Mindset Mukmin di Tengah Badai
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
"Atau, seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit yang disertai berbagai kegelapan, petir, dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya (untuk menghindari) suara petir itu karena takut mati. Allah meliputi orang-orang yang kafir."
(Al-Baqarah : 19)
Sayid Qutb dalam tafsirnya Fizilalil Qur’an menjelaskan suasana kebatinan orang munafik dan kafir seperti ayat di atas: "Ini merupakan sebuah pemandangan indrawi yang melukiskan kondisi jiwa mereka dan perasaan mereka. Dan ini merupakan salah satu cara Al-Qur’an yang mengagumkan dalam melukiskan kondisi kejiwaan manusia, Seakan-akan sebuah pemandangan yang dapat dilihat oleh panca indra."
Namun bagaimana suasana orang mukmin dalam menghadapi kondisi serupa?
---
Mengapa langit menurunkan hujan lebat? Mengapa petir menyambar dengan gelegar menggetarkan dada? Dan mengapa malam menutup segala arah dengan gelap yang pekat?
Apakah itu kutukan? Ataukah isyarat dari langit yang hanya bisa dipahami oleh hati yang bersih?
Mukmin tidak melihat langit seperti orang kafir melihatnya. Ketika hujan mengguyur tanpa ampun, ia tidak sekadar berteduh. Ia merenung. Ketika kilat membelah cakrawala dan guruh menggema di langit, mukmin tidak bersembunyi seperti anak kecil yang takut mati. Ia justru membuka hati: apa yang ingin langit ajarkan hari ini?
---
Petir Menyambar, Tapi Mukmin Menyerap
Al-Qur'an menggambarkan dengan gamblang: orang kafir ketika mendengar petir, mereka menutup telinga mereka dengan jari-jarinya karena takut mati. Mereka tidak tahan dengan suara kebenaran, tidak sanggup menerima cahaya yang menyambar sekejap. Mereka bingung, takut, dan berhenti—terhenti langkahnya karena gelap.
Tapi mukmin?
Mukmin justru berdiri tegak di tengah badai. Karena ia tahu, petir bukan hanya ancaman. Ia adalah pupuk langit. Kilat itu mengikat nitrogen. Ia menyuburkan tanah. Dan begitu pula hidup: cobaan yang mengguncang bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menyiapkan ladang hati agar siap ditanami benih cahaya.
Ketika yang lain berlari karena takut disambar, mukmin menguatkan akarnya. Ia tidak terpesona oleh sinar sesaat, tidak silau oleh kenyamanan palsu. Ia tahu: kilat hanya menyinari sebentar. Tetapi dari sana, bumi menjadi hijau. Jiwa pun demikian: kilat dari ujian menyinari sesaat, lalu menyuburkan selama-lamanya.
---
Gelap yang Mendidik
Kegelapan selalu dicurigai. Kita diajari sejak kecil bahwa gelap itu menakutkan. Tapi alam tidak berpikir demikian. Tumbuhan tahu persis: tanpa gelap, ia tidak akan bisa tumbuh. Tidak ada waktu memperbaiki diri. Tidak ada keseimbangan.
Mukmin pun begitu. Ia tidak membenci gelap. Karena gelap itu rahim. Di sanalah benih ditanam. Di sanalah janin dibentuk. Di sanalah doa-doa menetas dalam kesunyian. Dalam gelap, Allah mendidik tanpa suara. Dalam diam, Allah menyembuhkan luka-luka jiwa.
Sedangkan orang munafik? Mereka panik dalam gelap. Mereka tidak punya arah karena mereka hanya terbiasa hidup di bawah sinar dunia. Sekali dunia padam, mereka terhenti. Bimbang. Takut. Gelap membuat mereka telanjang, karena mereka tidak pernah membangun cahaya dari dalam.
---
Hujan: Air yang Menyingkap Rahasia
Hujan adalah air langit. Tapi ia tidak turun dengan pelan. Kadang deras. Kadang mengguyur dengan kasar. Apakah itu tanda kemurkaan? Tidak bagi mukmin. Karena mukmin tahu: langit tidak sedang marah. Ia sedang menyirami.
Tumbuhan tidak menolak hujan, bahkan yang paling lebat sekalipun. Karena ia tahu, air itu akan menyelinap ke dalam akar, memberi kehidupan, menyembuhkan kekeringan yang tidak tampak dari luar.
Mukmin pun begitu. Ia menerima hujan ujian. Ia membiarkan derasnya air kehidupan membasahi luka-luka batin, membersihkan debu keangkuhan, dan menghidupkan rasa yang mulai mati. Hujan lebat tidak membuatnya murung. Ia justru bersujud lebih dalam.
---
Mukmin Tidak Lari dari Badai
Mukmin tidak berlari dari petir. Ia justru menatapnya. Mukmin tidak lari dari gelap. Ia menyelaminya. Mukmin tidak mengutuk hujan. Ia menghamparkan hati untuk menyerapnya.
Karena mukmin tahu: Allah menciptakan badai bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk membangunkan.
Dan inilah yang membedakan orang beriman dari mereka yang tenggelam dalam kemunafikan. Yang satu tumbuh dalam guncangan, yang lain lumpuh dalam keraguan. Yang satu menemukan cahaya di balik guruh, yang lain menyumbat telinga dari suara langit.
---
Jangan Takut Petir, Takutlah Mati dalam Kekeringan
Kita sering takut pada kilat, tapi tidak takut pada hati yang mati. Kita gentar saat malam datang, tapi tidak takut bila iman kita tidak tumbuh. Kita murung karena hujan tak kunjung berhenti, tapi tidak sedih bila air kehidupan tidak menyentuh jiwa kita.
Barangkali kita harus belajar lagi seperti tumbuhan:
Tumbuhlah dalam badai. Suburlah dalam kilat. Sembuhlah dalam gelap.
Karena hanya yang berakar dalam, yang tidak tumbang saat musim berubah.
Dan jika kau mukmin, maka satu hal harus kau camkan:
Langit tidak sedang marah padamu. Ia sedang menyiapkanmu untuk mekar.
“Dan bila kilat menyinari mereka, mereka berjalan. Namun bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Seandainya mereka tahu: gelap itu bukan akhir, tapi awal dari cahaya yang sesungguhnya.”
0 komentar: