Bisnis yang Mengundang Azab: Dari Syuaib hingga Saba’
"Mengapa begitu banyak kaum dalam sejarah yang diazab Allah bukan karena kurangnya ibadah ritual, melainkan karena cara mereka mengelola harta dan berdagang?"
Pertanyaan itu mungkin menggelitik hati kita. Seakan-akan Al-Qur’an tidak henti-hentinya menyinggung urusan dagang, kekayaan, dan pengelolaan harta. Bukankah shalat lebih penting? Bukankah puasa lebih sakral? Mengapa justru soal timbangan, panen kebun, dan bendungan air yang diceritakan begitu panjang dalam kitab suci?
Mari kita telusuri jejak sejarah kaum-kaum yang Allah abadikan. Kita akan melihat betapa bisnis bisa menjadi jalan surga, atau justru pintu azab.
---
Kaum Nabi Syuaib: Madyan, Negeri Dagang yang Hilang Ditelan Gempa
Kisah pertama datang dari Madyan, sebuah negeri di kawasan sekarang perbatasan Yordania–Arab Saudi, dekat Teluk Aqabah. Wilayah ini pada masanya adalah jalur dagang strategis yang menghubungkan kafilah-kafilah dari Syam (Suriah, Palestina) menuju Yaman.
Nabi Syuaib diutus di tengah masyarakat yang kehidupannya berdenyut di pasar. Mereka pintar berdagang, tetapi kebiasaan buruk merusak pasar: mengurangi takaran, menipu timbangan, memanipulasi harga, dan menahan hak orang miskin.
Allah berfirman:
> “Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-hak mereka dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. Asy-Syu‘ara’: 181–183)
Kaum Madyan tidak hanya menolak peringatan, mereka bahkan membanggakan kekayaan di hadapan Nabi Syuaib, seakan berkata: “Apa hakmu mengatur pasar kami? Inilah sumber kemakmuran kami.”
Al-Tabari meriwayatkan bahwa mereka meremehkan Syuaib dengan menyebutnya “Sosok lemah” yang tidak tahu dunia bisnis. Tetapi justru di situlah letak kesalahan: mereka memisahkan antara agama dan ekonomi.
Azab pun turun. Gempa dahsyat mengguncang Madyan hingga negeri itu lenyap. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menulis: keruntuhan masyarakat biasanya bermula dari rusaknya moral ekonomi—ketika perdagangan tak lagi diikat oleh kejujuran, maka runtuhlah kepercayaan sosial. Madyan menjadi contohnya.
---
Qarun: Si Kaya dari Mesir yang Ditelan Bumi
Lalu mari melompat ke zaman Nabi Musa, di tanah Mesir. Di sinilah muncul tokoh Qarun, yang menurut sebagian riwayat adalah kerabat Musa dari Bani Israil.
Qarun digambarkan Al-Qur’an sebagai orang sangat kaya.
> “Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, tetapi ia berlaku zalim terhadap mereka. Dan Kami telah memberinya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya saja sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat.” (QS. Al-Qashash: 76)
Ia sombong, berkata:
> “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78)
Ibnu Katsir menafsirkan: Qarun berbangga bahwa kekayaannya berasal dari “ilmu manajemen keuangan” yang ia kuasai. Ia lupa bahwa ilmu, peluang, dan hidup itu sendiri adalah karunia Allah.
Riwayat Israiliyat menyebut, Qarun memiliki istana besar di Mesir, tempat ia sering berparade menunjukkan hartanya di hadapan orang-orang miskin. Bahkan ia pernah mencoba mempermalukan Nabi Musa dengan fitnah, namun gagal.
Azab pun datang. Allah menenggelamkan Qarun bersama hartanya ke dalam bumi. Lokasinya diyakini di sekitar Mesir Hulu, meski detail geografisnya kini hilang ditelan waktu.
Hadits Nabi ﷺ mengingatkan:
> “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba di hari kiamat sebelum ditanya tentang empat perkara… dan tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan.” (HR. Tirmidzi)
Qarun gagal menjawab pertanyaan ini bahkan sebelum hari kiamat tiba.
---
Pemilik Kebun: Dua Pelajaran dari Yaman dan Mekah
Dua kisah kebun dalam Al-Qur’an juga erat dengan urusan bisnis dan pengelolaan harta.
1. Pemilik Kebun dalam Surat Al-Kahfi
Kisah ini diyakini terjadi di kawasan Himyar, Yaman, meski sebagian mufassir menyebut di daerah Arab selatan lain. Seorang kaya raya memiliki dua kebun anggur subur dengan sungai di antaranya.
Ia berkata kepada sahabatnya yang beriman:
> “Aku lebih banyak harta daripadamu dan lebih kuat pengaruhnya.” (QS. Al-Kahfi: 34)
Ia merasa kebunnya abadi. Namun Allah mengirim azab: kebun itu hancur seketika.
Al-Qurthubi menafsirkan: inilah contoh bisnis yang terlalu percaya pada stabilitas pasar dan kekuatan manusia, lupa pada kehendak Allah.
2. Pemilik Kebun dalam Surat Al-Qalam
Kisah lain terjadi di Yaman bagian selatan, menurut riwayat Al-Thabari. Sekelompok bersaudara mewarisi kebun dari ayah mereka, yang dahulu dermawan memberi hasil panen kepada fakir miskin.
Namun setelah ayah wafat, mereka sepakat: “Panenlah pagi-pagi sebelum orang miskin datang meminta.”
Allah berfirman:
> “Mereka bersumpah akan memetik hasil kebunnya di pagi hari. Maka datanglah azab dari Tuhanmu ketika mereka tidur, hingga kebun itu menjadi hitam seperti malam yang gelap.” (QS. Al-Qalam: 17–20)
Ibn Katsir menafsirkan: azab ini datang karena mereka menutup pintu rezeki bagi kaum dhuafa, padahal zakat hasil pertanian adalah hak yang wajib.
---
Kaum Saba’: Peradaban Bendungan Ma’rib yang Lenyap
Kaum Saba’ adalah bangsa besar di Yaman kuno. Ibukotanya di sekitar kota Ma’rib sekarang. Mereka membangun bendungan besar yang mengairi perkebunan luas. Al-Qur’an menggambarkan negeri mereka sebagai negeri yang ideal:
> “Negerimu adalah negeri yang baik dan Tuhanmu Maha Pengampun.” (QS. Saba’: 15)
Namun mereka tidak bersyukur. Mereka meninggalkan tanah subur demi mengejar keuntungan di negeri-negeri lain, dan mulai menyembah selain Allah.
> “Maka mereka berpaling, lalu Kami datangkan kepada mereka banjir besar, dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan kebun yang ditumbuhi pohon-pohon pahit...” (QS. Saba’: 16)
Sejarawan Arab kuno menulis: runtuhnya Bendungan Ma’rib bukan hanya bencana alam, tetapi juga akibat kelalaian mereka dalam memelihara infrastruktur—simbol kerakusan yang sibuk mencari keuntungan baru ketimbang menjaga nikmat yang ada.
Hari ini, reruntuhan Bendungan Ma’rib masih bisa dilihat di Yaman, menjadi saksi bisu bagaimana sebuah peradaban besar hilang hanya karena ingkar nikmat dalam urusan ekonomi.
---
Mengapa Banyak yang Diazab karena Bisnis dan Harta?
Pertanyaan ini kembali menggema. Mengapa Al-Qur’an begitu keras menyoroti urusan harta, sementara dosa-dosa lain juga banyak?
1. Bisnis adalah nadi kehidupan sosial.
Pasar adalah tempat manusia bertemu setiap hari. Jika pasar rusak, seluruh masyarakat rusak. Nabi ﷺ bahkan berdoa agar pasar Madinah diberkahi, karena di sanalah denyut kota.
2. Harta menyentuh dimensi pribadi dan sosial sekaligus.
Shalat hanya untuk Allah, tetapi harta menyangkut hak orang lain. Salah kelola harta berarti zalim pada masyarakat.
3. Kekayaan mudah menumbuhkan kesombongan.
Qarun berkata “ilmu saya”, pemilik kebun berkata “ini abadi”, kaum Saba’ berkata “kami tidak butuh syukur”. Semua runtuh karena lupa bahwa harta hanyalah titipan.
4. Ujian terbesar ada pada rezeki.
Hadits Nabi ﷺ:
> “Sesungguhnya bagi setiap umat ada fitnah, dan fitnah bagi umatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi)
---
Refleksi: Pasar Kita, Azab atau Rahmat?
Ketika kita menengok kembali kisah-kisah ini—dari Madyan di Yordania, Mesir tempat Qarun, kebun-kebun di Yaman, hingga reruntuhan Bendungan Ma’rib—semua menjadi cermin bagi kita.
Bukankah pasar kita hari ini sering mengulang dosa yang sama?
Menipu timbangan dengan laporan keuangan palsu.
Membanggakan kekayaan di media sosial, lupa bahwa itu bisa hilang dalam sekejap.
Menutup pintu rezeki bagi yang lemah dengan sistem yang tidak adil.
Mengabaikan nikmat negeri sendiri demi mengejar ilusi keuntungan di luar.
Al-Qur’an seakan berkata: “Hati-hatilah, kalian bisa menjadi Madyan baru, Qarun baru, atau Saba’ modern.”
Namun sebaliknya, jika pasar dikelola dengan amanah, harta bisa menjadi jalan menuju surga. Nabi ﷺ bersabda:
> “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, shiddiqin, dan syuhada.” (HR. Tirmidzi)
---
Penutup: Harta Sebagai Ujian, Bukan Tujuan
Kekayaan bukanlah dosa. Tetapi membanggakannya, menutup hak orang lain, mengingkari nikmat, dan menjadikan harta sebagai tuhan—itulah jalan menuju azab.
Kaum Syuaib lenyap di Madyan, Qarun ditelan bumi di Mesir, kebun-kebun di Yaman hancur, Bendungan Ma’rib runtuh. Semuanya memberi pesan abadi: bisnis tanpa iman adalah pintu kehancuran.
Maka mari kita bertanya kepada diri sendiri:
Apakah pasar yang kita kelola hari ini sedang menanam benih surga, atau justru benih azab?
> “Katakanlah: Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-Nya dan menyempitkannya. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, niscaya Dia akan menggantinya; dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39)
0 komentar: