basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Tumbuh Dalam Badai: Belajar dari Tumbuhan  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit tidak bicara dengan kata-kata, tapi ia mengajar. Ia...

Tumbuh Dalam Badai: Belajar dari Tumbuhan 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Langit tidak bicara dengan kata-kata, tapi ia mengajar.
Ia mengirim hujan, petir, dan gelap bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk mengingatkan.

Seorang mukmin tidak melihat badai seperti orang biasa melihatnya.
Ia tidak sekadar mendengar gemuruh dan menyangka murka; ia mendengar zikir langit.
Ia tidak hanya melihat kilat dan menunduk takut; ia melihat cahaya yang sedang membelah langit hatinya.

Dan ketika gelap turun perlahan, menutup semua jalan dan kemungkinan, mukmin tidak kehilangan arah—karena hatinya menyimpan cahaya lain: cahaya dari dalam.


---

I. Hujan: Doa Langit yang Menetes ke Akar

Hujan turun malam itu.
Tidak pelan. Tidak sopan. Ia mengguyur tanpa kompromi.
Atap-atap berderak. Jalanan terendam. Suara angin bersiul seperti luka yang belum reda.

Tetapi di balik jendela kayu sebuah rumah tua, seorang lelaki tua duduk memandang langit.
Ia tidak marah. Tidak juga cemas.
Ia hanya berbisik,
"Alhamdulillah... bumi sedang disiram oleh kasih sayang-Mu."

Karena ia tahu, hujan bukan sekadar air.
Ia adalah wahyu dalam bentuk cair.
Ia menyentuh tanah, lalu menghidupkan akar.
Ia mengalir di antara pori-pori bumi yang retak, lalu menyatu dengan tubuh tumbuhan.

Tumbuhan tidak menyambut hujan dengan keluhan.
Ia tidak berkata, “Terlalu deras!”
Ia hanya diam, menunduk, dan menyerap.
Ia tahu: air ini bukan musuh, melainkan makanan untuk pertumbuhannya.

“Begitulah seharusnya engkau, wahai jiwa mukmin,”
bisik hujan dalam kesadarannya,
“Jangan mengeluh saat ujian turun deras. Seraplah ia, agar kau tumbuh lebih dalam.”


---

II. Petir: Cahaya yang Menyuburkan dalam Sekejap

Kilatan pertama menyambar pohon tua di ujung ladang.
Kilatan kedua membelah langit dengan sinar yang terlalu terang untuk dilihat mata biasa.
Guruh pun menyusul, menggetarkan dada, seolah memukul-mukul bumi agar ia bangkit dari tidur.

Orang-orang menutup telinga, bersembunyi di balik tembok, menggigil dalam ketakutan.
Tetapi seorang anak kecil, yang belum diajari takut oleh dunia, justru menatap ke luar dan bertanya:
"Ayah, kenapa petir menyala?"

Sang ayah menjawab sambil tersenyum:
"Karena langit sedang memberi pupuk pada tanah."

Anak itu tertawa, tak percaya. Tapi ia mengingatnya.

Dan betul. Petir memang menyuburkan.
Ia memecah nitrogen di udara—gas yang terlalu kuat untuk diurai oleh tumbuhan.
Melalui petir, nitrogen itu berubah menjadi nitrat dan amonium.
Lalu larut bersama hujan.
Lalu meresap ke dalam akar.

Tanpa petir, daun tak akan sehijau itu.
Tanpa petir, ladang tak akan seteguh itu.
Tanpa petir, langit tak akan menjadi seproduktif itu.

Dan tanpa kejutan-kejutan dari hidup, jiwa mukmin pun tidak akan tumbuh dewasa.

“Kau butuh kilat untuk menyadari cahaya,”
bisik langit.
“Kau butuh guncangan untuk menyadari akar.”


---

III. Gelap: Rahim yang Diam-Diam Menumbuhkan

Setelah hujan reda, dan petir menjauh, malam benar-benar datang.
Gelap menutup segala arah. Tak ada cahaya bulan. Tak ada bintang.
Hanya suara tetesan air yang turun dari genting, dan aroma tanah basah yang naik dari bumi.

Bagi sebagian orang, malam adalah ketakutan.
Mereka menyalakan lampu di setiap sudut, seolah kegelapan adalah iblis yang harus diusir.

Tetapi tumbuhan tidak takut gelap.
Ia justru menanti malam.
Karena malam adalah waktunya ia bekerja dalam diam.
Respirasi sel terjadi. Energi dari siang hari dibagikan ke batang, daun, dan akar.
Tumbuhan memperbaiki dirinya. Tumbuhan tumbuh.

Seorang mukmin yang memahami hal ini tidak lagi membenci gelap.
Ia justru mencintainya.

Ia tahu: bukan hanya cahaya yang menghidupkan, tapi juga kegelapan.
Karena di dalam gelap, doa-doa lebih tulus.
Tangis lebih jujur.
Pertobatan lebih dalam.

Tumbuhan tahu ia butuh gelap untuk berbunga.
Beberapa bahkan hanya bisa berbunga jika mengalami malam yang cukup panjang.
Begitu pula mukmin: hati baru mekar setelah cukup lama terbenam dalam malam-malam taubat.

“Jika engkau merasa gelap,” kata malam,
“Maka jangan menolak.
Karena Aku adalah rahim tempat engkau akan dilahirkan kembali.”


---

IV. Jiwa yang Tumbuh Seperti Tanaman

Langit tidak membedakan antara ladang yang bersyukur dan ladang yang mengeluh.
Hujannya turun pada keduanya.
Petirnya menyambar tanpa memilih.
Gelapnya datang menyelimuti semua.

Tetapi tumbuhan yang menerima air, kilat, dan gelap dengan penuh sabar—itulah yang akan tumbuh.
Dan tumbuhan yang mengeluh, menggugurkan daunnya terlalu cepat, atau terlalu keras menolak air—akan mati perlahan.

Begitu pula jiwa manusia.

Sebagian mengeluh saat hujan turun dalam hidupnya.
Mengira ia dihukum.
Padahal ia sedang disiram.

Sebagian marah saat petir menyambar jiwanya: ketika musibah datang tiba-tiba, ketika hidup berubah drastis.
Padahal itu cara langit menyuburkannya.

Sebagian takut pada gelap: sunyi, kehilangan, sepi, malam tanpa teman.
Padahal di situlah hatinya didewasakan.

“Jadilah seperti tumbuhan,”
kata langit,
“Karena ia tahu, badai bukan akhir,
melainkan awal dari musim berbunga.”


---

V. Mukmin: Mereka yang Tidak Takut Badai

Mukmin bukan orang yang hidup tanpa petir.
Bukan orang yang selalu berada di bawah cahaya.
Bukan orang yang tidak pernah kehujanan.

Mukmin justru mereka yang mengakar dalam badai.

Mereka tidak tumbang saat hujan datang.
Tidak panik saat petir menyambar.
Tidak putus arah saat gelap menutup pandangan.

Karena mereka tahu:
Langit tidak sedang menghukum mereka. Langit sedang menumbuhkan mereka.

Seperti tanah yang basah sebelum disemai.
Seperti benih yang dikubur dalam gelap sebelum mekar.
Seperti ladang yang tersambar cahaya sebelum jadi subur.

Hati mukmin, jika ia pasrah dan sabar, akan menjadi taman yang lebih indah dari ladang mana pun di bumi.

“Tumbuhlah, wahai mukmin,” bisik langit dalam hati mereka,
“Tumbuhlah dalam badai, karena badai ini dari-Ku.
Dan siapa yang bersabar bersama-Ku, akan Kubuat hijau meski di padang gersang.”



---

Ketika Langit Menjadi Cermin Jiwa

Kita hidup dalam zaman yang bising dan terang berlebihan.
Kita takut hujan karena takut basah.
Kita takut petir karena takut terguncang.
Kita takut gelap karena takut sendiri.

Padahal, tumbuhan—yang tidak bisa bicara dan tidak bisa berpikir—justru lebih bijak dari kita.
Ia menerima. Ia tumbuh. Ia bersabar.

Maka belajarlah, wahai jiwa yang mendamba kedewasaan.
Bukan dari seminar atau buku motivasi.
Tapi dari langit.
Dari hujan, petir, dan gelap.

Karena barangkali, dalam satu malam penuh badai,
kita tidak sedang dihukum.
Kita sedang ditumbuhkan.

Mindset Mukmin di Tengah Badai Oleh: Nasrulloh Baksolahar  "Atau, seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit yang...

Mindset Mukmin di Tengah Badai


Oleh: Nasrulloh Baksolahar 

"Atau, seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit yang disertai berbagai kegelapan, petir, dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya (untuk menghindari) suara petir itu karena takut mati. Allah meliputi orang-orang yang kafir."
(Al-Baqarah : 19)

Sayid Qutb dalam tafsirnya Fizilalil Qur’an menjelaskan suasana kebatinan orang munafik dan kafir seperti ayat di atas: "Ini merupakan sebuah pemandangan indrawi yang melukiskan kondisi jiwa mereka  dan perasaan mereka. Dan ini merupakan salah satu cara Al-Qur’an yang mengagumkan dalam melukiskan kondisi kejiwaan manusia, Seakan-akan sebuah pemandangan yang dapat dilihat oleh panca indra."

Namun bagaimana suasana orang mukmin dalam menghadapi kondisi serupa?


---

Mengapa langit menurunkan hujan lebat? Mengapa petir menyambar dengan gelegar menggetarkan dada? Dan mengapa malam menutup segala arah dengan gelap yang pekat?
Apakah itu kutukan? Ataukah isyarat dari langit yang hanya bisa dipahami oleh hati yang bersih?

Mukmin tidak melihat langit seperti orang kafir melihatnya. Ketika hujan mengguyur tanpa ampun, ia tidak sekadar berteduh. Ia merenung. Ketika kilat membelah cakrawala dan guruh menggema di langit, mukmin tidak bersembunyi seperti anak kecil yang takut mati. Ia justru membuka hati: apa yang ingin langit ajarkan hari ini?


---

Petir Menyambar, Tapi Mukmin Menyerap

Al-Qur'an menggambarkan dengan gamblang: orang kafir ketika mendengar petir, mereka menutup telinga mereka dengan jari-jarinya karena takut mati. Mereka tidak tahan dengan suara kebenaran, tidak sanggup menerima cahaya yang menyambar sekejap. Mereka bingung, takut, dan berhenti—terhenti langkahnya karena gelap.

Tapi mukmin?

Mukmin justru berdiri tegak di tengah badai. Karena ia tahu, petir bukan hanya ancaman. Ia adalah pupuk langit. Kilat itu mengikat nitrogen. Ia menyuburkan tanah. Dan begitu pula hidup: cobaan yang mengguncang bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menyiapkan ladang hati agar siap ditanami benih cahaya.

Ketika yang lain berlari karena takut disambar, mukmin menguatkan akarnya. Ia tidak terpesona oleh sinar sesaat, tidak silau oleh kenyamanan palsu. Ia tahu: kilat hanya menyinari sebentar. Tetapi dari sana, bumi menjadi hijau. Jiwa pun demikian: kilat dari ujian menyinari sesaat, lalu menyuburkan selama-lamanya.


---

Gelap yang Mendidik

Kegelapan selalu dicurigai. Kita diajari sejak kecil bahwa gelap itu menakutkan. Tapi alam tidak berpikir demikian. Tumbuhan tahu persis: tanpa gelap, ia tidak akan bisa tumbuh. Tidak ada waktu memperbaiki diri. Tidak ada keseimbangan.

Mukmin pun begitu. Ia tidak membenci gelap. Karena gelap itu rahim. Di sanalah benih ditanam. Di sanalah janin dibentuk. Di sanalah doa-doa menetas dalam kesunyian. Dalam gelap, Allah mendidik tanpa suara. Dalam diam, Allah menyembuhkan luka-luka jiwa.

Sedangkan orang munafik? Mereka panik dalam gelap. Mereka tidak punya arah karena mereka hanya terbiasa hidup di bawah sinar dunia. Sekali dunia padam, mereka terhenti. Bimbang. Takut. Gelap membuat mereka telanjang, karena mereka tidak pernah membangun cahaya dari dalam.


---

Hujan: Air yang Menyingkap Rahasia

Hujan adalah air langit. Tapi ia tidak turun dengan pelan. Kadang deras. Kadang mengguyur dengan kasar. Apakah itu tanda kemurkaan? Tidak bagi mukmin. Karena mukmin tahu: langit tidak sedang marah. Ia sedang menyirami.

Tumbuhan tidak menolak hujan, bahkan yang paling lebat sekalipun. Karena ia tahu, air itu akan menyelinap ke dalam akar, memberi kehidupan, menyembuhkan kekeringan yang tidak tampak dari luar.

Mukmin pun begitu. Ia menerima hujan ujian. Ia membiarkan derasnya air kehidupan membasahi luka-luka batin, membersihkan debu keangkuhan, dan menghidupkan rasa yang mulai mati. Hujan lebat tidak membuatnya murung. Ia justru bersujud lebih dalam.


---

Mukmin Tidak Lari dari Badai

Mukmin tidak berlari dari petir. Ia justru menatapnya. Mukmin tidak lari dari gelap. Ia menyelaminya. Mukmin tidak mengutuk hujan. Ia menghamparkan hati untuk menyerapnya.

Karena mukmin tahu: Allah menciptakan badai bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk membangunkan.

Dan inilah yang membedakan orang beriman dari mereka yang tenggelam dalam kemunafikan. Yang satu tumbuh dalam guncangan, yang lain lumpuh dalam keraguan. Yang satu menemukan cahaya di balik guruh, yang lain menyumbat telinga dari suara langit.


---

Jangan Takut Petir, Takutlah Mati dalam Kekeringan

Kita sering takut pada kilat, tapi tidak takut pada hati yang mati. Kita gentar saat malam datang, tapi tidak takut bila iman kita tidak tumbuh. Kita murung karena hujan tak kunjung berhenti, tapi tidak sedih bila air kehidupan tidak menyentuh jiwa kita.

Barangkali kita harus belajar lagi seperti tumbuhan:
Tumbuhlah dalam badai. Suburlah dalam kilat. Sembuhlah dalam gelap.
Karena hanya yang berakar dalam, yang tidak tumbang saat musim berubah.

Dan jika kau mukmin, maka satu hal harus kau camkan:
Langit tidak sedang marah padamu. Ia sedang menyiapkanmu untuk mekar.

“Dan bila kilat menyinari mereka, mereka berjalan. Namun bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Seandainya mereka tahu: gelap itu bukan akhir, tapi awal dari cahaya yang sesungguhnya.”

Perahu Kecil yang Mengantar Takdir Gelap subuh menyelimuti tepian sungai Nil. Angin lembut menyapu wajah seorang ibu yang gemeta...

Perahu Kecil yang Mengantar Takdir

Gelap subuh menyelimuti tepian sungai Nil. Angin lembut menyapu wajah seorang ibu yang gemetar. Di pelukannya, bayi mungil terbaring, menangis lirih—seakan mengerti bahwa tubuhnya akan dilepas, bahwa dada ibunya akan kosong, bahwa pelukannya akan diganti gelombang air yang tak mengenal kasih sayang.

Ia letakkan anaknya ke dalam peti kecil, yang dilapisi kain-kain lembut dan doa-doa panjang. Tangan sang ibu menahan sebak, namun wahyu telah bicara, dan hati seorang ibu pun tak berdaya di hadapan titah langit. Maka ia lepaskan.

Air menyambut peti itu dengan riak tenang—seolah memahami bahwa yang dibawanya bukan sekadar tubuh kecil, melainkan amanah sejarah. Tapi sungai tidak selalu tenang. Perahu kecil itu pun terdorong arus, terantuk dahan, terseret semak liar, membentur batu-batu yang tersembunyi di bawah permukaan air. Bayi Musa menangis. Tangisnya lirih namun menusuk langit.

Burung-burung diam di atas cabang. Ikan-ikan menyelam dalam senyap. Alam pun seolah menunduk hormat: seorang rasul sedang dalam perjalanan takdirnya.

Petang hari menjelang ketika peti kecil itu mengapung mendekati taman istana. Para pelayan yang mencuci kain dan menimba air menjerit kecil melihatnya. "Apa ini? Siapa yang tega membuang bayi?"

Istri Firʻaun tengah duduk di balkon taman, wajahnya letih namun hati selalu rindu akan kelembutan. Ia melihat kerumunan. Ia turun.

Bayi Musa diangkat dari peti. Basah, lemah, tapi masih menangis. Saat dipeluk, tangis itu reda. Ia membuka mata. Dan istri Firʻaun tertegun. Matanya membasah.

> “Dia... penyejuk hatiku,” bisiknya perlahan. “Dan mungkin juga penyejuk hatimu.”



Firʻaun mendekat, keningnya mengernyit. “Ini bayi Bani Israil. Mungkin ia adalah benih pemberontakan.”

Tangan istrinya menahan. Lembut, tapi tegas.

> “Jangan kau bunuh dia. Barangkali ada manfaatnya bagi kita… Atau kita angkat dia menjadi anak.”



Firʻaun diam. Bukan karena setuju, tapi karena tak kuasa menolak tatapan mata istrinya yang jernih, yang telah lama kehilangan harapan akan keturunan. Maka ia membiarkan.

Bayi itu pun tinggal di istana, tumbuh di taman kekuasaan orang-orang zalim. Tak ada seorang pun yang tahu: bahwa tangan mungil itu kelak akan mengguncang takhta mereka. Bahwa bayi yang mereka rawat, yang mereka beri susu dan pakaian kerajaan, adalah anak yang akan mencabut kezaliman mereka dari akar.

> “Agar kelak ia menjadi musuh mereka, dan penyebab kesedihan mereka.”



> “Sesungguhnya Firʻaun, Haman, dan bala tentaranya… adalah orang-orang yang bersalah.”



Tapi hari itu, mereka tak tahu. Mereka tertawa, menyuapi bayi itu, menggoda tawanya. Mereka tak menyadari: anak itu—yang mereka sangka hadiah—adalah badai yang dikirim dari langit.

Musa kecil. Dulu hanyut di sungai. Kini mengalir masuk ke jantung kekuasaan. Ia tak datang dengan pedang. Ia datang dengan takdir.

Agresi Terhadap Bayi Gaza Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apakah engkau bisa tidur nyenyak malam ini, wahai dunia, ketika bayi-bayi d...

Agresi Terhadap Bayi Gaza

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Apakah engkau bisa tidur nyenyak malam ini, wahai dunia, ketika bayi-bayi di Gaza menangis hingga suara mereka lenyap dalam dingin, lapar, dan luka?

Hari ini kita menyaksikan pembunuhan terhadap bayi-bayi secara sistematis. Ini bukan ulah sekelompok kriminal jalanan. Ini dilakukan oleh sebuah negara. Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara yang disebut-sebut bagian dari tatanan internasional.

Lalu kita bertanya:
Mengapa lembaga yang mengklaim mewakili peradaban, memiliki anggota yang bertindak begitu biadab?


---

Pembantaian ini bukanlah insiden. Ia adalah kebijakan. Sebuah strategi negara. Penjajah Israel merancangnya dengan sadar dan dingin.

Pada 2 Maret 2025, secara resmi mereka menghentikan seluruh aliran bantuan ke Gaza—makanan, air, bahan bakar, bahkan listrik.

Langkah ini bukan karena krisis logistik. Tapi bagian dari tekanan politik, untuk menundukkan rakyat Gaza dalam negosiasi yang timpang. Bayi dijadikan sandera. Air susu mereka dijadikan kartu tawar-menawar.

UNICEF telah memperingatkan: bayi-bayi meninggal karena hipotermia. Karena tidak ada selimut, tidak ada pakaian hangat, tidak ada obat. Tapi suara lembaga internasional hanyalah angin lalu bagi penjajah. Mereka tetap menutup pintu-pintu kemanusiaan.

Bahkan kapal-kapal yang mencoba menembus blokade, satu per satu disergap. Bukan oleh bajak laut, tapi oleh militer negara yang mengklaim diri demokratis.


---

Serangan Drone di Perairan Internasional (Mei 2025)
Kapal bantuan “The Conscience” diserang oleh drone ketika berada di dekat perairan Malta. Kapal ini tak membawa senjata, hanya bantuan dan para aktivis. Tapi itu cukup bagi Israel untuk mematikannya di tengah laut.

Penangkapan Kapal “Madleen” (Juni 2025)
Pada 9 Juni 2025, kapal Madleen dicegat. Muatannya: makanan bayi, obat-obatan, dan suara nurani. Salah satu penumpangnya bahkan aktivis dunia Greta Thunberg. Tapi siapa pun penumpangnya, semua dianggap musuh bila menolong Gaza.

Penyergapan “Handala” (Juli 2025)
Kapal Handala disergap 64 km dari Gaza. Serangan berlangsung brutal. Kamera transmisi diputus, dan dunia dibungkam. Apa yang mereka sembunyikan?


---

Lalu kita bertanya kembali:
Mengapa dunia diam? Mengapa Israel bisa melakukan semuanya?

Karena mereka memiliki kekuasaan seperti Fir‘aun di Mesir. Karena mereka menindas seperti kaum kafir Quraisy di Mekah. Karena mereka meyakini ideologi ekstrem seperti penguasa zalim di Yaman.

“Sesungguhnya Fir‘aun telah berlaku sewenang-wenang di muka bumi. Dia menjadikan penduduknya berpecah-belah, menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sungguh, dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.”
(Al-Qashash: 4)

Fir‘aun membunuh demi kekuasaan.
Kaum Quraisy mengubur bayi demi kehormatan suku.
Penguasa di Yaman membakar orang-orang beriman karena perbedaan keyakinan.
Lalu apa alasan penjajah Israel?

Semua.
Kekuasaan.
Hina dan dendam.
Ideologi.

Zionisme menganggap bangsa lain rendah. Mereka ingin dunia tunduk atau binasa. Gaza adalah perlawanan terhadap itu semua—maka harus dimusnahkan. Anak-anak dibunuh karena mereka adalah harapan masa depan. Karena dalam tangisan mereka, ada gema keberanian yang ditakuti penjajah.


---

"Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya: karena dosa apakah dia dibunuh?"
(At-Takwir: 8–9)

"...Dan mereka menyiksa orang-orang beriman hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji."
(Al-Buruj: 8)

Mereka membunuh karena iman. Karena keberanian. Karena Gaza tak tunduk. Karena bayi-bayi itu bisa tumbuh menjadi batu karang yang tak bisa dikalahkan.

Dan dunia...
Dunia memilih menjadi penonton yang baik. Duduk di kursi empuk diplomasi, menyaksikan bayi-bayi Gaza dikubur dalam reruntuhan.


---

Namun sejarah selalu berpihak pada yang tertindas. Seperti Fir‘aun yang tenggelam. Seperti Quraisy yang kalah. Seperti penguasa Yaman yang dibinasakan. Maka bersabarlah, wahai Gaza, karena darah bayi-bayi itu tak akan sia-sia.

Dunia boleh membungkam suara.
Tapi langit tak akan membungkam doa.
Dan langit—selalu berpihak pada yang tertindas.


---

“Kejahatan bisa menang dalam satu babak. Tapi kebenaran menulis akhir kisah.”

Ketika Mimpi Menyalakan Api Takdir “Wahai raja Mesir, bangunlah…! Api itu bukan sembarang api…” Suatu malam, Fir’aun terbangun d...


Ketika Mimpi Menyalakan Api Takdir

“Wahai raja Mesir, bangunlah…! Api itu bukan sembarang api…”

Suatu malam, Fir’aun terbangun dari tidurnya. Tubuhnya basah oleh keringat, napasnya terengah, dan wajahnya muram bagai mendung yang menahan petir.

“Ada api,” katanya terbata. “Aku melihat api keluar dari arah Baitul Maqdis…”

Api itu melintasi padang gurun, mendekat ke Mesir, lalu menyambar satu per satu rumah bangsaku. Hancur, terbakar. Tapi… ada yang tidak tersentuh: rumah-rumah Bani Israil. Tetap tegak. Tetap teduh.

“Mungkinkah ini hanya bunga tidur?” gumamnya, tapi ketakutan telah mencengkeram jiwanya lebih dahulu daripada akalnya.

Pagi-pagi buta, ia perintahkan para pengawal kerajaan:

“Kumpulkan semua peramal, tukang sihir, dan penakwil mimpi!”

Mereka datang, satu per satu, wajah-wajah tua dengan sorban berdebu dan mata yang menyimpan rahasia. Di ruang sidang megah istana Mesir, mereka duduk melingkar, berdiskusi panjang. Suara-suara lirih berseliweran seperti angin gurun membawa kabar buruk.

Akhirnya, seorang dari mereka berkata, “Wahai Raja, itu bukan sekadar mimpi. Itu isyarat dari langit.”

“Katamu?” desak Fir’aun.

“Akan lahir seorang anak laki-laki dari Bani Israil… dan kelahirannya akan menjadi awal kehancuranmu.”

Fir’aun terdiam. Takut. Tapi tidak menunjukkan gentarnya di hadapan yang lain.

“Apa maksud kalian? Seorang bayi bisa menggulingkan kekuasaan yang dibangun dengan darah dan sungai?”

Perdebatan pun memanas di antara mereka. Sebagian berkata: “Bunuh semua anak laki-laki Israil.” Sebagian lain menyela, “Tapi, siapa yang akan menjadi budak bagi pembangunan kota dan kuilmu, wahai Raja, jika seluruh generasi lelaki dibinasakan?”

Fir’aun termenung. Ia tahu: jika ia biarkan, takdir bisa berjalan. Jika ia bantai, takdir pun bisa tetap datang lewat jalan yang tak terlihat.

Tapi rasa takut lebih kuat dari nalar.

“Laksanakan perintahku!” serunya. “Setiap bayi lelaki yang lahir dari kaum Bani Israil… sembelihlah!”

Maka pasukan pun dikerahkan. Mereka menyisir rumah demi rumah. Tangis bayi diubah menjadi jerit duka. Ketakutan menyebar seperti kabut pekat yang tak tahu kapan sirna.

Namun di suatu tempat sunyi, dalam sebuah rumah kecil, ada seorang ibu yang gelisah menimang anaknya.

“Musa,” bisiknya pelan, seolah dunia tak boleh mendengar namanya.

Di tengah air matanya yang tak sanggup tertahan, ia merasa sesuatu yang lain hadir dalam dirinya.

Bukan suara manusia. Tapi seperti desir halus yang merambat dari langit ke jiwanya.

"Wa auḥainā ilā ummi Mūsā an arḍi‘īhi…"
Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa, “Susuilah dia…”

Jantungnya berdegup. Ia mendengar perintah itu, tapi tangannya gemetar.

"Fa iẓā khifti ‘alaihi…"
“Jika engkau khawatir terhadapnya…”

Ya Allah, mana ada ibu yang tidak takut saat bayinya bisa dibunuh kapan saja?

"Fa alqīhi fil yammi…"
“Maka hanyutkanlah dia ke sungai…”

Ia tertegun. Sungai? Sungai Nil yang luas dan dingin itu? Haruskah anak ini diletakkan begitu saja, tanpa pelindung, hanya dalam sebuah peti kecil?

Tapi kalimat selanjutnya datang seperti pelukan yang menenangkan:

"Wa lā takhāfī wa lā taḥzanī…"
“Janganlah kamu takut, dan jangan bersedih hati…”

Air matanya mengalir deras. Tapi ada kekuatan dalam kalimat itu. Seolah Allah sendiri yang mendekap dan memeluknya.

"Innā rāddūhu ilaiki…"
“Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu…”

"Wa jā‘ilūhu minal mursalīn."
“Dan Kami akan menjadikannya seorang Rasul.”

Dengan tenang ia siapkan peti kecil. Ia balut anak itu dengan selimut. Dikecupnya dahi mungil itu… lalu ia berjalan, di antara gelap malam dan suara tentara yang menjauh.

Di tepi Sungai Nil, ia menatap air yang mengalir. Bukan dengan takut, tapi dengan iman.

“Musa… aku titipkanmu kepada Tuhan yang memberiku kekuatan untuk melepaskanmu.”

Lalu ia lepaskan peti kecil itu.

Dan peti itu pun mengalir… bersama takdir besar yang akan mengguncang tahta seorang raja.


Belaian Ibu, Bagai Ampunan dari Allah SWT Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di sebuah gang sempit di jantung kota Mesir, seorang lelaki...

Belaian Ibu, Bagai Ampunan dari Allah SWT

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Di sebuah gang sempit di jantung kota Mesir, seorang lelaki tua berjalan pelan, matanya kosong menatap ke depan, namun hatinya tampak berkabut. Ia bukan orang sembarangan. Ia adalah sahabat Dzun Nun al-Misri, seorang sufi yang dalam ilmunya, lembut jiwanya, dan telah lama menyelami samudra makrifat.

Tapi hari-hari terakhirnya tampak berbeda. Ia sering terlihat mondar-mandir menyusuri jalan-jalan kota, menggumam sendiri dengan suara pelan:

> "Di mana hatiku…?"
> "Siapa yang mengambil hatiku?"
> "Siapa yang menemukannya untukku…?"



Anak-anak kecil, seperti biasa, tak memahami kesedihan yang diam. Mereka mengejek, melemparinya dengan kerikil kecil, menirukan ucapannya seperti lelucon. Namun lelaki tua itu tidak marah. Ia tidak membalas. Ia hanya terus berjalan… mencari sesuatu yang hilang dari dalam dirinya.


---

Sebuah Gang Sunyi, dan Tangisan yang Menggetarkan

Suatu hari, untuk menghindari gangguan anak-anak itu, ia masuk ke sebuah gang kecil. Gang itu sunyi, sempit, berdebu. Ia duduk bersandar di dinding, menarik napas panjang, seolah berkata dalam diam, "Mungkin di sini aku bisa diam. Mungkin di sini aku akan menemukan hatiku kembali."

Tapi baru saja ia mencoba memejamkan mata, sebuah suara meledak dari balik salah satu pintu rumah:

> "Berapa kali harus ibu bilang padamu! Jangan membantah!"
> "Keluar sana! Jangan masuk ke rumah ini sebelum kau sadar!"



Terdengar suara tamparan. Lalu suara tangisan anak kecil. Pintu rumah terbuka. Seorang anak dilempar keluar rumah oleh ibunya. Pintu ditutup kembali dengan keras.

Anak itu berdiri di depan pintu, tubuhnya kecil, napasnya tersengal. Ia menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak ada siapa-siapa. Lalu dengan langkah gontai, ia duduk di depan pintu rumahnya, menyandarkan kepala mungilnya ke kusen kayu yang dingin, dan tertidur… masih sambil menangis.

Beberapa saat berlalu. Malam mulai turun. Angin mengendap dari balik tembok. Anak itu terbangun dan kembali menangis. Tapi kini tak ada kemarahan, hanya kerinduan.

> "Ibu…"
> "Jika engkau menutup pintu ini untukku…"
> "Siapa lagi yang akan membukakannya?"
> "Siapa yang akan mendekatkanku kepadamu, jika engkau sendiri yang menjauhkan aku?"
> "Siapa yang akan menyayangiku jika engkau membenciku?"



Tangisan itu bukan sekadar suara. Ia adalah suara jiwa yang mengetuk kasih, mengetuk ampunan.


---

Ketika Ibu Turun dari Takhta Marahnya

Dari balik pintu, sang ibu mendengar. Mungkin amarahnya belum reda. Tapi batin seorang ibu, betapapun marahnya, akan luluh jika yang mengetuk adalah tangis tulus anaknya.

Ia mengintip dari celah. Dan tampaklah anaknya: kecil, kotor, tubuhnya gemetar, wajahnya lelah, matanya sembab, namun mulutnya masih menyebut: “Ibu…”

Tak lama, pintu itu terbuka.

Sang ibu berlari. Ia rangkul anaknya. Ia peluk tubuh mungil itu ke dalam dadanya. Ia ciumi pipinya. Ia usap air matanya. Ia letakkan kepala anaknya di pangkuannya.

> "Sayang..."
> "Engkaulah yang membuat ibu marah seperti tadi."
> "Engkaulah yang menyebabkan semua ini terjadi."
> "Tapi kalau saja engkau patuh dari awal, niscaya engkau tak akan di luar pintu seperti ini..."



Namun saat kata-kata itu diucapkan, nada marahnya telah hilang. Ia hanya berkata begitu untuk menegaskan cinta. Cinta yang tetap ada meski sebelumnya ditutupi awan kemarahan.

Sang anak diam. Ia tidak menjawab. Ia hanya menangis dalam pelukan ibunya. Karena ia tahu: ia telah kembali.


---

"Saya Telah Menemukan Kembali Hati Saya"

Sahabat Dzun Nun, yang sejak tadi menyaksikan dari kejauhan, terpaku. Tangannya gemetar. Matanya basah. Jiwanya seperti disambar oleh sesuatu yang sudah lama ia cari.

Lalu ia berdiri. Dan menjerit.

> “Saya telah menemukannya!”
> “Saya telah menemukan hati saya!”



Orang-orang pun berdatangan. Mereka menyangka ia gila. Tapi kali ini, sorot matanya tajam. Ada kehadiran dalam dirinya yang sebelumnya hilang.

> “Apa yang terjadi denganmu?” tanya mereka.
> “Di mana kau menemukannya?”



Dan ia menjawab dengan suara pelan tapi dalam:

> “Di gang ini… di depan pintu rumah itu… saat seorang ibu membuka kembali pelukannya kepada anaknya…”
> “Di sanalah… aku menemukan hatiku kembali.”



Ia pun mencari Dzun Nun Al-Misri. Ia ceritakan semuanya. Dan sejak saat itu, setiap kali ia merasa sedih, takut kepada Allah, atau kehilangan arah… ia mengulang-ulang kata-kata itu:

> “Saya telah menemukan kembali hati saya… di depan pintu kasih seorang ibu.”




---

Sebuah Cermin dari Langit

Saudaraku…

Bukankah itu juga kisah kita dengan Allah?

Kita sering nakal. Kita sering menentang. Kita lupa. Kita enggan taat. Kita memunggungi perintah. Hingga suatu saat, musibah datang. Kehidupan menolak kita. Rezeki seolah tertutup. Ketentraman menghilang.

Dan kita pun merasa seperti anak kecil yang diusir ibunya: sendiri, bingung, tak tahu harus kemana.

Tapi sebagaimana si anak kecil tadi, kita pun bisa mengetuk kembali pintu itu. Kita sandarkan kepala kita di ambangnya. Kita menangis:

> “Ya Allah…
Jika Engkau menutup pintu-Mu… siapa lagi yang akan membukanya untukku?”
> "Jika Engkau menjauh… siapa lagi yang akan mendekatkanku?”
> "Jika Engkau marah… siapa lagi yang akan menyayangi?”



Dan ketika suara itu keluar dari dada yang benar-benar merindu…

Pintu itu akan terbuka.
Pelukan itu akan kembali.
Dan hati kita… akan kembali kepada pemiliknya.


---

Ampunan Allah Tak Pernah Pergi, Kita Saja yang Menjauh

Jika cinta ibu saja sanggup menghapus marah karena satu kalimat rindu, maka bagaimana dengan cinta Allah?

Allah tidak menciptakan kita untuk membenci.
Allah tidak membuka pintu-Nya untuk kemudian menutupnya selamanya.
Ampunan-Nya lebih besar dari murka-Nya.
Kasih-Nya lebih dalam dari lautan.

Kita hanya perlu belajar menangis seperti anak kecil itu.
Dan berkata jujur dari hati seperti sahabat Dzun Nun itu.

> “Wahai Tuhan… aku kembali.
> Jangan biarkan aku di luar pintu-Mu.”


Sumber:
Ibnu Jauzi, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar 

--

Pesan Imam Az-Zuhri Soal Madu bagi Santri Agar Kuat Hafalan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin malam dari jazirah bertiup lembut, ...

Pesan Imam Az-Zuhri Soal Madu bagi Santri Agar Kuat Hafalan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin malam dari jazirah bertiup lembut, membawa semilir kisah para tokoh agung dari generasi tabi'in. Di antara mereka, ada satu nama yang harum dikenang bukan hanya karena ketakwaannya, tapi juga karena kejernihan akalnya dan ketajaman hafalannya: Imam Az-Zuhri.

Ia bukan sekadar penghafal hadist. Ia adalah peletak dasar ilmu hadist, sosok pertama yang diperintahkan langsung oleh Umar bin Abdul Aziz untuk membukukan hadist secara sistematis. Dua tokoh inilah—Umar bin Abdul Aziz dan Imam Az-Zuhri—yang menjadi dua sayap burung Bani Umayyah untuk terbang menuju era keemasan yang bersih dan bercahaya, seperti era Khulafaur Rasyidin.

Di balik keilmuan dan ketekunannya, tersimpan rahasia sederhana namun dalam: makanan dan minuman yang menyehatkan pikiran dan menguatkan ingatan.

Anggur Kering dan Hafalan Hadist

Dalam satu riwayat yang disampaikan oleh Ismail Al-Makki, Imam Az-Zuhri pernah berpesan kepada para muridnya, “Barangsiapa yang senang menghafal hadist, maka hendaklah dia banyak makan anggur kering.” Sebuah kalimat yang mungkin terdengar sepele bagi telinga modern, tapi penuh makna jika direnungi.

Mengapa anggur kering?

Al-Hakim menjelaskan, “Karakter anggur kering itu panas, lembut, dan kering. Ia menghilangkan lendir yang menjadi penghalang kejernihan pikiran.” Dalam tradisi kedokteran Islam, lendir berlebihan bisa mengganggu kerja otak, membuat tubuh berat dan pikiran lemah. Maka, pengaturan pola makan bukan hanya soal kenyang, tapi soal kejernihan jiwa dan daya ingat yang tajam.

Malam dan Madu

Langit malam yang bertabur bintang menjadi saksi kesetiaan Imam Az-Zuhri terhadap ilmu. Malam-malamnya bukan diisi dengan mimpi, melainkan dengan tadabbur dan munajat. Ibnu Syihab menuturkan, “Dia sering begadang malam dengan madu sebagai hidangannya. Sebagaimana ahli minum, minuman untuk berbicara—dia pun minum madu sambil berdiskusi.”

Imam Az-Zuhri berkata suatu malam, “Tuangkanlah untuk kami dan bicaralah.” Kalimat itu sederhana, tapi sarat makna. Minum madu bukan untuk menikmati kemewahan, melainkan untuk membuka tabir ilmu. Bicaralah, karena dalam diskusi, ilmu bertambah dan akal menjadi tajam.

Hindari Apel, Pilih yang Menguatkan

Menariknya, Imam Az-Zuhri juga dikenal menghindari buah apel. Bukan karena tidak menyukainya, tapi karena ia menyadari efek dari makanan terhadap daya ingat. Apel, dalam beberapa literatur klasik, dikenal bersifat dingin dan lembab, yang bisa memperlambat fungsi otak bagi sebagian orang.

Sementara itu, madu dan anggur kering bersifat hangat, membersihkan, dan menajamkan. Maka tidak heran, keponakan Imam Az-Zuhri menyaksikan langsung keajaiban hafalannya. “Imam Az-Zuhri menghafal Al-Qur’an hanya dalam 80 malam,” katanya. Bahkan, beliau pernah berkata, “Aku belum pernah mengulangi sebuah hadist. Dan tidak ragu dalam menghafalnya, kecuali satu kali saja. Ketika kutanyakan pada temanku, ternyata tepat seperti yang aku hafal.”

Antara Ingatan dan Kesucian

Di balik kekuatan hafalan, ada kesucian jiwa. Imam Az-Zuhri bukan sekadar menjaga makanan, tetapi juga menjaga lisan, pandangan, dan waktunya. Hafalan tidak tumbuh dalam jiwa yang penuh dosa dan lalai. Ia tumbuh dalam hati yang bersih, lingkungan yang teduh, dan pola makan yang bijak.

Angin sepoi kembali menyapa. Dalam diam malam, seperti ada pesan yang berbisik dari langit: “Wahai para penuntut ilmu, bukan hanya kitab yang kau baca, tapi perhatikan pula apa yang masuk ke dalam tubuhmu. Karena dari situlah cahaya ilmu akan tumbuh atau padam.”

Hari ini, ketika santri menghadapi tantangan gadget, informasi instan, dan makanan instan yang miskin gizi dan makna, pesan Imam Az-Zuhri kembali relevan. Hafalan bukan sekadar soal niat, tapi soal strategi ruhani dan jasmani. Jika ingin hafalan kuat, jaga pola makan. Jika ingin ilmu kokoh, bersihkan jiwa.

Sebuah Warisan yang Layak Diwarisi

Di tengah dunia yang serba cepat dan tergesa-gesa, warisan Imam Az-Zuhri ini mengajarkan kita untuk pelan-pelan kembali pada hal-hal yang alami dan mendalam. Hafalan bukan keajaiban semata, tapi buah dari kedisiplinan dan kearifan.

Bagi para santri, guru, dan siapa saja yang ingin menghidupkan ilmu dalam dada—ingatlah, terkadang yang kecil dan sederhana, seperti anggur kering dan madu, bisa menjadi kunci untuk menghafal ribuan hadist dan membangun peradaban.

Langit malam tetap tenang. Bintang-bintang masih bersinar. Dan dalam keheningan itu, pesan Imam Az-Zuhri seolah terus hidup dan berkata: “Makanlah yang menyehatkan, minumlah yang mencerahkan. Karena hafalan yang tajam lahir dari jiwa yang bersih dan tubuh yang terjaga.”

Sumber:
Syeikh Ahmad Farid, 60 Kisah Ulama Salaf, Pustaka Al-Kautsar

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (570) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (254) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (236) Sirah Sahabat (153) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (153) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)