Warga Amerika yang “Terjebak” Menjadi Tentara Israel
Di sebuah pantai yang jauh dari rumah asal mereka, anak-anak muda Amerika berdiri di bawah bendera yang bukan milik tanah airnya. Mereka disebut lone soldiers — tentara tunggal, tanpa keluarga dekat, tanpa akar yang dalam di negeri yang kini mereka bela.
Seolah-olah mereka sedang mencari rumah baru, namun justru mendapati diri mereka berada di medan perang yang paling getir di dunia: Gaza.
Fenomena ini mengundang tanya. Bagaimana mungkin seorang warga Amerika, yang lahir dan tumbuh di negeri yang menjanjikan keamanan dan stabilitas, rela meninggalkan kenyamanan itu untuk terjun dalam konflik yang dituding dunia sebagai salah satu tragedi kemanusiaan terburuk abad ini?
---
Jejak Sejarah: Dari Gachal, Machal, hingga “Lone Soldiers”
Sejarah memberi petunjuk. Fenomena ini bukan hal baru. Pada 1948, saat Israel berdiri, ribuan sukarelawan dari diaspora datang membentuk pasukan Gachal (Giyus Chutz LaAretz — rekrutan dari luar negeri) dan Machal (Mitnadvei Chutz LaAretz — sukarelawan luar negeri). Mereka adalah orang-orang Yahudi dan simpatisan yang percaya bahwa berdirinya Israel adalah janji sejarah, bahkan “takdir ilahi”.
Dari sana lahir pola: diaspora dipanggil untuk kembali, bukan sekadar dalam doa, tapi juga dalam darah dan senjata.
Di era modern, panggilan ini hadir lewat program resmi maupun semi-resmi. Ada Nefesh B’Nefesh yang memfasilitasi aliyah (imigrasi Yahudi ke Israel), ada organisasi Garin, hingga Friends of the IDF yang menggalang dana miliaran dolar. Para relawan ditawari bantuan administratif, asrama, tunjangan, bahkan “keluarga kedua” yang katanya akan merangkul mereka.
Namun di balik kisah manis itu, muncul cerita getir: trauma psikis, luka fisik, hingga kasus bunuh diri karena rasa terasing. Seorang pakar psikologi militer Israel, Dr. Orna David, pernah menulis bahwa “lone soldiers sering datang dengan idealisme, tetapi pulang dengan kesunyian dan luka yang tak kasat mata.”
---
Antara Idealisme dan Realitas
Mengapa mereka datang?
Ada yang menjawab dengan tegas: ideologi. Mereka merasa bagian dari “bangsa yang terancam” dan ingin menjaga identitasnya. Seorang mantan lone soldier asal New Jersey pernah berkata dalam wawancara: “Saya datang untuk melindungi rumah leluhur saya. Amerika adalah tempat saya lahir, tapi Israel adalah jiwa saya.”
Tapi tak semua sesederhana itu. Ada yang datang karena mencari arti hidup, karena merasa asing di tanah kelahiran mereka sendiri. Ada pula yang tergiur jalan cepat menuju kewarganegaraan Israel, akses ekonomi, atau sekadar ingin disebut pahlawan.
Namun perang bukanlah panggung heroisme klasik. Ia adalah ruang hancur di mana tubuh dan jiwa manusia dilumat tanpa kompromi. Profesor Neve Gordon, pakar hukum internasional dari Queen Mary University London, menulis: “Keterlibatan relawan asing dalam operasi militer Israel bukan hanya soal identitas, tetapi juga soal keterjeratan pada mesin perang yang dituduh melakukan kejahatan internasional.”
---
Jaringan Perekrutan: Antara Solidaritas dan Ilusi
Perekrutan ini tidak terjadi begitu saja. Ada jejaring diaspora yang aktif membangun narasi. Poster-poster, film pendek, testimoni heroik dipublikasikan lewat organisasi kampus dan sinagoga di Amerika.
Friends of the IDF, misalnya, mengklaim telah mendukung lebih dari 7.000 lone soldiers dengan dana, akomodasi, bahkan terapi psikologis. Di permukaan, ini tampak mulia: sebuah solidaritas transnasional.
Namun realitas di lapangan sering berbeda. Laporan investigasi dari Haaretz mencatat bahwa banyak lone soldiers yang merasa ditelantarkan, mengalami kesulitan bahasa, kekurangan dukungan medis, bahkan diabaikan setelah mengalami cedera.
Seorang veteran asal California yang bertugas di Gaza berkata getir: “Mereka menyebut kami keluarga. Tapi setelah saya terluka, keluarga itu menghilang. Yang tersisa hanya rasa sakit.”
---
Dimensi Psikologis: Dari Heroisme ke Trauma
Dalam psikologi militer, ada istilah moral injury — luka moral. Bukan sekadar trauma karena melihat kematian, tetapi luka batin karena merasa ikut melakukan tindakan yang bertentangan dengan nurani.
Banyak lone soldiers menghadapi dilema ini. Mereka datang dengan idealisme “melindungi”, tetapi menemukan diri dalam operasi yang membom rumah, sekolah, bahkan rumah sakit. Amnesty International menegaskan, banyak operasi di Gaza berpotensi melanggar hukum humaniter internasional.
Seorang mantan prajurit Amerika-Israel pernah menuturkan kepada The Intercept: “Saya datang untuk membela, tapi saya pulang dengan pertanyaan: siapa sebenarnya yang saya lindungi, dan siapa yang saya lukai?”
Pertanyaan ini mengubah heroisme menjadi beban psikologis yang kadang tak tertanggungkan.
---
Dimensi Geopolitik: Pertanyaan tentang Akuntabilitas
Di titik ini, masalah tak lagi personal, melainkan geopolitik. Bagaimana posisi hukum seorang warga Amerika yang terlibat langsung dalam operasi militer Israel di Gaza — sebuah konflik yang sedang diselidiki Mahkamah Pidana Internasional (ICC)?
Profesor Richard Falk, mantan pelapor khusus PBB untuk Palestina, menegaskan: “Keterlibatan warga asing dalam operasi militer Israel membuka celah pertanggungjawaban hukum internasional. Negara asal punya kewajiban moral, bahkan hukum, untuk tidak membiarkan warganya ikut serta dalam tindakan yang berpotensi kejahatan perang.”
Namun di sisi lain, banyak pemerintah menutup mata. Amerika Serikat, misalnya, jarang menindak warganya yang bertugas di IDF. Padahal, jika seorang warga negara Amerika bergabung dengan kelompok milisi di Timur Tengah lain, ia bisa dianggap teroris.
Di sinilah letak paradoksnya: korban bisa disebut tersangka, dan prajurit asing bisa disebut pahlawan.
---
“Prajurit Tunggal” sebagai Simptom: Kolonisasi Identitas
Jika ditarik ke akar, lone soldiers adalah simptom dari sesuatu yang lebih besar: kolonisasi identitas.
Mereka adalah generasi diaspora yang identitasnya dikonstruksi untuk merasa bahwa rumah sejati mereka bukanlah New York, Los Angeles, atau Miami — melainkan sebuah tanah yang sedang berdarah di Timur Tengah.
Di satu sisi, ini memberi makna dan arah bagi hidup mereka. Tetapi di sisi lain, mereka sedang dijadikan instrumen sebuah proyek politik kolonial modern.
Sosiolog Ilan Pappé menulis: “Lone soldiers bukanlah sekadar relawan. Mereka adalah bagian dari strategi yang lebih luas: menjadikan diaspora sebagai cadangan militer dan moral bagi proyek Zionis.”
---
Renungan Akhir: Antara Solidaritas dan Luka
Maka muncul pertanyaan yang harus direnungkan:
Apakah keberanian tanpa kebijaksanaan hanya akan memperpanjang luka?
Apakah solidaritas diasporik harus selalu berarti senjata, bukan roti dan obat?
Apakah sebuah generasi muda harus mencari arti hidupnya dengan menukar nyawa orang lain?
Fenomena lone soldiers memperlihatkan betapa perang ini bukan lagi konflik lokal. Ia telah menjadi panggung global, yang memanggil anak-anak muda dari seberang lautan untuk menanggung beban sejarah yang bukan milik mereka.
Namun, pada akhirnya, perang tidak menanyakan paspor. Ia hanya meninggalkan tubuh-tubuh hancur, jiwa-jiwa terluka, dan keluarga yang menunggu dalam hening.
Seorang veteran lone soldier pernah berkata lirih: “Saya pergi ke Gaza untuk menemukan diri saya. Yang saya temukan hanyalah keheningan malam, dan wajah anak-anak yang terus menghantui tidur saya.”
Dan di situlah tragedi sejati: ketika solidaritas berubah menjadi luka, ketika korban dijadikan tersangka, ketika mereka yang mencari rumah justru kehilangan arah pulangnya.
---
Kata akhir:
Fenomena warga Amerika yang menjadi tentara Israel adalah cermin yang mengganggu. Ia mengungkap wajah diaspora yang terjebak antara identitas dan kolonisasi, antara idealisme dan kekerasan, antara solidaritas dan luka. Pertanyaannya kini: beranikah dunia — dan terutama masyarakat Amerika sendiri — melihat cermin itu tanpa ilusi?
0 komentar: