Apakah Ada Bangsa yang Kecepatan Bangkitnya Secepat Palestina dalam Melawan Penjajahan? Tidak Ada
Apakah penderitaan, perlawanan, blokade, dan bahkan genosida yang dialami rakyat Palestina justru merupakan jalan tercepat menuju kemerdekaan mereka?
Pertanyaan ini bukan sekadar analisis politik, melainkan renungan sejarah dan iman.
Sejak 1948, dunia menyaksikan bangsa yang paling lemah secara militer dan ekonomi harus menghadapi sebuah negara yang ditopang oleh Amerika, Eropa, dan jaringan kekuatan global. Secara logika manusia, Palestina seharusnya sudah lama lenyap. Tetapi faktanya, bangsa ini justru menjadi satu-satunya bangsa di dunia modern yang perlawanan rakyatnya justru tumbuh seiring bertambahnya penderitaan.
Apakah ini jalan tercepat atau jalan paling terjal? Mari kita telusuri dengan hati-hati.
---
1. Jalan Cepat atau Jalan Terjal?
Jika “jalan tercepat” dimaknai sebagai jalan diplomasi instan, maka jawabannya jelas tidak.
1947–1948: Palestina menerima sebagian tanah dalam Resolusi PBB 181, tetapi yang terjadi justru pengusiran massal (Nakbah).
1993: Perjanjian Oslo ditandatangani, dengan harapan negara Palestina lahir dalam 5 tahun. Kini lebih dari 30 tahun berlalu, janji itu kosong, sementara permukiman Israel semakin meluas.
Diplomasi terbukti bukan jalan singkat, melainkan jalan melingkar yang memperpanjang penjajahan.
Namun, bila kita memahami “jalan tercepat” dalam logika sejarah Allah, maka justru penderitaan rakyat Palestina adalah jalan lurus menuju kemerdekaan hakiki.
---
2. Logika Al-Qur’an: Kemenangan Didahului Ujian
Al-Qur’an tidak pernah menjanjikan kemenangan tanpa ujian. Jalan menuju kejayaan selalu penuh cobaan, luka, dan tangis.
> “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti yang dialami orang-orang sebelum kamu? Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang beriman bersamanya berkata: Kapankah datang pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.”
— QS. Al-Baqarah: 214
Ayat ini seakan menubuatkan Gaza hari ini: rumah hancur, anak-anak syahid, orang tua menunggu dengan sabar. Justru ketika mereka berada di titik paling lemah, janji Allah mendekat.
Sejarawan Palestina Rashid Khalidi menulis dalam The Hundred Years’ War on Palestine:
> “Setiap kekalahan besar justru melahirkan babak baru perlawanan. Seolah penderitaan adalah mesin sejarah yang memaksa bangsa ini tetap hidup.”
---
3. Sejarah Perlawanan: Dari Batu ke Kesadaran Dunia
Secara geopolitik, penderitaan rakyat Palestina memang mempercepat kesadaran dunia.
1948–1967: Dunia hampir melupakan Palestina, menganggap mereka sekadar pengungsi Arab.
Intifada Pertama (1987): Batu melawan tank menjadi simbol rakyat yang melawan dengan tangan kosong, membuat dunia sadar ini bukan konflik negara, melainkan perjuangan rakyat.
Genosida Gaza (2023–2025): Gambar anak-anak yang digali dari reruntuhan mengubah opini global. Dari diam menjadi lantang.
Artinya, derita Palestina bukan memperlambat, melainkan mempercepat lahirnya solidaritas global.
Sejarawan Inggris, Ilan Pappé, menegaskan:
> “Setiap kali Israel mengira sudah berhasil menundukkan Palestina, justru saat itulah Palestina bangkit kembali. Proyek kolonial tidak bisa menghancurkan identitas sebuah bangsa yang menolak menyerah.”
---
4. Hadits tentang “Thaifah Manshurah”
Nabi Muhammad ï·º telah memberi kabar gembira:
> “Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menentang mereka, sampai datang keputusan Allah, sedang mereka tetap dalam keadaan demikian.”
— HR. Bukhari dan Muslim
Banyak ulama mengaitkan “thaifah manshurah” (golongan yang mendapat pertolongan) dengan penduduk Syam — termasuk Palestina.
Dengan kata lain, Palestina hari ini tidak sedang berjalan di jalan terpanjang, melainkan di jalan yang sudah dipastikan Nabi sebagai jalan menuju kemenangan.
---
5. Paradoks Kelemahan yang Menguatkan
Secara lahiriah, Palestina adalah bangsa paling lemah: miskin, terpecah, dan terkepung. Tetapi justru di titik inilah mereka menjadi bangsa paling kuat secara moral.
Mereka menyingkap wajah asli Israel, yang selama ini menyembunyikan kolonialisme di balik klaim “negara demokrasi.”
Mereka mengguncang opini publik Amerika dan Eropa, terutama generasi muda yang menolak pembenaran genosida.
Mereka membangunkan umat Islam yang hampir tertidur dalam ilusi peradaban.
Seakan-akan Allah menggunakan penderitaan Palestina sebagai cermin, agar umat Islam kembali tahu siapa kawan sejati, siapa pengkhianat, dan siapa penolong yang tulus.
---
6. Perbandingan Sejarah: Bangsa-Bangsa dalam Derita
Apakah ada bangsa lain yang memiliki pola perlawanan serupa dengan Palestina? Ada beberapa, tetapi dengan perbedaan mendasar.
Vietnam: Melawan Prancis, lalu Amerika. Mereka menderita, tetapi akhirnya meraih kemerdekaan politik. Namun Vietnam bukan bangsa yang terisolasi total seperti Gaza.
Aljazair: 132 tahun dijajah Prancis, jutaan syahid, akhirnya merdeka 1962. Namun perlawanan mereka bersenjata besar, bukan sekadar batu.
Afrika Selatan: Menderita apartheid puluhan tahun, akhirnya menang lewat kombinasi perjuangan rakyat dan boikot internasional.
Palestina berbeda:
Mereka tidak punya negara resmi sejak 1948.
Mereka melawan dengan blokade total, tanpa laut, tanpa udara, tanpa senjata berat.
Lawan mereka adalah negara yang dilindungi kekuatan terbesar dunia.
Artinya, tidak ada bangsa modern yang mengalami penderitaan sekaligus pertumbuhan perlawanan seperti Palestina. Inilah keajaiban sejarah.
---
7. Kemerdekaan: Politik atau Martabat?
Jika kemerdekaan didefinisikan sebatas berdirinya negara dengan bendera dan paspor, maka jalan Palestina masih panjang.
Tetapi jika kemerdekaan diartikan sebagai martabat yang tak bisa dipatahkan, maka Palestina telah meraihnya hari ini.
Anak-anak Gaza yang menghafal Al-Qur’an di bawah reruntuhan rumah lebih merdeka daripada pemimpin dunia yang tunduk pada tekanan lobi Zionis.
> “Maka janganlah kamu lemah dan janganlah kamu bersedih hati, sebab kamulah yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman.”
— QS. Ali ‘Imran: 139
Profesor Edward Said, intelektual Palestina, menulis:
> “Kehidupan Palestina adalah kehidupan dalam pengasingan dan penderitaan, tetapi juga kehidupan yang membuktikan bahwa bangsa bisa bertahan tanpa tanah, selama ia punya ingatan dan martabat.”
---
8. Jawaban Reflektif
Maka, apakah penderitaan dan perlawanan rakyat Palestina merupakan jalan tercepat menuju kemerdekaan?
Ya, jika dilihat dari perspektif iman dan sejarah Allah. Sebab setiap darah yang tumpah mempercepat datangnya titik balik: dunia semakin sadar, umat semakin bersatu, dan Israel semakin runtuh dari dalam.
Tidak, jika dilihat dari perspektif politik praktis manusia. Karena di mata politik dunia, jalan ini panjang, penuh pengkhianatan, dan berlumuran darah.
Tetapi di mata Allah, inilah jalan pasti. Jalan singkat menuju kemenangan bukanlah kompromi, melainkan kesabaran di medan ujian.
---
9. Penutup: Dari Gaza, untuk Dunia
Palestina hari ini sedang menulis sejarah dengan tinta darah. Kita mungkin bertanya, “Tidakkah ada jalan yang lebih mudah?”
Tetapi Allah menjawab dengan cara-Nya:
kemerdekaan sejati tidak datang lewat jalan pintas yang nyaman, melainkan lewat jalan terjal yang menguji iman.
Mungkin justru genosida hari ini adalah jalan tercepat.
Sebab dari puing-puing Gaza lahir sebuah bangsa yang tidak bisa lagi ditundukkan oleh janji palsu, tidak bisa lagi ditipu oleh meja perundingan, dan tidak bisa lagi dipatahkan oleh kekuatan senjata.
Bangsa yang sudah merdeka di dalam jiwa, sebelum merdeka di atas peta.
---
Akhirnya: Palestina bukan hanya sedang menuju kemerdekaan. Mereka sedang mempercepat kemerdekaan itu dengan sabar, darah, dan doa. Dan kita, seluruh umat manusia, dipaksa Allah untuk menjadi saksi: apakah kita berdiri bersama kebenaran, atau memilih menjadi penonton sejarah yang kelak ditinggalkan.
0 komentar: