Perahu Kecil yang Mengantar Takdir
Gelap subuh menyelimuti tepian sungai Nil. Angin lembut menyapu wajah seorang ibu yang gemetar. Di pelukannya, bayi mungil terbaring, menangis lirih—seakan mengerti bahwa tubuhnya akan dilepas, bahwa dada ibunya akan kosong, bahwa pelukannya akan diganti gelombang air yang tak mengenal kasih sayang.
Ia letakkan anaknya ke dalam peti kecil, yang dilapisi kain-kain lembut dan doa-doa panjang. Tangan sang ibu menahan sebak, namun wahyu telah bicara, dan hati seorang ibu pun tak berdaya di hadapan titah langit. Maka ia lepaskan.
Air menyambut peti itu dengan riak tenang—seolah memahami bahwa yang dibawanya bukan sekadar tubuh kecil, melainkan amanah sejarah. Tapi sungai tidak selalu tenang. Perahu kecil itu pun terdorong arus, terantuk dahan, terseret semak liar, membentur batu-batu yang tersembunyi di bawah permukaan air. Bayi Musa menangis. Tangisnya lirih namun menusuk langit.
Burung-burung diam di atas cabang. Ikan-ikan menyelam dalam senyap. Alam pun seolah menunduk hormat: seorang rasul sedang dalam perjalanan takdirnya.
Petang hari menjelang ketika peti kecil itu mengapung mendekati taman istana. Para pelayan yang mencuci kain dan menimba air menjerit kecil melihatnya. "Apa ini? Siapa yang tega membuang bayi?"
Istri Firʻaun tengah duduk di balkon taman, wajahnya letih namun hati selalu rindu akan kelembutan. Ia melihat kerumunan. Ia turun.
Bayi Musa diangkat dari peti. Basah, lemah, tapi masih menangis. Saat dipeluk, tangis itu reda. Ia membuka mata. Dan istri Firʻaun tertegun. Matanya membasah.
> “Dia... penyejuk hatiku,” bisiknya perlahan. “Dan mungkin juga penyejuk hatimu.”
FirÊ»aun mendekat, keningnya mengernyit. “Ini bayi Bani Israil. Mungkin ia adalah benih pemberontakan.”
Tangan istrinya menahan. Lembut, tapi tegas.
> “Jangan kau bunuh dia. Barangkali ada manfaatnya bagi kita… Atau kita angkat dia menjadi anak.”
Firʻaun diam. Bukan karena setuju, tapi karena tak kuasa menolak tatapan mata istrinya yang jernih, yang telah lama kehilangan harapan akan keturunan. Maka ia membiarkan.
Bayi itu pun tinggal di istana, tumbuh di taman kekuasaan orang-orang zalim. Tak ada seorang pun yang tahu: bahwa tangan mungil itu kelak akan mengguncang takhta mereka. Bahwa bayi yang mereka rawat, yang mereka beri susu dan pakaian kerajaan, adalah anak yang akan mencabut kezaliman mereka dari akar.
> “Agar kelak ia menjadi musuh mereka, dan penyebab kesedihan mereka.”
> “Sesungguhnya FirÊ»aun, Haman, dan bala tentaranya… adalah orang-orang yang bersalah.”
Tapi hari itu, mereka tak tahu. Mereka tertawa, menyuapi bayi itu, menggoda tawanya. Mereka tak menyadari: anak itu—yang mereka sangka hadiah—adalah badai yang dikirim dari langit.
Musa kecil. Dulu hanyut di sungai. Kini mengalir masuk ke jantung kekuasaan. Ia tak datang dengan pedang. Ia datang dengan takdir.
0 komentar: