Dari Reagan ke Trump: Janji Kosong Amerika dan Dilema Palestina
Janji yang Tak Pernah Terealisasi
Sejarah Palestina adalah sejarah luka yang ditulis ulang dengan pena asing. Setiap kali ada perjanjian, rakyat Palestina dipaksa berharap, tetapi setiap kali pula mereka dikecewakan. Dari janji Ronald Reagan pada 1982, euforia Perjanjian Oslo 1993, hingga rencana Donald Trump tahun 2020 yang disebut “Deal of the Century”, pola yang sama berulang: korban dijadikan tersangka, penjajah dilegitimasi, dan kebenaran dikubur di meja perundingan.
Al-Qur’an sudah mengingatkan:
> “Apabila mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 61)
Namun, bagaimana bila perdamaian hanya menjadi jebakan? Bagaimana jika yang disebut “perdamaian” hanyalah selubung untuk memperkuat penjajahan?
---
Janji Reagan: “Palestinian Homeland”
Pada tahun 1982, usai perang Lebanon yang menghancurkan PLO, Presiden AS Ronald Reagan mengumumkan sebuah inisiatif damai. Ia berbicara tentang “Palestinian homeland”, rumah bagi bangsa Palestina, meski tidak pernah menyebut negara. Retorika itu sekilas memberi harapan, tetapi para analis, termasuk sejarawan Rashid Khalidi, menyebutnya hanya “karpet retorika” yang menutupi strategi sebenarnya: memperkuat Israel, menundukkan PLO, dan menyingkirkan aspirasi Palestina ke ruang abu-abu.
Reagan berhasil membuka jalan bagi Israel untuk menghindari isolasi internasional, sementara rakyat Palestina tetap tercerai-berai. Dalam ingatan kolektif Palestina, janji itu sama kosongnya dengan suara yang lenyap tertiup angin Laut Tengah.
---
Oslo 1993: Euforia yang Memabukkan
Sepuluh tahun setelah pidato Reagan, Oslo lahir. Dunia melihat foto ikonik: Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat berjabat tangan di Gedung Putih, dengan Bill Clinton tersenyum di tengah. Gambar itu menjadi simbol harapan baru. Tetapi Oslo juga menjadi jebakan besar.
Edward Said, intelektual Palestina terkemuka, menyebut Oslo sebagai “instrument of Palestinian surrender”. Kenapa? Karena Oslo tidak menyebutkan akhir penjajahan, tidak menyentuh masalah pemukiman ilegal, tidak menjamin hak kembali pengungsi, dan tidak menegaskan batas-batas negara Palestina.
PLO terjebak dalam euforia legitimasi internasional, sementara Israel mendapatkan pengakuan resmi tanpa perlu mengakhiri pendudukan. Dalam istilah politolog Avi Shlaim, “Israel mendapat pengakuan tanpa konsesi, Palestina mendapat otoritas tanpa kedaulatan.”
Al-Qur’an menyinggung sikap seperti ini dalam firman-Nya:
> “Mereka ingin menipu Allah dan orang-orang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah: 9)
---
Trump dan “Deal of the Century”
Donald Trump melangkah lebih jauh dari pendahulunya. Ia menyebut rencananya sebagai “kesepakatan abad ini”. Dalam realitasnya, itu adalah penyerahan total Palestina.
Poin-poin utamanya:
1. Yerusalem diakui sebagai ibu kota Israel.
2. Tidak ada hak kembali bagi pengungsi Palestina.
3. Pemukiman ilegal dilegitimasi.
4. Negara Palestina boleh ada, tetapi tanpa kedaulatan penuh—lebih mirip “bantustan” seperti di Afrika Selatan era apartheid.
5. Hamas harus dilucuti sebelum Gaza bisa disebut “damai”.
Profesor Rashid Khalidi menyebut rencana Trump sebagai “puncak dari satu abad kolonialisme.” Sementara Richard Falk, pakar hukum internasional, menegaskan bahwa kesepakatan ini “bukan damai, tetapi perwujudan dominasi satu bangsa atas bangsa lain.”
Trump tidak bersembunyi di balik retorika. Ia terang-terangan memihak Israel, seolah Palestina hanyalah gangguan kecil bagi proyek geopolitik Timur Tengah.
---
PLO dan Hamas: Dua Jalan, Satu Dilema
PLO terjebak dalam jebakan Oslo. Mereka mendapatkan struktur otoritas, bendera, dan kursi di PBB, tetapi kehilangan kendali nyata atas tanah. Kini, Hamas menghadapi dilema serupa: apakah mereka akan terjebak dalam rencana Trump seperti PLO di Oslo, atau memilih jalan lain yang lebih getir namun bermartabat?
Di Gaza, Hamas adalah simbol perlawanan. Tetapi dunia Barat mendefinisikan mereka sebagai teroris. Perjanjian Trump menuntut Hamas melucuti senjata, menyerahkan kendali keamanan, dan berubah menjadi semacam otoritas administratif tanpa daya.
Pertanyaan besar muncul: akankah Hamas mengulang kesalahan PLO? Ataukah mereka akan menolak “damai” ala Trump yang sejatinya adalah jerat politik?
---
Analisis Para Pakar
Rashid Khalidi (sejarawan): Oslo adalah awal dari “penjara terbesar di dunia terbuka” yang bernama Gaza. Trump hanya mempertebal dinding penjara itu.
Edward Said (intelektual): Oslo adalah “bencana moral” karena mengubah korban menjadi mitra seolah setara dengan penjajah.
Richard Falk (hukum internasional): Deal of the Century adalah pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional, karena melegitimasi pemukiman ilegal.
Avi Shlaim (sejarawan Israel): Israel sejak awal tidak berniat memberi negara bagi Palestina; semua perjanjian hanyalah strategi penundaan.
---
Korban Menjadi Tersangka
Tragedi paling besar dari semua perjanjian ini adalah narasi yang terbalik: korban dijadikan tersangka, penjajah dijadikan “pencari damai.”
Ketika anak-anak Gaza menolak tunduk, mereka disebut ekstremis. Ketika rakyat Palestina bertahan, mereka dituduh radikal. Sementara Israel yang merampas tanah, menghancurkan rumah, dan membunuh ribuan warga sipil, tetap diperlakukan sebagai “demokrasi yang sah.”
Al-Qur’an telah menyinggung fenomena pembalikan narasi ini:
> “Dan mereka (orang-orang kafir) membungkus yang benar dengan yang batil, dan menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 42)
---
Refleksi: Bisakah Sejarah Berulang?
Jika Oslo adalah jebakan, apakah rencana Trump adalah jebakan berikutnya? Hamas kini berada di persimpangan yang sama. Perjanjian yang terlihat manis, tetapi berisi racun.
Di satu sisi, Hamas lelah dengan blokade, kehancuran, dan penderitaan Gaza. Ada godaan untuk meraih “napas lega” meski sebentar. Di sisi lain, menyerah pada rencana Trump berarti kehilangan hak-hak asasi bangsa Palestina untuk selamanya.
Sejarawan Ilan Pappé mengingatkan: “Setiap kali Palestina menerima janji damai Barat, mereka kehilangan lebih banyak tanah, lebih banyak martabat, dan lebih banyak masa depan.”
---
Epilog: Jalan yang Pahit tapi Bermartabat
Perjalanan sejarah Palestina adalah perjalanan penuh luka. Dari janji Reagan yang hampa, Oslo yang mengecewakan, hingga Deal of the Century yang brutal, semuanya menunjukkan satu hal: Amerika bukan mediator, melainkan sponsor penjajahan.
Kini, bola ada di tangan Hamas dan generasi muda Palestina. Mereka bisa mengulang kesalahan PLO, atau memilih jalan pahit yang penuh perlawanan.
Dan dalam keyakinan orang-orang beriman, janji Allah lebih kokoh daripada janji Washington:
> “Dan sungguh, Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh (bahwa) bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fath: 29)
Sejarah manusia mungkin berulang, tetapi janji Allah tidak pernah ingkar. Palestina mungkin dikhianati dunia, tetapi tidak pernah ditinggalkan oleh langit.
0 komentar: