benar dalam Serangan 7 Oktober 2023?

Sebuah Renungan atas Surat Al-Baqarah Ayat 186**


---

Prolog: Doa di Bawah Reruntuhan

Bayangkan malam itu, 6 Oktober 2023. Di Gaza, ribuan anak-anak Palestina tidur dalam keadaan lapar, sebagian beralaskan tanah, sebagian lainnya ditemani dentuman drone yang terus berputar di langit. Seorang ibu menutup mata anaknya dengan tangan, berbisik, “Allah qarīb... Allah dekat...” sambil menahan isak.

Keesokan paginya, 7 Oktober, dunia terkejut. Hamas memulai operasi militer yang kemudian dikenal dengan nama Al-Aqsa Flood. Roket meluncur, pagar Gaza ditembus, dan tiba-tiba narasi dunia berubah. Ada yang menyebutnya kebangkitan perlawanan, ada pula yang melabelinya serangan teror.

Pertanyaan besar pun muncul:
Apakah Hamas benar dalam langkahnya?
Dan apakah ayat seperti QS. Al-Baqarah: 186 bisa memberi cahaya bagi kita memahami posisi moral dan spiritual perlawanan ini?


---

Ayat yang Lembut di Tengah Perang

> “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)



Ayat ini terasa paradoks jika diletakkan di tengah dentuman bom dan genosida. Ia penuh kelembutan, seakan Allah memeluk hamba-Nya yang remuk. Tetapi justru di situlah kekuatannya: ayat ini menjadi suluh bagi mereka yang hidup di bawah tirani.


---

Tiga Tafsir, Tiga Dimensi Doa

1. Ibnu Katsir: Doa adalah ibadah inti

Ibnu Katsir menafsirkan “Aku dekat” sebagai kedekatan ilmu dan pendengaran Allah. Allah mendengar doa siapa pun, asal ikhlas dan tidak tergesa. Doa adalah ibadah yang paling inti, tapi syaratnya jelas: harta halal, hati tulus, dan kesabaran.

2. Al-Qurthubi: Doa bisa ditunda atau diganti

Al-Qurthubi menekankan hikmah. Doa bisa langsung dikabulkan, bisa ditunda demi kebaikan, atau diganti dengan sesuatu yang lebih besar di akhirat. Tidak ada doa yang sia-sia, asal ia lahir dari iman.

3. Sayyid Qutb: Allah begitu dekat

Bagi Sayyid Qutb, ayat ini adalah salah satu ayat paling lembut dalam Al-Qur’an. Ia unik karena tidak ada kata “Qul”—Allah langsung berkata, “Aku dekat.” Kedekatan ini bukan sekadar ilmu, melainkan pelukan rahmat, cinta, dan pengabulan doa. Tetapi, doa tanpa amal dan iman hanyalah doa yang pincang.


---

Doa dan Senjata: Dua Sayap yang Tak Terpisah

Di Gaza, doa bukan sekadar ritual sunyi. Ia lahir di bawah reruntuhan, di mulut-mulut yang haus, dan di tangan yang menggenggam senjata sederhana. Hamas, dalam narasi mereka, tidak melihat doa dan perlawanan sebagai dua hal yang terpisah. Doa adalah bahan bakar, sementara senjata adalah ikhtiar.

Seorang pejuang Hamas pernah berkata:
“Kami berdoa sebelum menekan pelatuk, sebab peluru hanyalah jalan. Yang menembus musuh adalah izin Allah.”


---

7 Oktober 2023: Serangan atau Perlawanan?

Di sinilah kita masuk pada inti persoalan. Apa yang terjadi 7 Oktober?

Hamas melancarkan operasi militer besar-besaran dengan serangan roket, terobosan pagar Gaza, dan penyusupan ke wilayah Israel.

Ratusan tentara Israel tewas, puluhan pangkalan militer lumpuh.

Namun Israel segera membalas dengan narasi: Hamas membunuh ribuan sipil, bahkan disertai tuduhan pemerkosaan—klaim yang belakangan banyak dipertanyakan.


👉 Fakta geopolitik:

Penelitian dari pakar militer internasional, termasuk mantan pejabat intelijen AS, mengungkapkan bahwa sebagian besar korban sipil Israel pada 7 Oktober justru tewas akibat serangan balasan “friendly fire” dari helikopter dan tank IDF sendiri.

Laporan investigasi media independen menunjukkan tuduhan pemerkosaan sistematis tidak memiliki bukti kuat; banyak pakar menilai itu propaganda perang.

Profesor Rashid Khalidi (Columbia University) menyebut 7 Oktober sebagai “ledakan sejarah dari dekade panjang penindasan, bukan tindakan di luar konteks.”



---

Doa dan Amal dalam Perspektif Ayat

Kembali ke QS. Al-Baqarah: 186. Allah menjanjikan jawaban doa, tetapi mensyaratkan dua hal:

1. “Falyastajībū lī” → Hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku.


2. “Walyu’minū bī” → Hendaklah mereka beriman kepada-Ku.



Artinya, doa yang diiringi dengan amal ketaatan adalah doa yang hidup.

Dalam perspektif ini, apakah Hamas memenuhi syarat itu?

Dari sudut pandang mereka: perlawanan adalah fardhu ‘ain melawan penjajahan, sesuai prinsip syariat.

Dari sudut geopolitik: Hamas sadar bahwa hanya doa tanpa strategi militer berarti menyerah pada penindasan.



---

Perspektif Pakar: Antara Terorisme dan Legitimitas Perlawanan

1. Richard Falk (mantan pelapor khusus PBB): Menegaskan bahwa perlawanan bersenjata Palestina sah dalam hukum internasional, selama diarahkan pada target militer.


2. Noam Chomsky: Menyebut label “terorisme” pada Hamas adalah standar ganda, sebab perlawanan terhadap penjajahan selalu diberi stigma.


3. Azzam Tamimi (pakar politik Islam): Menyebut Hamas adalah gerakan doa dan senjata sekaligus; mereka bukan sekadar militer, tapi juga spiritual.




---

Lalu, Apakah Hamas Benar?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa hitam-putih. Mari kita lihat dari tiga lensa:

1. Moral-spiritual (QS. 2:186)
Jika doa harus diiringi amal, maka Hamas berada pada jalur itu: berdoa, lalu bergerak. Mereka tidak berdoa untuk sekadar selamat, tetapi berdoa untuk menegakkan keadilan.


2. Geopolitik-hukum internasional
Hamas sah secara hukum internasional untuk melawan penjajahan. Tetapi narasi tentang sipil membuat legitimasi mereka digoyang. Propaganda Israel memanfaatkan ini.


3. Refleksi iman
Apakah setiap peluru Hamas dikabulkan doa? Tidak selalu. Tetapi dalam pandangan iman, setiap pengorbanan menjadi bagian dari jawaban Allah, entah di dunia atau di akhirat.




---

Penutup: Doa yang Menjadi Sejarah

Pada akhirnya, QS. Al-Baqarah: 186 mengajarkan kita bahwa doa bukan sekadar bisikan di sepertiga malam, melainkan jalan panjang menuju hidayah. Doa yang sejati harus disertai amal, dan amal yang sejati harus lahir dari iman.

Hamas, dengan segala kontroversinya, membaca doa itu di medan perang. Apakah mereka benar? Itu tergantung pada kacamata kita:

Jika dengan kacamata geopolitik Barat, mungkin tidak.

Jika dengan kacamata iman yang melihat doa dan perlawanan sebagai satu tarikan nafas, maka mereka berjalan di jalur doa yang diiringi amal.


Seorang anak Gaza menulis di dinding reruntuhan:
“Kami berdoa bukan hanya untuk hidup, tapi untuk merdeka.”

Dan mungkin, di situlah jawaban QS. Al-Baqarah: 186 menemukan maknanya: Allah dekat, doa dijawab, dan doa itu terkadang menjelma menjadi sejarah.l

Memenangkan Perang Psikologis: Dari Uhud ke Gaza Prolog: Saat Ketakutan Dijadikan Senjata Di setiap perang, senjata bukan hanya ...


Memenangkan Perang Psikologis: Dari Uhud ke Gaza

Prolog: Saat Ketakutan Dijadikan Senjata

Di setiap perang, senjata bukan hanya berupa pedang, panah, tank, atau rudal. Ada senjata yang lebih halus, namun lebih mematikan: ketakutan.
Ia disebarkan lewat kabar burung, diplomasi, ultimatum, atau bahkan sekadar bisikan: “Kalian sudah terkepung, tak ada jalan keluar.”

Al-Qur’an telah mencatat pola ini sejak awal. Allah ﷻ berfirman dalam QS. Ali ‘Imran: 173:

> “(Yaitu) orang-orang yang ketika ada orang berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,’ justru perkataan itu menambah keimanan mereka. Lalu mereka berkata: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami, dan Allah sebaik-baik Pelindung.’”



Ayat ini turun pasca Perang Uhud, ketika kaum Muslimin yang luka-luka diberitahu bahwa Quraisy akan menyerang lagi. Secara logika manusia, berita itu seharusnya membuat mereka gentar. Tetapi iman membalikkan logika: justru semakin teguh, semakin berani.

Inilah hakikat perang psikologis: siapa yang runtuh imannya lebih dulu, dialah yang kalah bahkan sebelum panah dilepaskan.


---

Netanyahu, Trump, dan Panggung Opini Dunia

Mari melompat ke zaman kita.

Di Majelis Umum PBB, Netanyahu tampil dengan wajah “negarawan damai.” Ia tahu dunia sudah jenuh dengan perang Gaza. Puluhan ribu warga sipil tewas, opini internasional melawan Israel, bahkan Barat sendiri mulai retak.

Maka ia tampil bersama Donald Trump dengan narasi gencatan senjata. Pesannya sederhana: “Kami bukan penolak perdamaian. Kami siap. Hamaslah yang keras kepala.”

Ini strategi lama Israel. Bukan untuk benar-benar menghentikan perang, melainkan untuk menang di panggung opini dunia.

Tapi yang mengejutkan, Hamas justru membalik narasi. Mereka tidak menunggu deadline 5 Oktober yang diberikan Trump. Pada 3 Oktober, mereka sudah menjawab: siap menerima gencatan senjata, siap membebaskan sandera, bahkan siap menyerahkan pemerintahan Gaza kepada teknokrat independen.

Narasi pun terbalik. Hamas, yang biasanya dicitrakan fanatik dan barbar, tampil sebagai pihak yang lebih cepat, lebih rasional, dan lebih konstruktif.

Netanyahu panik. Ia pun berkata: “Itu penolakan.”
Padahal yang terjadi sebaliknya. Tapi bagi Netanyahu, bukan isi proposal yang penting—melainkan siapa yang menguasai citra.


---

Sirah Nabawiyah: Diplomasi dan Khianat Yahudi Madinah

Apa yang kita saksikan ini sejatinya bukan hal baru. Rasulullah ﷺ pun pernah menghadapi pola serupa di Madinah.

Kaum Yahudi di Madinah terikat dengan Piagam Madinah, sebuah kesepakatan hidup bersama. Tetapi berulang kali mereka berkhianat.

Bani Qaynuqa’ menyalahi perjanjian, merendahkan kehormatan Muslimah, hingga akhirnya diusir.

Bani Nadhir bersekongkol dengan Quraisy dan merencanakan pembunuhan Nabi ﷺ, hingga mereka pun diusir.

Bani Quraizhah berkhianat saat Perang Ahzab, berpihak pada musuh di saat genting, hingga akhirnya dihadapi dengan hukuman tegas.


Dalam setiap langkah, Nabi ﷺ selalu menggunakan perjanjian sebagai legitimasi. Beliau tidak menyerang duluan. Tetapi ketika janji dilanggar, Rasulullah ﷺ menekan dengan fakta, dan bila perlu dengan senjata.

Sejarawan Ibnu Katsir menyebut strategi Rasulullah ﷺ ini sebagai “hikmah yang menggabungkan kesabaran diplomasi dan ketegasan militer.”

Inilah pola yang kembali kita lihat hari ini. Israel—seperti Yahudi Madinah—menggunakan perjanjian sebagai alat citra. Bukan untuk ditepati, melainkan untuk dimainkan.


---

Psikologi Perang: Ketakutan Sebagai Senjata

Pakar militer Carl von Clausewitz dalam karyanya On War menyebut bahwa perang adalah “kontes kehendak.” Yang dikalahkan lebih dulu bukan pasukan, tapi kemauan untuk melawan.

Sementara pakar psikologi perang, B.H. Liddell Hart, menulis bahwa “strategi terbaik adalah menembus pikiran lawan, bukan barisan tentaranya.”

Inilah yang Israel lakukan. Gempuran narasi, ancaman deadline, pencitraan di PBB—semuanya adalah senjata psikologis.

Tetapi ayat Ali ‘Imran 173 memberi rahasia: bila iman kuat, propaganda berubah menjadi penguat. Ketika dunia berkata “takutlah, kamu terkepung,” seorang mukmin berkata: “Hasbunallah wa ni‘mal wakil.”


---

Perang Opini: Dari Uhud ke Gaza

Mari kita lihat paralelnya.

Uhud: kaum Muslimin lemah, terluka, lalu ditakut-takuti akan ada serangan lanjutan.

Gaza: Hamas lemah, terkepung, ditekan oleh ultimatum Amerika dan narasi global.


Di Uhud, iman menumbuhkan keberanian baru.
Di Gaza, Hamas menjawab lebih cepat, membalik narasi, dan membuat Netanyahu salah langkah.

Dua-duanya menunjukkan hal sama: kekuatan psikologis lebih menentukan daripada jumlah senjata.


---

Tafsir Strategis: Mengapa Hamas Menjawab Lebih Cepat?

Pertanyaannya: mengapa Hamas tidak menunggu deadline 5 Oktober?

Dari sudut diplomasi, jawabannya jelas:

1. Membalik narasi. Jika mereka menunggu, dunia bisa menuduh “Hamas menunda, berarti tidak serius.” Dengan menjawab lebih awal, mereka tampak siap damai.


2. Menguasai opini global. Jawaban cepat membuat dunia melihat: Hamaslah yang lebih gesit, bukan Israel.


3. Membuka ruang legitimasi. Dengan menyebut teknokrat independen dan kerangka nasional Palestina, Hamas menempatkan dirinya sebagai bagian dari solusi, bukan masalah.



Seorang analis militer Turki, İbrahim Karagül, pernah menulis: “Hamas tidak perlu menang di medan perang, cukup bertahan dengan martabat. Itu sudah menghancurkan strategi Israel.”


---

Netanyahu Terjebak Narasi Sendiri

Ketika Hamas menerima, Netanyahu justru menyebutnya “penolakan.” Mengapa?

Karena jika Hamas menerima, Israel otomatis tampil sebagai pihak yang memperpanjang perang. Dan itu bencana citra.

Inilah dilema Israel: mereka ingin perang untuk melemahkan Gaza, tapi ingin tampil damai di dunia internasional. Begitu Hamas mengambil posisi damai, seluruh skenario runtuh.


---

Ayat-Ayat Tentang Khianat dan Citra

Al-Qur’an mencatat tabiat ini:

> “Mereka ingin menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri mereka sendiri tanpa mereka sadari.”
(QS. Al-Baqarah: 9)



Dan juga:

> “Jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah engkau kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.”
(QS. Al-Anfal: 61)



Tetapi bila mereka hanya menjadikan perdamaian sebagai alat tipu daya, maka Allah pun menyingkapkan kedok mereka.


---

Refleksi: Perang Jiwa Lebih Menentukan

Hari ini, Gaza mengajarkan kita pelajaran Uhud.

Bahwa kekuatan sejati bukan pada rudal, bukan pada veto Amerika, bukan pada podium PBB.
Kekuatan sejati ada pada jiwa yang berani berkata: Hasbunallahu wa ni‘mal wakil.

Israel mungkin lebih kuat dalam senjata. Amerika mungkin lebih kuat dalam diplomasi. Tapi siapa yang lebih kuat dalam jiwa, dialah yang akan bertahan.

Seorang pakar strategi Cina, Sun Tzu, pernah berkata: “Musuh yang sudah kalah dalam pikirannya, tidak perlu lagi kau hadapi di medan perang.”

Maka Gaza, dengan segala penderitaan, justru sedang memenangkan perang psikologis.


---

Penutup: Dari Uhud ke Gaza

Perang psikologis adalah garis panjang sejarah umat Islam. Dari Madinah abad ke-7 hingga Gaza abad ke-21. Dari Yahudi yang berkhianat di Piagam Madinah hingga Netanyahu yang memelintir narasi PBB. Dari propaganda Quraisy hingga ultimatum Trump.

Tetapi jawaban mukmin tetap sama:

“Hasbunallahu wa ni‘mal wakil.”

Dan selama kalimat ini hidup di dada para pejuang, maka mereka tidak pernah benar-benar kalah.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (245) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (541) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (239) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)