Menanggalkan Keris Mpu Gandring, Cara Menenggelamkan Penjajah Israel?
Prolog: Gelombang yang Tak Terlihat
Ada gelombang yang tak tercatat dalam peta angkatan laut mana pun. Ia bukan gelombang ombak yang menggulung kapal, bukan pula gelombang peluru yang dimuntahkan meriam. Gelombang ini lahir dari dada manusia, dari doa-doa mustadh’afin, dari jeritan anak-anak yang kehilangan ayahnya, dan dari nurani yang terbangun di jalanan kota-kota dunia.
Gelombang itu pula yang ditakuti oleh para tiran: gelombang yang tidak bisa mereka tembak dengan drone, tidak bisa mereka kepung dengan tank, dan tidak bisa mereka tenggelamkan dengan kapal perang.
Ketika kita membaca Al-Qur’an, kita mendapati kisah Firaun yang ditelan laut, kaum Ashabul Ukhdud yang dihancurkan gelombang api, atau kaum-kaum yang binasa tanpa satu pun pasukan dunia mengangkat pedang untuk menjatuhkan mereka. Gelombang sejarah tidak selalu lahir dari senjata. Kadang ia datang dari laut, kadang dari bumi, kadang dari kesadaran yang tiba-tiba bangkit di hati manusia.
Hari ini, di Gaza, kita melihat gelombang itu mulai meninggi.
---
Gelombang dalam Al-Qur’an
Firaun tidak kalah di medan perang. Ia kalah di laut. Bukan oleh panah Bani Israil, bukan oleh pedang Musa, tetapi oleh gelombang yang diperintahkan Allah.
> “Maka Kami hukumlah dia (Firaun) dan tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang zalim itu.”
(QS. Al-Qashash: 40)
Ashabul Ukhdud juga binasa bukan karena senjata. Mereka menghukum orang beriman dengan parit api, tetapi gelombang murka Allah turun, dan sejarah hanya mencatat bahwa mereka musnah.
> “Sesungguhnya orang-orang yang menyiksa orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab neraka dan bagi mereka azab (pula) kebakaran.”
(QS. Al-Buruj: 10)
Dari dua kisah ini, kita belajar: penghancur kezaliman sering datang bukan dalam bentuk pasukan manusia, melainkan dalam bentuk gelombang Ilahi yang sulit diprediksi.
---
Bukan Pedang, Bukan Keris
Sejarah Nusantara pun menyimpan simbol: keris Mpu Gandring yang meneteskan darah, melahirkan dendam tak berkesudahan. Dari Singasari ke Majapahit, darah terus mengalir, bukan karena musuh asing, tapi karena senjata yang disalahgunakan.
Pelajaran ini relevan bagi dunia hari ini: penghentian pembantaian bukan selalu berarti menambah senjata, melainkan berhenti meneteskan darah yang sia-sia. Gelombang penghancur penjajah bisa lahir bukan dari peluru tambahan, melainkan dari solidaritas global, dari tekad manusia untuk berkata: “Cukup sudah darah yang menetes.”
---
Gelombang Gaza
Israel mengepung Gaza dengan segala cara: dari laut, udara, darat. Rumah sakit dihancurkan, sekolah dibom, masjid dijadikan target, bahkan kantor-kantor diplomatik asing dan perwakilan PBB pun tidak luput dari serangan. Ratusan ribu tentara reguler dan cadangan dikerahkan, seolah-olah Gaza adalah kerajaan besar, padahal hanya sepotong tanah sempit yang dipenuhi pengungsi.
Mereka mengulang strategi Quraisy di Mekah: mengepung rumah Nabi ï·º dengan para pemuda bersenjata, agar pembunuhan dianggap tanggung jawab bersama, agar darah tak bisa dituntut. Bedanya, hari ini Israel melakukannya terhadap jutaan jiwa, dengan mengatasnamakan “keamanan nasional.”
Sejarawan Sirah, Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, pernah menulis bahwa makar Quraisy saat itu adalah puncak keputusasaan mereka menghadapi dakwah Rasulullah ï·º. Demikian pula Israel kini: makin brutal, makin tak rasional, tanda bahwa mereka sedang kehabisan akal menghadapi keteguhan Gaza.
---
Gelombang Dunia
Tetapi lihatlah apa yang terjadi setelah serangan terhadap Armada Sumud Flotilla. Kapal-kapal bantuan yang membawa relawan dari puluhan negara dicegat, satu per satu diserbu kapal perang Israel. Namun, yang muncul bukanlah kemenangan Israel, melainkan gelombang baru yang mengguncang Eropa.
Di Napoli, ribuan orang menutup stasiun kereta api, menghentikan perjalanan ribuan penumpang. Di Roma, polisi mengepung Termini karena massa menolak bubar. Di Milan, Turin, Florence, hingga Livorno, para buruh memblokade pelabuhan. Serikat pekerja CGIL menyebut agresi Israel sebagai “masalah serius,” lalu menyerukan pemogokan massal.
Di Jerman, stasiun pusat Berlin ditutup demonstran. Di Irlandia, senator Chris Andrews ditahan Israel, memicu amarah pemerintah. Di kota-kota lain: Athena, Istanbul, Tunis, Paris, Barcelona, Brussels—gelombang rakyat memenuhi jalanan.
Ini adalah gelombang yang sama yang dulu menenggelamkan Firaun: bukan pedang, bukan tombak, melainkan gelombang massa yang bergerak karena nurani.
---
Gelombang Nurani vs Gelombang Senjata
Sejarawan Barat, Montgomery Watt, pernah menyebut hijrah Nabi ï·º sebagai “titik balik sejarah dunia,” sebab makar Quraisy gagal dan strategi Nabi justru membuka jalan peradaban. Demikian juga, setiap kali Israel menekan Gaza, yang lahir justru gelombang dukungan global yang tak pernah mereka perhitungkan.
Syekh Yusuf al-Qaradhawi menulis: “Setiap penindas pada akhirnya akan kalah bukan hanya oleh perlawanan orang beriman, tapi oleh beban kezaliman yang ditolak nurani umat manusia.”
Gelombang ini nyata: survei di Barat menunjukkan semakin banyak generasi muda menolak Israel, media sosial dipenuhi suara yang tak bisa dibungkam, serikat pekerja internasional memblokade perdagangan mereka, bahkan para jenderal IDF sendiri mulai meragukan kemenangan.
---
Charlie Kirk, Oposisi Israel, dan Suara dari Dalam
Gelombang itu bahkan dirasakan oleh mereka yang semula membela Israel. Charlie Kirk, komentator konservatif Amerika, menulis surat yang bernada getir: ia mengakui Israel semakin kehilangan simpati dunia. Di dalam negeri Israel sendiri, oposisi politik dan sejumlah jenderal cadangan IDF mulai terang-terangan menentang kebijakan Netanyahu.
Mereka mulai merasakan gelombang yang tak bisa dihentikan: gelombang delegitimasi. Sebab dunia tidak lagi menelan narasi “membela diri” ketika yang terlihat adalah bayi-bayi terbunuh dan kota-kota hancur rata.
---
Ayat dan Janji Langit
Al-Qur’an menegaskan janji ini:
> “Jika kamu menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
(QS. Muhammad: 7)
Dan lagi:
> “Mereka membuat makar, dan Allah pun membuat makar. Dan Allah sebaik-baik pembuat makar.”
(QS. Ali Imran: 54)
Maka gelombang ini sejatinya adalah makar Allah: suara rakyat dunia, keteguhan Palestina, dan runtuhnya legitimasi moral Israel.
---
Epilog: Gelombang yang Tak Pernah Reda
Firaun mungkin menyangka laut adalah sekutunya. Israel mungkin mengira senjata nuklir adalah bentengnya. Tetapi sejarah selalu membuktikan: yang menenggelamkan bukan peluru, melainkan gelombang yang diperintahkan langit.
Hari ini gelombang itu bernama Gaza. Ia kecil, sempit, terkepung, tapi dari sanalah gelombang keteguhan lahir, menular ke Napoli, Berlin, Dublin, Istanbul, hingga Jakarta.
Dan ketika gelombang itu sudah meninggi, tak ada kapal perang, tank, atau pesawat tempur yang bisa menahannya. Sebab gelombang itu bukan hanya gelombang air, melainkan gelombang nurani, doa, dan janji Allah bahwa kebenaran selalu akan menang, meski tirani sementara tampak perkasa.
0 komentar: