Obliteration Doctrine dan Logika AI Penjajah Israel dalam Bumihangus Gaza
---
1. Gaza sebagai Cermin Dunia
Gaza hari ini bukan sekadar sebuah wilayah sempit di tepi Laut Tengah. Ia telah berubah menjadi cermin besar yang memantulkan wajah kemanusiaan kita. Setiap bom yang jatuh di sana, setiap reruntuhan sekolah, setiap rumah sakit yang hancur, adalah pertanyaan yang dilemparkan kepada dunia: apakah kita masih punya nurani?
Di langit Gaza, drone berputar bagai kawanan burung besi. Di bumi, tank-tank merayap sambil menabur debu kehancuran. Di balik layar, algoritma dingin bekerja, memilih target tanpa rasa, mengolah data tanpa doa, lalu mengirimkan koordinat kepada rudal yang akan memusnahkan sebuah keluarga dalam hitungan detik.
Dan di sinilah kita berjumpa dengan istilah yang dipaparkan oleh Dan Steinbock: Obliteration Doctrine — sebuah doktrin penghancuran total, bukan sekadar melawan kombatan, tapi meremukkan seluruh ruang kehidupan lawan. Sebuah cara berpikir yang ingin menjadikan Gaza tak layak huni, tak layak hidup, tak layak dikenang.
---
2. Doktrin Penghancuran Total
Steinbock menyebut, Obliteration Doctrine bekerja dengan lima pilar utama:
1. Scorched-earth — bumi hangus, penghancuran infrastruktur vital: rumah sakit, sekolah, listrik, air, jalan. Tujuannya bukan sekadar melemahkan lawan, tapi membuat masyarakat tak mungkin hidup normal.
2. Collective punishment — hukuman kolektif. Sebuah kampung dibom karena ada seorang kombatan di sana. Sebuah rumah dihancurkan karena salah satu penghuninya dicurigai. Bukan lagi individu yang dihukum, melainkan seluruh komunitas.
3. Area bombing — serangan kawasan, bukan titik. Rudal dan bom dijatuhkan bukan pada target spesifik, tetapi menyapu seluruh blok kota.
4. Cultural genocide — penghapusan jejak budaya: perpustakaan, universitas, arsip sejarah, bahkan masjid dan gereja ikut jadi sasaran. Identitas kolektif dipangkas agar generasi mendatang kehilangan pijakan.
5. Instrumentalisasi kelaparan — blokade pangan, obat, dan bantuan. Kelaparan dijadikan senjata untuk menekan jutaan orang agar tunduk.
Inilah wajah doktrin itu. Sebuah rencana sistematis untuk membuat Gaza tidak sekadar kalah, tetapi lenyap.
Profesor Richard Falk, pakar hukum internasional dan mantan pelapor khusus PBB untuk Palestina, pernah berkata:
> “Gaza adalah eksperimen sosial terbesar di abad ini: bagaimana menundukkan sebuah populasi lewat pengepungan, blokade, dan hukuman kolektif.”
---
3. Logika AI: Perang Tanpa Nurani
Jika doktrin ini adalah kerangka besar, maka AI adalah mesinnya.
a) Targeting by Algorithm
Laporan investigatif The Guardian (2024) mengungkap adanya sistem berbasis AI yang digunakan Israel, dijuluki Habsora (“Injil”). Sistem ini menggabungkan citra satelit, metadata komunikasi, dan rekaman drone. Algoritma kemudian menghasilkan daftar ribuan target hanya dalam waktu singkat.
Seorang perwira anonim dalam wawancara dengan +972 Magazine mengakui:
> “Dulu, butuh waktu berhari-hari bagi intelijen manusia untuk memverifikasi satu target. Kini, AI bisa memberi ratusan target dalam semalam.”
Tapi pertanyaan besar muncul: apakah algoritma peduli siapa yang ada di dalam rumah itu? Anak-anak? Pasien? Orang tua?
b) Optimisasi Efektivitas
AI didesain untuk efisiensi operasional: jumlah target yang bisa dihantam, kecepatan serangan, perhitungan logistik. Namun, seperti diingatkan pakar AI militer Paul Scharre dalam bukunya Army of None, “otomasi memperbesar skala, tapi sekaligus memperbesar potensi salah.”
c) Hilangnya Akuntabilitas
Siapa yang bertanggung jawab ketika sebuah algoritma salah sasaran? Apakah programmer? Komandan yang menekan tombol? Atau politisi yang memberi perintah?
Inilah bahaya besar: AI membuat kejahatan massal bisa terjadi tanpa wajah pelaku yang jelas. Dalam dunia hukum, akuntabilitas kabur; dalam dunia moral, nurani hilang.
Al-Qur’an mengingatkan:
> “Dan apabila dikatakan kepada mereka: janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. Al-Baqarah: 11).
Bukankah inilah persis yang kita saksikan? Mesin pembunuh dipasarkan sebagai “teknologi presisi” padahal jejaknya adalah puing dan darah.
---
4. Hukum Internasional yang Lumpuh
Obliteration Doctrine seharusnya bisa dihentikan oleh hukum internasional. Tetapi kenyataannya? Lembaga hukum global lumpuh.
Konvensi Jenewa 1949 jelas melarang:
serangan terhadap sipil,
penggunaan kelaparan sebagai senjata,
penghancuran infrastruktur non-militer.
Namun, laporan Komisi HAM PBB menunjukkan pola pelanggaran berulang.
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pernah membuka penyelidikan, tetapi terbentur politik veto, lobi negara besar, dan sulitnya akses lapangan.
Profesor William Schabas, pakar hukum genosida, menulis:
> “Kejahatan paling parah sering terjadi bukan karena hukum tak ada, tetapi karena hukum tak ditegakkan. Gaza adalah contohnya.”
Di sinilah dunia terjebak: aturan ada, tapi impunitas lebih kuat.
---
5. Kritik dan Batas Analisis
Ada yang menganggap istilah “Obliteration Doctrine” hanyalah retorika politis. Israel sendiri mengklaim serangan mereka ditujukan untuk melawan Hamas, bukan rakyat sipil.
Namun, seperti dicatat oleh ilmuwan militer Martin van Creveld (Universitas Hebrew, Yerusalem), “Israel tidak bisa membedakan antara Hamas dan Gaza, karena struktur sosial-politik yang melebur. Setiap serangan besar pasti meluas ke sipil.”
Artinya, meski Israel membantah doktrin itu, realitas di lapangan menunjukkan pola sistematis yang sulit disangkal.
---
6. Gaza dalam Cermin Al-Qur’an
Al-Qur’an berkali-kali mengingatkan tentang kaum yang hancur karena kezaliman mereka sendiri.
> “Maka masing-masing mereka Kami azab karena dosanya: di antara mereka ada yang Kami timpakan angin ribut, ada yang ditimpa suara keras, ada yang Kami benamkan dalam bumi, dan ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri sendiri.” (QS. Al-‘Ankabut: 40).
Bukankah sejarah ini berulang? Mesir Fir’aun, Romawi yang zalim, bahkan Quraisy yang mengepung rumah Nabi ï·º. Semua memakai logika yang sama: hapus lawan dengan segala cara.
Tetapi sejarah memberi jawaban: tiada kekuasaan zalim yang kekal.
---
7. Jalan Keluar: Tindakan dan Kesadaran
Apa yang bisa dilakukan dunia?
1. Penegakan hukum: rujukan kasus Gaza ke ICC/ICJ, investigasi independen, litigasi universal oleh negara pihak.
2. Embargo senjata & AI: hentikan pasokan komponen kritis bagi sistem drone, algoritma targeting, dan senjata presisi.
3. Sanksi bertarget: kepada pejabat, komandan militer, perusahaan penyokong.
4. Diplomasi rakyat: dokumentasi, kampanye global, boikot sipil.
5. Kesadaran moral: mendidik generasi bahwa teknologi tanpa etika adalah pedang bermata dua.
Seorang pakar AI etika, Kate Crawford, menulis:
> “Setiap dataset punya bias, dan setiap algoritma punya dampak politik. AI bukan netral; ia memperbesar struktur kekuasaan yang ada.”
Dengan kata lain, jika algoritma dipakai oleh penjajah, maka ia akan memperbesar penjajahan.
---
8. Penutup Liris: Cahaya yang Tak Bisa Dipadamkan
Gaza kini mungkin terlihat sebagai reruntuhan. Jalan-jalan hancur, rumah sakit roboh, anak-anak bermain di bawah bayangan drone. Namun, ada sesuatu yang tak bisa dihancurkan oleh bom, algoritma, atau doktrin militer: iman dan harapan manusia.
Al-Qur’an memberi janji:
> “Janganlah kamu menyangka bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. Sesungguhnya Dia menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata terbelalak.” (QS. Ibrahim: 42).
Obliteration Doctrine mungkin ingin memadamkan Gaza, tapi Gaza justru menjelma menjadi api moral dunia. Setiap reruntuhan di sana menjadi saksi, bahwa teknologi tanpa nurani hanyalah jalan singkat menuju kehancuran diri.
Sejarah akan mencatat: di abad AI ini, manusia pernah mencoba memakai algoritma untuk memusnahkan sebuah bangsa. Tapi sejarah juga akan mencatat: cahaya tak bisa dipadamkan. Gaza tetap hidup, dalam doa, dalam perjuangan, dalam nurani umat manusia.
0 komentar: