Surat dari Gaza: "Aku Tetap di Sini"
Bismillahirrahmanirrahim
Kepada saudaraku di luar tembok pengepungan,
Aku menulis surat ini dari sebuah kota yang sedang sekarat tetapi menolak mati: Gaza. Kota yang bernafas dengan sisa oksigen dari reruntuhan, kota yang berdiri di atas puing-puing rumahnya sendiri, kota yang menolak tunduk meski maut mengepungnya dari segala arah.
Aku menulis bukan untuk mengundang belas kasihan, bukan pula untuk menebar keluh kesah. Surat ini adalah saksi — saksi bahwa Gaza tidak pernah diam, bahwa kami yang tinggal di sini tetap memilih bertahan, meski dunia berkata itu pilihan gila.
Allah berfirman:
> "Janganlah kamu lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman."
(QS. Ali Imran: 139)
Ayat ini yang terus menghidupkan napas kami, bahkan ketika rumah kami hancur berkali-kali, bahkan ketika anak-anak kami meregang nyawa tanpa sempat berlari.
---
1. Antara Dua Kematian
Di sini, kami hanya punya dua pilihan: mati di rumah sendiri atau mati di pengungsian. Israel memaksa kami pergi ke selatan dengan janji “keamanan”, tetapi kami tahu itu kebohongan. Saudaraku, kematian tetap menemukan mereka yang pergi.
Baru kemarin, sepupuku, Yousef, beserta istrinya Nedaa dan kedua anak mereka, Roaa (19 tahun) dan Hamoud (11 tahun), dibunuh di selatan, setelah meninggalkan rumah mereka di Gaza. Mereka mencari perlindungan, tetapi bom lebih cepat menemui mereka.
Rasulullah ï·º pernah bersabda:
> "Seutama-utama jihad adalah kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim."
(HR. Abu Dawud)
Maka, saudaraku, kami memilih melawan dengan keberadaan kami. Tinggal di Gaza adalah kalimat benar yang kami suarakan dengan tubuh kami sendiri.
---
2. Kota yang Ingin Dikosongkan
Israel ingin Gaza sunyi, kosong, tidak berpenghuni. Mereka ingin kota ini tinggal nama di peta, bukan kenyataan di bumi.
Tapi selama satu keluarga saja menolak pergi, Gaza akan tetap hidup. Kota ini akan tetap berdenyut.
Aku sering ditanya: “Mengapa engkau tidak pergi? Mengapa tidak menyelamatkan diri?”
Jawabku sederhana: pergi berarti kehilangan identitas. Gaza bukan sekadar tempat lahir, ia adalah bahasa ibuku, doa ayahku, aroma kopi pagi tetanggaku, dan kuburan kakekku. Jika aku pergi, aku akan kehilangan semuanya.
Allah berfirman:
> "Berapa banyak kota yang lebih kuat daripada kota-kota yang telah membunuh para nabi mereka, namun Kami binasakan mereka. Tidak ada penolong bagi mereka."
(QS. Muhammad: 13)
Aku tahu, Gaza tidak sendirian. Gaza adalah jejak panjang sejarah kota-kota yang pernah dikepung, pernah hancur, tapi tidak pernah musnah.
---
3. Hidup dengan Tas Darurat
Seminggu yang lalu, aku mengemas dua tas darurat: satu tas hitam, satu tas merah.
Isinya bukan harta, melainkan serpihan hidup: beberapa pakaian, sebuah album foto, parfum favorit, headphone, buku catatan, dan charger ponsel. Betapa kecilnya hidup ketika perang memaksa kita menyusutkan dunia ke dalam dua tas.
Namun, aku tetap memasukkan buku. Aku ingin, jika aku terbunuh, ada catatan yang tersisa, ada kata-kata yang menjadi saksi.
Rasulullah ï·º bersabda:
> "Jika kiamat tiba sedang di tangan salah seorang di antara kalian ada biji kurma, maka tanamlah ia."
(HR. Ahmad)
Maka aku menulis. Kata-kata ini, meski kecil, aku tanam seperti biji kurma di tanah yang hangus.
---
4. Kenangan Serangan dan Pengepungan
Ini bukan pertama kalinya aku dipaksa melarikan diri. Pada November 2023, pasukan Israel masuk tanpa peringatan. Kami lari di bawah tembakan artileri. Aku melihat tank dan tentara mendekat, wajah mereka dingin seperti besi yang mereka bawa.
Beberapa bulan kemudian, awal 2024, kami dikepung sembilan hari. Tanpa makanan, tanpa air. Tentara memaksa kami keluar, menelanjangi para pria, mengikat tangan mereka. Tujuh jam dalam dingin.
Saat itu aku tahu: mereka tidak hanya ingin tubuh kami, mereka ingin menghancurkan martabat kami.
Allah mengingatkan:
> "Dan janganlah kamu lemah terhadap mencari kaum itu (musuh), jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan."
(QS. An-Nisa: 104)
Kami mungkin menderita, tapi kami masih punya harapan. Harapan itu adalah senjata yang tidak bisa mereka rebut.
---
5. Hidup dalam Kekurangan
Hari-hari di Gaza adalah hari-hari lapar. Sudah berbulan-bulan kami tidak melihat buah, daging, atau telur. Yang ada hanya keripik, biskuit, Nutella sisa, atau tepung dengan harga yang tak terjangkau.
Air harus diambil dengan taruhan nyawa. Kayu bakar menjadi emas. Obat-obatan seperti mimpi yang sulit digapai.
Namun, setiap pagi aku bangun dan melihat keluargaku masih hidup. Itu sudah cukup untuk bersyukur.
Rasulullah ï·º bersabda:
> "Barangsiapa di antara kalian bangun pagi dalam keadaan aman pada dirinya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia seluruhnya diberikan kepadanya."
(HR. Tirmidzi)
Maka meski kami lapar, meski kami kekurangan, kami masih punya dunia: keluarga, iman, dan Gaza.
---
6. Antara Takut dan Cinta
Setiap malam aku bertanya: apakah malam ini tank-tank itu akan sampai ke rumahku? Apakah ini malam terakhirku?
Tapi aku juga tahu, setiap pagi aku mencium wajah ibuku, mendengar suara anak-anak di jalan, dan merasakan pasir Gaza di tanganku. Semua itu membuatku yakin: cinta lebih besar daripada takut.
Saudaraku, inilah yang Israel tidak mengerti. Mereka punya bom, kami punya cinta. Mereka punya jet tempur, kami punya doa.
Allah berfirman:
> "Mereka merencanakan tipu daya, dan Aku pun membuat perencanaan. Maka lihatlah bagaimana akibat rencana mereka."
(QS. An-Naml: 50)
---
7. Gaza Adalah Janji
Jika aku mati di sini, biarlah dunia tahu: aku tidak mati sia-sia. Gaza adalah janji. Janji bahwa kota ini tidak akan pernah hilang meski dihancurkan ribuan kali.
Gaza adalah saksi zaman bahwa ada manusia yang menolak menyerah, bahkan ketika semua jalan ditutup.
Rasulullah ï·º bersabda:
> "Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang menegakkan kebenaran, mereka tidak akan dirugikan oleh orang yang menelantarkan mereka dan orang yang menentang mereka, hingga datang keputusan Allah sementara mereka tetap teguh."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Aku percaya, Gaza adalah kelompok itu.
---
Penutup: Surat untuk Dunia
Saudaraku di luar tembok,
Jika surat ini sampai kepadamu, jangan hanya bacalah. Jadikan ia doa. Jadikan ia janji. Jangan biarkan Gaza mati dalam sunyi.
Jika suatu hari aku tidak lagi ada, biarlah kata-kata ini menjadi saksi: aku memilih tinggal. Aku memilih bertahan. Aku memilih Gaza.
Karena aku tahu, Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.
> "Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."
(QS. Al-Baqarah: 153)
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dari Gaza, dengan cinta dan luka,
Huda Skaik
Sumber:
https://www.aljazeera.com/opinions/2025/9/29/i-have-decided-to-stay-in-gaza-city-as-israel-seeks-to-wipe-it-out
0 komentar: