Tidak Miskin dengan Prinsip Keuangan Ini?
Jalan Keuangan yang Tidak Mati
Hidup manusia sering terjebak antara dua kutub: mengejar dunia sampai lupa akhirat, atau meninggalkan dunia dengan dalih memburu akhirat. Padahal, Sayyid Qutb mengingatkan bahwa Islam bukanlah agama yang memutuskan dunia dari langit, melainkan menenun keduanya menjadi satu kesatuan. Maka, dalam setiap nafas ibadah, dalam setiap rupiah yang keluar dan masuk, ada ruh ketuhanan yang mengikatnya.
Pertanyaan kita: Bisakah seorang Muslim mengelola uangnya tanpa miskin—bukan sekadar kaya materi, tapi kaya makna? Jawabannya ada dalam tujuh karakter ajaran Islam yang ditawarkan Sayyid Qutb. Mari kita lihat satu per satu, sambil menimbang bagaimana prinsip ini bekerja dalam keuangan rumah tangga, bisnis, hingga masyarakat.
---
1. Rabbaniyah – Semua Berawal dari Allah
Islam adalah agama yang rabbaniyah, bersumber langsung dari Allah, bukan dari rekayasa manusia. Karena itu, harta yang kita miliki hakikatnya bukan milik kita, melainkan titipan-Nya.
> “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (QS. Al-Hadid: 7)
Prinsip ini memengaruhi cara kita memandang uang. Ia bukan sekadar angka dalam rekening, tapi amanah ilahi. Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq pernah memberikan seluruh hartanya untuk dakwah, sementara Umar bin Khattab memberikan setengah dari hartanya. Bagi mereka, harta adalah alat menuju Allah, bukan tujuan akhir.
Rabi’ah al-Adawiyah menolak hadiah emas yang ditawarkan seorang dermawan. Katanya, “Aku malu menerima perhiasan dunia dari selain Dia, padahal Dia-lah Pemiliknya.” Inilah ruh rabbaniyah—tidak meletakkan harta di hati, melainkan di genggaman.
Dalam keuangan kontemporer, prinsip ini setara dengan value-based finance: mengelola uang berdasarkan nilai spiritual, bukan sekadar rasionalitas angka. Banyak konsultan keuangan menekankan bahwa “mindset” adalah fondasi cash flow yang sehat. Mindset rabbaniyah membuat kita sadar bahwa setiap pengeluaran dan pemasukan harus punya arah: mendekatkan diri kepada Allah.
---
2. Insaniyah – Untuk Kemanusiaan
Islam tidak diturunkan untuk malaikat, tetapi untuk manusia. Karena itu ajarannya insaniyah—memuliakan manusia, menolak penindasan, dan menjaga keseimbangan hidup.
> “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam…” (QS. Al-Isra’: 70)
Dalam praktik keuangan, prinsip insaniyah melarang eksploitasi, riba, dan monopoli. Umar bin Khattab melarang pedagang menimbun barang untuk menaikkan harga. Abdurrahman bin Auf—sahabat yang dikenal kaya raya—membagikan keuntungan dagangnya untuk membebaskan budak dan membantu fakir miskin.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menolak warisan yang diperoleh dari sumber haram. Ia lebih memilih hidup sederhana ketimbang membiayai hidupnya dengan uang yang menzalimi orang lain.
Konsep ini sejalan dengan social finance atau keuangan inklusif—bagaimana uang dikelola bukan hanya untuk profit, tetapi juga untuk kesejahteraan masyarakat. Prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) dalam bisnis global sejatinya adalah gema dari nilai insaniyah yang telah lebih dahulu diajarkan Islam.
---
3. Syumuliyah – Menyeluruh, Tidak Terpisah
Islam adalah sistem yang syumuliyah: mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada sekat antara ibadah dan ekonomi, antara masjid dan pasar.
> “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)…” (QS. Al-Baqarah: 208)
Para sahabat Nabi tidak hanya ahli ibadah, tetapi juga pedagang, pemimpin, dan pengatur keuangan. Utsman bin Affan dikenal sebagai dermawan yang membiayai ekspansi Islam dengan kapal-kapal dagangnya.
Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebutkan bahwa mencari nafkah halal dengan niat memberi nafkah keluarga sama pahalanya dengan jihad. Inilah gambaran syumuliyah: aktivitas ekonomi adalah ibadah.
Dalam manajemen keuangan pribadi, prinsip syumuliyah menuntut integrasi. Anggaran keluarga bukan hanya mencatat biaya makan atau sekolah, tetapi juga zakat, infak, dan dana sosial. Dalam dunia bisnis, ini berarti tidak memisahkan corporate governance dari etika spiritual.
---
4. Wasathiyah – Keseimbangan
Islam mengajarkan wasathiyah: tidak boros, tidak kikir, tidak materialistis, tapi juga tidak asketis berlebihan.
> “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)
Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Harta itu laksana ular: lembut disentuh, tapi beracun di dalam. Gunakan dengan hati-hati.” Ia mencontohkan keseimbangan: hidup sederhana, tapi tidak miskin karena menolak dunia.
Hasan al-Bashri menasihati muridnya agar tidak memusuhi dunia secara mutlak. Dunia adalah ladang akhirat; yang salah adalah keterikatan hati yang berlebihan.
Konsep ini serupa dengan financial balance—menyeimbangkan konsumsi, tabungan, investasi, dan sedekah. Konsultan keuangan seperti Dave Ramsey menyarankan 50-30-20 rule (50% kebutuhan, 30% keinginan, 20% tabungan/investasi). Prinsip ini sudah diajarkan Al-Qur’an sejak 14 abad lalu.
---
5. Waqi’iyah – Realistis dan Praktis
Islam bukan utopia, melainkan waqi’iyah—realistis. Ia memperhitungkan kelemahan manusia. Tidak semua orang wajib sedekah besar; yang penting sesuai kemampuan.
> “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Nabi Muhammad ï·º mengajarkan kepraktisan ini. Saat seorang sahabat ingin menyedekahkan seluruh hartanya, beliau melarang: “Tinggalkanlah ahli warismu dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada meninggalkan mereka miskin dan meminta-minta.”
Imam Malik menolak gaya zuhud ekstrem yang mengabaikan kebutuhan keluarga. Menurutnya, keadilan terhadap keluarga juga bagian dari ibadah.
Prinsip ini sejalan dengan cash flow management: membuat anggaran sesuai realitas, bukan fantasi. Banyak keluarga bangkrut bukan karena miskin, tapi karena pengeluaran lebih besar dari pemasukan. Waqi’iyah mengingatkan: realistis itu kunci.
---
6. Istiqamah wa al-Tsabat – Konsisten dan Teguh
Islam menuntut konsistensi: istiqamah dalam prinsip, meski dunia berubah.
> “Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Ahqaf: 13)
Abu Bakar tetap istiqamah menjaga amanah umat, meski ditentang ketika memerangi kaum murtad yang enggan membayar zakat. Ia tidak kompromi dengan sistem batil.
Jalaluddin Rumi menulis, “Istiqamah lebih mulia daripada seribu karamah.” Konsistensi dalam hal-hal sederhana—seperti menahan diri dari boros—lebih berharga daripada kejadian luar biasa.
Dalam keuangan, istiqamah berarti disiplin. Orang kaya bukan yang berpenghasilan besar, melainkan yang konsisten menabung, berinvestasi, dan bersedekah. Warren Buffett menyebut kunci kekayaan adalah consistency over intensity: konsisten dalam jangka panjang lebih kuat daripada usaha sesaat.
---
7. Harakah – Dinamis dan Revolusioner
Islam adalah agama harakah—bergerak, dinamis, dan mendorong perubahan sosial.
> “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Rasulullah ï·º tidak hanya berdakwah di masjid, tetapi juga membangun pasar Madinah untuk membebaskan umat dari monopoli Yahudi. Pasar ini bukan hanya ruang dagang, tapi simbol revolusi ekonomi Islam.
Abdurrahman bin Auf hijrah ke Madinah tanpa harta, tapi ia bangkit dengan kerja keras, jujur, dan profesional. Dalam waktu singkat, ia menjadi konglomerat tanpa meninggalkan keshalihan.
Prinsip ini sejalan dengan financial growth mindset: melihat uang sebagai sarana berkembang, bukan hanya bertahan hidup. Dinamika ekonomi digital, investasi halal, hingga wirausaha sosial adalah bentuk harakah dalam keuangan modern.
---
Kaya Tanpa Takut Miskin
Sayyid Qutb mengajarkan bahwa Islam bukan teori di atas kertas, melainkan jalan hidup. Rabbaniyah, insaniyah, syumuliyah, wasathiyah, waqi’iyah, istiqamah, dan harakah—tujuh karakter ini bukan sekadar konsep, melainkan peta jalan untuk hidup kaya secara makna.
Kaya bukan berarti tidak pernah kekurangan, tetapi hidup dengan prinsip yang membuat harta tidak menjadi tuan atas diri kita. Sebagaimana kata Ali bin Abi Thalib: “Kekayaan sejati adalah hati yang qana’ah.”
Maka, pertanyaan “Tidak miskin dengan prinsip keuangan ini?” bukanlah janji kekayaan instan, melainkan ajakan untuk menapaki jalan Islam secara kaffah. Sebab, siapa yang berjalan bersama nilai ilahi, ia tidak akan miskin—baik di dunia, apalagi di akhirat.
0 komentar: