Kompromi Politik, Sebelum Solusi Militer
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Saat tiba di Madinah, yang ditawarkan Rasulullah saw. kepada seluruh masyarakat Madinah adalah kompromi politik dalam wujud Piagam Madinah, bukan pengumuman perang kepada pihak yang tidak setuju dengan kepemimpinannya.
Ketika kaum Yahudi dengan terang-terangan melakukan usaha pembunuhan yang terorganisasi dan sistematis, hingga menantang perang dan membawa pasukan besar untuk mengepung Madinah, barulah Rasulullah saw. menyatakan perang terhadap mereka.
Sedangkan kaum munafik, yang berusaha melakukan “kudeta” secara tersembunyi, Rasulullah saw. tidak menyatakan perang dan tidak pula membunuh mereka—meskipun para sahabatnya mendesak untuk membunuh tokoh utamanya.
Dalam Perang Khaibar, Rasulullah saw. menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai panglima. Beliau lalu memberinya bendera. Ali berkata,
“Wahai Rasulullah! Apakah aku harus memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita (masuk Islam)?”
Ternyata Rasulullah saw. terlebih dahulu memberikan kompromi politik dengan bersabda:
“Berangkatlah kamu dengan langkah yang tenang (tidak tergesa-gesa), hingga kamu memasuki wilayah mereka. Kemudian serulah mereka kepada Islam, dan beritahukanlah kepada mereka tentang apa yang menjadi kewajiban mereka kepada Allah Swt. Demi Allah! Jika Allah memberi hidayah kepada satu orang, maka hal itu lebih baik bagimu daripada kamu memiliki unta merah (seluruh kemewahan dunia).”
Sebelum Futuh Makkah, Rasulullah saw. lebih dahulu mengedepankan kompromi politik melalui Perjanjian Hudaibiyah—meskipun Umar bin Khattab ngotot untuk berperang, dan sebagian sahabat pun nyaris tidak mau menaati keputusan itu.
Saat Futuh Makkah pun, Rasulullah saw. menawarkan kompromi politik dengan memberikan jaminan keamanan kepada siapa pun yang tetap berada di rumahnya. Hanya sekitar sepuluh orang yang dijatuhi hukuman. Itupun akhirnya dibebaskan setelah mereka bertaubat.
Fakta sejarah membuktikan bahwa kompromi politik lebih komprehensif dalam menciptakan kedamaian, sebagaimana terjadi dalam konflik Irlandia–Inggris, isu-isu separatisme di Nusantara (Aceh, Maluku, dan Papua), bahkan Perang Sipil di Amerika pun dapat diselesaikan melalui jalur kompromi politik. Namun, mengapa penjajah Israel lebih memilih solusi militer? Inilah kebodohan.
0 komentar: