Memberitakan yang Benar: Tiang yang Sunyi di Pintu Istana
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Langit Baghdad belum banyak berubah. Burung-burung tetap pulang ke sarangnya. Angin masih bertiup membawa debu dari padang. Namun di dalam istana yang megah, seorang khalifah termenung.
Ia bernama Abu Ja’far Al-Manshur, lelaki yang tak banyak tertawa, tak banyak bicara, namun pikirannya menembus jauh ke dalam kedalaman sejarah. Di antara malam-malam tafakurnya, ia berkata pelan namun lantang:
“Betapa aku mencintai empat orang yang berdiri di pintu istanaku.”
Orang-orang menoleh, bingung. Siapakah mereka? Wazir-wazirkah? Panglima-panglima? Ataukah keluarga dekatnya?
Ia lalu menjawab,
“Merekalah sendi-sendi kerajaanku. Seperti dipan tak akan tegak tanpa empat tiangnya, begitu pula kekuasaan tak akan lurus tanpa mereka.”
Satu per satu ia sebutkan.
Pertama, sang qadhi.
Hakim yang tak gentar pada hujatan, karena takutnya hanya pada Tuhan. Ia menegakkan hukum seperti menegakkan tiang dalam badai—tak goyah oleh suara-suara sumbang.
Kedua, sang syurthah.
Polisi yang berdiri bagi yang tak berdaya. Ia bukan tameng para penguasa, tapi perisai bagi rakyat yang tertindas.
Ketiga, sang jabi.
Petugas pajak yang tak menumpuk kekayaan di pundaknya. Ia pungut hak negara, tapi tak ambil milik si miskin.
Dan ketika tiba pada yang keempat, Abu Ja’far terdiam.
Ia menggigit jarinya, tiga kali.
Suaranya tertahan, lalu pelan berkata:
“Aah... aah...”
Orang-orang menunggu, sunyi menebal di ruangan.
“Yang keempat adalah: penulis berita… wartawan… yang menuliskan tentang tiga sendi lainnya—dengan jujur, apa adanya, tanpa menjual kebenaran untuk pujian atau kekuasaan.”
Betapa agung kalimat itu.
Betapa sunyi maknanya.
Wartawan… bukan sekadar penyampai kabar.
Ia adalah cermin—yang memantulkan wajah kekuasaan tanpa bias.
Ia adalah lentera—yang menyinari ruang-ruang gelap kekeliruan.
Ia adalah saksi sejarah—yang diam-diam menulis masa depan.
Di zamannya, wartawan bukan penyair istana. Bukan peniup seruling bagi penguasa. Ia adalah pengingat. Penjaga. Pemikul amanah.
Maka tak heran jika Al-Manshur mengaduh.
Mungkin karena pernah kehilangan satu di antara mereka.
Atau mungkin karena tahu:
Wartawan yang jujur lebih langka dari panglima yang berani.
Mari kita berjalan ke barat.
Ke Andalusia yang bersinar dalam sejarah.
Di sana, Hisyam bin Abdurrahman Ad-Dakhil juga menjadikan kebenaran sebagai pilar kerajaannya.
Ia tidak duduk menunggu laporan resmi.
Ia mengutus orang-orang terpercaya ke kota Kuur.
Tugas mereka sederhana tapi berat:
Membawa pulang berita kebenaran.
Tentang siapa yang menunaikan tugas, dan siapa yang menyalahgunakannya.
Dan ketika mereka kembali, membawa berita yang jujur, Hisyam tidak tinggal diam.
Ia panggil para pejabat.
Ia dengarkan keluhan rakyat.
Ia bersumpah bersama pelapor.
“Jika ia menamparmu, balaslah tamparannya!”
“Jika ia membuka aibmu, bukalah aibnya juga!”
“Jika ia merampas hakmu, ambillah kembali hartamu!”
“Tapi jika ia melanggar hukum Allah… aku sendiri yang akan menghukumnya!”
Satu persatu, pejabat yang zalim ditindak.
Bukan karena desas-desus,
tapi karena berita yang benar.
Apa yang bisa dilakukan sebuah berita?
Ia mungkin tak punya tentara.
Ia tak membawa pedang.
Tapi ia bisa menggetarkan tahta yang licin.
Ia bisa menggugah hati pemimpin yang lalai.
Ia bisa menahan tangan penguasa sebelum menzalimi.
Berita yang jujur adalah penjaga sunyi kekuasaan.
Ia seperti air yang jernih—menampakkan kotoran yang tersembunyi.
Ia seperti embun—dingin tapi menghidupkan.
Dan jika tidak ada lagi wartawan yang jujur,
jika semua pena telah dijual pada kuasa dan harta,
maka istana akan tegak di atas pasir,
dan kekuasaan akan tumbang…
oleh diam yang mematikan.
Kini zaman telah berubah.
Namun apakah sendi-sendi itu masih utuh?
Hakim yang jujur—masih adakah?
Polisi yang melindungi lemah—masih adakah?
Petugas pajak yang adil—masih adakah?
Dan… wartawan yang menulis demi Allah, bukan demi penguasa—masihkah kau di sana?
Jika kau masih ada,
maka teruslah menulis.
Karena setiap hurufmu bisa menjadi penopang terakhir sebelum tahta runtuh oleh kezaliman.
“Dan katakanlah yang benar, walau itu pahit.”
(Hadits Nabi ﷺ)
Karena kekuasaan bisa bertahan tanpa emas, tapi tidak akan bertahan tanpa kebenaran.
Sumber: Mahmud Musafa Sa’ad, Golden Story, Pustaka Al-Kautsar.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif