Genosida yang Mengubah DNA: Warisan Luka Gaza bagi Generasi
Pengantar: Luka yang Menyusup Hingga ke Sel
Di Gaza, bom jatuh bukan hanya merobohkan bangunan. Ledakan itu menembus udara, bercampur dengan debu, menyusup ke paru-paru anak-anak, dan diam-diam menorehkan luka yang tak terlihat: pada sel, pada gen, pada warisan biologis manusia.
Kita terbiasa memandang perang sebagai peristiwa sosial, politik, atau ekonomi. Namun Gaza memperlihatkan wajah lain dari genosida: ia merambah ke tingkat molekuler, ke ruang tersembunyi tubuh manusia, di mana kode kehidupan diwariskan dari orang tua kepada anak.
Apakah mungkin perang mewariskan luka kepada generasi yang belum lahir?
Apakah genosida Israel di Gaza sedang menulis ulang DNA rakyat Palestina?
Al-Qur’an sejak lama telah memperingatkan:
> “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfāl: 25)
Ayat ini menyingkap kenyataan: kehancuran tidak hanya menimpa pelaku, tetapi juga anak-anak, generasi, bahkan tanah yang diinjak. Perang meneteskan racunnya tidak hanya pada tubuh, tapi pada warisan genetis umat manusia.
---
Bagian I: Setan Perang dan Jejaknya Lintas Generasi
Perang adalah salah satu tipu daya setan. Ia bukan hanya memicu pertumpahan darah hari ini, tetapi menanamkan benih kehancuran di hari esok. Setan sendiri berkata dalam Al-Qur’an:
> “Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan menghiasi (kejahatan) bagi mereka di muka bumi dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.” (QS. Al-Hijr: 39-40)
Di Gaza, tipu daya itu bukan lagi sekadar retorika. Racun dari ledakan, trauma psikologis, dan lapar yang kronis menjadi warisan genetik. Epigenetika — cabang ilmu yang mempelajari perubahan ekspresi gen akibat faktor lingkungan — menjelaskan bahwa stres, polusi, dan kekerasan bisa mengaktifkan atau mematikan gen tertentu.
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pernah berpesan bahwa dosa dan kezaliman meninggalkan bekas bukan hanya pada jiwa pelakunya, tetapi juga pada keturunannya. Kini, sains menguatkan intuisi spiritual itu: perang dapat menggoreskan luka pada DNA.
---
Bagian II: Dari Perang ke Gen – Epigenetika dan Luka yang Diwariskan
Ilmu genetika klasik mengajarkan bahwa sifat diwariskan melalui DNA yang stabil. Namun, epigenetika menunjukkan lapisan lain: lingkungan dapat menempelkan “cap” pada gen, menentukan apakah ia aktif atau tertidur.
Stres kronis, malnutrisi, paparan logam berat dari bom — semua ini adalah realitas sehari-hari di Gaza. Dr. Ahmed Issa, dokter anak Palestina, menemukan bahwa trauma perang pada anak-anak Gaza meninggalkan jejak biologis yang dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental anak-cucu mereka.
> “Anak-anak Gaza tidak hanya mewarisi kesulitan sosial dan ekonomi, tetapi mereka juga membawa warisan perang dalam DNA mereka,” kata Dr. Ahmed.
Dalam hadits, Nabi ﷺ mengajarkan doa perlindungan untuk anak-anak:
> “Aku memohon perlindungan untukmu berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan, binatang berbisa, dan dari pandangan mata yang jahat.” (HR. Bukhari)
Doa itu adalah tameng spiritual. Namun bagaimana jika dunia membiarkan setan perang menanam racunnya dalam gen anak-anak Gaza?
---
Bagian III: Holocaust dan Vietnam – Warisan Luka dalam Sejarah
Genosida bukan peristiwa baru. Penelitian terhadap anak-cucu penyintas Holocaust menunjukkan mereka memiliki kadar hormon stres lebih tinggi akibat perubahan epigenetik. Mereka tidak hidup pada era Nazi, tetapi tubuh mereka masih menyimpan memori perang.
Jika lebih dari 80 tahun kemudian, generasi ketiga Holocaust masih membawa luka itu, bagaimana dengan rakyat Gaza yang terus-menerus hidup dalam perang?
Perang Vietnam memberikan bukti lain. Penggunaan Agent Orange mencemari tanah dan air, menyebabkan cacat lahir hingga generasi berikutnya. Dari spina bifida hingga cacat jantung, luka itu diwariskan bahkan setelah perang berakhir.
Apakah Gaza sedang ditakdirkan menjadi Vietnam kedua?
---
Bagian IV: Gaza – Laboratorium Paksa untuk Perubahan Genetik
Reruntuhan bangunan, asap hitam, udara beracun, air yang tercemar — Gaza telah menjadi laboratorium paksa, tempat eksperimen kejam berlangsung.
Um Ahmed, seorang ibu Gaza, bercerita bahwa ketika rumahnya hancur dibom saat ia hamil tujuh bulan, bayi dalam kandungannya menendang lebih keras. Setelah lahir, bayinya menangis tanpa henti. Seolah trauma itu diwariskan sejak dalam rahim.
Dokter epigenetika, Dr. Samer Al Khaldi, menegaskan: racun bom melewati plasenta, mengubah gen janin, meningkatkan risiko cacat lahir dan keguguran. Foto bayi-bayi Gaza dengan kelainan wajah dan tubuh adalah bukti hidup.
> “Menghirup zat-zat ini tidak hanya membahayakan ibu, tetapi juga melewati plasenta ke janin,” ujarnya.
Bagi pria, paparan racun memengaruhi sperma, mewariskan kerusakan kepada anak-anak yang belum lahir. Anak-anak Gaza lahir dengan risiko kanker lebih tinggi, membawa jejak perang bahkan sebelum mereka bisa berbicara.
Al-Qur’an mencatat doa Nabi Zakaria:
> “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri, dan Engkaulah sebaik-baik yang mewarisi.” (QS. Al-Anbiya: 89)
Doa ini menggema di Gaza: bagaimana generasi bisa lahir dengan sehat jika perang mewariskan kerusakan dalam DNA mereka?
---
Bagian V: Angka Kanker dan Luka yang Tertunda
Ledakan bom menghasilkan logam berat dan karsinogen yang menetap di tanah dan udara. Paparan berulang terhadap zat ini meningkatkan risiko kanker darah, limfoma, dan penyakit tiroid.
Dr. Haitham Awadh, ahli onkologi Palestina, memperingatkan:
> “Generasi mendatang akan membayar harga atas polusi ini.”
Kanker sering muncul beberapa dekade setelah paparan. Artinya, anak-anak Gaza hari ini mungkin baru akan jatuh sakit saat dewasa. Luka itu menunggu dalam sunyi, bersembunyi dalam DNA.
---
Bagian VI: Tanggung Jawab Dunia – Luka Biologis sebagai Amanah
Perang di Gaza mengajarkan dunia bahwa genosida bukan hanya persoalan politik, tetapi biologis. Luka itu diwariskan, menyentuh anak-anak yang belum lahir, yang bahkan belum tahu apa arti perang.
Allah mengingatkan:
> “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. Al-Isra: 33)
Membiarkan genosida berarti membiarkan generasi yang belum lahir dibunuh secara perlahan.
Ulama besar, Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumuddin menulis bahwa dosa terbesar adalah yang merusak masa depan umat, karena ia memutus rahmat Allah dari generasi mendatang. Apa yang terjadi di Gaza hari ini adalah contoh paling nyata.
---
Penutup: Harapan di Tengah Luka Genetik
Namun tidak semua luka epigenetik bersifat permanen. Penelitian menunjukkan nutrisi yang baik, dukungan psikologis, dan lingkungan yang sehat dapat memperbaiki sebagian perubahan.
Di sinilah harapan. Bahwa meski Israel menulis racun dalam DNA rakyat Gaza, Allah tetap menanamkan kekuatan regenerasi dan kesembuhan. Bahwa doa, dzikir, dan perlawanan spiritual mampu menjadi tameng.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat itu tepat, maka ia menyembuhkan dengan izin Allah.” (HR. Muslim)
Mungkin Gaza sedang menunggu dunia, bukan hanya untuk menghentikan bom, tetapi juga untuk membangun kembali kesehatan biologis dan spiritual mereka.
Gaza telah mengajarkan kita satu hal: perang tidak hanya membunuh hari ini, tetapi berusaha merampas masa depan. Namun sejarah juga menunjukkan: bangsa yang terluka paling dalam sering kali melahirkan kekuatan yang tak tergoyahkan.
Dan mungkin, dari DNA yang diukir oleh luka, akan lahir generasi yang membawa perlawanan yang lebih murni — generasi yang, dengan izin Allah, menutup bab panjang kezaliman.
Sumber:
https://www.newarab.com/features/how-israels-genocide-rewriting-gazans-epigenetic-code
0 komentar: