Strategi Kejayaan Islam di Dinding Istana Al-Hambra
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Apa yang tersisa dari kejayaan Islam di Spanyol dan Portugal, tanah yang dahulu dikenal sebagai Andalusia?
Langkahkan kaki menuju Granada. Pandanglah Istana Al-Hambra. Sentuh dinding-dindingnya yang bisu, namun sesungguhnya berbicara. Dengarkan bisikan batu-batu yang terpahat. Di sanalah strategi kejayaan Islam masih hidup—bukan dalam bentuk bala tentara, melainkan dalam hikmah yang membungkus jejak sejarah.
“Laa Ghaaliba Illallaah.” Tiada kemenangan kecuali karena Allah. Kalimat itu bukan sekadar ukiran, melainkan nyawa peradaban yang menghidupkan Al-Hambra.
Kalimat tersebut menjadi semboyan Dinasti Bani Ahmar, Nasrid, yang memerintah Granada selama lebih dari dua abad. Sultan Muhammad I ibn Nasr, sang pendiri dinasti, menjadikannya landasan spiritual dan strategi politik. Di balik kaligrafi yang anggun, terpahat strategi yang bukan hanya merancang istana, tapi juga menaklukkan jiwa manusia.
Islam di Al-Hambra tidak dibangun hanya dengan batu, melainkan dengan iman yang mengakar. Arsitektur bukan sekadar keindahan, melainkan pernyataan tauhid. Setiap lengkung pintu, setiap jendela yang menghadap ke langit, setiap kubah yang menjulang—adalah doa yang dibentuk dalam geometri.
Dan ketika kita menyusuri lorong-lorongnya, seolah kita sedang membaca sejarah bukan dengan buku, tapi dengan ruang dan cahaya. Kita diajak kembali kepada akar kejayaan: bahwa kemenangan bukan karena jumlah, kekayaan, atau teknologi, melainkan karena kesucian tujuan dan keikhlasan jiwa.
Umar bin Khattab, pemimpin agung generasi awal, telah meletakkan fondasi strategi ini. Ketika melepas pasukan kaum Muslimin ke medan jihad, beliau berkata:
“Aku tidak mengirim kalian karena banyaknya jumlah kalian atau kekuatan kalian. Tapi aku mengirim kalian dengan doa karena kalian adalah pasukan Allah. Jangan berbuat dosa, karena dosa adalah sebab kekalahan. Aku lebih takut terhadap dosa-dosa kalian daripada kekuatan musuh kalian.”
Itulah strategi sejati. Sebuah strategi yang menjadikan takwa sebagai kekuatan utama, bukan senjata atau logistik. Ia menaklukkan hati sebelum menaklukkan wilayah. Dan itulah pula ruh yang mengalir dalam tembok-tembok Al-Hambra.
Al-Hambra menyimpan gema nubuwah Rasulullah ï·º tentang pasukan laut umat Islam. Ketika Ummu Haram bertanya kepada Rasulullah tentang pasukan pertama yang akan berperang di lautan, beliau menjawab:
"Pasukan pertama dari kalangan umatku yang berperang di lautan adalah penghuni surga."
"Ya Rasulullah, apakah aku termasuk di antara mereka?"
"Engkau termasuk bersama mereka."
Hadits ini bukan sekadar prediksi. Ia adalah undangan ilahiah untuk memasuki dimensi perjuangan yang belum pernah disentuh: lautan. Tantangan yang belum dikenal, namun telah disiapkan oleh Rasulullah dengan doa dan visi.
Dan sejarah pun mencatat: Khalifah Utsman bin Affan membuka jalan. Mu‘awiyah bin Abu Sufyan membangunnya dengan sistematis. Ia mendirikan galangan kapal di pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Akka, Sur (Tirus), dan Arwad. Ia melatih tentara laut, merekrut para pejuang dari penduduk pesisir Syam yang telah akrab dengan laut, dan mengembangkan sistem logistik maritim untuk perjalanan panjang.
Strategi ini bukan sekadar perluasan wilayah. Ia adalah ekspansi iman. Laut bukan lagi penghalang dakwah, tetapi medan baru yang harus dilalui dengan iman dan kehati-hatian.
"Wahai laut," seolah mereka berkata, "engkau bukan akhir dari peradaban, engkau hanyalah awal dari misi kami yang lebih jauh."
Dari sinilah dimulai ekspedisi menuju Barat. Musa bin Nusair dan Thariq bin Ziyad muncul bukan sebagai penakluk biasa. Mereka membawa semangat Rasulullah dan warisan ruhani Umar bin Khattab. Ketika Thariq membakar kapal-kapalnya dan berkata kepada pasukannya bahwa di hadapan mereka adalah musuh dan di belakang mereka adalah lautan, ia sedang menanamkan satu hal: tawakkal yang absolut.
Islam masuk ke Eropa bukan dengan pemaksaan, tapi dengan pancaran keadilan. Di Andalusia, selama berabad-abad, Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan. Ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat berkembang di bawah naungan Islam. Kota-kota menjadi pusat keilmuan. Cordoba bersinar ketika Eropa masih tenggelam dalam kegelapan abad pertengahan.
Namun semua itu berpulang kepada satu fondasi: "Laa Ghaaliba Illallaah."
Di dinding Al-Hambra, kalimat itu bukan hanya menjadi hiasan, tapi azimat spiritual yang membentengi peradaban. Ia mengingatkan para penguasa, tentara, dan rakyat bahwa kemenangan adalah milik Allah. Bahwa siapa pun yang menyombongkan diri akan dijatuhkan, dan siapa pun yang bergantung kepada Allah akan ditinggikan.
Maka tidak heran jika Al-Hambra bukan sekadar bangunan, tapi monumen spiritual. Ia menjadi pengingat, bahkan di tengah keterpurukan dan kejatuhan, bahwa kejayaan hakiki bukan pada dominasi politik semata, tetapi pada kesetiaan kepada nilai-nilai tauhid.
Dan pesan ini tidak berhenti di sana.
Jauh setelah Andalusia jatuh, gema "Laa Ghaaliba Illallaah" tetap sampai ke jantung dunia Islam. Seorang pemuda di Timur menyambutnya dengan semangat yang membara. Dialah Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa kejayaan bukanlah hak eksklusif bangsa atau ras tertentu, melainkan milik siapa saja yang mengikatkan dirinya pada Allah.
Al-Fatih mewariskan pesan kepada putranya menjelang wafatnya:
"Ingatlah anakku, aku telah menaklukkan Konstantinopel, dan aku mewasiatkan padamu untuk terus menegakkan kalimat Allah di atas muka bumi. Jika engkau lalai, kehinaan akan menimpamu di dunia dan akhirat."
Apa makna dari semua ini?
Bahwa strategi kejayaan Islam tidak pernah berubah. Ia tidak bergantung pada jumlah pasukan, gemerlap senjata, atau arsitektur megah. Ia bertumpu pada satu kalimat:
"Laa Ghaaliba Illallaah."
Jika kalimat ini hidup dalam jiwa, maka tembok yang kokoh akan tumbuh bahkan di tengah badai. Jika kalimat ini dipahat dalam amal, maka sejarah akan menulis kejayaan bahkan di tengah kehancuran.
Hari ini, kita tidak sedang membangun istana seperti Al-Hambra. Tapi kita bisa membangun hati yang menjadi tempat tinggal bagi strategi yang sama. Kita bisa menjadikan rumah, sekolah, masjid, dan lembaga kita sebagai tempat-tempat di mana kalimat tauhid itu menjadi napas dan cahaya.
Dan jika suatu hari anak-anak kita bertanya, “Di mana kejayaan Islam berada?” Maka bawalah mereka bukan hanya ke Granada, tapi ke dalam jiwa yang telah diukir oleh keyakinan: bahwa tiada kemenangan kecuali karena Allah.
Karena yang sejati, tak pernah runtuh meski istananya runtuh. Yang sejati tetap bersinar, bahkan jika lampunya dipadamkan.
Dan Al-Hambra, dengan segala bisunya, tetap berkata:
“Tiada kemenangan kecuali karena Allah.”
0 komentar: