basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Cara Terakhir Israel Menghancurkan Gaza: Menanam Budak-Budak Kolonial Ketika bom berhenti, bukan berarti perang berakhir. Justru...


Cara Terakhir Israel Menghancurkan Gaza: Menanam Budak-Budak Kolonial



Ketika bom berhenti, bukan berarti perang berakhir. Justru di saat gencatan senjata diumumkan, Israel menyiapkan bentuk baru dari penghancuran Gaza: bukan lagi dengan misil, tapi dengan manusia yang dijadikan alat—budak kolonial yang menabur kehancuran dari dalam.


---

1. Dari Bom ke Budak: Evolusi Kekerasan Kolonial

Israel tahu bahwa penghancuran fisik Gaza bukanlah akhir. Batu bisa dibangun kembali, reruntuhan bisa dibersihkan. Tapi masyarakat yang rusak—jiwa yang kehilangan makna hidup bersama—itulah kehancuran yang paling permanen.

Maka setelah gagal menaklukkan Hamas melalui kekuatan militer, Israel beralih pada “pemerintahan melalui perantara”: membentuk geng kriminal bersenjata, memberi mereka uang, kendaraan, senjata, dan perlindungan, lalu melepaskan mereka di tengah rakyat yang lapar.
Tujuannya: menjadikan rakyat Gaza saling membunuh atas nama kelangsungan hidup.

Empat geng besar—Abu Shabab di Rafah, Husam al-Astal di Khan Younis, Ashraf al-Mansi di Beit Lahia, dan Rami Heles di Gaza timur—menjadi simbol dari kolonialisme gaya baru: pendudukan tanpa tentara.
Israel tidak lagi perlu hadir secara langsung; cukup menanamkan budak-budak yang bekerja untuknya dengan wajah Palestina.


---

2. Rekayasa Kekacauan: Kolonialisme Tanpa Tanda Tangan

Langkah ini bukan improvisasi, tapi kelanjutan dari pola lama. Tahun 1982, Israel membentuk South Lebanon Army—pasukan bayaran lokal untuk melakukan pekerjaan kotor di kamp pengungsi Sabra dan Shatila. 3.500 warga Palestina dibantai tanpa satu pun tentara Israel tertuduh.

Kini cetak biru yang sama diterapkan di Gaza.
Israel menciptakan milisi proksi yang dapat memprovokasi perang saudara, menjarah konvoi bantuan, dan menimbulkan kekacauan yang bisa dijadikan dalih bagi Israel untuk berkata:

 “Lihat, mereka tidak mampu memerintah diri sendiri.”

Dalam logika kolonial, kekacauan bukanlah kegagalan, tapi strategi.
Semakin Gaza terlihat kacau, semakin kuat alasan Israel untuk bertahan di 58% wilayah yang kini mereka kuasai—dengan dalih “menjaga stabilitas.”


---

3. Budak Kolonial: Wajah Lokal dari Proyek Zionis

Yasser Abu Shabab hanyalah satu contoh paling mencolok dari budak kolonial ini.
Dulunya pengedar narkoba, buronan hukum, dan kolaborator dengan jaringan ISIS di Sinai, kini ia dijadikan “pemimpin masyarakat” versi Israel.
Kepada dia dijanjikan uang, senjata, rumah, dan “kehormatan semu” sebagai pelindung rakyat Gaza—padahal sejatinya ia melindungi rencana penjajahan.

Para budak kolonial ini diberi kebebasan menjarah truk bantuan di bawah lindungan tank Israel. Mereka membunuh polisi Gaza yang mencoba menegakkan hukum. Dan setiap kali Hamas mencoba menumpas mereka, drone Israel menembaki Hamas dengan alasan “menargetkan teroris.”

Itulah bentuk baru kolonialisme: menjadikan pengkhianatan sebagai profesi.


---

4. Gagalnya Skema Kolonial: Budak yang Tak Diterima Bangsanya

Namun seperti di Lebanon dulu, eksperimen ini mulai gagal.
Geng-geng buatan Israel ini tidak pernah diterima rakyat Gaza—tidak oleh keluarganya sendiri, bahkan oleh klannya. Mereka diasingkan, dikutuk, dan diburu oleh masyarakat yang sadar bahwa tangan mereka berlumur darah sesama.

Alih-alih menghancurkan Hamas, taktik ini justru memperkuatnya.
Warga Gaza yang muak dengan kekacauan mulai kembali ke barisan perlawanan. Hamas kini membentuk “Unit Panah”, pasukan yang bertugas memburu geng kriminal dan kolaborator.
Kematian para pengkhianat itu menjadi simbol kebangkitan baru Gaza: bahwa kehormatan tidak bisa dibeli, dan penjajahan tidak bisa dipoles dengan dalih keamanan.


---

5. Desa Potemkin: Menjual Ilusi Rekonstruksi

Namun, Israel tidak berhenti di situ.
Kini mereka mulai membangun “desa-desa percontohan”—sebuah proyek kosmetik yang disebut “rekonstruksi Gaza.”
Padahal, wilayah yang akan dibangun hanyalah 58% zona yang kini kosong dari penduduk—kecuali para geng dan keluarga mereka yang menjadi “model warga Gaza baru.”

Seperti desa Potemkin di era Tsar Rusia, ini hanyalah panggung palsu: fasad beton untuk menipu dunia bahwa Gaza sedang dibangun, padahal dua juta warganya dibiarkan mati kelaparan di luar pagar.
Israel ingin dunia melihat Abu Shabab dan gengnya sebagai simbol “pemulihan”, agar dunia lupa bahwa yang mereka bangun bukan kehidupan, melainkan kuburan yang diberi cat baru.


---

6. Kolonialisme 2.0: Pemerintahan Melalui Kekacauan

Dalam pandangan Israel, budak kolonial ini berfungsi seperti virus: menyebarkan keruntuhan dari dalam, menghancurkan kepercayaan, memecah solidaritas, dan menanamkan rasa takut terhadap sesama.
Inilah kolonialisme 2.0—pemerintahan tanpa pemerintahan, penjajahan tanpa bendera.

Mereka bukan penjajah yang datang dengan tank, tapi dengan uang, senjata, dan janji palsu.
Mereka tidak berperang untuk tanah, tapi untuk legitimasi narasi bahwa “Palestina gagal karena dirinya sendiri.”


---

7. Kesimpulan: Antara Pengkhianat dan Pewaris

Namun sejarah memiliki logika sendiri.
Setiap kali penjajahan menanamkan pengkhianat, tanah itu menumbuhkan pewaris.
Setiap kali Gaza dilumpuhkan, dari reruntuhannya lahir generasi yang lebih keras kepala, lebih jujur, dan lebih siap mati daripada menyerah.

Budak-budak kolonial akan hilang bersama tuannya.
Tapi Gaza, seperti Al-Quds dan Beirut, akan tetap menulis kisahnya sendiri—bukan dengan tinta propaganda, melainkan dengan darah orang-orang yang menolak tunduk.

Kebodohan Israel dalam Diplomasi dan Perang: Era Modern dan Bani Israil  “Mereka mengira sedang membangun kekuatan, padahal mere...


Kebodohan Israel dalam Diplomasi dan Perang: Era Modern dan Bani Israil 


“Mereka mengira sedang membangun kekuatan, padahal mereka sedang menggali lubang kejatuhan.”
— Refleksi atas sejarah Bani Israil dan Zionisme modern



Prolog: Negeri yang Menolak Belajar dari Sejarah

Setiap kekuatan besar memiliki masa ketika mereka tidak lagi mampu mendengar suara kebenaran. Bukan karena telinga mereka tuli, tapi karena kesombongan menutup ruang tafakkur. Israel hari ini berada pada titik itu—berjalan di atas bara sejarah yang sama, dengan langkah-langkah yang sudah ditunjukkan oleh Bani Israil ribuan tahun lalu: keras kepala, menolak nasihat, dan menantang hukum keadilan Allah.

Dalam tafsir Al-Qurthubi atas Surah Al-Baqarah ayat 61, para mufasir menulis:

 “Kebinasaan mereka bukan karena kurang pengetahuan, tapi karena kesombongan setelah tahu kebenaran.”

Maka sejarah pun berulang—kali ini di Gaza, di mana negeri yang menganggap dirinya “bangsa pilihan” kembali terperosok dalam jebakan ilahiah: kebodohan yang disangka strategi.


---

1. Melanggar Perjanjian: Tradisi Lama yang Berulang

Tidak ada dosa diplomasi yang lebih fatal selain mengingkari janji di depan dunia.
Perjanjian Oslo (1993), Wye River (1998), Annapolis (2007)—semuanya menjadi saksi bahwa Israel memandang perjanjian bukan sebagai jalan damai, tapi alat manipulasi waktu.

Laporan The Guardian (2024) mengungkap bahwa Israel menolak lebih dari 60 resolusi PBB yang menyerukan penghentian pembangunan pemukiman ilegal.
Profesor Rashid Khalidi dari Columbia University menyebut:

 “Israel tidak pernah melihat perjanjian sebagai kontrak moral. Bagi mereka, itu hanya jeda taktis antara dua penaklukan.”

Seperti Bani Israil di masa Musa yang berjanji untuk taat, namun segera menyembah anak lembu, demikian pula Zionis modern—mengangkat pena di meja perundingan, lalu mengangkat senjata di hari berikutnya.


---

2. Genosida: Kekerasan yang Mengundang Kejatuhan Moral

Ketika kezaliman berubah menjadi kebijakan negara, maka keruntuhan moral tak bisa ditunda.
PBB (Juni 2025) melaporkan lebih dari 42.000 warga sipil Gaza terbunuh, 70% di antaranya perempuan dan anak-anak.
Mahkamah Internasional (ICJ) menuduh Israel melakukan genosida, sementara Amnesty International menulis bahwa Israel “secara sistematis menghancurkan kehidupan sipil sebagai instrumen politik.”

Israel mengira bahwa menumpahkan darah akan menghapus perlawanan.
Namun seperti dikatakan Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur’an:

 “Darah syuhada bukan tanda kekalahan, tapi tanda bahwa bumi telah menolak kezaliman.”

Inilah kebodohan yang paling tragis: mereka membunuh anak-anak, tapi justru menanam benih ideologi perlawanan yang tak bisa dibom.


---

3. Menyerang Iran: Menantang Kekuatan di Luar Nalar

April 2024, Reuters dan Al Jazeera melaporkan: Israel meluncurkan serangan drone ke pangkalan militer di Isfahan, Iran. Dunia menahan napas.
Iran membalas dengan hujan rudal balistik ke Tel Aviv.
Hanya keberuntungan diplomasi Amerika yang mencegah perang besar.

Namun, di balik itu, muncul paradoks:
Israel ingin menampilkan kekuatan, tetapi justru memperlihatkan ketergantungan total pada AS dan Eropa.

Analisis Foreign Affairs menyebut tindakan itu sebagai “strategi kebodohan hegemonik”—berani menyerang tanpa kesiapan menghadapi konsekuensi global.

Seperti Bani Israil yang menantang kaum Amalek tanpa izin Allah (QS. Al-Ma’idah: 21–24), lalu kalah telak, Israel modern pun mengulangi pola lama: sombong sebelum berperang, lalu bersembunyi di balik sekutu ketika kalah.


---

4. Menyerang Qatar: Menggigit Tangan yang Memberi Napas

Qatar adalah mediator utama di Gaza—menyalurkan bantuan kemanusiaan, memfasilitasi pertukaran tawanan, dan mengalirkan gaji pegawai sipil Palestina.
Namun laporan The New York Times (Februari 2025) menyebut, Israel secara terbuka menuduh Qatar “mendanai terorisme” karena menyalurkan dana lewat UNRWA.

Padahal, dana itu yang selama ini menahan Gaza dari kelaparan total.
Dengan menuduh Qatar, Israel menutup satu-satunya pintu negosiasi yang masih terbuka.

Dr. Marwan Bishara (Al Jazeera Analyst) menyebut:

“Israel menembak kaki sendiri. Qatar adalah jembatan terakhir antara dunia Arab dan Barat. Menghancurkannya adalah bunuh diri diplomatik.”

Bani Israil pernah melakukan hal serupa—menolak manna dan salwa yang Allah beri, dan meminta makanan yang lebih rendah nilainya (Al-Baqarah: 61).
Kini Israel modern menolak bantuan diplomatik dan memilih bara permusuhan.


---

5. Menyerang Negara Perbatasan: Menciptakan Musuh dari Segala Arah

Lebanon, Suriah, dan Yordania—tiga negara yang seharusnya menjadi buffer stabilitas, kini berubah menjadi medan panas akibat ulah Israel.
Serangan udara Israel ke Lebanon selatan (2025) menewaskan pekerja sipil dan menghancurkan proyek rekonstruksi, dilaporkan oleh Reuters dan France24.
Hizbullah membalas dengan roket ke Galilea; ratusan keluarga Yahudi di utara Israel mengungsi.

The Economist menulis:

 “Israel kini dikelilingi oleh tembok ketakutan yang ia bangun sendiri.”

Seperti Bani Israil di padang Tih yang takut melawan musuh karena dosa mereka sendiri, Israel kini hidup dalam paranoia—melihat setiap tetangga sebagai ancaman, bukan peluang damai.


---

6. Keputusan Aneksasi Tepi Barat: Menyulut Api yang Tak Akan Padam

Pada 2024, parlemen Israel mengesahkan rancangan hukum yang memperluas yurisdiksi sipil atas Tepi Barat, langkah yang disebut The Washington Post sebagai “pengakuan de facto atas aneksasi.”

Keputusan ini menandai akhir “solusi dua negara.”
Bahkan Uni Eropa menilai kebijakan itu “menutup peluang perdamaian untuk satu generasi ke depan.”

Namun Netanyahu menyebutnya “pemenuhan janji ilahi.”
Ironinya, klaim itu justru menyeret Israel ke jurang internasional—kehilangan dukungan moral dan diplomatik, bahkan dari sekutu Barat.

Seperti Bani Israil yang mengklaim tanah suci tapi menolak hukum Allah di dalamnya, Israel modern ingin menguasai wilayah tanpa keadilan di dalamnya.


---

7. Mengandalkan Propaganda daripada Kebenaran

Israel memenangi perang informasi di abad ke-20, tapi kalah telak di abad ke-21.
Laporan BBC dan The Intercept (2025) menunjukkan bahwa kampanye media Israel di X dan TikTok gagal karena diserbu oleh narasi independen dari warga Gaza.

Rakyat dunia menyaksikan genosida secara real-time.
Foto anak-anak di reruntuhan lebih kuat dari ribuan juru bicara pemerintah.

Seorang analis media dari Harvard Kennedy School, Prof. Nicco Mele, menulis:

“Israel sedang menghadapi kekuatan baru: empati digital. Anda tidak bisa memanipulasi nurani publik selamanya.”

Inilah kebodohan baru: ketika kebenaran bisa direkam oleh ponsel, kebohongan negara menjadi bahan tertawaan sejarah.


---

8. Mengabaikan Diaspora Yahudi yang Menolak Genosida

Gelombang protes dari komunitas Yahudi sendiri mengguncang fondasi Zionisme.
Gerakan Jewish Voice for Peace di AS, Not in Our Name di Inggris, dan ratusan rabbi progresif menolak genosida di Gaza.

Survei Haaretz (Juli 2025) menunjukkan 37% Yahudi muda di diaspora tidak lagi mendukung Israel secara moral.

Namun, alih-alih mendengar, pemerintah Israel menuduh mereka “pengkhianat.”
Inilah kebodohan spiritual yang sama seperti nenek moyang mereka—menolak nabi-nabi yang datang dari bangsa sendiri karena tidak sesuai dengan ambisi duniawi.


---

9. Mengandalkan Amerika Serikat Secara Buta

Ketergantungan total kepada Washington kini menjadi kutukan.
Kongres AS mulai terbelah; gerakan mahasiswa di universitas-universitas besar menolak pendanaan perang Israel.
The Washington Post (2025) melaporkan bahwa sebagian senator mulai menolak tambahan bantuan militer senilai $14 miliar.

Sejarah membuktikan: bangsa yang menggantungkan diri pada kekuatan luar akan runtuh ketika sekutunya berubah arah.
Seperti kaum Bani Israil yang meminta raja lain memimpin mereka karena kehilangan iman kepada Allah (Al-Baqarah: 246), Israel kini kehilangan kemandirian spiritual dan moral.


---

10. Mengabaikan Hukum Alam: Bahwa Kezaliman Tidak Pernah Menang Lama

Setiap kezaliman memiliki tanggal kadaluarsa.
Seperti Fir’aun yang tenggelam bukan karena Musa kuat, tapi karena air tunduk pada perintah Allah.
Demikian pula Israel—kemenangan militernya menyembunyikan kekalahan moral yang semakin nyata.

The Economist Intelligence Unit (2025) melaporkan penurunan besar dalam “kepercayaan global terhadap Israel” dan lonjakan isolasi diplomatik.
Bahkan perusahaan besar seperti Nestlé dan Unilever menarik investasinya dari Israel akibat tekanan publik.

Allah berfirman:

 “Dan janganlah engkau mengira bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim.” (Ibrahim: 42)


---

Refleksi Akhir: Sejarah yang Menyempurnakan Hukum Allah

Dalam tafsir Ibn Katsir atas Surah Al-Ankabut:40, disebutkan:

 “Allah tidak mengazab kaum yang zalim sekaligus, melainkan memberi mereka kesempatan agar keburukan mereka sempurna, sehingga azab turun dengan keadilan penuh.”

Mungkin inilah fase yang kini kita saksikan.
Kebodohan demi kebodohan Israel bukan kebetulan, tetapi bagian dari sunnatullah agar dunia melihat—bahwa bangsa yang menolak rahmat Allah akan hancur oleh logika kekuatannya sendiri.

Gaza mungkin tampak kalah di mata dunia, tetapi seperti doa-doa di langit malamnya, ia sedang menjadi saksi bahwa keadilan Allah tidak tidur.

 “Dan mereka merencanakan tipu daya, maka Kami pun merencanakan tipu daya, sedang mereka tidak menyadarinya.”
(An-Naml: 50)


---

Epilog: Kebenaran yang Tidak Bisa Dihancurkan

Mungkin ini saatnya dunia berhenti memandang Gaza sebagai perang, dan mulai melihatnya sebagai cermin.
Setiap roket yang jatuh, setiap rumah yang runtuh, dan setiap doa ibu yang kehilangan anak—semuanya sedang menulis babak baru sejarah.

Israel bisa menang di medan tempur, tetapi ia sedang kalah dalam peperangan yang lebih besar: perang melawan hati nurani manusia.

Dan di sanalah, seperti dalam setiap kisah nabi dan tiran sebelumnya,
keputusan Allah yang adil sedang bergerak — pelan, tapi pasti.

Kelompok New Historians: Melawan Israel dengan Bukti Sejarah Di sebuah kantor sunyi di Tel Aviv, Benny Morris menatap tumpukan d...


Kelompok New Historians: Melawan Israel dengan Bukti Sejarah

Di sebuah kantor sunyi di Tel Aviv, Benny Morris menatap tumpukan dokumen yang baru dibuka dari arsip militer Israel. Di seberang dunia, Ilan Pappé menulis di komputer lamanya, mengutip catatan diplomatik yang jarang diakses, sementara Tom Segev dan Avi Shlaim mengkaji laporan intelijen dari masa-masa awal pendirian Israel. Mereka adalah sekelompok sejarawan yang dikenal sebagai “New Historians”, muncul pada akhir abad ke-20 dengan satu tujuan yang berani: menulis ulang sejarah Israel-Palestina berdasarkan bukti primer, tanpa mempedulikan narasi nasionalis dominan yang telah tertanam di masyarakat selama puluhan tahun.

Sejarah, bagi mereka, bukan sekadar kumpulan cerita heroik atau mitos nasional. Ia adalah arsip yang menunggu untuk dibaca dengan jujur, sering kali menyingkap kebenaran yang pahit.


---

Latar Belakang dan Tujuan

New Historians mulai dikenal luas pada akhir 1980-an, terutama setelah karya Benny Morris, The Birth of the Palestinian Refugee Problem (1988), diterbitkan. Di buku itu, Morris menegaskan bahwa pengusiran warga Palestina pada 1948 tidak selalu terjadi secara spontan akibat perang. Sebaliknya, beberapa tindakan pengusiran merupakan kebijakan yang disengaja oleh pemimpin Zionis. Hal ini menimbulkan kontroversi hebat, baik di kalangan publik Israel maupun internasional.

“Tujuan kami bukan menjelek-jelekkan Israel,” kata Ilan Pappé dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera. “Kami ingin mengerti sejarah yang sebenarnya terjadi, agar konflik ini bisa ditangani dengan lebih adil dan manusiawi.”

Bagi New Historians, sejarah adalah alat pemahaman, bukan propaganda. Mereka berupaya memisahkan fakta dari mitos, dokumen dari interpretasi ideologis, dan kebijakan dari narasi heroik. Dalam konteks ini, mereka menantang pertanyaan paling sensitif: Bagaimana negara yang didirikan untuk menjadi suaka bagi bangsa Yahudi, sekaligus menimbulkan penderitaan bagi bangsa lain, dibentuk secara historis?


---

Anggota Utama dan Kontribusinya

Benny Morris: Tonggak penting historiografi Israel-Palestina. Ia menulis tentang pengusiran warga Palestina, membuka dokumen yang menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya akibat perang, tetapi sebagian merupakan strategi politik. Pandangannya kemudian berubah dalam beberapa tahun terakhir, namun karyanya tetap menjadi fondasi penting.

Ilan Pappé: Sang “pengecam keras”. Dalam The Ethnic Cleansing of Palestine, Pappé menegaskan bahwa pembantaian di Deir Yassin dan pengusiran massal Palestina merupakan bagian dari rencana sistematis untuk mendirikan negara Israel. Pandangannya tidak populer di Israel, sehingga ia pindah ke Inggris untuk melanjutkan penelitian akademisnya.

Avi Shlaim: Fokus pada diplomasi dan politik internasional. Dalam The Iron Wall, ia menyoroti kebijakan militer Israel yang mengutamakan kekuatan untuk “mencapai perdamaian”, namun justru memperpanjang konflik. Ia menyerukan dialog inklusif dengan Palestina sebagai alternatif.

Tom Segev: Mengkaji sejarah sosial dan politik Israel sebelum 1948. Dalam One Palestine, Complete, ia memotret kehidupan warga Palestina dan Yahudi secara paralel, memberi konteks lebih luas terhadap dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang membentuk pendirian Israel.



---

Metodologi: Bukti Primer sebagai Senjata Historis

Kekuatan New Historians terletak pada penggunaan dokumen primer. Mereka memanfaatkan arsip militer, catatan diplomatik, laporan intelijen, hingga dokumen internal pemerintah Israel yang sebelumnya tertutup untuk umum. Melalui arsip ini, mereka dapat menyusun narasi yang lebih bernuansa:

Peristiwa seperti pengusiran massal warga Palestina pada 1948 bukan sekadar akibat perang, melainkan juga kebijakan yang direncanakan.

Konflik awal dengan negara Arab tetangga sering diwarnai strategi diplomatik yang kompleks, yang sering diabaikan dalam narasi resmi.

Dinamika internal komunitas Yahudi, baik Zionis Religius maupun Sekuler, memengaruhi kebijakan yang diambil.



---

Kontroversi dalam Israel: Antara Sekuler, Religius, dan Haredim

Tidak semua pihak menerima keberanian intelektual ini.

Zionis Sekuler: Fokus pada pembangunan negara modern dan keamanan nasional. Mereka sering menganggap kritik New Historians melemahkan legitimasi Israel. Sejarah, bagi mereka, adalah cerita tentang keberhasilan bertahan hidup, bukan catatan kontroversial tentang pengusiran dan kekerasan.

Zionis Religius: Memandang sejarah sebagai kehendak ilahi. Narasi resmi Israel terkait pembentukan negara dianggap sakral, dan kritik terhadapnya dianggap menentang kehendak Tuhan. Ilan Pappé bahkan sempat mendapat serangan personal karena menantang narasi ini.

Kelompok Haredim: Fokus mereka pada kehidupan religius dan hukum Yahudi, cenderung menolak penelitian yang menonjolkan sisi kontroversial Zionisme. Mereka melihat sejarah konflik modern sebagai urusan duniawi yang tak sepenting tradisi keagamaan.


Sejarawan New Historians sering dianggap “pengkhianat” di mata kelompok-kelompok ini. Namun, mereka tetap teguh: sejarah bukan alat propaganda, melainkan cermin yang menuntut keberanian untuk melihat fakta, betapapun pahitnya.


---

Dampak dan Warisan Internasional

Kontribusi New Historians melampaui Israel. Media internasional menyoroti keberanian mereka:

The Guardian: Ilan Pappé disebut “mengubah sejarah Palestina” dengan menantang narasi dominan.

Al Jazeera: Benny Morris “memaksa Israel melihat cermin sejarah”.

BBC: Kelompok ini digambarkan sebagai “suara berani yang memecah kepentingan politik dan ideologi di tanah Israel”.


Para pakar global menekankan relevansi mereka:

Rashid Khalidi (Columbia University) menyebut New Historians sebagai “pembuka mata dunia terhadap fakta yang disembunyikan”.

Noam Chomsky mengapresiasi pendekatan berbasis bukti yang menantang narasi nasionalistik.

Sejarawan lokal Palestina menganggap karya mereka sebagai pengakuan penting terhadap penderitaan rakyat Palestina yang selama ini disembunyikan dalam narasi dominan.



---

Narasi Kemanusiaan: Perspektif Palestina

Di kamp pengungsi Gaza, warga Palestina yang kehilangan rumah akibat perang menatap reruntuhan yang dulu penuh kehidupan. Anak-anak menari debka di antara puing, sementara ibu-ibu menangis dan bersorak untuk mereka yang selamat. Bagi mereka, sejarah bukan sekadar dokumen di rak arsip, melainkan hidup dan berdarah.

Karya New Historians memberi mereka pengakuan: penderitaan mereka tercatat, kebijakan yang menindas mereka diakui secara historis. Narasi ini memberi ruang bagi empati global, dan membuka kemungkinan dialog yang lebih manusiawi.


---

Refleksi: Sejarah sebagai Dialog Liris

Membaca New Historians adalah seperti mendengarkan monolog yang berbalut dialog. Fakta bertemu interpretasi, dokumen berhadapan dengan narasi nasional, dan sejarah berinteraksi dengan politik kontemporer.

Di Jakarta, jauh dari Tel Aviv atau Gaza, kita mungkin hanya membaca buku dan artikel. Namun, memahami sejarah yang jujur tentang Israel-Palestina membantu kita menumbuhkan empati, perspektif global, dan pemahaman tentang bagaimana kebijakan politik membentuk kehidupan jutaan manusia.


---

Kesimpulan: Keberanian Intelektual sebagai Warisan

New Historians menegaskan bahwa sejarah adalah alat untuk memahami masa lalu dan membentuk masa depan, bukan propaganda atau alat legitimasi semata. Mereka menunjukkan bahwa keberanian intelektual, integritas, dan pendekatan berbasis bukti adalah kunci untuk memahami konflik yang kompleks seperti Israel-Palestina.

Karya mereka tidak hanya menulis ulang sejarah; mereka menantang kita untuk melihat dunia dengan lebih jujur, lebih empatik, dan lebih manusiawi. Bahkan di tengah tekanan sosial, politik, dan ideologis, New Historians tetap teguh, meninggalkan warisan penting bagi generasi yang ingin memahami konflik ini secara mendalam dan kritis.

Kerinduan Rasulullah ï·º terhadap Wahyu — Seperti Itukah Kita? “Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak membencimu.” (QS. ad-Dhuha:...



Kerinduan Rasulullah ï·º terhadap Wahyu — Seperti Itukah Kita?


“Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak membencimu.”
(QS. ad-Dhuha: 3)

Ada kalimat yang terasa mengguncang ketika dibaca perlahan — bukan karena kerasnya, tapi karena lembutnya.
Sebuah kalimat yang hanya bisa dipahami oleh hati yang pernah menunggu sesuatu dari langit:
firman, petunjuk, atau sekadar rasa bahwa Allah masih menyapa.

Rasulullah ï·º menunggu wahyu sebagaimana seorang kekasih menunggu kabar dari yang dicintai.
Ia menanti bukan karena ingin tahu, tapi karena ingin bersua.
Dan di setiap kali wahyu tertunda, beliau tidak gelisah karena urusan dunia — tapi karena rindu kepada Allah.

Namun, sebelum wahyu itu datang, mari kita kembali ke awal —
ke masa sebelum cahaya turun di Gua Hira —
ketika kerinduan itu belum bernama, tapi telah berdenyut di dada seorang manusia pilihan.


---

1. Sebelum Gua Hira: Rindu kepada Cahaya yang Belum Bernama

Bayangkan Makkah sebelum kenabian.
Langitnya biru, tapi jiwanya kelabu. Kaum Quraisy beribadah kepada batu, membanggakan keturunan, dan menindas yang lemah.
Di tengah hiruk pikuk itu, ada satu lelaki muda yang merasa asing — Muhammad bin Abdullah.

Ibnu Ishaq meriwayatkan, sejak usia muda beliau tidak pernah ikut arak, pesta, atau sembahan berhala.
Beliau lebih suka diam, memandang langit, atau mendaki ke bukit-bukit yang sunyi.
Ada keresahan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, hanya bisa dirasakan:
rindu akan sesuatu yang belum dikenal, namun jiwanya tahu itu datang dari Tuhan.

Ibnu Hisham dalam Sirah Nabawiyah-nya menulis bahwa beliau setiap tahun ber-tahannuts di Gua Hira —
menyendiri berhari-hari, membawa sedikit bekal, beribadah, dan merenungi makna hidup.
Al-Qurthubi menjelaskan: tahannuts berarti “membersihkan diri dari dosa dan keburukan masyarakat untuk mendekat kepada kesucian.”

Maka, sebelum wahyu pertama pun, Allah telah menyiapkan jiwa Rasul-Nya untuk menanggung cahaya.
Kerinduan itu tumbuh dalam kesunyian, menjadi gema yang hanya bisa didengar oleh hati yang telah dimurnikan.

Di malam-malam sunyi Hira, mungkin beliau mendengar bisikan lembut di dalam dada:

 “Bangunlah… engkau tidak diciptakan untuk diam, tapi untuk menyampaikan.”

Namun kepada siapa, dan tentang apa, beliau belum tahu.
Karena wahyu belum datang, dan rindu itu masih menunggu namanya.


---

2. Setelah Gua Hira: Ketika Rindu Itu Menjadi Getaran Wahyu

Lalu malam itu datang.
Langit terbuka. Malaikat Jibril turun, mengguncang semesta dengan satu kata:

 “Iqra’ — Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.”
(QS. al-‘Alaq: 1)

Ibnu Katsir menulis dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim:

 “Ayat ini adalah cahaya pertama yang menembus kegelapan bumi setelah berabad-abad wahyu terputus sejak Isa ‘alaihis-salam.”

Rasulullah ï·º pulang dengan tubuh gemetar, wajah pucat, jiwanya bergetar antara takut dan takjub.
“Zammiluni… selimuti aku,” katanya kepada Khadijah.
Bukan karena takut pada malaikat, tapi karena gentar oleh kedahsyatan pertemuan langsung dengan Sang Pencipta.

Namun, setelah itu, wahyu terhenti — masa yang dikenal sebagai fatratul wahyi.
Tak ada lagi suara Jibril, tak ada ayat yang turun.
Hanya sunyi.

Dan di situlah kerinduan Rasulullah ï·º mencapai puncak pertamanya.
Ibnu Sa‘d meriwayatkan: beliau sering berjalan ke bukit, menatap langit, berharap malaikat datang.
Ia menangis bukan karena kehilangan kekuatan gaib, tapi karena tidak lagi mendengar suara Tuhannya.

Hingga akhirnya turun wahyu kedua:

 “Wahai orang yang berselimut, bangkitlah dan berilah peringatan.”
(QS. al-Muddatsir: 1–2)

Al-Tabari menafsirkan:

 “Wahyu ini bukan perintah yang keras, tapi panggilan lembut.
Allah menyapa Rasul-Nya dengan kasih, mengembalikan semangat yang sempat gentar.”

Sejak saat itu, rindu beliau tak lagi sunyi.
Kerinduan itu berubah menjadi misi, dan setiap ayat yang turun menjadi percakapan cinta antara langit dan bumi.


---

3. Ketika Ada Pertanyaan: Rindu yang Menunggu Jawaban Langit

Rasulullah ï·º tidak pernah menjawab pertanyaan besar tanpa wahyu.
Ketika kaum Quraisy atau orang Yahudi datang bertanya tentang Ashabul Kahfi, Dzulqarnain, atau Ruh, beliau berkata, “Besok akan aku jawab,” tapi lupa mengucap insya Allah.
Wahyu pun tertunda beberapa hari.

Malam-malam itu berat.
Beliau gelisah, bukan karena takut dicemooh, tapi karena rindu pada suara yang tak kunjung datang.
Ia menatap langit, menanti firman Allah.
Lalu turunlah ayat:

“Dan janganlah engkau mengatakan terhadap sesuatu: ‘Aku akan melakukannya besok pagi,’ kecuali dengan (mengucapkan) insya Allah.”
(QS. al-Kahfi: 23–24)

Al-Qusyairi menafsirkan:

 “Allah mendidik kekasih-Nya agar ia bergantung penuh pada wahyu, bukan pada dirinya sendiri. Karena cinta sejati adalah menunggu kata dari yang dicintai.”

Demikianlah, setiap kali wahyu datang, bukan hanya akal beliau yang tercerahkan — tapi hatinya terobati.
Rindu itu terbayar.
Dan umat pun belajar bahwa ilmu sejati adalah hasil dari sabar menunggu firman, bukan tergesa-gesa menjawab dengan akal.


---

4. Ketika Ujian Datang: Rindu yang Menumbuhkan Keberanian

Rasulullah ï·º menghadapi banyak badai:
pengusiran dari Makkah, perang, kematian orang yang dicintai, bahkan fitnah keji terhadap keluarga.
Namun di setiap peristiwa, beliau selalu menanti wahyu, bukan sekadar keputusan.

Ketika luka Uhud masih berdarah, dan sahabat gugur di sekitarnya, beliau berdoa:

 “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu.”

Setelah perang, beliau duduk diam menunduk — menunggu wahyu.
Lalu turun ayat:

 “Janganlah kamu lemah dan janganlah bersedih hati; kamulah yang paling tinggi jika kamu beriman.”
(QS. Ali ‘Imran: 139)

Ibnu Katsir menulis:

 “Ayat ini adalah pelukan langit bagi hati Nabi sebelum menjadi penghiburan bagi umatnya.”

Begitulah wahyu — ia bukan hanya petunjuk, tapi obat rindu dan luka.
Di tengah derita, Rasulullah ï·º tidak mencari hiburan dunia, melainkan menanti bisikan Allah.

Imam al-Ghazali berkata:

“Orang yang mengenal Allah tidak tenang dengan dunia, karena jiwanya selalu rindu mendengar kata-kata-Nya.”

Kerinduan itu menjadi sumber keberanian.
Karena siapa yang mencintai Allah, tidak akan takut pada siapa pun selain-Nya.


---

5. Ketika Wahyu Menjadi Nafas Cinta

Di puncak perjalanan hidupnya, Rasulullah ï·º tidak lagi menunggu wahyu karena tugas, tetapi karena cinta.
Setiap kali Jibril datang, wajah beliau bersinar.
Ibnu Abbas meriwayatkan:

 “Jika wahyu terlambat, wajah Nabi tampak sedih. Tapi begitu turun ayat, wajahnya kembali berseri seperti matahari yang muncul setelah mendung.”

Wahyu terakhir turun pada Haji Wada’:

 “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu.”
(QS. al-Ma’idah: 3)

Para sahabat bersorak gembira, tapi Rasulullah ï·º menangis.
Ibnu Katsir menulis:

 “Beliau menangis karena tahu: cinta itu akan segera berakhir di dunia. Wahyu akan berhenti, dan kerinduannya harus menunggu pertemuan di sisi Allah.”

Menjelang wafat, beliau sering berbisik:

 “Ya Allah, temanilah aku bersama ar-Rafiq al-A‘la (Teman yang Mahatinggi).”

Itulah puncak rindu.
Rasulullah ï·º tidak hanya ingin mendengar lagi wahyu, tapi ingin bertemu langsung dengan Pemilik wahyu.


---

6. Apakah Kita Masih Rindu Seperti Itu?

Pertanyaan ini menghantam sunyi kita:
Apakah kita masih merindukan wahyu sebagaimana Rasulullah ï·º merindukannya?

Beliau menanti setiap ayat dengan air mata.
Kita? Kadang menunda membaca mushaf karena sibuk dengan layar gawai.
Beliau menangis jika wahyu terlambat, kita jarang menangis meski lama tak menyentuh Al-Qur’an.

Namun cinta itu belum mati.
Setiap kali kita membaca ayat dengan hati terbuka, kita sedang menghidupkan kembali jejak kerinduan beliau.
Ketika dada terasa sempit lalu Al-Qur’an membuat kita tenang,
itulah gema kecil dari cinta yang dulu membuat Nabi tersenyum di tengah malam.

Imam Al-Qurthubi berkata:

 “Barang siapa rindu mendengar kalam Allah, maka cahaya kenabian masih menyala dalam hatinya.”

Maka, mari bertanya dengan jujur:
Apakah kita menunggu petunjuk Allah dalam doa-doa kita sebagaimana Rasulullah menanti Jibril?
Ataukah kita lebih cepat menunggu pesan manusia ketimbang wahyu Tuhan?


---

7. Wahyu, Rindu, dan Cinta yang Tak Pernah Padam

Kerinduan Rasulullah ï·º terhadap wahyu bukan sekadar sejarah spiritual, tetapi warisan cinta yang hidup hingga kini.
Ia mengajarkan bahwa hubungan antara manusia dan Tuhan bukan hanya ketaatan — tetapi kerinduan dua arah.

Allah berfirman:

 “Ingatlah Aku, niscaya Aku ingat kalian.”
(QS. al-Baqarah: 152)

Rasulullah ï·º mengingat Allah dengan seluruh hidupnya,
dan Allah membalasnya dengan wahyu, dengan cinta, dengan kedekatan yang tak terlukiskan.

Kini, setiap kali kita membuka Al-Qur’an, sebenarnya kita sedang menyambung kembali percakapan lama antara langit dan bumi.
Firman yang sama, cinta yang sama, rindu yang sama — hanya pembacanya yang berbeda.

Wahyu bukan milik masa lalu.
Ia adalah suara yang terus hidup, menunggu hati yang ingin mendengarnya.
Dan setiap kali seseorang membaca dengan cinta,
malaikat seakan turun lagi, membawa kedamaian seperti dahulu kepada Rasulullah ï·º.


---

8. Epilog: Jika Engkau Masih Rindu

Cobalah malam ini, di tengah kesunyian, buka mushafmu.
Baca perlahan, seakan ayat itu baru turun dari langit.
Bayangkan Rasulullah ï·º menunduk di Hira, menahan tangis, mendengar “Iqra’.”
Bayangkan rindu yang membuncah di dadanya.

Dan biarkan ayat itu berbicara padamu:

“Tuhanmu tidak meninggalkanmu, dan tidak membencimu.”

Rasulullah ï·º pernah menunggu setetes wahyu selama berbulan-bulan.
Kita hanya perlu membuka mushaf untuk menemuinya.

Jika engkau merasakan sejenak kehangatan di dada ketika membaca firman-Nya,
maka ketahuilah:
itu bukan sekadar ketenangan, tapi sapaan dari langit —
sebuah balasan lembut untuk kerinduan kecilmu.

Sebab Allah masih mencintai hati yang rindu,
dan rindu terbesar di bumi ini pernah bergetar dalam dada Rasulullah ï·º
— yang tak pernah bosan menunggu kalam Tuhannya.


---

Apakah engkau masih rindu seperti itu?
Ataukah wahyu kini hanya bacaan tanpa getar cinta?

Rasulullah ï·º menunggu wahyu dengan air mata,
kita menundanya karena kesibukan.
Namun Allah tak pernah menutup pintu.
Setiap kali kita membaca,
Ia seolah berkata,

“Aku masih berbicara kepadamu — sebagaimana dahulu Aku berbicara kepada Kekasih-Ku.”

Dan di situlah letak cinta yang abadi:
rindu yang tak pernah selesai,
antara hamba yang menanti dan Tuhan yang selalu menyapa.

Mengapa Israel Ketakutan akan Keterlibatan Turki di Gaza? Latar Belakang Hubungan Israel–Turki telah melalui pasang-surut panjan...


Mengapa Israel Ketakutan akan Keterlibatan Turki di Gaza?

Latar Belakang

Hubungan Israel–Turki telah melalui pasang-surut panjang. Dari aliansi awal pasca berdirinya Israel hingga krisis besar seperti insiden 2010 Gaza flotilla raid ketika pasukan Israel menyerang kapal bantuan Turki yang hendak memasuki Gaza. 
Ketika perang besar meletus di Gaza (1990-an hingga sekarang), dan saat proses rekonstruksi serta stabilisasi pascaperang mulai dibicarakan, Turki muncul sebagai pemain yang ingin ‘masuk’ ke Gaza—baik lewat diplomasi, bantuan kemanusiaan, maupun tawaran pasukan stabilisasi internasional. Israel menyambut dengan curiga dan ketakutan.


---

Berikut beberapa faktor utama yang menjelaskan ketakutan tersebut:

1. Perubahan Posisi Turki dari Pendukung Pasif ke Pemain Aktif

Turki telah memperlihatkan keinginan untuk masuk dalam proses stabilisasi Gaza dan menjadi salah satu pengaruh utama di sana. Menurut analisis, “in practice Israel realises that Turkish involvement … has become a strategic datum that redraws regional balances and returns Ankara to the heart of the Palestinian cause.” 
Bagi Israel, ini berarti bukan sekadar bantuan kemanusiaan — tetapi potensi posisi strategis jangka panjang yang bisa mengubah tatanan keamanan di Gaza dan wilayah sekitarnya.

2. Hubungan Turki dengan Hamas

Turki telah memberikan ruang politik bagi Hamas, menyambut pimpinan Hamas, dan tidak mengkategorikan secara tegas organisasi itu sebagai teroris. 
Israel menilai bahwa jika Turki mendapatkan peran operasional atau administratif di Gaza, maka ia bisa memberi “legitimasi” atau “perlindungan” terhadap Hamas — yang bagi Israel adalah ancaman langsung.

3. Kehilangan dan Perubahan Pijakan Israel di Konflik Palestinia–Israel

Analisis menyebutkan bahwa Israel melihat keterlibatan Turki sebagai “strategic nightmare” — karena Israel tak bisa memperlakukan Turki seperti negara non-NATO kecil; Turki adalah anggota NATO dan mitra AS dalam banyak bidang. 
Dengan Turki berada di “arena Gaza”, Israel khawatir kehilangan monopoli diplomatik atau diplomasi eksklusifnya terhadap Palestina dan konflik Gaza.

4. Kekhawatiran terhadap Kebebasan Operasi Militer Israel

Menurut laporan, “the Israeli security establishment fears that Turkish presence in any formula for monitoring could constrain military freedom of action.” 
Jika Turki atau pasukan internasional di bawah pengaruh Turki berada di Gaza, Israel khawatir pengecualian, pengawasan atau intervensi internasional dapat membatasi operasi militer atau keamanan Israel di kawasan.

5. Pergeseran Aliansi Regional dan Profesionalisme Politikal

Turki memanfaatkan konflik Gaza untuk memperkuat citra regionalnya sebagai pemain utama dan pembela rakyat Palestina. Hal ini berarti bahwa lanskap diplomasi regional bisa berubah — dari dominasi Israel-meski secara tersembunyi ke posisi multipolar di mana Turki, Qatar, Mesir dan lainnya memiliki pengaruh besar. 
Israel khawatir bahwa apabila Turki memperoleh pijakan di Gaza, posisinya akan melemah dalam diplomasi AS-Israel, dan Gaza bisa menjadi “pangkalan” regional Turki.

6. Bidang Infrastruktur dan Ekonomi – Potensi Basis Jangka Panjang

Keterlibatan Turki bukan hanya soal pasukan atau militer tetapi termasuk rekonstruksi, logistik, bantuan kemanusiaan, serta pengaruh ekonomi. Hal ini memungkinkan Turki membangun “basis” pengaruh yang bertahan lama di Gaza. 
Bagi Israel, wilayah Gaza yang terbuka untuk pendanaan, konstruksi, dan pengaruh eksternal berarti kontrol Israel atas blokade, akses, dan stabilitas Gaza bisa melemah.


---

Implikasi Bagi Gaza dan Wilayah Sekitar

Jika Turki berhasil mendapatkan peran dalam pasukan stabilisasi atau pengawasan Gaza, maka struktur pascaperang akan berubah — Israel tidak lagi satu-satunya pihak dengan pengaruh dominan.

Perubahan ini bisa mempengaruhi kebijakan Israel terhadap Gaza, termasuk pemukiman, keamanan perbatasan, dan kontrol jalur masuk/keluar.

Untuk negara-Teluk, seperti disebut dalam artikel, keterlibatan Turki juga menjadi ancaman bagi stabilitas Teluk — karena agenda ideologis atau organisasi yang berdampak regional.

Gaza bisa menjadi medan persaingan pengaruh antara Turki, Israel, Mesir, Qatar, dan AS, bukan sekadar zona konflik lokal.

---

Kesimpulan

Keterlibatan Turki di Gaza bukanlah sekadar “keluar dari kepedulian kemanusiaan”, melainkan langkah strategis dengan konsekuensi besar. Israel takut bukan hanya karena Turki memiliki simpati terhadap Palestina, tetapi karena Turki memiliki potensi operasional, politis, dan ekonomi yang bisa menandingi pengaruh Israel di Gaza.

Untuk Israel, Turki bukan hanya “pembicara keras”, tetapi potensi “pemain” yang bisa mengubah keseimbangan keamanan dan diplomasi. Karena itu kehadiran Turki di Gaza bagi Israel adalah ancaman ganda: militer-operasional dan diplomatik-regional.

Es Krim Semangka: Perlawanan Yahudi Ben Cohen terhadap Genosida Gaza Di sebuah dapur sederhana di Vermont, Amerika Serikat, seor...


Es Krim Semangka: Perlawanan Yahudi Ben Cohen terhadap Genosida Gaza

Di sebuah dapur sederhana di Vermont, Amerika Serikat, seorang pria berusia tujuh puluh empat tahun berdiri di depan kamera. Tangannya menggenggam sendok kayu, wajahnya penuh tekad. Di mangkuk besar di hadapannya, daging buah semangka merah segar diaduk dengan lembut ke dalam adonan es krim.

“Saya membuat rasa semangka untuk Palestina,” katanya pelan, “agar dunia tidak menutup mata.”

Nama pria itu Ben Cohen, salah satu pendiri Ben & Jerry’s, merek es krim legendaris yang lahir dari idealisme sosial dan keinginan sederhana: menghadirkan kebahagiaan dan keadilan dalam satu sendok es krim. Tapi kini, dua puluh lima tahun setelah menjual perusahaannya kepada Unilever, Ben mendapati bahwa yang ia perjuangkan — kebebasan moral untuk berpihak pada kemanusiaan — justru dilarang di atas nama korporasi global.


---

1. Ketika Es Krim Menjadi Pernyataan Moral

Ben & Jerry’s bukan sekadar merek makanan penutup. Ia adalah simbol moral progresif Amerika. Sejak berdiri pada 1978, perusahaan ini vokal membela isu-isu sosial: keadilan rasial, perubahan iklim, hak LGBTQ, dan anti-perang. Dalam satu wawancara lama dengan The Guardian, Cohen pernah berkata:

“Kami percaya bisnis tidak hanya harus mencari laba, tapi juga menyalurkan cinta dan keadilan.”

Namun cinta dan keadilan itu kini berhadapan dengan tembok besar bernama Unilever, raksasa korporasi Inggris-Belanda yang mengakuisisi Ben & Jerry’s pada tahun 2000.
Meski dalam perjanjian akuisisi disepakati bahwa Ben & Jerry’s akan tetap memiliki “independensi moral” untuk menentukan arah sosial dan nilai kemanusiaannya, realitasnya tidak demikian.

Ketika pada 2021 Ben & Jerry’s mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi menjual es krim di pemukiman ilegal Israel, Unilever segera turun tangan — menghentikan keputusan itu, menyebutnya “politik yang terlalu sensitif”.
Konflik pun membara.


---

2. Dari Vermont ke Gaza: Ketika Dingin Es Krim Menyentuh Api Genosida

Dua tahun setelah perang Gaza meletus dan lebih dari 68 ribu warga Palestina terbunuh, Cohen tak lagi sanggup berdiam diri. Ia menyaksikan anak-anak mati kelaparan, rumah-rumah hancur, dan dunia korporasi membungkam lidahnya.

Dalam unggahan videonya di Instagram, Cohen berkata lirih:

 “Skala penderitaan rakyat Palestina sungguh tak terbayangkan. Gencatan senjata ini melegakan, tapi masih banyak yang harus dibangun kembali. Anak-anak Palestina berhak atas martabat dan hak yang sama seperti setiap manusia.”

Ungkapan itu mengguncang. Bukan hanya karena datang dari seorang pebisnis sukses, tetapi karena diucapkan dengan nurani yang telah ditempa oleh puluhan tahun keberpihakan kepada yang tertindas.

Ia kemudian mengaduk semangka ke dalam es krim — simbol yang sarat makna.
Semangka, bagi Palestina, adalah bendera yang tidak boleh dikibarkan. Warna merah, hijau, putih, dan hitamnya menjadi lambang perlawanan damai ketika simbol-simbol politik dilarang oleh Israel. Di tangan Cohen, buah itu menjelma “rasa kemanusiaan yang dibekukan” — sejuk, manis, dan penuh makna.

“Revolusi,” katanya sambil tersenyum, “adalah sesuatu yang kreatif.”


---

3. Ketika Korporasi Membungkam Nurani

Tindakan Cohen segera memicu reaksi. Unilever/Magnum, perusahaan induk Ben & Jerry’s, buru-buru mengeluarkan pernyataan ke Middle East Eye:

 “Rekomendasi dewan Ben & Jerry’s mengenai produk ini sedang dipertimbangkan, namun manajemen memutuskan bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk berinvestasi dalam pengembangan produk tersebut.”

Pernyataan dingin itu menggambarkan jarak antara bahasa laba dan bahasa nurani.
Unilever khawatir isu Palestina “akan menciptakan persepsi antisemitisme”.
Kekhawatiran yang sama pernah muncul ketika Ben & Jerry’s mencoba menyerukan gencatan senjata di Gaza, mendukung mahasiswa yang memprotes perang, atau mengadvokasi penghentian bantuan militer AS ke Israel — semuanya dibungkam.

Pada November 2024, Ben & Jerry’s bahkan menggugat Unilever atas tuduhan “membungkam misi sosial dan kemanusiaan mereka”. Gugatan itu menyebut empat kali upaya mereka untuk bersuara bagi Gaza yang dihalangi oleh induk perusahaan.

Rekan pendiri Ben, Jerry Greenfield, akhirnya mengundurkan diri pada September 2025, dengan kalimat pedih:

 “Ben & Jerry’s telah kehilangan kemandirian untuk menjalankan nilai-nilai kami.”

Ia pergi dari perusahaan yang pernah mereka bangun dari van tua dan mimpi sederhana di Vermont — meninggalkan industri yang kini lebih takut pada pasar daripada pada Tuhan.


---

4. Suara yang Dingin Tapi Menghangatkan Dunia

Namun Ben Cohen tidak berhenti. Ia meluncurkan kampanye pribadi: “Watermelon for Peace.”
Ia menolak pasrah pada “otoritas rasa takut” yang kini menguasai industri global.
Dari dapurnya, ia mengajak masyarakat memberi ide topping, desain wadah, bahkan cara menyalurkan hasil penjualannya bagi anak-anak Gaza.

Sikap Cohen mendapat sambutan luas. The New York Times menulis editorial berjudul “Ben Cohen’s Scoop of Conscience”, menyebutnya “pengingat bahwa kemanusiaan bisa hadir bahkan dalam bisnis pencuci mulut.”
Sementara Haaretz menyoroti bahwa “aksi simbolik Cohen menembus tembok kebisuan yang bahkan politisi takut mengetuknya.”

Bahkan di media Amerika yang biasanya berhati-hati soal Israel, suara Cohen mendapat ruang. CNN mengutip analis budaya, Dr. Noor El-Araby, yang menyebut tindakan itu sebagai “gestur moral kecil yang lebih mengguncang daripada protes besar, karena lahir dari ruang yang seharusnya apolitis — dapur, rasa, dan hati.”


---

5. Es Krim, Kapitalisme, dan Tanggung Jawab Nurani

Sejarah industri selalu berulang.
Ketika ekonomi dunia dikuasai oleh konglomerasi raksasa, nurani individu sering kali menjadi korban pertama. Dalam kasus Ben & Jerry’s, kita menyaksikan bagaimana “misi sosial” yang dulu menjadi identitas merek kini dibekukan, diarsipkan, dan dijual bersama sahamnya.

Filsuf ekonomi Naomi Klein pernah menulis dalam No Logo:

“Ketika idealisme menjadi merek, maka kebebasan bicara menjadi hak milik perusahaan, bukan manusia.”

Kata-kata itu menemukan kebenarannya di sini.
Cohen, dengan es krim semangkanya, sebenarnya sedang menolak menjadi maskot etis bagi korporasi amoral.
Ia tidak ingin es krimnya dijual di toko-toko yang menutup mata terhadap darah di Gaza.

Sosiolog Yahudi-Amerika, Prof. Michael Walzer, dalam sebuah diskusi di The Atlantic Council, berkata:

“Ben Cohen menunjukkan bahwa moralitas Yahudi sejati bukan tentang membenarkan negara, tetapi membela manusia. Ia menyalakan kembali nurani universal yang kini redup di tengah industri global.”


---

6. Ketika Semangka Menjadi Bendera

Bagi dunia Arab, semangka yang diangkat Cohen bukan sekadar buah.
Sejak tahun 1967, warga Palestina di bawah pendudukan Israel dilarang mengibarkan bendera mereka. Maka seniman, petani, dan anak-anak mulai menggambar semangka di dinding, melukisnya di kain, dan memakainya di poster — bendera yang bisa dimakan, dan tidak bisa disita.

Kini, ketika seorang Yahudi-Amerika mengaduk semangka ke dalam es krimnya sambil berkata “untuk perdamaian di Palestina,” dunia tersentak.
Ia tidak memihak agama, tapi memihak kehidupan.

Dalam sebuah wawancara dengan Democracy Now!, Cohen menegaskan:

“Saya melakukan ini bukan karena politik, tapi karena hati saya tidak tahan lagi melihat anak-anak dibunuh atas nama keamanan.”

Kata-kata sederhana itu menggema. Di saat banyak pemimpin dunia membungkam nurani mereka demi kepentingan geopolitik, seorang pembuat es krim memilih menjadi saksi.


---

7. Ketika Dapur Menjadi Mimbar

Aksi Ben Cohen kini menjadi inspirasi gerakan kecil tapi bergaung di seluruh dunia.
Di Berlin, sekelompok mahasiswa seni kuliner meluncurkan kampanye “Taste of Resistance”, membuat berbagai rasa makanan dari bahan-bahan simbolik Palestina: zaitun, sumac, za’atar, dan semangka.
Di Cape Town, komunitas Yahudi progresif mengadakan festival “Spoon for Gaza” dengan hasil penjualan disumbangkan untuk rumah sakit lapangan di Rafah.

“Ini bukan tentang es krim,” kata seorang peserta, “tapi tentang siapa yang masih punya hati untuk peduli.”

Sementara itu, Unilever masih bergulat dengan tekanan publik. Penundaan rencana pemisahan The Magnum Ice Cream Company dari Unilever pada Oktober 2025 dilaporkan oleh AFP sebagai akibat langsung dari “ketegangan reputasi pasca-protes Ben & Jerry’s.”
Investor mulai mempertanyakan: apakah perusahaan yang menolak kemanusiaan layak disebut brand of happiness?


---

8. Refleksi: Ketika Kemanusiaan Diuji oleh Sendok Es Krim

Kisah Ben Cohen bukan sekadar tentang Gaza, bukan pula sekadar tentang Unilever.
Ia adalah metafora tentang dunia modern, di mana laba sering kali menenggelamkan nurani, dan di mana bahkan pernyataan cinta bisa dianggap ancaman.

Namun, dalam dingin es krim semangka itu, ada sesuatu yang hangat — ingatan bahwa setiap tindakan kecil bisa menyalakan obor kemanusiaan.

Cohen menutup videonya dengan senyum:

 “Saya tidak tahu apakah Unilever akan menggugat saya lagi, tapi saya tahu bahwa anak-anak Palestina butuh lebih dari sekadar es krim — mereka butuh dunia yang berhenti menutup mata.”

Kalimat itu terasa seperti doa.
Bukan doa dari gereja, sinagoga, atau masjid, tapi doa dari dapur — tempat di mana rasa dan kasih bisa bersatu tanpa batas.


---

9. Epilog: Dari Rasa ke Rasa

Mungkin suatu hari, ketika perang ini usai dan Gaza kembali menanam zaitun di atas puing, seseorang akan membuka kedai kecil di tepi laut dan menjual es krim rasa semangka.
Mereka mungkin tidak tahu siapa Ben Cohen, tapi mereka akan tahu rasa itu: manis dengan sedikit getir, sejuk dengan sedikit pedih — rasa kemanusiaan.

Dan mungkin, di setiap sendoknya, ada bisikan kecil dari Vermont:

“Jangan diam. Jangan berhenti. Bahkan es krim pun bisa bicara.”


---

Sekiranya semua bentuk kekerasan dan genosida bisa luluh oleh kelembutan seperti itu — oleh semangkuk es krim yang dibuat bukan untuk dijual, tapi untuk menyembuhkan nurani.

Netanyahu: Diselamatkan oleh Perang, Bukan Memimpin Perang I. Bayangan di Balik Panggung “Setiap penguasa punya jam pasirnya,” b...



Netanyahu: Diselamatkan oleh Perang, Bukan Memimpin Perang

I. Bayangan di Balik Panggung

“Setiap penguasa punya jam pasirnya,” bisik sejarah dalam lorong waktu Yerusalem.
“Dan butiran itu kini jatuh satu per satu di tangan Benjamin Netanyahu.”

Ia duduk di kursi kekuasaan lebih lama dari siapa pun dalam sejarah Israel modern. Namun kini, di tengah jeritan Gaza dan kegaduhan internal negerinya, jam pasir itu tampak menumpahkan butir terakhirnya lebih cepat dari yang ia sangka.

Sejak Oktober 2023, ketika Gaza menjelma nisan bagi lebih dari 65.000 jiwa, Netanyahu menjadi tokoh paling dibenci dan paling dipertahankan sekaligus. Ia diserang di jalanan Tel Aviv, diadili di ruang pengadilan Yerusalem, dan dikejar oleh sejarah yang menulis ulang naskahnya sendiri.

Kini, pada tahun 2025, survei demi survei menampar wajah kekuasaan yang dulu begitu kokoh itu. Channel 12 Israel melaporkan bahwa lebih dari 70% warga Israel menolak Netanyahu mencalonkan diri kembali sebagai perdana menteri. Hanya sekitar 16% yang masih menganggapnya “pemimpin tak tergantikan di masa perang.”

“Rakyatku tak lagi melihatku sebagai penyelamat,” seolah terdengar bisikan getir Netanyahu dalam catatan kolumnis Haaretz, Amos Harel. “Mereka melihatku sebagai penghalang masa depan.”

Dan di situlah tragedi kekuasaan bermula — ketika seseorang masih ingin menulis bab baru, sementara sejarah sudah menutup bukunya.


---

II. Empat Hari dalam Seminggu di Pengadilan

Ironi besar kini mengitari sosok yang dulu dijuluki Mr. Security.
Ketika sirene perang meraung di langit Gaza, Netanyahu sendiri sibuk menangkis tuduhan di ruang sidang Yerusalem. Ia tidak lagi hanya berperang melawan musuh di luar, tetapi juga melawan hukum di dalam.

Setiap minggu, empat kali ia hadir di Pengadilan Distrik Yerusalem, menghadapi tiga kasus besar yang menyeretnya selama enam tahun terakhir:

1. Kasus 1000 – Hadiah dari Miliarder
Tuduhan menerima cerutu, sampanye, dan perhiasan senilai ratusan ribu dolar dari dua konglomerat — Arnon Milchan dan James Packer — sebagai balas jasa pribadi.

2. Kasus 2000 – Kesepakatan Media
Dugaan persekongkolan dengan Arnon Mozes, pemilik harian Yedioth Ahronoth, agar memberitakan Netanyahu secara positif dengan imbalan pembatasan oplah pesaingnya, Israel Hayom.

3. Kasus 4000 – Skandal Bezeq-Walla
Tuduhan paling berat: Netanyahu diduga memberi keuntungan regulasi kepada perusahaan telekomunikasi Bezeq milik Shaul Elovitch, dengan imbalan liputan positif di portal berita Walla! News.

Menurut The Times of Israel, sidang kini berjalan empat kali seminggu—tercepat sepanjang sejarah hukum Israel. “Netanyahu hidup di dua dunia,” tulis media itu, “satu di ruang sidang, satu di ruang perang.”

Dan ironinya: di kedua dunia itu, ia kehilangan kendali.
Ia bukan lagi panglima yang menentukan arah; ia sekadar pemain yang berusaha menunda kekalahan.


---

III. Israel yang Retak dari Dalam

Pemerintahan Netanyahu kini ibarat kapal tua yang bocor di tengah badai.
Menteri-menterinya saling menuding, agenda koalisi tercerai-berai.
Yoav Gallant, Menteri Pertahanan, ingin membuka ruang bagi otoritas Palestina di Gaza.
Namun Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, dua menteri ultranasionalis, menolak keras — bahkan menyerukan “pemindahan massal” warga Gaza ke Sinai.

Survei Maariv bulan ini menunjukkan bahwa jika pemilu digelar hari ini, koalisi Netanyahu hanya akan meraih 42 kursi dari 120, sementara oposisi yang dipimpin Benny Gantz melonjak ke 73 kursi.
Angka itu bukan sekadar statistik — ia adalah vonis politik.

Profesor Reuven Hazan dari Universitas Ibrani Yerusalem menjelaskan kepada Al Jazeera:

 “Netanyahu kehilangan tiga pilar legitimasi: militer, moral, dan publik. Ia masih berkuasa hanya karena sistem politik Israel sulit menjatuhkan pemimpin di masa perang.”

Namun bahkan perang kini tidak lagi menjadi tamengnya.
Setiap bom yang jatuh ke Gaza, setiap anak yang terbunuh, menggerus fondasi moral yang selama ini ia klaim sebagai “pertahanan diri.”
Ia tidak memimpin perang — ia diselamatkan oleh perang.
Tanpa perang, pengadilannya akan menelanjangi semuanya.


---

IV. Dunia yang Mulai Menutup Pintu

Dunia pun mulai menatapnya dengan jenuh.
Pada Mei 2025, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menyebut nama Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant dalam penyelidikan awal atas dugaan kejahatan perang.

Di Washington, angin juga berbalik arah. Meski Donald Trump kembali ke Gedung Putih, tekanan dari Kongres dan opini publik AS meningkat tajam.
“Amerika tidak bisa terus membela seorang pemimpin yang membom kamp pengungsi,” ujar Bernie Sanders di CNN.

Bahkan Joe Biden, sebelum lengser, sempat berkata lirih:

“Netanyahu membuat Israel kehilangan hati dunia.”

Dari Paris, Emmanuel Macron menyebut kepemimpinannya “tidak kompatibel dengan perdamaian.”
Dari Ankara, Recep Tayyip ErdoÄŸan menjulukinya “penjahat perang yang menolak takdir.”
Dan bahkan dari Qatar dan Mesir — mediator gencatan senjata — datang jarak dingin. Mereka tak lagi menemuinya langsung, seakan tahu, kekuasaan yang diselamatkan oleh perang tak akan bertahan oleh waktu.


---

V. Ketika Takdir Menutup Panggung

Namun kejatuhan Netanyahu bukan sekadar peristiwa politik — ia adalah drama metafisik kekuasaan.

Pada 1990-an, ia muncul sebagai bintang muda Israel: cerdas, artikulatif, fasih berbahasa Inggris. Dunia menyambutnya sebagai wajah baru Zionisme “modern dan moderat.” Ia menjual narasi “Israel korban yang berhak membela diri.”
Dunia percaya.

Kini, di usia 76 tahun, dunia melihat wajah lain: penguasa yang berlindung di bunker, menekan jaksa, menunda sidang, dan memanipulasi perang untuk memperpanjang masa jabatan.
Ia bukan lagi “Mr. Security.”
Ia hanyalah Mr. Survival.

Kolumnis Haaretz menulis pahit:

“Netanyahu tidak lagi memimpin perang — peranglah yang menyelamatkannya dari keadilan.”

Dan sejarah, seperti biasa, sabar menunggu.
Sebagaimana Fir‘aun diselamatkan jasadnya agar menjadi pelajaran, mungkin Netanyahu pun akan “selamat secara politik” — tapi hanya untuk menjadi cermin bagi kebangkrutan moral Zionisme.


---

VI. Dialog Sejarah dan Nurani

“Apakah semua ini kebetulan?” tanya nurani.
“Tidak,” jawab sejarah. “Ini hukum sebab akibat yang tak pernah meleset.”

Al-Qur’an mengingatkan:

 “Dan di antara manusia ada yang mengingkari janji setelah mengikatnya dengan kuat, dan mereka memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk disambung. Mereka itulah orang-orang yang dilaknat, dan bagi mereka tempat yang buruk.”
(QS. Ar-Ra‘d: 25)

Ayat itu terasa hidup di Yerusalem hari ini.
Netanyahu menjanjikan keamanan, tapi menabur ketakutan.
Ia menjanjikan kekuatan, tapi menanam kehancuran.
Ia menjanjikan masa depan, tapi meninggalkan kehampaan.

Profesor Avi Shlaim, sejarawan Oxford keturunan Yahudi-Irak, menulis:

“Netanyahu adalah puncak kontradiksi moral Israel. Ia ingin negaranya aman, tapi hidup dari ketakutan. Ia ingin dikenang, tapi sejarah akan menghapusnya sebagai tiran kecil di antara reruntuhan Gaza.”


---

VII. Gaza: Cermin Kekuasaan yang Retak

Dunia melihat Gaza, tapi yang sesungguhnya tercermin di sana adalah Israel sendiri.
Setiap rumah yang runtuh di Gaza adalah serpihan narasi kekuasaan Netanyahu yang ikut runtuh.

Ketika anak-anak Gaza masih mengangkat bendera Palestina di antara puing, itu bukan hanya tanda perlawanan, tapi pertanda kematian ideologi yang menindas mereka.
Netanyahu mungkin bisa membungkam suara Hamas, tapi tidak bisa membungkam gema moral yang lahir dari penderitaan.

Bahkan ketika Hamas kini bersedia menyerahkan pemerintahan Gaza — sebagaimana diungkap PM Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani — mereka tetap menolak perlucutan senjata tanpa jaminan keadilan.
Karena mereka tahu, senjata bisa diserahkan, tapi martabat tidak.
Dan di situlah Netanyahu kalah — bukan di medan perang, tapi di medan makna.


---

VIII. Epilog: Lonceng Takdir

Malam di Yerusalem kian sunyi.
Di luar gedung pengadilan, seorang perempuan tua menyalakan lilin sambil berbisik:
“Zeman lo olam” — waktu bukan untuk selamanya.

Netanyahu mungkin masih punya tentara, panggung, dan sekutu, tapi sejarah telah menulis bab penutupnya.
Kekuasaan tanpa nurani hanya menunda kehancuran, bukan menghindarinya.

Seorang jurnalis muda Haaretz menulis kalimat akhir yang menggema di ruang sunyi itu:

“Mungkin Netanyahu akan dikenang bukan karena apa yang ia bangun, melainkan karena apa yang runtuh di bawah pemerintahannya: Gaza, demokrasi, dan hati bangsanya sendiri.”

Dan sejarah pun berbisik lirih:
“Beginilah nasib penguasa yang menandatangani perjanjian atas nama keamanan, lalu mengkhianatinya atas nama kekuasaan.”

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fiqh (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (245) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (558) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (257) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (242) Sirah Sahabat (156) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (7) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)