basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Strategi Kejayaan Islam di Dinding Istana Al-Hambra  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apa yang tersisa dari kejayaan Islam di Spanyol ...

Strategi Kejayaan Islam di Dinding Istana Al-Hambra

 Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apa yang tersisa dari kejayaan Islam di Spanyol dan Portugal, tanah yang dahulu dikenal sebagai Andalusia?

Langkahkan kaki menuju Granada. Pandanglah Istana Al-Hambra. Sentuh dinding-dindingnya yang bisu, namun sesungguhnya berbicara. Dengarkan bisikan batu-batu yang terpahat. Di sanalah strategi kejayaan Islam masih hidup—bukan dalam bentuk bala tentara, melainkan dalam hikmah yang membungkus jejak sejarah.

“Laa Ghaaliba Illallaah.” Tiada kemenangan kecuali karena Allah. Kalimat itu bukan sekadar ukiran, melainkan nyawa peradaban yang menghidupkan Al-Hambra.

Kalimat tersebut menjadi semboyan Dinasti Bani Ahmar, Nasrid, yang memerintah Granada selama lebih dari dua abad. Sultan Muhammad I ibn Nasr, sang pendiri dinasti, menjadikannya landasan spiritual dan strategi politik. Di balik kaligrafi yang anggun, terpahat strategi yang bukan hanya merancang istana, tapi juga menaklukkan jiwa manusia.

Islam di Al-Hambra tidak dibangun hanya dengan batu, melainkan dengan iman yang mengakar. Arsitektur bukan sekadar keindahan, melainkan pernyataan tauhid. Setiap lengkung pintu, setiap jendela yang menghadap ke langit, setiap kubah yang menjulang—adalah doa yang dibentuk dalam geometri.

Dan ketika kita menyusuri lorong-lorongnya, seolah kita sedang membaca sejarah bukan dengan buku, tapi dengan ruang dan cahaya. Kita diajak kembali kepada akar kejayaan: bahwa kemenangan bukan karena jumlah, kekayaan, atau teknologi, melainkan karena kesucian tujuan dan keikhlasan jiwa.

Umar bin Khattab, pemimpin agung generasi awal, telah meletakkan fondasi strategi ini. Ketika melepas pasukan kaum Muslimin ke medan jihad, beliau berkata:

“Aku tidak mengirim kalian karena banyaknya jumlah kalian atau kekuatan kalian. Tapi aku mengirim kalian dengan doa karena kalian adalah pasukan Allah. Jangan berbuat dosa, karena dosa adalah sebab kekalahan. Aku lebih takut terhadap dosa-dosa kalian daripada kekuatan musuh kalian.”

Itulah strategi sejati. Sebuah strategi yang menjadikan takwa sebagai kekuatan utama, bukan senjata atau logistik. Ia menaklukkan hati sebelum menaklukkan wilayah. Dan itulah pula ruh yang mengalir dalam tembok-tembok Al-Hambra.

Al-Hambra menyimpan gema nubuwah Rasulullah ï·º tentang pasukan laut umat Islam. Ketika Ummu Haram bertanya kepada Rasulullah tentang pasukan pertama yang akan berperang di lautan, beliau menjawab:

"Pasukan pertama dari kalangan umatku yang berperang di lautan adalah penghuni surga."

"Ya Rasulullah, apakah aku termasuk di antara mereka?"

"Engkau termasuk bersama mereka."

Hadits ini bukan sekadar prediksi. Ia adalah undangan ilahiah untuk memasuki dimensi perjuangan yang belum pernah disentuh: lautan. Tantangan yang belum dikenal, namun telah disiapkan oleh Rasulullah dengan doa dan visi.

Dan sejarah pun mencatat: Khalifah Utsman bin Affan membuka jalan. Mu‘awiyah bin Abu Sufyan membangunnya dengan sistematis. Ia mendirikan galangan kapal di pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Akka, Sur (Tirus), dan Arwad. Ia melatih tentara laut, merekrut para pejuang dari penduduk pesisir Syam yang telah akrab dengan laut, dan mengembangkan sistem logistik maritim untuk perjalanan panjang.

Strategi ini bukan sekadar perluasan wilayah. Ia adalah ekspansi iman. Laut bukan lagi penghalang dakwah, tetapi medan baru yang harus dilalui dengan iman dan kehati-hatian.

"Wahai laut," seolah mereka berkata, "engkau bukan akhir dari peradaban, engkau hanyalah awal dari misi kami yang lebih jauh."

Dari sinilah dimulai ekspedisi menuju Barat. Musa bin Nusair dan Thariq bin Ziyad muncul bukan sebagai penakluk biasa. Mereka membawa semangat Rasulullah dan warisan ruhani Umar bin Khattab. Ketika Thariq membakar kapal-kapalnya dan berkata kepada pasukannya bahwa di hadapan mereka adalah musuh dan di belakang mereka adalah lautan, ia sedang menanamkan satu hal: tawakkal yang absolut.

Islam masuk ke Eropa bukan dengan pemaksaan, tapi dengan pancaran keadilan. Di Andalusia, selama berabad-abad, Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan. Ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat berkembang di bawah naungan Islam. Kota-kota menjadi pusat keilmuan. Cordoba bersinar ketika Eropa masih tenggelam dalam kegelapan abad pertengahan.

Namun semua itu berpulang kepada satu fondasi: "Laa Ghaaliba Illallaah."

Di dinding Al-Hambra, kalimat itu bukan hanya menjadi hiasan, tapi azimat spiritual yang membentengi peradaban. Ia mengingatkan para penguasa, tentara, dan rakyat bahwa kemenangan adalah milik Allah. Bahwa siapa pun yang menyombongkan diri akan dijatuhkan, dan siapa pun yang bergantung kepada Allah akan ditinggikan.

Maka tidak heran jika Al-Hambra bukan sekadar bangunan, tapi monumen spiritual. Ia menjadi pengingat, bahkan di tengah keterpurukan dan kejatuhan, bahwa kejayaan hakiki bukan pada dominasi politik semata, tetapi pada kesetiaan kepada nilai-nilai tauhid.

Dan pesan ini tidak berhenti di sana.

Jauh setelah Andalusia jatuh, gema "Laa Ghaaliba Illallaah" tetap sampai ke jantung dunia Islam. Seorang pemuda di Timur menyambutnya dengan semangat yang membara. Dialah Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa kejayaan bukanlah hak eksklusif bangsa atau ras tertentu, melainkan milik siapa saja yang mengikatkan dirinya pada Allah.

Al-Fatih mewariskan pesan kepada putranya menjelang wafatnya:

"Ingatlah anakku, aku telah menaklukkan Konstantinopel, dan aku mewasiatkan padamu untuk terus menegakkan kalimat Allah di atas muka bumi. Jika engkau lalai, kehinaan akan menimpamu di dunia dan akhirat."

Apa makna dari semua ini?

Bahwa strategi kejayaan Islam tidak pernah berubah. Ia tidak bergantung pada jumlah pasukan, gemerlap senjata, atau arsitektur megah. Ia bertumpu pada satu kalimat:

"Laa Ghaaliba Illallaah."

Jika kalimat ini hidup dalam jiwa, maka tembok yang kokoh akan tumbuh bahkan di tengah badai. Jika kalimat ini dipahat dalam amal, maka sejarah akan menulis kejayaan bahkan di tengah kehancuran.

Hari ini, kita tidak sedang membangun istana seperti Al-Hambra. Tapi kita bisa membangun hati yang menjadi tempat tinggal bagi strategi yang sama. Kita bisa menjadikan rumah, sekolah, masjid, dan lembaga kita sebagai tempat-tempat di mana kalimat tauhid itu menjadi napas dan cahaya.

Dan jika suatu hari anak-anak kita bertanya, “Di mana kejayaan Islam berada?” Maka bawalah mereka bukan hanya ke Granada, tapi ke dalam jiwa yang telah diukir oleh keyakinan: bahwa tiada kemenangan kecuali karena Allah.

Karena yang sejati, tak pernah runtuh meski istananya runtuh. Yang sejati tetap bersinar, bahkan jika lampunya dipadamkan.

Dan Al-Hambra, dengan segala bisunya, tetap berkata:

“Tiada kemenangan kecuali karena Allah.”

TITIK KRITIS MANUSIA DALAM KISAH DI AL-QUR’AN Oleh: Nasrulloh Baksolahar --- Ada momen dalam hidup ketika waktu terasa diam. Naf...

TITIK KRITIS MANUSIA DALAM KISAH DI AL-QUR’AN

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


---

Ada momen dalam hidup ketika waktu terasa diam. Nafas berhenti sejenak, dan dunia tampak menunggu. Saat itulah kita berada di sebuah titik—sebuah persimpangan batin—yang akan menentukan ke mana langkah berikutnya bermuara. Sebuah titik kritis.

Titik inilah yang oleh Al-Qur’an diceritakan berulang-ulang. Ia bukan sekadar kisah sejarah, tapi potret jiwa. Karena manusia tak pernah berubah sepenuhnya: ia tetap makhluk dengan kehendak, kegelisahan, dan keputusan. Dan dalam titik-titik tertentu, nasib hidupnya akan berpaling: ke cahaya, atau ke jurang.

Mari duduk sejenak dan renungkan bersama. Dalam kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu, apa yang sesungguhnya ingin Allah tunjukkan? Di mana letak keputusan yang mengguncang takdir itu?

Saat panen siap dipetik.

Bayangkan: bertahun-tahun merawat pohon, mencangkul tanah, menyiram dan memupuk, lalu hasilnya melimpah ruah. Harusnya hati bersyukur. Tapi justru di saat itulah manusia diuji paling keras.

"Aku lebih banyak hartaku darimu. Aku lebih berpengaruh. Aku rasa kebun ini takkan pernah binasa. Bahkan kalau kiamat pun datang, aku pasti selamat."

Nada sombong itu muncul bukan saat kerja keras dilakukan. Tapi justru saat hasil datang.

Lalu datanglah pagi. Sang pemilik kebun lain bangun sebelum fajar. Ia mengajak teman-temannya diam-diam pergi ke kebun.

"Jangan beri tahu siapa pun. Jangan biarkan orang miskin tahu kita akan panen hari ini. Ini semua milik kita."

Tapi mereka lupa. Ada Tuhan yang melihat.

Ketika mereka sampai di kebun, mereka terkejut. Pohon-pohon yang rimbun semalam kini gosong, tanahnya tandus. Hasil yang mereka sembunyikan lenyap tanpa bekas.

Kisah ini adalah potret titik kritis. Bukan pada masa kerja keras, tapi saat menerima hasil. Saat limpahan dunia datang: apakah hati akan bersyukur, atau merasa menjadi tuhan kecil yang tak tersentuh?

Saat berada di puncak kekuasaan.

Qarun tidak diceritakan saat ia masih miskin. Al-Qur’an tidak mencatat langkah-langkah awalnya menjadi orang berada. Tetapi ketika ia sudah sangat kaya, ketika kunci-kunci gudangnya harus diangkat oleh beberapa orang kuat, barulah kisah itu dimulai.

"Sesungguhnya aku diberi harta ini karena ilmuku."

Ia tak menyebut nama Allah. Tak menyebut rahmat atau takdir. Ia merasa cukup oleh dirinya sendiri.

Dan bumi pun menelannya.

Begitu pula dengan para pembesar kaum. Mereka tidak diceritakan saat mereka masih berjuang mencari kekuasaan. Tapi ketika sudah duduk di singgasana. Ketika jubah mereka disanjung rakyat, dan ucapan mereka menjadi hukum.

"Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada salah satu dari pembesar kota kami?"

Inilah titik kritis para elit: saat kebenaran datang, tapi mereka menolaknya karena tidak sesuai struktur yang mereka bangun. Mereka ingin kebenaran tunduk pada mereka, bukan sebaliknya.

Namun ada raja yang lulus dari titik kritis ini.

Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, dua nabi yang juga raja besar, justru menunjukkan kerendahan hati di tengah kekuasaan dan kekayaan.

Nabi Daud menangis saat menerima peringatan dari Allah. Ia tidak marah, tidak menyangkal. Ia langsung bersujud dan bertaubat.

Sedangkan Nabi Sulaiman, meski memiliki pasukan jin, manusia, dan burung—serta bisa berbicara dengan hewan—tetap berkata:

"Ini semua adalah karunia dari Tuhanku, untuk mengujiku: apakah aku bersyukur atau kufur."

Ia tidak mengklaim semua karena kepandaiannya. Tidak menyombongkan diri. Ia tahu, segala yang besar itu hanyalah titipan dan ujian.

Saat Nabi datang membawa risalah.

Ketika wahyu turun, ketika kebenaran disampaikan, manusia berhadapan langsung dengan cermin dirinya. Mau mengakui? Atau mencari seribu alasan untuk menolak?

Kaum Yahudi menolak Muhammad ï·º karena ia bukan dari kalangan mereka. Mereka berkata, "Mengapa bukan dari Bani Israil?" Padahal tanda-tanda kenabiannya sangat jelas.

Ini titik kritis yang paling tajam: sanggupkah seseorang merendahkan egonya, menjatuhkan egonya sendiri, untuk mengakui kebenaran dari Allah, walau datang dari luar ekspektasi?

Saat bisikan terdengar—dari malaikat atau setan.

Manusia tidak hidup dalam keheningan batin. Selalu ada suara. Selalu ada bisikan. Setiap keputusan besar sering kali lahir dari percakapan batin: siapa yang kita dengarkan?

Adam dan Hawa hanya mendengar satu kalimat:

"Tuhanmu tidak melarangmu dari pohon ini kecuali karena Dia tidak ingin kau menjadi malaikat atau kekal."

Lalu mereka makan. Dan turunlah mereka dari surga.

Yusuf pun pernah dihadapkan pada bisikan. Wanita itu telah menginginkannya. Dan Yusuf... hampir saja, seandainya ia tidak melihat tanda dari Tuhannya. Maka Yusuf pun selamat, karena Allah menjaga hatinya.

Saat sakit, miskin, dan sendirian.

Tak banyak kisah seperti ini di Al-Qur’an. Tapi satu tokoh tampil penuh kemuliaan: Nabi Ayyub.

Ia kehilangan semua: harta, anak, tubuhnya dipenuhi penyakit. Teman menjauh. Istri nyaris putus asa.

Tapi Ayyub berseru lirih:

"Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit. Dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang dari segala penyayang."

Ia tidak menyalahkan. Ia tidak marah. Ia hanya mengadu dengan penuh kelembutan.

Itu titik kritisnya. Dan ia lulus.

Apa yang bisa kita ambil dari semua ini?

Titik kritis bukan hanya soal ujian berat. Ia bisa datang dalam bentuk keberhasilan. Bisa hadir dalam bentuk pujian. Bisa terselip dalam harta, jabatan, bahkan bisikan pikiran.

Di titik itulah jalan bercabang. Satu ke arah ketaatan. Satu ke arah kehancuran.

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang paling lurus...”

Tuhan tidak menyuruh kita menang dalam semua hal. Tapi Dia ingin kita lulus dalam satu hal: menjaga hati di titik-titik genting itu.

Mungkin kita bukan pemilik kebun, bukan penguasa, bukan pula Nabi. Tapi setiap kita punya titik kritis masing-masing. Ada saat kita harus memutuskan: siapa yang kita dengar? Ke mana hati berpaling? Apa yang kita ucapkan? Kepada siapa kita bersandar?

Itulah saat di mana langit memperhatikan kita.

Dan semoga, kita mengambil keputusan yang membuat para malaikat berkata, “Inilah hamba-Mu yang lulus dari ujian...”

Kisah, Jalan Cahaya dalam Al-Qur’an Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di balik setiap lembaran Al-Qur’an, mengalir sebuah sungai cahaya...

Kisah, Jalan Cahaya dalam Al-Qur’an

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Di balik setiap lembaran Al-Qur’an, mengalir sebuah sungai cahaya yang tak pernah kering—kisah demi kisah mengalun dalam irama yang tenang namun kuat. Ia bukan sekadar cerita untuk hiburan. Bukan pula dongeng masa lalu yang terlepas dari kenyataan. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an adalah cermin abadi jiwa manusia dan langit tempat ruh mencari arah.

Kisah-kisah itu tidak datang sembarangan. Ia turun dengan irama langit, menyatu dengan suasana batin tempat ia diturunkan. Sebagaimana hujan tak turun di musim yang salah, demikian pula kisah-kisah Al-Qur’an—muncul pada waktu dan tempat yang paling tepat. Mereka hadir bukan sekadar untuk diceritakan, tapi untuk menghidupkan kembali hati yang kering, membangkitkan jiwa yang redup, dan mengarahkan langkah kaki di jalan yang sering kabur karena debu dunia.

Allah tidak hanya menuturkan sejarah. Ia menyulamnya dengan warna-warna rasa, menghadirkannya dalam bingkai situasi, dan menyisipkan di dalamnya denyut nilai yang hidup. Ia tidak menumpahkan kisah begitu saja. Ia membatasi, membingkai, dan menorehkannya dengan metode penyampaian yang menggetarkan, agar tepat mengenai sasaran: hati manusia. Sebab hati bukan wadah yang bisa diisi dengan keramaian kata, tetapi ladang yang harus digarap dengan rasa dan hikmah.

Setiap kisah dalam Al-Qur’an adalah semacam jendela yang terbuka—dan dari jendela itu, manusia dapat mengintip cahaya Allah yang menyelinap masuk ke dalam waktu. Dalam jendela itu pula, kita bisa melihat bagaimana langit bekerja di tengah kehampaan bumi. Bagaimana seorang nabi berjalan sendirian menembus kepekatan penolakan, bagaimana umat-umat masa lalu ditimpa angin azab setelah menolak suara kebenaran, dan bagaimana segelintir jiwa yang lembut diselamatkan oleh iman yang tak kasat mata.

Namun, banyak yang keliru. Mereka menyangka bahwa kisah dalam Al-Qur’an itu diulang-ulang. Mereka melihat pengulangan tanpa memerhatikan nada. Mereka mendengar cerita yang sama, tapi tak menangkap bisikan makna yang baru. Padahal, siapa yang mau menundukkan diri dan memperhatikan dengan lembut, akan mendapati: tak ada satu pun kisah yang benar-benar sama dalam Al-Qur’an. Setiap pengulangan adalah penekanan. Setiap pengulangan membawa nuansa baru, sudut pandang baru, dan getaran rasa yang berbeda.

Seperti laut yang sama namun ombaknya tak pernah serupa, begitu pula kisah dalam Al-Qur’an. Musa dan Fir‘aun bisa hadir di banyak surat, tapi setiap kehadirannya punya beban emosi yang lain. Di satu tempat, ditekankan keberanian Musa; di tempat lain, ditekankan kelicikan Fir‘aun; di tempat lain lagi, ditekankan kelembutan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang tertindas. Setiap kemunculan adalah cermin baru untuk jiwa yang terus berubah.

Ada pula yang terpeleset dan mengira bahwa kisah-kisah itu hanya bunga bahasa. Hiasan sastra. Seolah-olah Al-Qur’an hanya ingin memperindah diri agar terdengar agung. Mereka tidak mengerti, bahwa sesungguhnya yang membuat kisah itu indah adalah karena ia benar. Karena ia berasal dari langit, maka ia menembus semua ruang batin manusia yang mendengarnya dengan jujur. Kebenaranlah yang menjadikannya indah—bukan gaya bahasa yang palsu atau retorika yang dipaksakan.

Al-Qur’an adalah kitab hidup. Ia bukan buku sejarah yang membekukan masa lalu, bukan pula karya sastra yang menyenandungkan mimpi. Ia adalah kitab dakwah. Ia adalah sistem kehidupan, cahaya untuk menata dunia dan akhirat. Dan dalam konteks itulah kisah-kisah dihadirkan: bukan untuk menghibur mata, melainkan untuk menyadarkan hati.

Ketika sebuah kisah diletakkan di satu surat, ia tidak hanya dihadirkan untuk bercerita, tapi untuk mendukung tema besar yang sedang diturunkan dalam surat itu. Kisah Yusuf, misalnya, bukan sekadar tentang cinta, penjara, dan mimpi—tetapi tentang kesabaran, keteguhan, dan bagaimana Allah menata jalan hidup seorang hamba yang difitnah dan dibuang. Maka tidak heran jika surat Yusuf turun pada saat Nabi Muhammad ï·º sedang dililit kepedihan—agar beliau melihat cermin ketabahan yang lain, dan meneguhkan jalannya.

Begitu pula kisah Nuh, Ibrahim, Luth, Hud, dan Saleh—bukan semata tentang nabi dan kaumnya, tetapi tentang pesan iman yang ditolak, tentang kesombongan yang dibalas azab, tentang ujian yang melahirkan keselamatan, dan tentang kemurnian tauhid yang tak bisa dikompromikan. Semua itu adalah nafas panjang dakwah yang terus mengalir dari generasi ke generasi.

Kisah para nabi adalah parade cahaya. Mereka adalah manusia, tetapi langkah-langkah mereka dituntun oleh langit. Mereka dicintai Allah, bukan karena mereka suci sejak lahir, tetapi karena mereka terus memilih jalan suci dalam kelelahan dan ketegangan. Setiap episode kisah mereka di Al-Qur’an adalah percikan iman—dan barangsiapa menelusurinya, maka hatinya akan tercerahkan. Ia akan merasakan ketenangan yang halus, kebeningan yang dalam, dan perasaan akan keindahan iman yang tak bisa dilukiskan oleh kata.

Sebab kisah itu bukan tentang luar. Ia tentang dalam. Ia tidak hanya menyuguhkan kejadian, tetapi mengaduk-aduk perasaan. Ia menyentuh sesuatu yang tak terlihat, namun terasa. Seperti bisikan angin di malam sunyi, ia menenangkan jiwa yang gelisah, dan menyentuh luka batin yang tak pernah disembuhkan oleh dunia.

Kisah Al-Qur’an juga membentuk pola pikir. Ia tidak sekadar membentuk opini atau sikap. Ia membentuk rasa. Membentuk kepekaan. Ia mendidik manusia untuk melihat dunia dengan pandangan iman—bukan hanya logika, bukan hanya perhitungan, tapi dengan pandangan yang lebih tinggi: pandangan tauhid.

Dengan kisah-kisah itu, Al-Qur’an menunjukkan bahwa kebenaran tidak selalu menang dalam waktu dekat, bahwa nabi-nabi bisa saja terusir, dihina, bahkan dibunuh. Tapi kemenangan itu bukan soal cepat atau lambat. Ia soal akhir. Soal kemurnian hati. Soal kesetiaan kepada Allah. Karena itu, orang yang mencintai kisah dalam Al-Qur’an, sebenarnya sedang mencintai jalan iman yang panjang. Jalan yang sepi. Jalan yang penuh luka. Tapi jalan yang menyambung ke langit.

Dan itu pulalah yang membedakan kisah Al-Qur’an dengan kisah lain di dunia ini. Ia tidak berhenti pada cerita. Ia menuntut pertobatan. Ia mengundang perubahan. Ia adalah dakwah dalam bentuk narasi. Ia adalah jalan langit yang turun dalam bentuk kata.

Ketika kita membaca Al-Qur’an, sebenarnya kita sedang diajak untuk melihat sejarah dengan mata langit. Melihat dunia bukan dari apa yang tampak, tapi dari apa yang dijanjikan. Melihat hidup bukan dari ujian, tapi dari keberhasilan menempuhnya. Dan semua itu terangkum dalam kisah yang mengalir tenang di balik ayat-ayat-Nya.

Di situlah letak kekuatan kisah Qur’an: ia mendekapmu. Ia bukan hanya mengajarimu kebenaran, tapi menuntunmu mencintainya. Ia bukan hanya mengisahkan luka, tapi menyembuhkannya dengan iman. Dan pada akhirnya, ia akan mengantarmu kepada satu kenyataan: bahwa segala sesuatu akan berakhir dengan Allah—dan hanya mereka yang berjalan bersama kisah-Nya yang akan sampai kepada-Nya dengan cahaya.

Sumber:
Sayid Qutb, Fizilalil Qur’an, GIP

Tumbuh Dalam Badai: Belajar dari Tumbuhan  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit tidak bicara dengan kata-kata, tapi ia mengajar. Ia...

Tumbuh Dalam Badai: Belajar dari Tumbuhan 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Langit tidak bicara dengan kata-kata, tapi ia mengajar.
Ia mengirim hujan, petir, dan gelap bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk mengingatkan.

Seorang mukmin tidak melihat badai seperti orang biasa melihatnya.
Ia tidak sekadar mendengar gemuruh dan menyangka murka; ia mendengar zikir langit.
Ia tidak hanya melihat kilat dan menunduk takut; ia melihat cahaya yang sedang membelah langit hatinya.

Dan ketika gelap turun perlahan, menutup semua jalan dan kemungkinan, mukmin tidak kehilangan arah—karena hatinya menyimpan cahaya lain: cahaya dari dalam.


---

I. Hujan: Doa Langit yang Menetes ke Akar

Hujan turun malam itu.
Tidak pelan. Tidak sopan. Ia mengguyur tanpa kompromi.
Atap-atap berderak. Jalanan terendam. Suara angin bersiul seperti luka yang belum reda.

Tetapi di balik jendela kayu sebuah rumah tua, seorang lelaki tua duduk memandang langit.
Ia tidak marah. Tidak juga cemas.
Ia hanya berbisik,
"Alhamdulillah... bumi sedang disiram oleh kasih sayang-Mu."

Karena ia tahu, hujan bukan sekadar air.
Ia adalah wahyu dalam bentuk cair.
Ia menyentuh tanah, lalu menghidupkan akar.
Ia mengalir di antara pori-pori bumi yang retak, lalu menyatu dengan tubuh tumbuhan.

Tumbuhan tidak menyambut hujan dengan keluhan.
Ia tidak berkata, “Terlalu deras!”
Ia hanya diam, menunduk, dan menyerap.
Ia tahu: air ini bukan musuh, melainkan makanan untuk pertumbuhannya.

“Begitulah seharusnya engkau, wahai jiwa mukmin,”
bisik hujan dalam kesadarannya,
“Jangan mengeluh saat ujian turun deras. Seraplah ia, agar kau tumbuh lebih dalam.”


---

II. Petir: Cahaya yang Menyuburkan dalam Sekejap

Kilatan pertama menyambar pohon tua di ujung ladang.
Kilatan kedua membelah langit dengan sinar yang terlalu terang untuk dilihat mata biasa.
Guruh pun menyusul, menggetarkan dada, seolah memukul-mukul bumi agar ia bangkit dari tidur.

Orang-orang menutup telinga, bersembunyi di balik tembok, menggigil dalam ketakutan.
Tetapi seorang anak kecil, yang belum diajari takut oleh dunia, justru menatap ke luar dan bertanya:
"Ayah, kenapa petir menyala?"

Sang ayah menjawab sambil tersenyum:
"Karena langit sedang memberi pupuk pada tanah."

Anak itu tertawa, tak percaya. Tapi ia mengingatnya.

Dan betul. Petir memang menyuburkan.
Ia memecah nitrogen di udara—gas yang terlalu kuat untuk diurai oleh tumbuhan.
Melalui petir, nitrogen itu berubah menjadi nitrat dan amonium.
Lalu larut bersama hujan.
Lalu meresap ke dalam akar.

Tanpa petir, daun tak akan sehijau itu.
Tanpa petir, ladang tak akan seteguh itu.
Tanpa petir, langit tak akan menjadi seproduktif itu.

Dan tanpa kejutan-kejutan dari hidup, jiwa mukmin pun tidak akan tumbuh dewasa.

“Kau butuh kilat untuk menyadari cahaya,”
bisik langit.
“Kau butuh guncangan untuk menyadari akar.”


---

III. Gelap: Rahim yang Diam-Diam Menumbuhkan

Setelah hujan reda, dan petir menjauh, malam benar-benar datang.
Gelap menutup segala arah. Tak ada cahaya bulan. Tak ada bintang.
Hanya suara tetesan air yang turun dari genting, dan aroma tanah basah yang naik dari bumi.

Bagi sebagian orang, malam adalah ketakutan.
Mereka menyalakan lampu di setiap sudut, seolah kegelapan adalah iblis yang harus diusir.

Tetapi tumbuhan tidak takut gelap.
Ia justru menanti malam.
Karena malam adalah waktunya ia bekerja dalam diam.
Respirasi sel terjadi. Energi dari siang hari dibagikan ke batang, daun, dan akar.
Tumbuhan memperbaiki dirinya. Tumbuhan tumbuh.

Seorang mukmin yang memahami hal ini tidak lagi membenci gelap.
Ia justru mencintainya.

Ia tahu: bukan hanya cahaya yang menghidupkan, tapi juga kegelapan.
Karena di dalam gelap, doa-doa lebih tulus.
Tangis lebih jujur.
Pertobatan lebih dalam.

Tumbuhan tahu ia butuh gelap untuk berbunga.
Beberapa bahkan hanya bisa berbunga jika mengalami malam yang cukup panjang.
Begitu pula mukmin: hati baru mekar setelah cukup lama terbenam dalam malam-malam taubat.

“Jika engkau merasa gelap,” kata malam,
“Maka jangan menolak.
Karena Aku adalah rahim tempat engkau akan dilahirkan kembali.”


---

IV. Jiwa yang Tumbuh Seperti Tanaman

Langit tidak membedakan antara ladang yang bersyukur dan ladang yang mengeluh.
Hujannya turun pada keduanya.
Petirnya menyambar tanpa memilih.
Gelapnya datang menyelimuti semua.

Tetapi tumbuhan yang menerima air, kilat, dan gelap dengan penuh sabar—itulah yang akan tumbuh.
Dan tumbuhan yang mengeluh, menggugurkan daunnya terlalu cepat, atau terlalu keras menolak air—akan mati perlahan.

Begitu pula jiwa manusia.

Sebagian mengeluh saat hujan turun dalam hidupnya.
Mengira ia dihukum.
Padahal ia sedang disiram.

Sebagian marah saat petir menyambar jiwanya: ketika musibah datang tiba-tiba, ketika hidup berubah drastis.
Padahal itu cara langit menyuburkannya.

Sebagian takut pada gelap: sunyi, kehilangan, sepi, malam tanpa teman.
Padahal di situlah hatinya didewasakan.

“Jadilah seperti tumbuhan,”
kata langit,
“Karena ia tahu, badai bukan akhir,
melainkan awal dari musim berbunga.”


---

V. Mukmin: Mereka yang Tidak Takut Badai

Mukmin bukan orang yang hidup tanpa petir.
Bukan orang yang selalu berada di bawah cahaya.
Bukan orang yang tidak pernah kehujanan.

Mukmin justru mereka yang mengakar dalam badai.

Mereka tidak tumbang saat hujan datang.
Tidak panik saat petir menyambar.
Tidak putus arah saat gelap menutup pandangan.

Karena mereka tahu:
Langit tidak sedang menghukum mereka. Langit sedang menumbuhkan mereka.

Seperti tanah yang basah sebelum disemai.
Seperti benih yang dikubur dalam gelap sebelum mekar.
Seperti ladang yang tersambar cahaya sebelum jadi subur.

Hati mukmin, jika ia pasrah dan sabar, akan menjadi taman yang lebih indah dari ladang mana pun di bumi.

“Tumbuhlah, wahai mukmin,” bisik langit dalam hati mereka,
“Tumbuhlah dalam badai, karena badai ini dari-Ku.
Dan siapa yang bersabar bersama-Ku, akan Kubuat hijau meski di padang gersang.”



---

Ketika Langit Menjadi Cermin Jiwa

Kita hidup dalam zaman yang bising dan terang berlebihan.
Kita takut hujan karena takut basah.
Kita takut petir karena takut terguncang.
Kita takut gelap karena takut sendiri.

Padahal, tumbuhan—yang tidak bisa bicara dan tidak bisa berpikir—justru lebih bijak dari kita.
Ia menerima. Ia tumbuh. Ia bersabar.

Maka belajarlah, wahai jiwa yang mendamba kedewasaan.
Bukan dari seminar atau buku motivasi.
Tapi dari langit.
Dari hujan, petir, dan gelap.

Karena barangkali, dalam satu malam penuh badai,
kita tidak sedang dihukum.
Kita sedang ditumbuhkan.

Mindset Mukmin di Tengah Badai Oleh: Nasrulloh Baksolahar  "Atau, seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit yang...

Mindset Mukmin di Tengah Badai


Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

"Atau, seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit yang disertai berbagai kegelapan, petir, dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya (untuk menghindari) suara petir itu karena takut mati. Allah meliputi orang-orang yang kafir."
(Al-Baqarah : 19)

Sayid Qutb dalam tafsirnya Fizilalil Qur’an menjelaskan suasana kebatinan orang munafik dan kafir seperti ayat di atas: "Ini merupakan sebuah pemandangan indrawi yang melukiskan kondisi jiwa mereka  dan perasaan mereka. Dan ini merupakan salah satu cara Al-Qur’an yang mengagumkan dalam melukiskan kondisi kejiwaan manusia, Seakan-akan sebuah pemandangan yang dapat dilihat oleh panca indra."

Namun bagaimana suasana orang mukmin dalam menghadapi kondisi serupa?


---

Mengapa langit menurunkan hujan lebat? Mengapa petir menyambar dengan gelegar menggetarkan dada? Dan mengapa malam menutup segala arah dengan gelap yang pekat?
Apakah itu kutukan? Ataukah isyarat dari langit yang hanya bisa dipahami oleh hati yang bersih?

Mukmin tidak melihat langit seperti orang kafir melihatnya. Ketika hujan mengguyur tanpa ampun, ia tidak sekadar berteduh. Ia merenung. Ketika kilat membelah cakrawala dan guruh menggema di langit, mukmin tidak bersembunyi seperti anak kecil yang takut mati. Ia justru membuka hati: apa yang ingin langit ajarkan hari ini?


---

Petir Menyambar, Tapi Mukmin Menyerap

Al-Qur'an menggambarkan dengan gamblang: orang kafir ketika mendengar petir, mereka menutup telinga mereka dengan jari-jarinya karena takut mati. Mereka tidak tahan dengan suara kebenaran, tidak sanggup menerima cahaya yang menyambar sekejap. Mereka bingung, takut, dan berhenti—terhenti langkahnya karena gelap.

Tapi mukmin?

Mukmin justru berdiri tegak di tengah badai. Karena ia tahu, petir bukan hanya ancaman. Ia adalah pupuk langit. Kilat itu mengikat nitrogen. Ia menyuburkan tanah. Dan begitu pula hidup: cobaan yang mengguncang bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menyiapkan ladang hati agar siap ditanami benih cahaya.

Ketika yang lain berlari karena takut disambar, mukmin menguatkan akarnya. Ia tidak terpesona oleh sinar sesaat, tidak silau oleh kenyamanan palsu. Ia tahu: kilat hanya menyinari sebentar. Tetapi dari sana, bumi menjadi hijau. Jiwa pun demikian: kilat dari ujian menyinari sesaat, lalu menyuburkan selama-lamanya.


---

Gelap yang Mendidik

Kegelapan selalu dicurigai. Kita diajari sejak kecil bahwa gelap itu menakutkan. Tapi alam tidak berpikir demikian. Tumbuhan tahu persis: tanpa gelap, ia tidak akan bisa tumbuh. Tidak ada waktu memperbaiki diri. Tidak ada keseimbangan.

Mukmin pun begitu. Ia tidak membenci gelap. Karena gelap itu rahim. Di sanalah benih ditanam. Di sanalah janin dibentuk. Di sanalah doa-doa menetas dalam kesunyian. Dalam gelap, Allah mendidik tanpa suara. Dalam diam, Allah menyembuhkan luka-luka jiwa.

Sedangkan orang munafik? Mereka panik dalam gelap. Mereka tidak punya arah karena mereka hanya terbiasa hidup di bawah sinar dunia. Sekali dunia padam, mereka terhenti. Bimbang. Takut. Gelap membuat mereka telanjang, karena mereka tidak pernah membangun cahaya dari dalam.


---

Hujan: Air yang Menyingkap Rahasia

Hujan adalah air langit. Tapi ia tidak turun dengan pelan. Kadang deras. Kadang mengguyur dengan kasar. Apakah itu tanda kemurkaan? Tidak bagi mukmin. Karena mukmin tahu: langit tidak sedang marah. Ia sedang menyirami.

Tumbuhan tidak menolak hujan, bahkan yang paling lebat sekalipun. Karena ia tahu, air itu akan menyelinap ke dalam akar, memberi kehidupan, menyembuhkan kekeringan yang tidak tampak dari luar.

Mukmin pun begitu. Ia menerima hujan ujian. Ia membiarkan derasnya air kehidupan membasahi luka-luka batin, membersihkan debu keangkuhan, dan menghidupkan rasa yang mulai mati. Hujan lebat tidak membuatnya murung. Ia justru bersujud lebih dalam.


---

Mukmin Tidak Lari dari Badai

Mukmin tidak berlari dari petir. Ia justru menatapnya. Mukmin tidak lari dari gelap. Ia menyelaminya. Mukmin tidak mengutuk hujan. Ia menghamparkan hati untuk menyerapnya.

Karena mukmin tahu: Allah menciptakan badai bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk membangunkan.

Dan inilah yang membedakan orang beriman dari mereka yang tenggelam dalam kemunafikan. Yang satu tumbuh dalam guncangan, yang lain lumpuh dalam keraguan. Yang satu menemukan cahaya di balik guruh, yang lain menyumbat telinga dari suara langit.


---

Jangan Takut Petir, Takutlah Mati dalam Kekeringan

Kita sering takut pada kilat, tapi tidak takut pada hati yang mati. Kita gentar saat malam datang, tapi tidak takut bila iman kita tidak tumbuh. Kita murung karena hujan tak kunjung berhenti, tapi tidak sedih bila air kehidupan tidak menyentuh jiwa kita.

Barangkali kita harus belajar lagi seperti tumbuhan:
Tumbuhlah dalam badai. Suburlah dalam kilat. Sembuhlah dalam gelap.
Karena hanya yang berakar dalam, yang tidak tumbang saat musim berubah.

Dan jika kau mukmin, maka satu hal harus kau camkan:
Langit tidak sedang marah padamu. Ia sedang menyiapkanmu untuk mekar.

“Dan bila kilat menyinari mereka, mereka berjalan. Namun bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Seandainya mereka tahu: gelap itu bukan akhir, tapi awal dari cahaya yang sesungguhnya.”

Perahu Kecil yang Mengantar Takdir Gelap subuh menyelimuti tepian sungai Nil. Angin lembut menyapu wajah seorang ibu yang gemeta...

Perahu Kecil yang Mengantar Takdir

Gelap subuh menyelimuti tepian sungai Nil. Angin lembut menyapu wajah seorang ibu yang gemetar. Di pelukannya, bayi mungil terbaring, menangis lirih—seakan mengerti bahwa tubuhnya akan dilepas, bahwa dada ibunya akan kosong, bahwa pelukannya akan diganti gelombang air yang tak mengenal kasih sayang.

Ia letakkan anaknya ke dalam peti kecil, yang dilapisi kain-kain lembut dan doa-doa panjang. Tangan sang ibu menahan sebak, namun wahyu telah bicara, dan hati seorang ibu pun tak berdaya di hadapan titah langit. Maka ia lepaskan.

Air menyambut peti itu dengan riak tenang—seolah memahami bahwa yang dibawanya bukan sekadar tubuh kecil, melainkan amanah sejarah. Tapi sungai tidak selalu tenang. Perahu kecil itu pun terdorong arus, terantuk dahan, terseret semak liar, membentur batu-batu yang tersembunyi di bawah permukaan air. Bayi Musa menangis. Tangisnya lirih namun menusuk langit.

Burung-burung diam di atas cabang. Ikan-ikan menyelam dalam senyap. Alam pun seolah menunduk hormat: seorang rasul sedang dalam perjalanan takdirnya.

Petang hari menjelang ketika peti kecil itu mengapung mendekati taman istana. Para pelayan yang mencuci kain dan menimba air menjerit kecil melihatnya. "Apa ini? Siapa yang tega membuang bayi?"

Istri Firʻaun tengah duduk di balkon taman, wajahnya letih namun hati selalu rindu akan kelembutan. Ia melihat kerumunan. Ia turun.

Bayi Musa diangkat dari peti. Basah, lemah, tapi masih menangis. Saat dipeluk, tangis itu reda. Ia membuka mata. Dan istri Firʻaun tertegun. Matanya membasah.

> “Dia... penyejuk hatiku,” bisiknya perlahan. “Dan mungkin juga penyejuk hatimu.”



FirÊ»aun mendekat, keningnya mengernyit. “Ini bayi Bani Israil. Mungkin ia adalah benih pemberontakan.”

Tangan istrinya menahan. Lembut, tapi tegas.

> “Jangan kau bunuh dia. Barangkali ada manfaatnya bagi kita… Atau kita angkat dia menjadi anak.”



Firʻaun diam. Bukan karena setuju, tapi karena tak kuasa menolak tatapan mata istrinya yang jernih, yang telah lama kehilangan harapan akan keturunan. Maka ia membiarkan.

Bayi itu pun tinggal di istana, tumbuh di taman kekuasaan orang-orang zalim. Tak ada seorang pun yang tahu: bahwa tangan mungil itu kelak akan mengguncang takhta mereka. Bahwa bayi yang mereka rawat, yang mereka beri susu dan pakaian kerajaan, adalah anak yang akan mencabut kezaliman mereka dari akar.

> “Agar kelak ia menjadi musuh mereka, dan penyebab kesedihan mereka.”



> “Sesungguhnya FirÊ»aun, Haman, dan bala tentaranya… adalah orang-orang yang bersalah.”



Tapi hari itu, mereka tak tahu. Mereka tertawa, menyuapi bayi itu, menggoda tawanya. Mereka tak menyadari: anak itu—yang mereka sangka hadiah—adalah badai yang dikirim dari langit.

Musa kecil. Dulu hanyut di sungai. Kini mengalir masuk ke jantung kekuasaan. Ia tak datang dengan pedang. Ia datang dengan takdir.

Agresi Terhadap Bayi Gaza Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apakah engkau bisa tidur nyenyak malam ini, wahai dunia, ketika bayi-bayi d...

Agresi Terhadap Bayi Gaza

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Apakah engkau bisa tidur nyenyak malam ini, wahai dunia, ketika bayi-bayi di Gaza menangis hingga suara mereka lenyap dalam dingin, lapar, dan luka?

Hari ini kita menyaksikan pembunuhan terhadap bayi-bayi secara sistematis. Ini bukan ulah sekelompok kriminal jalanan. Ini dilakukan oleh sebuah negara. Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara yang disebut-sebut bagian dari tatanan internasional.

Lalu kita bertanya:
Mengapa lembaga yang mengklaim mewakili peradaban, memiliki anggota yang bertindak begitu biadab?


---

Pembantaian ini bukanlah insiden. Ia adalah kebijakan. Sebuah strategi negara. Penjajah Israel merancangnya dengan sadar dan dingin.

Pada 2 Maret 2025, secara resmi mereka menghentikan seluruh aliran bantuan ke Gaza—makanan, air, bahan bakar, bahkan listrik.

Langkah ini bukan karena krisis logistik. Tapi bagian dari tekanan politik, untuk menundukkan rakyat Gaza dalam negosiasi yang timpang. Bayi dijadikan sandera. Air susu mereka dijadikan kartu tawar-menawar.

UNICEF telah memperingatkan: bayi-bayi meninggal karena hipotermia. Karena tidak ada selimut, tidak ada pakaian hangat, tidak ada obat. Tapi suara lembaga internasional hanyalah angin lalu bagi penjajah. Mereka tetap menutup pintu-pintu kemanusiaan.

Bahkan kapal-kapal yang mencoba menembus blokade, satu per satu disergap. Bukan oleh bajak laut, tapi oleh militer negara yang mengklaim diri demokratis.


---

Serangan Drone di Perairan Internasional (Mei 2025)
Kapal bantuan “The Conscience” diserang oleh drone ketika berada di dekat perairan Malta. Kapal ini tak membawa senjata, hanya bantuan dan para aktivis. Tapi itu cukup bagi Israel untuk mematikannya di tengah laut.

Penangkapan Kapal “Madleen” (Juni 2025)
Pada 9 Juni 2025, kapal Madleen dicegat. Muatannya: makanan bayi, obat-obatan, dan suara nurani. Salah satu penumpangnya bahkan aktivis dunia Greta Thunberg. Tapi siapa pun penumpangnya, semua dianggap musuh bila menolong Gaza.

Penyergapan “Handala” (Juli 2025)
Kapal Handala disergap 64 km dari Gaza. Serangan berlangsung brutal. Kamera transmisi diputus, dan dunia dibungkam. Apa yang mereka sembunyikan?


---

Lalu kita bertanya kembali:
Mengapa dunia diam? Mengapa Israel bisa melakukan semuanya?

Karena mereka memiliki kekuasaan seperti Fir‘aun di Mesir. Karena mereka menindas seperti kaum kafir Quraisy di Mekah. Karena mereka meyakini ideologi ekstrem seperti penguasa zalim di Yaman.

“Sesungguhnya Fir‘aun telah berlaku sewenang-wenang di muka bumi. Dia menjadikan penduduknya berpecah-belah, menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sungguh, dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”
(Al-Qashash: 4)

Fir‘aun membunuh demi kekuasaan.
Kaum Quraisy mengubur bayi demi kehormatan suku.
Penguasa di Yaman membakar orang-orang beriman karena perbedaan keyakinan.
Lalu apa alasan penjajah Israel?

Semua.
Kekuasaan.
Hina dan dendam.
Ideologi.

Zionisme menganggap bangsa lain rendah. Mereka ingin dunia tunduk atau binasa. Gaza adalah perlawanan terhadap itu semua—maka harus dimusnahkan. Anak-anak dibunuh karena mereka adalah harapan masa depan. Karena dalam tangisan mereka, ada gema keberanian yang ditakuti penjajah.


---

"Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya: karena dosa apakah dia dibunuh?"
(At-Takwir: 8–9)

"...Dan mereka menyiksa orang-orang beriman hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji."
(Al-Buruj: 8)

Mereka membunuh karena iman. Karena keberanian. Karena Gaza tak tunduk. Karena bayi-bayi itu bisa tumbuh menjadi batu karang yang tak bisa dikalahkan.

Dan dunia...
Dunia memilih menjadi penonton yang baik. Duduk di kursi empuk diplomasi, menyaksikan bayi-bayi Gaza dikubur dalam reruntuhan.


---

Namun sejarah selalu berpihak pada yang tertindas. Seperti Fir‘aun yang tenggelam. Seperti Quraisy yang kalah. Seperti penguasa Yaman yang dibinasakan. Maka bersabarlah, wahai Gaza, karena darah bayi-bayi itu tak akan sia-sia.

Dunia boleh membungkam suara.
Tapi langit tak akan membungkam doa.
Dan langit—selalu berpihak pada yang tertindas.


---

“Kejahatan bisa menang dalam satu babak. Tapi kebenaran menulis akhir kisah.”

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (563) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (490) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (251) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (235) Sirah Sahabat (152) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (153) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)