TITIK KRITIS MANUSIA DALAM KISAH DI AL-QUR’AN
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
---
Ada momen dalam hidup ketika waktu terasa diam. Nafas berhenti sejenak, dan dunia tampak menunggu. Saat itulah kita berada di sebuah titik—sebuah persimpangan batin—yang akan menentukan ke mana langkah berikutnya bermuara. Sebuah titik kritis.
Titik inilah yang oleh Al-Qur’an diceritakan berulang-ulang. Ia bukan sekadar kisah sejarah, tapi potret jiwa. Karena manusia tak pernah berubah sepenuhnya: ia tetap makhluk dengan kehendak, kegelisahan, dan keputusan. Dan dalam titik-titik tertentu, nasib hidupnya akan berpaling: ke cahaya, atau ke jurang.
Mari duduk sejenak dan renungkan bersama. Dalam kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu, apa yang sesungguhnya ingin Allah tunjukkan? Di mana letak keputusan yang mengguncang takdir itu?
Saat panen siap dipetik.
Bayangkan: bertahun-tahun merawat pohon, mencangkul tanah, menyiram dan memupuk, lalu hasilnya melimpah ruah. Harusnya hati bersyukur. Tapi justru di saat itulah manusia diuji paling keras.
"Aku lebih banyak hartaku darimu. Aku lebih berpengaruh. Aku rasa kebun ini takkan pernah binasa. Bahkan kalau kiamat pun datang, aku pasti selamat."
Nada sombong itu muncul bukan saat kerja keras dilakukan. Tapi justru saat hasil datang.
Lalu datanglah pagi. Sang pemilik kebun lain bangun sebelum fajar. Ia mengajak teman-temannya diam-diam pergi ke kebun.
"Jangan beri tahu siapa pun. Jangan biarkan orang miskin tahu kita akan panen hari ini. Ini semua milik kita."
Tapi mereka lupa. Ada Tuhan yang melihat.
Ketika mereka sampai di kebun, mereka terkejut. Pohon-pohon yang rimbun semalam kini gosong, tanahnya tandus. Hasil yang mereka sembunyikan lenyap tanpa bekas.
Kisah ini adalah potret titik kritis. Bukan pada masa kerja keras, tapi saat menerima hasil. Saat limpahan dunia datang: apakah hati akan bersyukur, atau merasa menjadi tuhan kecil yang tak tersentuh?
Saat berada di puncak kekuasaan.
Qarun tidak diceritakan saat ia masih miskin. Al-Qur’an tidak mencatat langkah-langkah awalnya menjadi orang berada. Tetapi ketika ia sudah sangat kaya, ketika kunci-kunci gudangnya harus diangkat oleh beberapa orang kuat, barulah kisah itu dimulai.
"Sesungguhnya aku diberi harta ini karena ilmuku."
Ia tak menyebut nama Allah. Tak menyebut rahmat atau takdir. Ia merasa cukup oleh dirinya sendiri.
Dan bumi pun menelannya.
Begitu pula dengan para pembesar kaum. Mereka tidak diceritakan saat mereka masih berjuang mencari kekuasaan. Tapi ketika sudah duduk di singgasana. Ketika jubah mereka disanjung rakyat, dan ucapan mereka menjadi hukum.
"Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada salah satu dari pembesar kota kami?"
Inilah titik kritis para elit: saat kebenaran datang, tapi mereka menolaknya karena tidak sesuai struktur yang mereka bangun. Mereka ingin kebenaran tunduk pada mereka, bukan sebaliknya.
Namun ada raja yang lulus dari titik kritis ini.
Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, dua nabi yang juga raja besar, justru menunjukkan kerendahan hati di tengah kekuasaan dan kekayaan.
Nabi Daud menangis saat menerima peringatan dari Allah. Ia tidak marah, tidak menyangkal. Ia langsung bersujud dan bertaubat.
Sedangkan Nabi Sulaiman, meski memiliki pasukan jin, manusia, dan burung—serta bisa berbicara dengan hewan—tetap berkata:
"Ini semua adalah karunia dari Tuhanku, untuk mengujiku: apakah aku bersyukur atau kufur."
Ia tidak mengklaim semua karena kepandaiannya. Tidak menyombongkan diri. Ia tahu, segala yang besar itu hanyalah titipan dan ujian.
Saat Nabi datang membawa risalah.
Ketika wahyu turun, ketika kebenaran disampaikan, manusia berhadapan langsung dengan cermin dirinya. Mau mengakui? Atau mencari seribu alasan untuk menolak?
Kaum Yahudi menolak Muhammad ﷺ karena ia bukan dari kalangan mereka. Mereka berkata, "Mengapa bukan dari Bani Israil?" Padahal tanda-tanda kenabiannya sangat jelas.
Ini titik kritis yang paling tajam: sanggupkah seseorang merendahkan egonya, menjatuhkan egonya sendiri, untuk mengakui kebenaran dari Allah, walau datang dari luar ekspektasi?
Saat bisikan terdengar—dari malaikat atau setan.
Manusia tidak hidup dalam keheningan batin. Selalu ada suara. Selalu ada bisikan. Setiap keputusan besar sering kali lahir dari percakapan batin: siapa yang kita dengarkan?
Adam dan Hawa hanya mendengar satu kalimat:
"Tuhanmu tidak melarangmu dari pohon ini kecuali karena Dia tidak ingin kau menjadi malaikat atau kekal."
Lalu mereka makan. Dan turunlah mereka dari surga.
Yusuf pun pernah dihadapkan pada bisikan. Wanita itu telah menginginkannya. Dan Yusuf... hampir saja, seandainya ia tidak melihat tanda dari Tuhannya. Maka Yusuf pun selamat, karena Allah menjaga hatinya.
Saat sakit, miskin, dan sendirian.
Tak banyak kisah seperti ini di Al-Qur’an. Tapi satu tokoh tampil penuh kemuliaan: Nabi Ayyub.
Ia kehilangan semua: harta, anak, tubuhnya dipenuhi penyakit. Teman menjauh. Istri nyaris putus asa.
Tapi Ayyub berseru lirih:
"Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit. Dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang dari segala penyayang."
Ia tidak menyalahkan. Ia tidak marah. Ia hanya mengadu dengan penuh kelembutan.
Itu titik kritisnya. Dan ia lulus.
Apa yang bisa kita ambil dari semua ini?
Titik kritis bukan hanya soal ujian berat. Ia bisa datang dalam bentuk keberhasilan. Bisa hadir dalam bentuk pujian. Bisa terselip dalam harta, jabatan, bahkan bisikan pikiran.
Di titik itulah jalan bercabang. Satu ke arah ketaatan. Satu ke arah kehancuran.
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang paling lurus...”
Tuhan tidak menyuruh kita menang dalam semua hal. Tapi Dia ingin kita lulus dalam satu hal: menjaga hati di titik-titik genting itu.
Mungkin kita bukan pemilik kebun, bukan penguasa, bukan pula Nabi. Tapi setiap kita punya titik kritis masing-masing. Ada saat kita harus memutuskan: siapa yang kita dengar? Ke mana hati berpaling? Apa yang kita ucapkan? Kepada siapa kita bersandar?
Itulah saat di mana langit memperhatikan kita.
Dan semoga, kita mengambil keputusan yang membuat para malaikat berkata, “Inilah hamba-Mu yang lulus dari ujian...”
0 komentar: