Cara Hamas Menghadapi Point Trump-Netanyahu dengan Strategi Sirah Nabawiyah tentang Yahudi di Madinah
Prolog: Panggung PBB dan Bayangan Gaza
Di New York, lampu-lampu Majelis Umum PBB menyala terang. Kamera dunia tertuju pada satu sosok yang berdiri di podium: Benjamin Netanyahu. Ia berbicara lantang, mengangkat tangannya, mencoba meyakinkan dunia bahwa Israel bukan penolak perdamaian.
Namun di balik layar, Gaza masih diliputi asap mesiu. Puluhan ribu nyawa berguguran, reruntuhan menutupi tubuh anak-anak, dan suara takbir masih terdengar di sela sirene. Dunia lelah dengan perang panjang itu. Tekanan moral menumpuk, bahkan di Barat sendiri muncul suara lantang yang menolak agresi Israel.
Netanyahu tahu, citra Israel di mata internasional tengah hancur. Maka ketika ia menyetujui gagasan gencatan senjata bersama Donald Trump, itu bukan sekadar upaya menghentikan perang. Itu adalah strategi citra. Seolah ia ingin menunjukkan:
> “Kami siap damai, tapi Hamas yang keras kepala.”
Narasi lama kembali dimainkan: Israel sebagai pihak yang rasional, sementara lawannya digambarkan fanatik, keras kepala, barbar, dan mustahil diajak kompromi.
Namun, di balik retorika panggung diplomasi itu, sejarah berputar. Ada satu kejutan yang membuat Netanyahu kelabakan: Hamas tidak menolak, tapi justru menyetujui.
---
Hamas Membalikkan Narasi
Hamas menjawab bukan pada tanggal 5—deadline yang ditetapkan Trump—melainkan lebih cepat, pada tanggal 3. Sebuah langkah diplomatik yang sarat simbol: “Kami bukan penolak, kami bahkan lebih siap dari yang kalian kira.”
Isi surat Hamas sederhana tapi kuat: siap membebaskan semua sandera, siap menyerahkan pemerintahan Gaza kepada teknokrat independen, siap berunding dalam kerangka nasional Palestina. Bahasa yang digunakan rapi, diplomatis, penuh kalkulasi.
Narasi pun terbalik. Hamas—yang selama ini dicap sebagai penolak perdamaian—muncul sebagai pihak yang konstruktif. Netanyahu kehilangan panggung yang ia bangun di PBB. Dunia mulai bertanya: jika Hamas sudah setuju, mengapa Israel yang mundur?
Inilah titik goyahnya permainan citra. Netanyahu yang tadinya ingin tampil sebagai pencari damai, tiba-tiba harus mengubah wajah menjadi penuduh:
> “Itu bukan penerimaan. Itu penolakan.”
Mengapa? Karena bagi Netanyahu, masalahnya bukan pada isi proposal, melainkan siapa yang menguasai narasi. Jika Hamas menerima, maka Israel otomatis dipandang sebagai pihak yang memperpanjang perang. Sebuah bencana citra yang tak bisa ia terima.
---
Diplomasi sebagai Perang Narasi
Perang Gaza bukan hanya soal rudal dan tank. Ia juga perang kata-kata, tafsir, dan simbol.
Hamas menerima, Netanyahu menafsirkan sebagai penolakan.
Israel mengklaim mencari perdamaian, tapi ketika jalan terbuka, merekalah yang menutup pintu.
Trump ingin tampak sebagai “pembawa damai”, tapi jawaban cepat Hamas menunjukkan Amerika bukan pengatur tunggal.
Al-Qur’an menggambarkan tipu daya seperti ini:
> “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 8)
Inilah perang narasi: cahaya kebenaran dicoba dipadamkan dengan tafsir yang dibelokkan, tapi cahaya itu tetap menyinari jalan bagi yang mau melihat.
---
Jejak Sirah Nabawiyah: Perjanjian dengan Yahudi di Madinah
Sejarah bukan sekadar cermin, tapi juga guru. Ketika kita menoleh ke Madinah di awal hijrah Nabi ï·º, kita menemukan pola yang serupa.
Rasulullah ï·º membuat Piagam Madinah, sebuah perjanjian yang mengikat Muslim, Yahudi, dan kaum lain di Madinah untuk hidup bersama, saling melindungi, dan tidak berkhianat. Di atas kertas, itu adalah kontrak sosial paling maju di zamannya.
Namun apa yang terjadi?
Bani Qainuqa’ melanggar perjanjian dengan melecehkan kehormatan seorang wanita Muslimah di pasar. Rasulullah ï·º menegurnya melalui mediasi Abdullah bin Ubay, tapi akhirnya mereka terusir dari Madinah.
Bani Nadhir berkhianat ketika hendak membunuh Nabi ï·º dalam sebuah jamuan, padahal ada kesepakatan damai. Rasulullah ï·º mengepung mereka hingga akhirnya diusir.
Bani Qurayzhah melakukan pengkhianatan paling fatal: saat Perang Khandaq, mereka bergabung dengan musuh, membuka pintu benteng untuk pasukan Ahzab. Setelah perang usai, Rasulullah ï·º menegakkan hukuman militer yang tegas.
Kita melihat pola yang sama: Yahudi kerap menandatangani perjanjian, tapi berulang kali melanggarnya. Rasulullah ï·º selalu memulai dengan perjanjian, selalu membuka ruang mediasi, tapi ketika pengkhianatan berulang, beliau punya alasan moral dan politik untuk menekan dengan kekuatan senjata.
Inilah pelajaran utama: diplomasi bukan berarti menutup mata terhadap pengkhianatan. Diplomasi adalah memberi ruang bagi keadilan, tapi senjata tetap dipegang untuk menghadapi tipu daya.
---
Netanyahu, Trump, dan Bayangan Madinah
Jika kita tarik ke konteks hari ini, Netanyahu memainkan peran yang mirip dengan Yahudi Madinah: menandatangani kesepakatan di panggung diplomasi, tapi di balik itu merancang pengkhianatan.
Trump—dengan proposal damainya—berposisi seperti mediator. Ia ingin mencatat namanya dalam sejarah sebagai “pembawa damai Timur Tengah”. Tapi, seperti Abdullah bin Ubay di Madinah, mediasi itu rapuh, penuh kalkulasi kepentingan pribadi.
Hamas, dalam posisi yang terjepit, memilih strategi yang diilhami oleh Nabi ï·º: menjawab dengan bahasa diplomasi, membalik narasi, dan sekaligus menunjukkan siap menanggung risiko.
Netanyahu kemudian melakukan apa yang selalu dilakukan oleh para leluhurnya di Madinah: memutar balik fakta. Hamas menerima disebut sebagai menolak. Persis seperti Bani Qurayzhah yang mengklaim masih bagian dari Piagam Madinah, padahal di baliknya mereka sudah bersekutu dengan pasukan Ahzab.
---
Dimensi Militer: Diplomasi dengan Bayangan Pedang
Para pakar militer modern, seperti Carl von Clausewitz, menegaskan: “Perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain.” Dalam sirah, Rasulullah ï·º menunjukkan sisi lain: politik adalah kelanjutan dari perang yang ditahan dengan perjanjian.
Hamas tampaknya membaca strategi ini. Mereka tahu, diplomasi hanyalah satu sisi dari perlawanan. Sandera bisa ditukar, pemerintahan bisa diserahkan kepada teknokrat, tapi selama Gaza masih diblokade dan tanah Palestina masih diduduki, senjata tidak akan benar-benar diturunkan.
Al-Qur’an sendiri mengingatkan:
> “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah engkau kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan jika mereka hendak menipumu, maka cukuplah Allah menjadi pelindungmu.” (QS. Al-Anfal: 61–62)
Ayat ini seakan menuntun Hamas: terimalah tawaran damai jika memang ada, tapi jangan pernah lengah. Karena di balik kata “damai”, bisa tersembunyi tipu daya.
---
Refleksi Gaza: Antara Diplomasi dan Pengorbanan
Seorang ulama Palestina di Gaza pernah berkata: “Kami bukan pencinta perang. Kami mencintai hidup, tapi hidup yang bermartabat. Jika hanya ada dua pilihan: hidup sebagai budak atau mati sebagai syuhada, maka kami memilih mati.”
Mungkin inilah yang tidak pernah bisa dipahami Netanyahu. Bagi dirinya, perdamaian hanyalah alat citra. Tapi bagi Gaza, perdamaian adalah hak hidup yang layak, hak bernapas, hak anak-anak untuk tumbuh tanpa bayangan drone di atas kepala.
Hamas tahu, diplomasi kadang hanya panggung sandiwara. Tapi mereka juga tahu, sejarah Nabi ï·º menunjukkan bahwa perjanjian bisa menjadi alat untuk membalik narasi, mengulur waktu, dan menunjukkan siapa yang benar-benar berkhianat.
---
Epilog: Cahaya yang Tak Pernah Padam
Netanyahu mungkin berhasil berdiri di panggung PBB, memainkan kata-kata seolah ia pencari damai. Trump mungkin merasa dirinya pengatur utama sejarah. Tapi jawaban cepat Hamas membalik semua narasi itu.
Sejarah Madinah mengajarkan kita: perjanjian tidak pernah netral. Ia selalu menguji siapa yang konsisten dan siapa yang berkhianat. Dan dalam sejarah, selalu ada satu pihak yang mencoba memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka.
Namun, sebagaimana firman-Nya:
> “Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 8)
Di Gaza, cahaya itu terus menyala. Bukan hanya di medan tempur, tapi juga di meja diplomasi. Karena pada akhirnya, kemenangan bukanlah milik manipulasi, tapi milik kebenaran yang teguh.
0 komentar: