Menyerang Iran: Analisis Sejarah, Karakter, dan Daya Tempur
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Apakah Rasulullah saw memulai pertempuran dalam sejarah Islam? Tidak. Dalam Perang Badar, misalnya, Rasulullah saw keluar bukan untuk berperang, melainkan untuk mengganggu jalur ekonomi kaum Musyrikin Quraisy, yang sebelumnya telah merampas kekayaan kaum Muslimin di Mekah saat hijrah. Namun, kaum Quraisy justru mengirimkan pasukan besar yang dipimpin Abu Jahal, padahal Abu Sufyan sebelumnya telah memperingatkan agar tidak memulai pertempuran.
Demikian pula dalam Perang Uhud. Penyerangan terjadi karena pasukan Quraisy datang menyerbu Madinah. Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabat dan memutuskan untuk menghadapi musuh di luar kota, di kaki Gunung Uhud.
Perang Ahzab pun bukan dimulai oleh Rasulullah saw. Koalisi besar antara kabilah-kabilah Arab dan kaum Yahudi dibentuk untuk menghancurkan kaum Muslimin dari luar dan dalam. Maka Rasulullah saw menghadapinya dengan strategi bertahan secara total, termasuk menggali parit besar di batas kota.
Begitu juga Perang Khaibar. Perang ini dilakukan karena benteng-benteng Khaibar menjadi pusat konspirasi dan tipu daya Yahudi untuk menghabisi kaum Muslimin. Adapun Perang Mu’tah dan Tabuk terjadi karena ancaman langsung dari pasukan Romawi yang hendak menyerbu Madinah. Dalam semua peristiwa tersebut, Rasulullah saw tidak memulai agresi, tetapi menanggapi ancaman dengan taktik dan kekuatan penuh. Diserang, berarti memiliki banyak alasan untuk memobilisasi sumber daya.
Lalu, bagaimana dengan serangan penjajah Israel ke Iran?
Penjajah Israel kini masuk lebih dalam ke zona pertempuran. Dengan menyerang Iran lebih dulu, maka Iran memperoleh legitimasi internasional untuk membela diri dan menghimpun dukungan besar dari rakyatnya, bahkan dari masyarakat global yang menyaksikan kekejaman penjajah Israel.
Selama ini, Israel selalu menggunakan dalih "membela diri" sebagai tameng moral dan diplomatik. Amerika dan Eropa pun mendukungnya karena narasi ini, seperti yang terjadi dalam Perang Arab–Israel 1967 dan 1973. Namun, jika Israel menjadi pihak yang memulai serangan, maka legitimasi untuk membela diri berpindah ke Iran, dan narasi untuk membenarkan bantuan terhadap Israel menjadi melemah.
Israel mungkin akan berdalih bahwa serangan dilakukan untuk menghancurkan fasilitas nuklir Iran. Padahal, Israel sendiri menyimpan senjata nuklir dan menolak untuk diawasi oleh lembaga internasional. Ini adalah standar ganda yang makin lama makin tak dipercaya dunia.
Lalu, apakah penjajah Israel mampu memenangkan perang melawan Iran?
Secara sejarah, kawasan ini pernah menyaksikan konflik panjang antara Romawi dan Persia — yang kini secara geopolitik menjelma menjadi Barat dan Iran. Dalam konflik berabad-abad itu, Romawi dan Persia saling menang dan kalah. Namun, Yahudi tidak pernah tampil sebagai kekuatan militer dominan dalam sejarah tersebut. Mereka selalu berada di posisi pinggiran kekuasaan dan konflik. Maka dari segi karakter bangsa dan sejarah, penjajah Israel bukanlah lawan setara Iran dalam pertarungan langsung.
Dari sisi daya tempur, Iran jauh lebih siap. Perang Iran–Irak (1980–1988) menunjukkan ketahanan militer dan semangat bertempur rakyat Iran, meski menghadapi kekuatan besar yang didukung negara-negara Barat. Iran juga memiliki jaringan milisi dan pasukan proxy yang kuat dan tersebar di kawasan — mulai dari Hizbullah di Lebanon, milisi di Irak, Yaman, dan sebelumnya di Suriah. Bahkan, hanya dengan menghadapi proxy-proxy Iran saja, Israel sudah terlihat kewalahan.
Jika Israel memaksakan diri menyerang Iran, walaupun dengan dukungan Amerika Serikat, maka ia hanya akan menyeret dirinya ke dalam konflik regional yang panjang dan melelahkan. Serangan ini juga akan semakin memperkuat rasa takut dan tekanan psikologis para pemukim ilegal di wilayah pendudukan Palestina.
Bukankah justru rasa takut dan kehilangan rasa aman itulah alasan utama penjajah Israel menduduki tanah Palestina? Dan kini, dengan menyerang Iran, mereka sedang memperluas zona ketakutannya sendiri.
0 komentar: