Bangsa Penjajah yang Pernah Dijajah
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Karakter penjajah dari masa ke masa ternyata tidak berubah. Meskipun pelakunya berasal dari bangsa yang berbeda dan hidup dalam zaman yang berjauhan, wataknya tetap sama: kezaliman dan perusakan. Lihatlah Firaun, Nebukadnezar, hingga bangsa-bangsa Eropa saat menjajah wilayah lain—semuanya menunjukkan sifat yang serupa.
Lalu bagaimana jika bangsa penjajah itu dulunya pernah dijajah, bahkan pernah memimpin peradaban dunia? Ternyata, pengalaman masa lalu tidak serta-merta mengubah watak penjajahan. Mereka tetap membawa luka sejarahnya, namun kini menimpakannya pada bangsa lain.
Ambil contoh Israel. Saat ini, dunia menyaksikan bagaimana mereka melakukan genosida terhadap bangsa Palestina: pengeboman setiap hari, pembunuhan, penghancuran pemukiman, pelarangan bantuan kemanusiaan, hingga penyiksaan brutal di penjara. Kezaliman ini berlangsung terang-terangan di depan mata dunia.
Ironisnya, Israel adalah bangsa yang sejarahnya dipenuhi luka akibat penindasan. Mereka pernah mengalami genosida pada masa Firaun, Nebukadnezar, Heraklius, Ferdinand-Isabel, hingga terakhir di tangan Nazi di Eropa. Mereka pernah terusir dari berbagai wilayah, dan kini mereka yang mengusir rakyat Palestina secara paksa ke kamp-kamp pengungsian dan negara lain, dengan kekerasan dan penindasan.
Bukankah mereka yang pernah merasakan pedihnya genosida? Bukankah mereka yang setiap tahun memperingati tragedi Holocaust dengan penuh kesedihan dan perenungan? Mengapa kini mereka justru melakukan hal yang sama terhadap bangsa lain—hal yang seharusnya mereka pahami sebagai luka yang tak patut diwariskan?
Bani Israil, yang merupakan bangsa paling banyak menerima para nabi dan rasul, dahulu pernah menjadi pusat peradaban ketika kitab sucinya dijadikan pedoman hidup. Namun kini, mengapa justru berubah menjadi bangsa yang tampak tak lagi membawa nilai-nilai wahyu? Mengapa mereka melakukan kejahatan kemanusiaan seolah-olah tidak pernah menerima bimbingan langit?
Sejarah dan pengalaman masa lalu ternyata tidak cukup untuk mencegah seseorang atau sebuah bangsa dari mengulangi keburukan yang sama. Ketika nafsu penjajahan menguasai, maka nurani pun dibungkam. Luka sejarah pun berubah menjadi senjata untuk melukai yang lain.
0 komentar: