Kaum Saba’: Negeri yang Dipuji Allah karena Perkebunan dan Pertanian
1. Pembukaan: Pujian Langit untuk Negeri di Bumi
Al-Qur’an menyingkap sebuah negeri yang menjadi teladan dalam sejarah. Negeri itu bukan Romawi atau Persia yang megah, bukan pula Mesir dengan piramidanya. Tetapi sebuah negeri di jazirah Arab selatan: Saba’, yang kini kita kenal sebagai Yaman kuno.
Allah SWT berfirman:
> “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, (yaitu) dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu dari rezeki Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Tuhanmu adalah) Tuhan yang Maha Pengampun.”
(QS. Saba’: 15)
Ayat ini, kata Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, adalah pujian Allah untuk negeri yang memiliki keseimbangan: tanahnya subur, udaranya segar, hasil buminya melimpah. Maka Allah sebut dengan kalimat agung: “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr” — sebuah negeri yang baik, dengan Tuhan yang Maha Pengampun.
Seorang guru spiritual seakan berbisik kepada muridnya:
> “Nak, perhatikanlah. Allah tidak memuji negeri karena istananya, bukan karena tentaranya, tapi karena kebun dan syukurnya. Sebab kemakmuran sejati bukan hanya pada bangunan, melainkan pada kesuburan tanah dan kerendahan hati penduduknya.”
---
2. Kemakmuran Agraris: Dua Kebun, Dua Sayap Kehidupan
Ibnu Katsîr menafsirkan bahwa dua kebun di kanan dan kiri itu bukan hanya simbol, tapi kenyataan. Negeri Saba’ diapit oleh kebun-kebun raksasa, dipenuhi pohon kurma, anggur, delima, padi-padian, dan rempah. Sungai-sungai kecil mengalir, burung-burung beterbangan, udara Yaman berhembus sejuk.
Kaum Saba’ hidup dalam kelimpahan. Mereka tidak perlu menempuh perjalanan jauh seperti Quraisy. Jika Quraisy berlayar ke Syam dan Yaman demi perdagangan, maka Saba’ cukup memetik dari kebun mereka sendiri. Mereka memiliki cash flow agraris yang stabil—hasil panen harian, musiman, hingga tahunan.
Sejarawan Arab, Al-Hamdani, dalam karyanya Sifat Jazîrat al-‘Arab, menggambarkan Yaman sebagai negeri yang “airnya teratur, tanahnya hijau, dan hasil panennya tiada habis.”
---
3. Rekayasa Bendungan Ma’rib: Keajaiban Teknik di Zaman Kuno
Rahasia kemakmuran Saba’ ada pada Bendungan Ma’rib. Sejarawan menyebutnya salah satu proyek teknik terbesar di dunia kuno, berdiri sejak sekitar 1.700 tahun sebelum Masehi.
Bagaimana mereka membangunnya?
Bendungan ini memanfaatkan lembah Adhana, tempat aliran hujan dari pegunungan Yaman berkumpul.
Mereka membangun dinding raksasa dari batu dan tanah, panjangnya sekitar 600 meter, tinggi 15 meter.
Air yang tertampung kemudian dialirkan melalui sistem irigasi canggih ke kebun-kebun di kanan dan kiri lembah.
Al-Tabari meriwayatkan bahwa dengan bendungan ini, tanah Saba’ mampu menghasilkan panen berlipat ganda. Kurma, anggur, dan biji-bijian tumbuh subur.
Kisah ini membuat kita merenung: jauh sebelum bangsa Romawi membangun aquaduct, kaum Saba’ telah mengelola air dengan teknologi yang menakjubkan.
---
4. Perjalanan ke Syam: Saba’ dan Jalur Dagang Internasional
Meski makmur dengan pertanian, kaum Saba’ tidak menutup diri dari perdagangan. Mereka tetap mengirim kafilah dagang ke Syam, membawa hasil pertanian, madu, dan rempah, lalu kembali dengan kain, besi, dan perhiasan.
Dalam tafsir Ibn ‘Ashur, perjalanan Saba’ ke Syam digambarkan penuh keamanan: “Mereka melewati negeri-negeri dengan jarak yang teratur, aman, dan tidak kekurangan.”
Namun, berbeda dengan Quraisy yang identitasnya adalah pedagang, kaum Saba’ adalah petani yang berdagang, bukan pedagang murni.
---
5. Ketika Lupa Bersyukur
Kemakmuran sering melahirkan kelalaian. Kaum Saba’ jatuh pada kesombongan. Mereka berpaling dari syukur, merasa kebun mereka abadi.
Maka Allah kirimkan peringatan. Bendungan Ma’rib jebol. Air bah meluluhlantakkan kebun. Dua kebun yang subur berganti dengan pohon pahit dan semak belukar.
> “Maka mereka berpaling, lalu Kami kirimkan kepada mereka banjir yang besar, dan Kami ganti dua kebun mereka dengan dua kebun yang berbuah pahit, pohon ats-tsadl, dan sedikit pohon sidr.”
(QS. Saba’: 16)
Ibnu Katsîr menyebut peristiwa ini sebagai “Sayl al-‘Arim” — banjir besar yang menghancurkan peradaban. Hadits riwayat Imam Ahmad menyinggung, kaum Saba’ terpaksa tercerai-berai, berpindah ke berbagai daerah, menjadi bangsa yang hilang kejayaannya.
---
6. Syukur sebagai Penjaga Negeri
Pelajaran dari kisah ini jelas. Negeri yang baik bisa rusak jika syukur hilang.
Al-Qur’an tidak hanya mengajarkan iman, tapi juga memberi rumus peradaban:
Quraisy dipuji karena jaringannya, tapi diminta menyembah Allah.
Saba’ dipuji karena kebunnya, tapi diminta bersyukur.
Dua-duanya jatuh ketika lupa tujuan. Quraisy menjadi angkuh terhadap Nabi ﷺ, Saba’ menjadi sombong dengan kebunnya.
Seorang ulama sufi berkata:
> “Kemakmuran tanpa syukur adalah gurun yang menunggu badai. Hanya syukur yang bisa membuat kebun tetap hijau.”
---
7. Refleksi Modern: Negeri Subur dan Negeri Tandus
Hari ini, pelajaran Saba’ terasa relevan. Ada negeri yang kaya sumber daya alam, tapi miskin karena lupa syukur. Ada negeri yang tandus, tapi makmur karena pandai mengelola.
Singapura seperti Quraisy: tandus, tapi kaya karena jaringan dagang.
Indonesia lebih mirip Saba’: tanahnya subur, tapi sering gagal makmur karena bendungan sosial-politik bocor.
Kuncinya tetap sama: syukur, integritas, dan tata kelola yang adil.
---
8. Penutup: Kebun Kehidupan
Mari kita kembali pada suara lembut ayat itu:
> “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr” — negeri yang baik, Tuhan yang Maha Pengampun.
Seakan Allah berpesan: kebunmu, ladangmu, usahamu, semuanya hanya akan bertahan jika engkau menjaganya dengan syukur.
Kaum Saba’ adalah cermin. Kebun yang indah bisa musnah dalam semalam jika manusia lupa pada Pemiliknya. Tapi kebun yang dirawat dengan syukur akan menjadi jalan menuju surga, di mana kebun-kebun dan sungai-sungai abadi menanti.
0 komentar: