basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Malaikat Pun Berkisah Tentang Abu Bakar Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- 1. Ketika Langit Menyebut Namanya Andai ada penduduk bumi...

Malaikat Pun Berkisah Tentang Abu Bakar
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

1. Ketika Langit Menyebut Namanya

Andai ada penduduk bumi yang menjadi perbincangan di langit, maka Abu Bakar adalah salah satunya. Ia bukan hanya disebut oleh manusia karena jasanya, tetapi juga oleh para malaikat karena keyakinannya. Namanya harum di langit sebelum diagungkan di bumi.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah ﷺ diliputi keresahan setelah peristiwa Isra dan Mi'raj. Betapa luar biasa pengalaman itu, namun beliau tahu bahwa kisah semacam itu akan sulit dipercaya oleh kaumnya. Rasulullah ﷺ bertanya-tanya: siapa yang akan mempercayai cerita ini?

Jibril datang menenangkannya:

> "Abu Bakar percaya kepada apa yang engkau ceritakan. Dia adalah Ash-Shiddiq."



Keyakinan Abu Bakar adalah cahaya. Kepercayaannya adalah pondasi yang tak tergoyahkan. Ia percaya, bahkan sebelum mata bisa menyaksikan. Ia menerima, bahkan ketika logika manusia meragukan.

Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah ﷺ, pun pernah bersaksi dari atas mimbar:

> "Sesungguhnya Allah menamakan Abu Bakar dengan sebutan Ash-Shiddiq melalui lisan Nabi-Nya."




---

2. Bersamanya dalam Kritisnya Sejarah

Nama Abu Bakar selalu hadir di titik-titik paling kritis dalam sejarah dakwah Rasulullah ﷺ. Dalam malam hijrah, ketika nyawa Rasulullah ﷺ terancam, ia lah yang menyertai di dalam gua. Ia menangis bukan karena takut akan dirinya, tetapi karena khawatir jika musuh menemui Rasulullah ﷺ.

> "Jika salah seorang dari mereka melihat ke arah kakinya, niscaya mereka akan melihat kita," kata Abu Bakar.



Dan Rasulullah ﷺ menenangkannya:

> "Wahai Abu Bakar, apa pendapatmu tentang dua orang, yang Allah adalah yang ketiga di antara mereka?"
(QS At-Taubah: 40)



Dalam Perang Badar, ketika pasukan kaum Muslimin sangat sedikit, para malaikat membicarakan Abu Bakar:

> "Tidakkah kalian melihat Ash-Shiddiq bersama Rasulullah ﷺ di bangsal tempat berteduh?"



Abu Bakar tak hanya berdiri, tetapi memayungi doa dan harapan Rasulullah ﷺ. Ia bukan pelengkap sejarah, ia porosnya.


---

3. Pengorbanan yang Tak Tertandingi

Pada suatu hari, Ibnu Umar menyaksikan Abu Bakar datang kepada Rasulullah ﷺ dengan pakaian yang lusuh dan berlubang. Hanya sehelai jubah sederhana yang menutupi tubuhnya.

Jibril turun, bertanya kepada Rasulullah ﷺ:

> "Wahai Muhammad, mengapa aku melihat Abu Bakar memakai jubah yang berlubang di bagian dadanya?"



Rasulullah ﷺ menjawab:

> "Dia telah menginfakkan seluruh hartanya untukku, sebelum penaklukan kota Makkah."



Jibril menyampaikan pesan langit:

> "Katakan padanya: Apakah kau rela dengan kefakiranmu, ataukah tidak menyukainya?"



Abu Bakar menjawab penuh keyakinan:

> "Apakah saya tidak rela terhadap Tuhanku? Saya rela."




---

4. Saat Dunia Guncang, Ia Tegak

Ketika Rasulullah ﷺ wafat, dunia para sahabat seolah runtuh. Umar bin Khattab bahkan mengancam siapa saja yang mengatakan Rasulullah ﷺ telah meninggal. Saat itu, Abu Bakar berdiri, naik ke mimbar dan berkata:

> "Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat. Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup dan tidak akan mati."



Lalu ia membacakan ayat:

> "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?"
(QS Ali Imran: 144)



Kekokohan Abu Bakar bukan hanya menyelamatkan umat dari kejatuhan emosional, tetapi menegakkan kembali misi risalah.


---

5. Keputusan-keputusan Besar Seorang Sahabat

Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abu Bakar dihadapkan pada ujian demi ujian. Banyak kabilah yang murtad, enggan membayar zakat, dan muncul gelombang pembangkangan dari dalam umat.

Abu Bakar berkata tegas:

> "Demi Allah, andai mereka menolak membayar tali unta yang dahulu mereka bayarkan kepada Rasulullah ﷺ, niscaya aku akan memerangi mereka."



Para sahabat sempat ragu. Tapi Umar bin Khattab pun akhirnya berkata:

> "Demi Allah, setelah Allah lapangkan dada Abu Bakar, aku pun tahu bahwa ia benar."



Ia juga mengirim pasukan Usamah bin Zaid, sebagaimana perintah terakhir Rasulullah ﷺ. Meski banyak yang menyarankan untuk menundanya karena gentingnya kondisi, Abu Bakar tetap melaksanakannya:

> "Tidak mungkin aku membatalkan keputusan Rasulullah ﷺ."




---

6. Malaikat Bicara Tentangnya

Suatu ketika, Rasulullah ﷺ bertanya kepada Jibril tentang keutamaan Umar bin Khattab. Jibril menjawab:

> "Seandainya aku menyebut keutamaannya sepanjang umur Nabi Nuh, tidak akan habis keutamaan itu dibicarakan. Dan sesungguhnya, Umar hanyalah satu dari sekian banyak kebaikan Abu Bakar."



Ketika Abu Bakar membaca ayat:

> "Yā ayyatuha an-nafs al-muṭma’innah..."
(QS Al-Fajr: 27)



Ia berkata:

> "Wahai Rasulullah, ini ayat yang sangat indah."



Rasulullah ﷺ menjawab:

> "Ketahuilah wahai Abu Bakar, kelak malaikat akan mengucapkan ayat ini saat menjelang kematianmu."



Dan saat ajal menjemput, ruhnya dipanggil dengan kelembutan langit:

> "Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai."




---

7. Dua Wazir dari Langit dan Bumi

Di akhir hayat Rasulullah ﷺ bersabda:

> "Tidaklah seorang nabi pun melainkan memiliki dua wazir—satu di langit, dan satu di bumi. Wazirku di langit adalah Jibril dan Mikail. Wazirku di bumi adalah Abu Bakar dan Umar."



Mereka adalah penopang, kekuatan, dan saksi dalam perjalanan risalah.


---

8. Abu Bakar: Di Antara Langit dan Bumi

Abu Bakar bukan hanya dicintai penduduk bumi, tapi juga dimuliakan oleh para penghuni langit. Namanya disebut oleh malaikat bukan karena pangkat, bukan karena keturunan, bukan pula karena kekuatan.

Tetapi karena keimanan yang jernih, keyakinan yang utuh, pengorbanan yang total, dan kesetiaan yang tanpa batas.

Ia adalah Ash-Shiddiq. Peneguh ketika yang lain ragu. Penyejuk ketika yang lain gelisah. Penyangga risalah saat dunia berguncang.

Dan langit pun bercerita tentangnya.


---

Wallahu a'lam.

Pergesekan Internal, Tumbuhkan Ukhuwah dan Khazanah Peradaban   Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejarah bukanlah catatan kering yang ...

Pergesekan Internal, Tumbuhkan Ukhuwah dan Khazanah Peradaban 

 Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Sejarah bukanlah catatan kering yang beku di rak-rak perpustakaan. Ia adalah cermin panjang tempat umat manusia mematut diri. Di balik riwayat kejayaan dan kehancuran, selalu ada denyut emosi, tarikan cinta, luka-luka kecil—dan seringkali, pergesekan.

Tapi dari pergesekan itu pula, lahir kematangan.

Bahkan para tokoh yang paling suci, manusia-manusia pilihan, tidak lepas dari gesekan—bukan karena lemahnya akhlak, tetapi karena kekayaan rasa dan tugas besar yang mereka emban. Di sanalah ruh ukhuwah diuji dan dimurnikan.

1. Dari Kecemburuan, Tumbuh Peradaban

Siti Hajar dan Siti Sarah—dua perempuan mulia dalam rumah tangga Nabi Ibrahim—pernah terlibat kecemburuan. Kisah ini bukan untuk mencela, tetapi menunjukkan bahwa bahkan para istri nabi pun manusia biasa.

Apa hasil dari perasaan yang rapuh ini?

Lihatlah: Siti Hajar akhirnya harus tinggal di sebuah lembah tandus bersama putranya, Ismail. Di sana, ia berlari-lari di antara dua bukit. Lalu Zamzam memancar, dan peradaban Mekah pun tumbuh. Semua bermula dari luka kecil, yang disirami iman dan kesabaran.

> "Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di sebuah lembah yang tidak memiliki tanaman, di dekat rumah-Mu yang dihormati..." (QS. Ibrahim: 37)



2. Musa dan Harun: Teguran Sangat Manusiawi

Ketika Musa kembali dari munajatnya di gunung, ia terperanjat. Kaumnya menyembah patung anak sapi. Marah, ia menarik janggut saudaranya, Harun.

Namun Harun tidak membalas keras dengan keras. Ia menjawab lembut:

> "Wahai putra ibuku, janganlah engkau pegang janggutku... Sungguh, aku khawatir engkau akan berkata: 'Engkau telah memecah belah Bani Israil..." (QS. Thaha: 94)



Apakah ini pertikaian? Bukan. Ini adalah ruang klarifikasi, tempat ukhuwah justru dipertegas oleh kejujuran dan saling menahan diri.

3. Yusuf dan Saudara-saudaranya: Luka yang Disembuhkan oleh Takdir

Saudara-saudara Yusuf pernah melemparkannya ke dalam sumur karena iri. Konflik keluarga nabi. Lagi-lagi, ini bukan cela. Ini adalah cara Allah mengajar umat bahwa pengkhianatan bisa menjadi awal keagungan jika disikapi dengan iman.

Apa akhir dari kisah ini? Yusuf berdiri sebagai penguasa Mesir. Saudara-saudaranya bersimpuh, bukan karena kalah, tapi karena mereka akhirnya memahami rencana Allah yang agung.

4. Sahabat dan Rasulullah: Beda Pendapat, Bukan Pecah

Dalam Perang Badar dan Hunain, para sahabat berselisih soal ghanimah (harta rampasan). Ketegangan muncul. Tapi Allah langsung turun tangan lewat wahyu. Dan Rasulullah ﷺ membimbing mereka dengan kelembutan.

Bahkan dalam Perang Hunain, kaum Anshar sempat merasa tersisih ketika Rasul membagikan harta kepada para mualaf.

Rasul pun bersabda:

> “Seandainya manusia menempuh satu lembah dan kaum Anshar menempuh lembah lain, maka aku akan menempuh lembah kaum Anshar...” (HR. Bukhari dan Muslim)



Kata-kata itu bukan basa-basi. Ia adalah pernyataan cinta, yang meredakan perbedaan dan menyiram ukhuwah yang sempat mengering.

5. Hudaibiyah: Musyawarah dan Keikhlasan

Perjanjian Hudaibiyah adalah salah satu titik penting dalam sejarah umat Islam. Tapi juga salah satu titik paling emosional.

Umar bin Khattab marah. Ia bertanya kepada Abu Bakar:

> “Bukankah dia Rasulullah?”



> “Benar.”



> “Bukankah kita di atas kebenaran?”



> “Benar.”



> “Mengapa kita harus menerima kerendahan ini?”



Abu Bakar menjawab dengan tegas:

> “Sesungguhnya dia adalah Rasulullah. Dia tidak akan menyalahi perintah Rabb-nya. Maka tetaplah engkau berada di sisinya!”



Ali bin Abi Thalib, saat diminta menghapus gelar "Rasulullah" dalam naskah perjanjian, menjawab:

> “Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya.”



Namun Nabi ﷺ sendiri yang akhirnya menghapus tulisan itu, meski beliau buta huruf. Itulah bentuk keikhlasan tertinggi dalam ukhuwah dan strategi.

Bahkan ketika sahabat enggan menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut setelah perjanjian, Ummu Salamah memberi saran bijak:

> “Wahai Rasulullah, jika engkau ingin mereka taat, lakukanlah lebih dulu tanpa berkata-kata.”



Dan benar. Setelah Nabi mencontohkan, para sahabat segera mengikuti. Kadang, pergesekan hanya perlu ditenangkan dengan keteladanan.

6. Bani Quraizah dan Ijtihad yang Dihargai

Setelah Perang Khandaq, Nabi ﷺ bersabda:

> “Janganlah salah seorang dari kalian shalat Ashar kecuali di Bani Quraizah.” (HR. Bukhari dan Muslim)



Waktu hampir habis. Sebagian sahabat shalat di perjalanan. Sebagian lagi menundanya hingga tiba. Dan Rasulullah tidak menyalahkan keduanya.

Ibn Hajar berkata:

> “Rasulullah tidak mencela salah satu dari dua kelompok tersebut.” (Fath al-Bari)



Imam Nawawi menambahkan:

> “Ini dalil bahwa perbedaan ijtihad itu bisa diterima, dan semua mendapatkan pahala selama niatnya benar.”



Inilah pelajaran paling mendalam dari ukhuwah: bukan menuntut keseragaman mutlak, tetapi menerima perbedaan dalam bingkai kejujuran.

7. Mengapa Allah Hadirkan Gesekan?

Agar kita paham: ukhuwah bukanlah kondisi steril tanpa masalah. Justru, ukhuwah sejati lahir dari badai. Dari peluh dan luka. Dari beda pendapat dan keberanian untuk saling memahami.

Jika para nabi pernah berdebat, Jika para sahabat pernah berbeda pandangan, Jika keluarga para nabi pernah diguncang rasa cemburu dan iri,

...lalu mengapa kita harus takut dengan konflik kecil di antara kita?

Jangan remehkan pergesekan. Jangan takut berselisih. Yang penting adalah adab setelahnya: apakah kita saling memaafkan, saling memahami, dan tetap menempuh jalan ukhuwah?

Pergesekan itu seperti api—ia bisa membakar, tapi bisa juga menghangatkan, jika dikawal oleh iman dan kejujuran.

Maka nikmatilah pergesekan. Peluk ia dengan rendah hati. Karena darinya, ukhuwah tumbuh.

Dan dari ukhuwah, Allah menurunkan keberkahan.

Berkah Musyawarah pada Prosesnya Bukan Hasilnya Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Ada kalanya keputusan benar tidak membawa kemenan...

Berkah Musyawarah pada Prosesnya Bukan Hasilnya

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Ada kalanya keputusan benar tidak membawa kemenangan, dan kesalahan tidak selalu berakhir kehancuran. Namun musyawarah—meski hasilnya benar atau salah—tetap menyimpan keberkahan. Sebab, Allah tidak hanya menilai hasil akhir, tapi juga proses yang dilalui dengan adab, keikhlasan, dan kebersamaan.

Mari kita simak bagaimana para Nabi, para pemimpin pilihan Allah, menjadikan musyawarah sebagai pelita dalam gelapnya zaman, petunjuk di tengah ujian yang mengguncang jiwa.


---

1. Dialog Langit: Musa dan Harun

Nabi Musa adalah sosok pemimpin tangguh, yang tahu bahwa beratnya amanah kenabian tak bisa dipikul seorang diri. Dalam doanya, ia mengajukan permintaan:

> "Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku. Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.”
(QS. Thaha: 25–32)



Musa tidak meminta pasukan. Ia tidak meminta kekayaan. Ia meminta sahabat sejati. Seorang pendamping dalam memikul amanah.

Namun sejarah juga mencatat: ada momen saat Harun gagal membendung Bani Israil dari menyembah patung anak sapi. Ketika Musa kembali, ia marah, mengguncang kepala saudaranya.

> “Wahai Harun, apa yang menghalangimu ketika engkau melihat mereka telah sesat? ... Apakah engkau telah (sengaja) mendurhakai perintahku?”
(QS. Thaha: 92–93)



Harun tak membalas dengan amarah. Ia menjawab lirih, dengan hati yang lapang:

> “Wahai putra ibuku, janganlah engkau pegang janggutku dan kepalaku. Sungguh, aku khawatir engkau akan berkata, ‘Engkau telah memecah belah Bani Israil...’”
(QS. Thaha: 94)



Di sinilah makna musyawarah menemukan bentuk terdalamnya: mendengar, menegur, dan menjelaskan. Bahkan antara dua nabi.


---

2. Hikmah Dua Raja: Daud dan Sulaiman

Dua pemimpin, dua pandangan, satu tujuan. Ketika seekor kambing merusak ladang, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman memutuskan hukumnya. Allah mengabadikan peristiwa ini:

> “Dan Kami memberikan pengertian tentang hukum itu kepada Sulaiman; dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu...”
(QS. Al-Anbiya: 79)



Satu pendapat lebih tepat. Tapi keduanya tetap diberi hikmah. Karena dalam ruang musyawarah, setiap suara yang jujur adalah langkah menuju kebijaksanaan.


---

3. Ayah dan Anak: Ibrahim dan Ismail

Bayangkan seorang ayah berkata kepada anaknya:

> “Wahai anakku! Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.”
(QS. Ash-Shaffat: 102)



Apakah Ibrahim butuh restu dari Ismail? Tidak. Ia seorang nabi. Tapi ia tetap mengajak bicara. Karena musyawarah bukan sekadar soal teknis, melainkan penyelarasan hati.

Dan Ismail menjawab:

> “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”



Beginilah cinta dan ketaatan bertemu dalam satu ruang. Musyawarah menjadi jembatan antara wahyu dan ketundukan.


---

4. Rasulullah dan Musyawarah Strategis

Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah berjalan sendiri. Dalam setiap keputusan besar, beliau bermusyawarah. Termasuk saat kondisi paling genting sekalipun.

Perang Khandaq: Ketika Madinah dikepung oleh 10.000 pasukan, Salman al-Farisi mengusulkan strategi asing: menggali parit. Rasulullah menerimanya. Strategi itu menyelamatkan umat.


> "Ide menggali parit tidak dikenal dalam perang Arab sebelumnya..."
—Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah



Perang Badar: Salah satu sahabat mengusulkan perpindahan posisi agar bisa menguasai sumber air. Nabi mengikuti. Hasilnya: kemenangan telak.


> “Wahai Rasulullah, andai engkau menempuh lautan, kami akan menempuhnya bersamamu!”
—Sa'ad bin Mu'adz



Perang Uhud: Rasul ingin bertahan dalam kota. Tapi mayoritas sahabat ingin keluar. Rasul mengikuti pendapat mereka. Hasilnya: kekalahan pahit.


Namun di situ pula, keberkahan musyawarah hadir:

> “Maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka... kemudian bertawakallah kepada Allah.”
(QS. Ali Imran: 159)




---

5. Luka yang Mendidik: Pelajaran dari Uhud

Apakah Rasulullah menyalahkan sahabatnya? Tidak. Justru Allah menurunkan ayat yang menguatkan hati mereka.

> “Kekalahan itu bukan karena lemahnya Rasul, tapi karena Allah sedang mengasah para pejuang Islam dengan luka dan darah.”
—Ibnul Qayyim, Zad al-Ma’ad



Kadang kita kalah, bukan karena salah strategi. Tapi karena Allah sedang menumbuhkan kekuatan baru dari dalam dada yang luka.


---

6. Shalahuddin dan Akka: Keteguhan dalam Kesalahan

Saat pasukan Salib menyerbu Syam, Shalahuddin Al-Ayyubi ingin mencegat mereka di jalan. Tapi hasil musyawarah menyarankan bertahan di kota Akka. Dua tahun pengepungan, dan kota itu jatuh ke tangan musuh.

Banyak yang menilai keputusan itu salah. Tapi Shalahuddin tidak menyalahkan siapapun. Ia jalankan hasil musyawarah dengan sabar dan adab.

> “Akka adalah kota yang tangguh. Shalahuddin tahu bahwa menjaganya berarti menjaga seluruh pesisir Syam.”
—Ibn al-Atsir, Al-Kamil fi al-Tarikh



Dan dari situlah keberkahan muncul. Pasukan Salib mengalami kehancuran moral. Lebih dari 50.000 tewas. Mereka mundur. Umat Islam bangkit kembali.


---

7. Musyawarah: Jalan Rahmat, Bukan Hanya Hasil

Musyawarah bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah. Ia adalah ruang pembelajaran rohani:

Untuk belajar mendengar.

Untuk belajar menahan ego.

Untuk membuka pintu hikmah yang mungkin tidak lahir dari satu kepala.


Rasulullah ﷺ tidak butuh saran. Tapi beliau mendidik umat dengan bermusyawarah. Para Nabi tidak perlu bertanya. Tapi mereka tetap bertanya, karena cinta selalu melibatkan lawan bicara.


---

Penutup: Nikmati Prosesnya

Musyawarah itu ibadah, bukan sekadar metode. Ia adalah jalan untuk menjemput berkah—bahkan bila hasilnya tidak sesuai harapan.

> “Musyawarah adalah tempat Allah menyemai rahmat dan menumbuhkan kekuatan umat.”



Maka, mari kita menikmati prosesnya. Baik salah maupun benar, dalam musyawarah yang tulus, selalu ada cahaya Ilahi yang turun menyinari langkah-langkah kita.


---

Allah memberkahi proses, bukan hanya kemenangan.

Malaikat Heran, Masuk Surga Sebelum Dihisab? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dari Ali bin al-Husain, yang masyhur dikenal Zainal Abid...

Malaikat Heran, Masuk Surga Sebelum Dihisab?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Dari Ali bin al-Husain, yang masyhur dikenal Zainal Abidin, yang berarti "Perhiasan bagi para ahli ibadah", karena ketekunannya dalam ibadah, doa, dan tangisan di malam hari. berkata,

"Apabila Allah SWT mengumpulkan orang-orang terdahulu dan akhir, maka ada yang berseru,:

"Dimanakah orang-orang yang memiliki keutamaan?"

Kemudian beberapa orang bangkit dan berjalan menuju surga.

Para malaikat menyambutnya seraya berkata, "Hendak kemana kalian?"

Mereka menjawab, "Hendak ke Surga."

Malaikat bertanya, "Sebelum dihisab?"

Mereka menjawab, "Ya."

Malaikat bertanya, "Siapakah kamu?"

Mereka menjawab, 'Kami adalah orang-orang yang memiliki keutamaan."

Malaikat menjawab, "Apakah keutamaanmu sewaktu di dunia?"

Mereka menjawab, "Apabila Kami dibodoh-bodohkan orang, kami sabar, dan apabila diperlakukan tidak baik, kami memaafkan."

Malaikat berkata, "Masuklah ke dalam surga, betapa baiknya pahala orang yang beramal."

Kemudian ada seruan yang berseru, "Dimanakah orang-orang sabar?"

Lantas beberapa orang bangkit menuju surga.

Para malaikat menyambutnya seraya berkata, "Hendak kemana kalian?"

Mereka menjawab, "Hendak ke Surga."

Malaikat bertanya, "Sebelum dihisab?"

Mereka menjawab, "Ya."

Malaikat bertanya, "Siapakah kamu?"

Mereka menjawab, "Kami orang-orang yang sabar."

Malaikat bertanya, "Dalam hal apa kesabaran kamu?"

Mereka menjawab, "Sabar dalam hal melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT dan dalam menjauh maksiat kepada-Nya."

Malaikat berkata, "Masuklah ke dalam surga, betapa baiknya pahala orang yang beramal."

Kemudian ada seruan, "Dimanakah tetangga-tetangga Allah SWT?" 

Lantas beberapa orang bangkit menuju surga.

Para malaikat menyambutnya seraya berkata, "Hendak kemana kalian?"

Mereka menjawab, "Hendak ke Surga."

Malaikat bertanya, "Sebelum dihisab?"

Mereka menjawab, "Ya."

Malaikat bertanya, "Siapakah kamu?"

Mereka menjawab," Kami adalah tetangga-tetangga Allah SWT sewaktu di dunia."

Malaikat bertanya, "Bagaimanakah ketetanggaanmu itu?"

Mereka menjawab, "Kami saling mencintai karena Allah SWT dan saling berkorban karena Allah SWT."

Malaikat berkata, "Masuklah ke dalam surga, betapa baiknya pahala orang yang beramal."

Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya nanti pada hari kiamat Allah SWT berfirman, "Dimanakah orang-orang yang dahulu saling mencintai karena Aku? Maka demi kemuliaan dan keagungan-Ku, pada hari ini Aku menaungi mereka dengan naungan-Ku pada saat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku."


Sumber:
Abu Laits As-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin, Pustaka Amani

Kepungan Persoalan Sang Pahlawan Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Pahlawan tidak lahir dari limpahan sumber daya. Ia tumbuh dari k...

Kepungan Persoalan Sang Pahlawan
Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Pahlawan tidak lahir dari limpahan sumber daya. Ia tumbuh dari krisis.

Dalam kekacauan, ia menyusun keteraturan. Dalam keterbatasan, ia ciptakan efektivitas. Ketika orang lain menyerah, ia tetap berpikir. Ketika banyak lari dari beban, ia justru mendekapnya.

Allah berfirman:

> "Betapa banyak kelompok kecil yang dapat mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang sabar."
— QS. Al-Baqarah: 249



Para Sahabat generasi awal di Mekkah, yang disebut as-sabiqun al-awwalun, hanya berjumlah sekitar 60 orang. Tapi mereka menghadapi intimidasi para petinggi Quraisy. Para Nabi dan Rasul lainnya pun hanya ditemani segelintir orang, namun keyakinan tak tergoyahkan.

Dan mereka menang.


---

Andai Kita Shalahuddin...

Bayangkan engkau terlahir sebagai Shalahuddin. Bukan di istana, bukan dalam keagungan. Tapi dalam pengusiran.

Pada malam yang gelap, sang ayah, Najmuddin Ayyub, dan istrinya, diusir dari benteng Tikrit. Mereka keluar membawa luka, kekhawatiran, dan janin dalam kandungan. Di tengah pelarian, di luar benteng, lahirlah bayi itu. Tahun 532 H / 1138 M. Dialah Yusuf bin Ayyub, kelak dikenal sebagai Shalahuddin.

Sebagian riwayat menyebut ia lahir di dalam benteng, tapi malam itu juga terusir. Maka sejak bayi, ia tak memiliki atap perlindungan kecuali langit.

Lalu takdir mengantarnya mengangkat pedang melawan invasi Eropa—pasukan Salib yang rapi, besar, dan bersenjata mutakhir. Didukung penuh oleh sistem militer, rohaniawan, dan logistik gereja.

Sedangkan umat Islam?

Lemah. Terpecah. Bahkan sebagian mengkhianatinya.


---

Di Balik Dinding-Dinding Kota Islam

Sebelum Damaskus berada di tangannya, para wali kota dan pejabat administratif di sana justru membuka diplomasi dengan Kerajaan Salib Yerusalem—demi menjaga kekuasaan mereka sendiri.

Shalahuddin tak serta merta menghunus pedang. Ia menempuh diplomasi. Ia bersabar. Namun saat perlu, ia tekan dengan kekuatan. Sebab kota-kota itu harus bersatu. Bukan untuknya. Tapi demi Al-Quds.

Di wilayah utara—Diyar Bakr, Jazirah, dan daerah Zanki lainnya—beberapa Emir memilih netral, bahkan membuka jalan bagi Salibis, asal wilayahnya aman. Pecah-belah. Opportunisme. Politik kerdil.

Lebih pahit lagi: pemberontakan dari dalam wilayahnya sendiri. Gubernur yang dulunya bersekutu dengannya kini berbalik. Bahkan bersekutu dengan Salib untuk menjatuhkan sang pemimpin.

Tak ada luka yang lebih pedih dari pengkhianatan saudara sendiri.


---

Tikaman dari Kegelapan

Di Aleppo, tahun 1175 M, malam turun membawa bahaya. Seorang pembunuh dari kelompok Hashashin menyusup. Menyamar sebagai prajurit Muslim. Ia berhasil menembus barisan dan hampir menghabisi nyawa sang pahlawan. Tapi penjaga pribadi menggagalkannya.

Belum lama berselang, benteng Masyaf dikepung. Itu markas Hashashin. Mereka membalas. Sekelompok pembunuh kembali menyusup. Salah satunya masuk ke tenda pribadi Shalahuddin. Ia selamat. Tapi luka batin tak mudah hilang.

Di medan perang, musuh terlihat. Di medan hati, musuh menyamar.


---

Menggenggam Harapan di Tengah Kelesuan Umat

Shalahuddin meminta bantuan ke Baghdad. Pada saat itu, Kekhalifahan Abbasiyah hanyalah simbol. Kekuasaan riil hampir sirna. Militernya lemah, logistiknya terbatas. Mereka berada di bawah bayang-bayang konflik internal, tekanan sektarian, dan perebutan kuasa.

Ia melanjutkan langkah. Menuju Bani Seljuk. Namun Kesultanan agung itu pun sedang dalam masa redup. Wilayah-wilayahnya terfragmentasi. Sultan hanya berkuasa secara nominal di beberapa bagian Anatolia. Khurasan telah berjarak dari jangkauan kekuasaan pusat.

Lalu ia memandang Maghribi. Tapi yang datang bukan bantuan, melainkan pengkhianatan.


---

Guru Telah Pergi, Kini Ia Sendiri

Nuruddin Zanki. Guru, pembina, sekaligus cahaya jalan jihadnya. Telah wafat. Shalahuddin berdiri sendiri di panggung sejarah. Amanah besar, tapi tanpa sandaran. Dunia Muslim sedang bingung. Umat tercerai. Pemimpin saling curiga. Umat kelelahan. Tapi ia tidak berhenti.

Jika hari ini engkau berada di posisinya, akankah engkau memikulnya atau melimpahkannya?


---

Kepahlawanan: Menyederhanakan Kekacauan

Pahlawan itu bukan yang kuat secara fisik, tapi yang mampu menyusun makna di tengah kekacauan. Ia menyederhanakan rumitnya persoalan. Ia tidak emosional, tapi rasional. Ia tidak terburu-buru, tapi penuh pertimbangan.

Ketika akhirnya umat Islam bersatu, ketika pasukan Salib mulai mundur, ketika Al-Quds berhasil dibebaskan… ia bisa saja membalas dendam. Bisa saja membangkang pada khalifah yang diam.

Tapi apa yang ia lakukan?

Ia memperbaharui janji setianya kepada Khalifah Abbasiyah.

Karena pahlawan sejati, tahu: di balik kejayaan ada kerendahan hati. Di balik kemenangan ada kepasrahan pada Allah.


---

Belajar Kepemimpinan dari Sang Pahlawan

Shalahuddin bukan hanya ahli strategi. Ia bukan hanya gagah di medan perang. Ia adalah pemimpin spiritual. Ia memahami umat. Ia menyatukan hati sebelum menyatukan panji. Ia sabar sebelum bertindak. Ia pikirkan dampak sebelum mengayunkan pedang.

Kita belajar darinya: bahwa dalam ketidakpastian, kita masih bisa melangkah. Dalam kemiskinan sumber daya, kita masih bisa berkarya.

Dalam kesendirian, kita masih bisa menjadi cahaya.


---

Persaksian Para Sejarawan

Colin Imber dan Carole Hillenbrand, dua sejarawan Barat, mencatat bahwa fragmentasi politik adalah kelemahan utama dunia Muslim kala itu. Kesultanan Seljuk, Dinasti Zanki, dan kekuatan-kekuatan lokal saling tarik ulur. Sebelum Saladin datang, tidak ada persatuan.

Bahauddin ibn Shaddad, penulis resmi biografi Shalahuddin, menulis bahwa meski ia mengagumi sang pahlawan, ia tak menutupi kenyataan. Ada elit Fatimiyah yang mengkhianatinya. Ada faksi politik di Mesir yang ingin menyingkirkannya. Ia diangkat sebagai vizier di usia muda, dan sejak itu ia menjadi target diplomasi licik dan kudeta diam-diam.

Dr. Majid Irsan al-Kailani menyatakan dalam karyanya: “Shalahuddin tidak hadir tiba-tiba. Ia adalah hasil dari reformasi panjang. Lima puluh tahun. Ia menghadapi bukan hanya perang, tapi degradasi iman dan moral umat. Dan ia membangunnya kembali.”


---

Akhirnya…

Kemenangan tidak dimulai dari pedang. Tapi dari jiwa. Dari pikiran yang jernih. Dari iman yang kuat. Dari kepemimpinan yang tidak gentar memikul beban umat.

Shalahuddin tidak sempurna. Tapi dalam keterbatasan, ia tetap berjuang. Dan dalam kepungan persoalan, ia tidak tenggelam—ia justru muncul sebagai cahaya.

Dan hari ini, kita pun bisa memilih: menjadi bagian dari kekacauan, atau penata dari keteraturan.

Revolusi Mempelajari Sejarah Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Mengapa kita belajar sejarah? Apakah hanya untuk mengenang masa lalu...

Revolusi Mempelajari Sejarah

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Mengapa kita belajar sejarah? Apakah hanya untuk mengenang masa lalu? Atau sekadar mengisi catatan kaki dalam buku pelajaran? Sejarah yang benar tidak membelenggu kita pada apa yang telah terjadi, melainkan membebaskan kita untuk memahami arah ke mana umat ini harus melangkah.

Namun sayangnya, sejarah yang banyak ditulis manusia kerap rapuh fondasinya. Ia dibangun dari potongan informasi yang terpecah, disusun oleh perspektif yang bias, dan seringkali dipengaruhi oleh ambisi, kekuasaan, dan kepentingan.

> “Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al-Kitab, supaya kamu menyangka bahwa yang mereka baca itu sebagian dari Al-Kitab, padahal itu bukan dari Al-Kitab...”
(QS. Ali 'Imran: 78)



Jika wahyu saja bisa dipalsukan oleh segelintir ahli kitab, bagaimana dengan catatan sejarah biasa yang tidak memiliki perlindungan wahyu? Bila kitab suci pun diputarbalikkan, bagaimana kita bisa yakin pada sejarah yang hanya bersandar pada kesaksian tercerai, tradisi lisan yang bias, dan dokumen yang bisa dipalsukan?

Sejarah tidak netral. Ia bisa diselewengkan untuk membenarkan kezaliman, menutupi kebenaran, bahkan mencemarkan para nabi, rasul, dan orang-orang saleh.

> “...Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami tetap mengikuti jejak mereka.”
(QS. Az-Zukhruf: 23)



Sebelum Al-Qur’an diturunkan, sejarah manusia gelap. Pewarisan kisah dilakukan lisan tanpa verifikasi. Tak ada standar otoritatif yang mampu memilah antara fakta dan dusta. Maka sejarah pun berubah menjadi alat propaganda.

> “Dan sungguh, Yusuf telah datang kepada kalian sebelumnya dengan bukti-bukti yang nyata, tetapi kalian senantiasa berada dalam keraguan terhadap apa yang dibawanya...”
(QS. Ghafir: 34)



Al-Qur’an hadir sebagai revolusi sejarah. Bukan hanya sebagai kitab suci, tetapi juga sebagai ensiklopedia sejarah profetik.

Al-Qur’an tidak mencatat sejarah untuk nostalgia, tetapi sebagai cermin bagi masa kini dan peta untuk masa depan. Ia merekam dialog peristiwa, mengungkap letupan hati, menyalin bisikan jiwa, dan menyusun narasi dengan kepresisian ilahiah.

> “Yusuf berkata: 'Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku…’”
(QS. Yusuf: 33)



Adakah sejarawan yang mampu menulis sejarah hingga ke dalam niat, kegelisahan batin, dan doa terdalam pelaku sejarah? Al-Qur’an melampaui itu semua.

Ia tidak hanya menyampaikan apa yang terjadi, tetapi juga mengapa itu terjadi, kepada siapa itu terjadi, dan bagaimana akhir dari kisah itu — di dunia hingga akhirat.

> “Kepada mereka (keluarga Fir‘aun) ditampakkan neraka pada pagi dan petang...”
(QS. Ghafir: 46)



Al-Qur’an mengubah cara kita melihat sejarah. Ia tidak menyajikan kronologi dingin, tetapi pola sunnatullah. Muhammad Abduh berkata:

> “Tujuan Al-Qur’an bukan menyampaikan detail kronologis sejarah, tapi untuk menunjukkan pola sunnatullah atas bangsa-bangsa...”



Kisah-kisah dalam Al-Qur’an dipilih, disaring, dan disampaikan tidak berdasarkan kelengkapan data, tetapi berdasarkan kekuatan ibrah (pelajaran). Ketika dibutuhkan detail, Allah memberikannya. Ketika intisari lebih penting, maka ringkasan lebih kuat pengaruhnya.

Inilah keunikan Al-Qur’an: ia menempatkan sejarah bukan sebagai arsip, tapi sebagai panduan. Ia tidak sekadar memotret masa lalu, tapi menyinari masa depan.

Bahkan kisah bisa terkubur jika tidak membawa cahaya. Dan sejarah akan dilupakan jika tak menyentuh nurani manusia.

Al-Qur’an memilih kisah bukan karena keunikan peristiwanya, tetapi karena daya hidupnya dalam membentuk peradaban. Maka, kisah-kisah Al-Qur’an hidup dan menghidupkan. Ia mengajak pembaca untuk berpikir, merenung, dan berubah.

> “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal...”
(QS. Yusuf: 111)



Sejarah dalam Al-Qur’an juga spiritual, bukan sekadar intelektual. Ia menyentuh langit dan bumi, lahir dan batin, awal dan akhir.

Dalam Al-Qur’an, sejarah bukan sekadar domain manusia, tetapi juga Allah. Karena Allah-lah yang menciptakan waktu, menyaksikan segala yang terjadi, dan mencatatnya dengan sempurna.

Maka, siapakah yang lebih layak menulis sejarah dibanding Sang Pencipta sejarah itu sendiri?

> “Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penjelasan; dan contoh-contoh dari orang-orang sebelum kamu...”
(QS. An-Nur: 34)



Al-Qur’an mengajarkan etika dalam menulis dan membaca sejarah:

Kejujuran dalam menyusun narasi

Kepekaan terhadap nilai dan akhlak

Kepedulian terhadap dampak kisah bagi masyarakat

Keterhubungan sejarah dengan tauhid, iman, dan akhirat


Dalam Al-Qur’an, tidak ada kisah netral. Semua kisah memihak kepada nilai. Dan setiap kisah memanggil kita untuk memilih: berdiri di sisi kebenaran atau tersesat dalam keraguan.

Al-Qur’an tidak ingin kita sekadar menjadi pembaca sejarah, tapi pembawa sejarah. Ia ingin umat Islam menjadi penulis kisah peradaban baru, yang bersandar pada wahyu dan akhlak.

Maka, revolusi belajar sejarah dimulai ketika kita menjadikan Al-Qur’an sebagai standar. Sejarah tak lagi hanya milik akademisi, tapi juga milik umat. Bukan sekadar buku referensi, tapi lentera kehidupan.

Sejarah akan mati jika hanya menjadi teks. Tapi ia akan hidup kembali jika dijadikan hikmah.

Dan Al-Qur’an adalah sumber sejarah yang hidup.


---

Penutup:
Mari ubah cara kita mempelajari sejarah. Jadikan Al-Qur’an sebagai cermin, bukan hanya catatan. Bacalah kisah para nabi, umat terdahulu, dan pelaku sejarah dalam Al-Qur’an — dengan hati yang ingin mengambil pelajaran, bukan sekadar informasi.

Karena sejarah dalam Al-Qur’an bukan sekadar apa yang terjadi, melainkan mengapa kita ada.

Tanda Kekalahan Intelektual Oleh: Nasrulloh Baksolahar Pernahkah kita menyaksikan seseorang kalah dalam berdebat, lalu membalasn...

Tanda Kekalahan Intelektual

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Pernahkah kita menyaksikan seseorang kalah dalam berdebat, lalu membalasnya dengan amarah? Atau ketika kata-kata tak lagi mampu menjawab, kekuasaan pun digunakan sebagai senjata? Inilah tanda paling nyata dari kekalahan intelektual.

Namrud kalah berargumentasi, maka Ibrahim dibakarnya.

> "Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang yang membantah Ibrahim tentang Tuhannya (karena) Allah telah memberinya kekuasaan (kerajaan)? Ketika Ibrahim berkata, 'Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.' Dia (Namrud) berkata, 'Aku juga dapat menghidupkan dan mematikan.' Ibrahim berkata, 'Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.' Maka bingunglah orang kafir itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
(QS. Al-Baqarah: 258)



Ketika logika gagal menjawab, api dijadikan solusi. Kekuasaan menjadi alat untuk membungkam bukan untuk melayani kebenaran.

Begitu pula dengan pembesar Mesir. Saat tak mampu membantah Yusuf, mereka memilih memenjarakannya.

> "Kemudian setelah mereka melihat tanda-tanda (kebenaran), mereka memutuskan untuk memenjarakannya sampai waktu tertentu."
(QS. Yusuf: 35)



Penjara menjadi tempat bagi orang-orang yang terlalu benar, ketika lingkungan telah kehilangan nurani dan logikanya.

Fir’aun juga tak berbeda. Saat Musa menunjukkan mukjizat yang nyata, ia malah mengangkat dirinya sebagai tuhan.

> "Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Tetapi dia (Firaun) mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha (menantang). Lalu dia mengumpulkan (kaumnya) dan berseru (dengan sombong): ‘Akulah tuhan kalian yang paling tinggi.’"
(QS. An-Nazi'at: 20–24)



Ketika dalil tak lagi sanggup dibantah, ego ditinggikan, dan rakyat dijadikan tameng. Siksaan menjadi bukti bahwa argumentasi telah mati.

Musyrikin Quraisy pun demikian. Ketika mereka tak mampu menandingi argumentasi Rasulullah ﷺ, mereka menyiksanya. Fenomena ini terus berulang. Kekerasan, siksaan, dan penjara adalah tanda kekalahan intelektual yang paling telanjang dalam sejarah manusia.

Kekokohan Intelektual Berakar dari Akidah

Kekuatan intelektual sejati tidak terletak pada banyaknya gelar, tidak pula pada luasnya pengetahuan duniawi, melainkan pada kokohnya akidah.

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an menulis:

> "Islam tidak memusuhi akal, tetapi menetapkan bahwa pondasi akal adalah iman."



Akal tanpa iman akan tersesat. Ia bisa diseret oleh ego, uang, kekuasaan, atau gengsi. Maka, kekuatan akal yang sejati harus berdiri di atas pondasi tauhid.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pun menegaskan:

> “Akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan wahyu yang sahih. Akan tetapi, mendahulukan akal di atas wahyu secara mutlak adalah menempatkan prasangka di atas keyakinan—dan itu kerusakan dalam akal dan agama.”
(Dar' Ta'arud al-‘Aql wa al-Naql)



Ilmu dan teknologi bukanlah puncak kekuatan intelektual. Ia hanyalah kendaraan, bukan arah. Ia hanyalah sarana, bukan tujuan. Ketika sains tidak lagi bertumpu pada nilai dan iman, maka ia dapat menjadi alat pembinasaan yang justru mematikan akal.

Kecerdasan yang Tergoda Dunia

Qarun menampilkan seluruh kekayaannya untuk menciptakan keterpesonaan. Ia mengecoh akal manusia agar tak lagi melihat pada hakikat kebenaran, melainkan pada gemerlap dunia.

> "Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dengan perhiasannya. Berkatalah orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia, 'Wahai, semoga kami mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun. Sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.'"
(QS. Al-Qashash: 79)



Inilah strategi klasik: mengalihkan perhatian dari kebenaran kepada kesenangan. Dan akal yang tidak dibimbing wahyu akan mudah terpukau.

Haman, tangan kanan Fir‘aun, menggunakan teknologi sebagai dalih untuk meruntuhkan wahyu. Ia membangun menara pencakar langit agar dapat "melihat Tuhan Musa"—sebuah sinisme yang dikemas sebagai kemajuan.

> "Dan Fir‘aun berkata: 'Hai Haman, bangunkanlah untukku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa. Dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.' Demikianlah dijadikan Fir‘aun memandang baik perbuatan buruknya itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar). Dan tipu daya Fir‘aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian."
(QS. Al-Mu’min: 36–37)



Teknologi dijadikan standar kebenaran. Infrastruktur dan proyek megah dijadikan tolok ukur keberhasilan. Namun semua itu tak pernah bisa menggantikan kekuatan akal yang tercerahkan oleh wahyu.

Mayoritas Bukan Ukuran Kebenaran

Di zaman ini, banyak orang menilai benar dan salah berdasarkan jumlah pengikut. Yang viral dianggap paling bernilai. Yang disukai massa dianggap paling valid. Padahal mayoritas bukan ukuran kebenaran.

Al-Qur’an mengingatkan:

> "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah."
(QS. Al-An‘am: 116)



Akal harus berdiri di atas dalil, bukan tren. Kebenaran tetaplah benar walau hanya diikuti segelintir manusia.

Wahyu: Puncak Intelektualitas Manusia

Kekuatan intelektual tertinggi terletak pada Al-Qur’an dan Sunnah. Di sanalah tersimpan argumentasi tertinggi, cahaya yang tak pernah padam, dan hujjah yang tak bisa dikalahkan.

Imam Syafi‘i menulis dalam syairnya:

> "Semua ilmu selain Al-Qur'an hanyalah kesibukan,
Dan ilmu selain hadits Nabi hanyalah sia-sia.
Jika engkau mencari ilmu untuk selain agama,
Maka demi Allah, tipuanlah yang kau pelajari."
(Diwan al-Imam al-Syafi‘i)



Imam Ibnul Qayyim berkata:

> “Ilmu itu adalah apa yang dibawa oleh Rasul ﷺ. Selainnya hanya sekadar bisikan-bisikan pikiran.”
(Miftah Dar as-Sa‘adah, 1/85)



Al-Qur’an dan Sunnah adalah puncak kecerdasan, karena bersumber dari Zat Yang Maha Mengetahui. Wahyu adalah cahaya yang menunjukkan jalan ketika akal buntu.

Ketika manusia berpaling dari wahyu, ia mulai mengandalkan fatamorgana: hiburan, sensasi, teknologi, dan kekuasaan. Akal pun gelap. Intelektualitas menjadi alat tipu daya. Ilmu berubah menjadi ilusi.

Namun bagi mereka yang kembali pada wahyu, Al-Qur’an dan Sunnah menjadi mercusuar. Ia bukan hanya membimbing akal, tetapi juga membersihkan jiwa dan menegakkan keadilan. Ia menjadikan ilmu sebagai jalan ibadah, dan intelektualitas sebagai bukti iman.

Inilah jalan para nabi. Inilah kekuatan sejati.

Bukan pada kekuasaan. Bukan pada senjata. Bukan pada kekayaan. Tetapi pada kebenaran yang bersandar pada wahyu.

Dan mereka yang menolak kebenaran karena kalah logika, tak punya jalan lain kecuali satu:

Membungkam, menindas, dan menyesatkan.

Itulah tanda kekalahan intelektual.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (575) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (254) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (237) Sirah Sahabat (153) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (154) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)