Perjanjian Hudaibiyah dan Gencatan Senjata Hamas-Amerika
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Gencatan senjata antara Hamas dan Israel pada Januari 2025 kembali menemui jalan buntu. Pasalnya, Israel kerap melanggar kesepakatan yang telah dibuat, bahkan enggan melanjutkan proses negosiasi. Kalaupun mengirimkan delegasi, mereka tak diberi wewenang untuk mengambil keputusan. Maka muncul pertanyaan penting: apakah perundingan semacam ini masih berguna? Dan bagaimana peran Amerika sebagai mediator?
Untuk memecah kebuntuan, Amerika Serikat akhirnya menghubungi langsung pihak Hamas dan faksi-faksi pejuang lainnya di Doha, Qatar. Sebuah proposal gencatan senjata diajukan, dan Hamas pun menyatakan persetujuan. Meskipun tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan pihak Palestina, langkah ini tetap diambil. Bahkan sebelum Ismail Haniyah dibunuh oleh Israel di Iran, Hamas telah lebih dahulu menyatakan setuju atas proposal tersebut.
Apa yang bisa dipetik dari langkah ini? Kita bisa menarik pelajaran dari sejarah Islam, khususnya Perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada masa Rasulullah saw.
Saat itu, tujuan Rasulullah saw pergi ke Mekah adalah untuk menunaikan ibadah Umrah. Namun, kaum Musyrikin Quraisy melarangnya. Padahal para sahabat sangat yakin akan bisa melaksanakan Umrah karena Rasulullah saw telah bermimpi melakukannya. Meskipun akhirnya ibadah itu gagal dilakukan tahun itu, Rasulullah menjelaskan, "Bisa jadi Umrah itu bukan tahun ini." Sebuah penegasan bahwa perjuangan belum selesai, dan kemenangan kadang menuntut kesabaran.
Begitu pula dengan perjuangan rakyat Palestina. Mungkin kemerdekaan tidak datang seketika setelah badai perlawanan Al-Aqsa. Namun, jalan menuju kemerdekaan bisa jadi terbuka melalui langkah-langkah strategis seperti kesepakatan gencatan senjata ini. Yang penting adalah terus berjuang.
Rasulullah saw memang gagal melaksanakan Umrah saat itu, tetapi beliau berhasil mengikat perjanjian damai dengan Quraisy. Tujuan jangka pendek memang tidak tercapai, namun dalam jangka panjang, keberadaan kaum Muslimin diakui oleh suku Quraisy, suku terkuat di Hijaz. Ini menjadi pengakuan yang strategis.
Bukankah Quraisy adalah penopang banyak kabilah Arab lainnya, termasuk Yahudi dan kaum Munafik yang memusuhi umat Islam? Maka, perjanjian ini pun menjadi semacam pengakuan tidak langsung dari pihak-pihak tersebut. Dalam konteks kekinian, bukankah Amerika Serikat menempati posisi strategis seperti Quraisy di masa itu? Jika demikian, maka kesepakatan dengan Amerika, betapapun terbatas, bisa menjadi batu loncatan yang sangat penting.
Para penguasa dunia yang sebelumnya enggan mengakui Hamas karena takut dimusuhi Amerika dengan cap "pendukung terorisme," kini mulai membuka diri. Amerika sendiri yang mengajak duduk bersama. Bukankah ini berarti membuka jalan untuk dukungan internasional yang lebih luas?
Tanda-tandanya mulai tampak: Inggris dan Spanyol menyerukan blokade senjata ke Israel. Beberapa negara Uni Eropa membatalkan perjanjian dagang. Kanada dan Australia pun mulai bersuara keras, padahal sebelumnya mereka pendukung utama Israel. Demonstrasi jalanan di banyak negara pun mulai berubah menjadi tekanan politik nyata.
Menekan penjajah tidak selalu dengan senjata. Kehilangan dukungan dan sahabat adalah penderitaan tersendiri—baik bagi individu maupun dalam pergaulan internasional. Begitulah perubahan terjadi: perlahan tapi pasti, melalui langkah yang mungkin tampak kecil, namun memiliki dampak strategis besar di masa depan.
0 komentar: