basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Malam, Teman Perjuangan Para Panglima  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Langit malam itu senyap. Bintang-bintang tersembunyi di balik ...

Malam, Teman Perjuangan Para Panglima 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Langit malam itu senyap. Bintang-bintang tersembunyi di balik tabir awan, seakan malu menyaksikan doa yang membelah keheningan bumi.

Seorang lelaki berdiri di ujung tenda, jubahnya terkulai lembut ditiup angin. Dalam gelap, suaranya gemetar, terangkat ke langit dalam bahasa air mata. Bibirnya bergetar, menyebut nama yang tak pernah letih ia panggil: Allah... Rabbul ‘Alamin.

Di hadapannya, medan Badar menanti. Pasukan kaum muslimin tak sampai 400. Sementara musuh, ribuan. Pedang mereka berkarat, kuda mereka tak seberapa. Tapi yang membuat lelaki itu berdiri bukan keberanian semata—melainkan karena ia tahu, kekuatan sejati tak lahir dari otot dan besi, melainkan dari hati yang bersandar total pada Tuhan.

Ia adalah Rasulullah ï·º.

Malam itu, tangisnya menyatu dengan bumi. Sujudnya mengguncang langit. “Ya Allah, jika pasukan kecil ini binasa, tidak ada lagi yang menyebut nama-Mu di bumi ini.”

Air mata membasahi wajahnya. Ia tahu esok adalah hari besar. Tapi malam ini adalah malam penentuan. Malam di mana langit menjadi saksi bahwa kemenangan bukan diraih oleh strategi, tapi oleh cinta yang paling dalam kepada Yang Maha Kuasa.


---

Berabad-abad setelah malam itu, seorang pemuda berdiri di bawah temaram lampu minyak di dalam kemahnya. Jubahnya lusuh, tapi matanya berkilat. Ia bukan sekadar panglima. Ia adalah pewaris malam-malam panjang para nabi—Shalahuddin Al-Ayyubi.

Pasukan Salib mengelilingi Yerusalem. Eropa telah mengirim segala yang mereka punya. Raja-raja, kesatria, imam perang, hingga rakyat awam ikut menjadi darah di medan yang dijanjikan gereja sebagai jalan menuju surga.

Tapi malam itu, Shalahuddin tak tidur.

Ia menulis surat panjang kepada Tuhannya, bukan dengan pena, tapi dengan air mata. Ia tahu, Yerusalem bukan hanya tanah. Ia adalah amanah. Ia adalah tempat yang telah disucikan oleh langkah para nabi. Dan untuk itu, ia tidak meminta kepada pasukannya, melainkan kepada Pemilik langit dan bumi.

“Ya Allah,” bisiknya lirih, “Aku tak lagi memiliki kekuatan selain-Mu. Aku telah habis. Tapi aku percaya Engkau tidak akan pernah habis. Maka biarlah malam ini menjadi saksi bahwa aku menyerahkan segalanya kepada-Mu.”

Air mata menetes ke bumi, menyatu dengan tanah para syuhada. Dan esoknya, sejarah mencatat: Yerusalem kembali dalam pelukan Islam. Tanpa pembantaian. Tanpa darah balas dendam. Hanya ada kedamaian dan keadilan.


---

Namun jauh sebelum itu, bahkan sebelum Shalahuddin dilahirkan, seorang kaisar duduk terpaku di atas kudanya. Langkahnya berat. Konstantinopel terasa lebih jauh dari biasanya, meski ia sudah melewati separuh perjalanan.

Ia adalah Heraklius. Kaisar agung Romawi Timur. Di bawah kekuasaannya, Romawi adalah peradaban besar. Tapi hari ini, ia pulang membawa luka.

Pasukannya hancur di tangan pasukan kaum muslimin. Bukan karena senjata mereka lebih baik, tapi karena ada sesuatu yang tak ia mengerti. Maka ia bertanya kepada seorang prajurit yang pernah tertawan di tangan kaum muslimin, “Apa kekuatan mereka?”

Jawaban sang prajurit menusuk kalbunya seperti belati: “Mereka menang bukan karena senjata. Tapi karena shalat malam mereka, puasa mereka, hati mereka yang bersih. Mereka tidak menyerang kecuali setelah memperingatkan. Mereka tidak menjarah, tetapi membawa kedamaian.”

Heraklius terdiam. Dalam diamnya, ia tahu—kekuasaan ini akan jatuh, bukan karena pasukan yang lebih kuat, tapi karena ruh yang lebih bersih.

“Kelak mereka akan merebut Konstantinopel,” gumamnya.


---

Semuanya berpulang pada satu hal: malam.

Malam yang sepi, yang tidak memerlukan sorakan, tidak dihadiri pasukan, tidak dikawal strategi. Tapi di malam-malam itulah lahir kemenangan. Karena malam bagi para penakluk sejati bukan tempat untuk tidur, tapi tempat untuk bertemu Sang Raja segala raja.

Nuruddin Zanky tahu itu. Maka setiap malam, ia basahi sejadahnya. Ia tak pernah lalai menangis kepada Allah. Bahkan saat tak ada perang pun, ia tetap berperang melawan nafsunya di malam-malam sunyi.

Ketika wafat, tanah kehilangan seorang pejuang, tapi langit mendapatkan kekasihnya.

Dan muridnya, Shalahuddin, memikul wasiat itu. Ia tak hanya mewarisi pedang gurunya, tapi juga air matanya. Ia tahu, tidak ada kemenangan sejati tanpa sujud yang panjang. Tidak ada benteng yang dapat dihancurkan sebelum diri ini merobohkan sombongnya di hadapan Ilahi.


---

Sebuah kenangan pun mengalir dalam benak seorang lelaki hari ini. Ia bukan jenderal. Bukan raja. Ia hanyalah seorang guru kecil di sudut desa.

Tapi malam-malam itu menggetarkan hatinya.

Ia membaca lembar-lembar sejarah seperti membaca cermin jiwanya. Ia tahu, tidak ada musuh sebesar dunia jika hatinya terhubung dengan Tuhan. Ia tahu, zaman ini bukan kekurangan strategi, tapi kekurangan rintihan.

Maka setiap malam, ia bangun. Tak ada yang tahu. Bahkan istrinya pun tak sadar. Tapi ia tahu: kalau pun ia tidak memenangkan dunia, setidaknya ia tidak kalah dalam perjuangan di hadapan Tuhan.

Dalam gelap, ia bersujud.

“Ya Allah,” ucapnya lirih, “aku mungkin tak akan menjadi seperti mereka. Tapi aku ingin menjadi bagian dari rantai panjang itu—rantai sujud, air mata, dan malam-malam yang melahirkan fajar kemenangan.”


---

Malam-malam ini tidak mati. Ia masih hidup di hati mereka yang percaya bahwa kekuatan tak datang dari dunia. Ia hidup dalam tangisan-tangisan sunyi para pecinta Allah yang tak dikenal manusia, tapi dikenali oleh para malaikat.

Malam-malam ini masih menyimpan rahasia kemenangan. Sebagaimana Badar menjadi saksi, Yerusalem menjadi bukti, dan Konstantinopel menjadi warisan.

Dan kita hari ini, tak perlu menunggu menjadi jenderal. Tak harus mengangkat pedang. Cukuplah kita hidupkan malam-malam kita, dan semesta akan mencatat kita sebagai bagian dari para penakluk: penakluk nafsu, keangkuhan, dan cinta dunia.

Karena sesungguhnya...

Tidak ada kemenangan tanpa air mata.

Dan tak ada pejuang sejati, tanpa malam-malam yang bersujud penuh cinta.


---

Dosa Kaum Khusus, Derita Kaum Awam Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin dingin gurun menyapu jalur tua menuju perbatasan Romawi. Di ...

Dosa Kaum Khusus, Derita Kaum Awam

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Angin dingin gurun menyapu jalur tua menuju perbatasan Romawi. Di atas pelana unta yang berderak perlahan, aku duduk di samping seorang lelaki berwajah teduh dan bercahaya: Abdurrahman bin Mubarak Ash-Shuri. Perjalanan panjang itu bukan sekadar tentang arah, tapi juga makna. Dan hari itu, ia membisikkan kebenaran yang mengguncang nuraniku.

"Wahai Musayyib," katanya seraya menatap cakrawala yang memerah, "tahukah engkau, kehancuran masyarakat umum... bukan karena mereka bodoh atau jahat, tapi karena kelompok khusus dalam umat ini telah rusak."

Aku menoleh padanya. "Kelompok khusus? Apa maksudmu, Abdurrahman? Jelaskanlah kepadaku. Semoga Allah merahmatimu."

Ia menarik napas panjang. Angin berhembus, seolah menunggu kelanjutan ucapannya.

"Umat Nabi Muhammad ï·º," katanya lirih namun tegas, "dibangun atas lima pilar masyarakat. Bila satu pilar hancur, getarannya terasa. Bila semuanya runtuh... maka umat ini akan terseret ke jurang yang dalam."

Aku diam menyimak. Dan ia pun melanjutkan.

"Pertama," katanya, "adalah kaum ulama dan ilmuwan.
Mereka adalah pewaris para nabi. Lentera di kegelapan. Tetapi ketika ulama sudah rakus pada dunia, memburu kemewahan, menjual fatwa demi kekuasaan, siapa lagi yang akan dijadikan panutan oleh awam yang buta ilmu? Jika pelita itu padam, siapa yang akan menerangi malam panjang umat ini?"

Aku menunduk. Seperti ada beban menyesakkan dada.

"Kedua, adalah kaum zuhud dan ahli ibadah."
Mereka raja tanpa takhta, yang hatinya bersandar hanya pada langit. Tapi jika mereka mulai terpikat dunia, kehilangan khusyuk dan ketenangan, siapa lagi yang akan membimbing jiwa-jiwa yang ingin bertobat? Bila yang seharusnya menjadi telaga malah berubah menjadi fatamorgana, kemana para pendosa harus menengadah?"

Suara Abdurrahman makin dalam. Ada luka di nadanya.

"Ketiga, adalah pasukan dan para pejuang."
Mereka tentara Allah di muka bumi. Namun, bila mereka berperang demi nama, demi pujian, dan bukan karena Allah, kapan lagi kemenangan itu akan turun dari langit? Bila pedang digenggam dengan riya, bukan ikhlas, maka musuh akan datang bukan dari luar, tapi dari dalam dada mereka sendiri."

Aku menggenggam tali kekang unta lebih erat.

"Keempat, adalah para saudagar dan hartawan."
Mereka adalah penjaga amanah dan penyambung rezeki. Tapi bila mereka mulai menipu, khianat, dan memutar harta demi kerakusan, siapa lagi yang akan dipercaya oleh masyarakat yang lapar dan berharap? Bila lumbung berubah jadi jebakan, maka rakyat hanya akan panen kehancuran."

Dan Abdurrahman menatapku lebih dalam, seakan kalimat terakhirnya menyimpan luka paling dalam.

"Kelima, adalah para penguasa dan pemimpin."
Mereka adalah pelindung, pengayom, dan penentu arah umat. Tapi ketika seorang pemimpin telah menjelma serigala, memangsa rakyatnya sendiri, maka siapa lagi yang akan menjaga umat dari kekacauan? Bila pagar justru menjadi pencuri, maka rumah umat ini akan dirampok dari dalam."

Kami terdiam lama. Langit mulai gelap, tapi kalimat-kalimat Abdurrahman menyala di dadaku, seperti api kecil yang membakar rasa aman palsu dalam kebiasaan.

Aku sadar, umat ini bukan runtuh karena kebodohan massal, tapi karena kerusakan moral para pemegang kunci—ulama, zahid, mujahid, saudagar, dan penguasa. Bila yang khusus rusak, maka yang umum akan ikut hancur. Bila puncak bukit roboh, lembah pun akan tertimbun.

Dalam diam, aku berdoa,
“Ya Allah, selamatkan umat ini dengan memperbaiki yang terdepan… agar yang di belakang tidak tersesat dan tertindas.”

Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar

Kedermawanan yang Sempurna dari Bani Hasyim Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di bawah cahaya rembulan yang menyentuh ubin halaman, dua...

Kedermawanan yang Sempurna dari Bani Hasyim

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di bawah cahaya rembulan yang menyentuh ubin halaman, dua budak duduk berhadapan. Mata mereka bersinar oleh bara kesetiaan, tapi juga oleh rasa ingin membuktikan kemuliaan tuan masing-masing.

"Aku yakin," ujar budak dari Bani Hasyim, "tuan-tuan kami lebih mulia dan dermawan."

Budak dari Bani Umayyah tersenyum miring. "Kita lihat saja. Kita buktikan. Kau ke keluargamu, aku ke keluargaku. Lalu kita hitung, siapa yang benar-benar dermawan."

Keesokan harinya, budak dari Bani Umayyah mulai berkeliling. Ia ketuk pintu satu per satu dari sepuluh orang tuan dalam kabilahnya. Dengan wajah memelas dan suara lirih, ia ceritakan penderitaan dan kemiskinannya.

"Berikanlah padaku," katanya.
"Ambillah ini," kata mereka.

Seratus ribu dirham ia kumpulkan. Jumlah yang tidak kecil. Ia kembali dengan dada membusung. "Sekarang giliranmu."

Budak dari Bani Hasyim tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berjalan ke rumah pertama—rumah Husain bin Ali.

Di hadapan cucu Rasulullah ï·º itu, ia membuka kisah kemiskinan dan luka hidupnya. Husain menatapnya sejenak, lalu tersenyum lembut. Tanpa tanya, tanpa syarat, Husain menyerahkan 100.000 dirham.

Belum puas, ia berjalan ke rumah Abdullah bin Ja'far. Lelaki saleh itu mendengarkan, lalu mengulurkan jumlah yang sama—100.000 dirham.

Lalu, ia melangkah ke rumah terakhir: Abdullah bin Rabiah. Dan, untuk ketiga kalinya, 100.000 dirham ia terima.

Ia kembali ke pertemuan mereka. Wajah budak dari Bani Umayyah mendadak berubah. Matanya menatap tiga kantong berat di tangan lawannya.

"Dari tiga orang saja kau dapat tiga kali lipat?!" tanyanya tak percaya.

"Ya. Dan masih ada satu ujian lagi untuk benar-benar mengetahui siapa yang dermawan."

"Apa itu?"

"Kita kembalikan semuanya. Lihat apakah mereka rela menerima kembali apa yang telah mereka berikan."



Budak dari Bani Umayyah kembali ke sepuluh tuannya. Dengan suara tenang ia berkata, "Aku tak lagi membutuhkannya. Allah telah membukakan jalan. Aku ingin mengembalikannya."

Satu per satu menerima kembali uang yang pernah diberikan. Tak seorang pun menolak.

Sementara itu, budak dari Bani Hasyim kembali ke tiga rumah yang pernah ia datangi. Kepada mereka ia berkata dengan penuh hormat, "Aku sudah tidak membutuhkannya. Allah telah mencukupkan aku. Maukah kalian menerimanya kembali?"

Husain menatapnya penuh kasih. "Kami tak mengambil kembali apa yang telah kami berikan karena Allah."

Abdullah bin Ja'far berkata, "Kami tidak menarik pemberian yang telah bercampur dengan hakmu."

Dan Abdullah bin Rabiah menyempurnakan: "Apa yang telah kami hibahkan, biarlah menjadi milikmu. Jangan kau kembalikan sesuatu yang telah ditulis untukmu."



Di bawah pohon kurma, kedua budak itu kembali duduk. Satu dengan tangan kosong, satu lagi dengan harta utuh yang tak berkurang sedikit pun.

Lalu, sunyi menyelimuti malam. Tapi dari kesunyian itu, suara hati berbicara lebih lantang daripada segala kebanggaan:

"Kedermawanan bukan hanya soal memberi, tapi tentang jiwa yang tidak pernah meminta kembali."

Dan pada malam itu, sejarah menuliskan satu pelajaran:

Bani Umayyah bisa memberi. Tapi Bani Hasyim… memberi tanpa mengambil kembali.



Sumber:
Al-Ghazali, Adab Berpolitik, Qaf Publishing.

Tabib Mengugat Kumbang, Ternyata Sembuh dengan Kumbang Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ia adalah seorang filsuf besar. Seorang tabib ...

Tabib Mengugat Kumbang, Ternyata Sembuh dengan Kumbang

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Ia adalah seorang filsuf besar. Seorang tabib kenamaan. Ilmunya luas laksana samudra, keangkuhannya pun kadang menyaingi cakrawala. Namanya Galen. Ia dihormati oleh murid dan raja, karena kepakarannya yang nyaris tak tertandingi dalam dunia pengobatan dan filsafat.

Namun pada suatu hari, dalam diam dan duduknya yang panjang, ia berbicara pada dirinya sendiri:

"Aku tidak paham... mengapa Allah menciptakan serangga yang menjijikkan itu... kumbang?
Apakah manfaatnya?
Apa hikmah dari makhluk kecil yang tampaknya tak berguna?
Bukankah lebih baik jika ciptaan-Nya hanya yang bermanfaat bagi manusia?"

Suara hati itu lirih, tetapi mengandung kesombongan yang tak kasat mata. Sebuah pengingkaran kecil terhadap kebijaksanaan ilahi. Ia, sang cendekiawan, baru saja menggugat salah satu ciptaan Tuhan—dengan ukuran rasionalitasnya sendiri.



Hari berganti. Dalam takdir yang tak pernah salah arah, Galen tiba-tiba terserang penyakit mata. Pedihnya menusuk. Kaburnya pandangan menggelisahkan. Semua ramuan yang ia ketahui, semua metode yang ia pelajari, tak mampu menyembuhkan rasa sakit itu.

Para dokter terbaik yang ia kenal pun tak mampu mengubah nasibnya.

Ia mulai gelisah. Ia mulai bertanya-tanya. Ia mulai merasa kecil.

Sampai suatu pagi, datanglah seorang perempuan tua. Penampilannya sederhana. Namun matanya memancarkan keyakinan.

Dengan suara tenang ia berkata,

"Wahai Tuan Galen, aku memiliki puyer sederhana... insya Allah bisa menyembuhkan sakit matamu."

Galen memandangnya. Separuh ragu, separuh berharap.

"Apakah kau yakin?" tanyanya, dengan nada pelan.

"Bismillah, yakin. Cobalah."

Dengan perlahan, sang perempuan menaburkan puyer itu ke kedua mata Galen. Sejuk. Reda. Lalu... sembuh.

Galen terpaku. Seolah tak percaya.

"Siapa kau, wahai Ibu?
Apa isi puyer ini?
Dari mana engkau mendapatkannya?"

Perempuan tua itu tersenyum. Matanya bening menatap langit.

"Aku membuatnya dari kumbang...
Aku menjemurnya, lalu menumbuknya hingga halus."

Seketika itu, Galen terdiam. Dadanya bergetar. Wajahnya pucat.

Serangga yang dulu ia cemooh...
Makhluk yang ia anggap sia-sia...
Kini justru menjadi sebab kesembuhannya.

Ia menunduk dalam. Dalam jiwanya terdengar gema ayat yang seakan baru ia pahami:

> رَبَّÙ†َا Ù…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتَ Ù‡َٰذَا بَاطِÙ„ًا ۖ سُبْØ­َانَÙƒَ
"Wahai Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau..."
— (QS. Ali 'Imran: 191)

Air matanya menitik. Keangkuhan ilmunya runtuh di hadapan hikmah seekor kumbang.

Hari itu, Galen tak hanya sembuh dari sakit mata,
tapi juga sembuh dari penyakit hati—
yang buta terhadap makna ciptaan Allah yang tersembunyi.


Sumber:
Fuad Abdurahman, The Golden Stories, Tinta Medina

Wanita Muda yang Tangannya Dipotong Karena Bersedekah  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin lembah berhembus pelan menyusuri celah-c...

Wanita Muda yang Tangannya Dipotong Karena Bersedekah 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin lembah berhembus pelan menyusuri celah-celah bukit, menyentuh rumah-rumah mungil yang bersandar pada sunyi. Di salah satu desa terpencil wilayah kerajaan itu, ada satu rumah kecil berdinding tanah dan beratap jerami, berdiri tenang namun rapuh seperti penghuninya.

Malam itu, di dalam rumah, seorang perempuan muda duduk memeluk lutut di dekat tungku yang mulai padam. Ia tidak tidur. Tatapannya kosong. Matanya menyimpan gelisah. Suara pengumuman siang tadi masih bergema di telinganya:

“Barang siapa bersedekah, akan kupotong tangannya.”

Ia menggenggam kedua tangannya. Tangan yang selama ini tak pernah enggan memberi. Tangan yang terbiasa menjulurkan roti kepada yang lapar, menaruh koin di tangan anak yatim. Tapi malam ini... tangan-tangan itu terasa berat. Ada ancaman menggantung di langit-langit rumahnya.

"Apakah kini kebaikan harus dibayar dengan kehilangan?" bisiknya lirih.

Matanya basah. Ia rebahkan diri, tapi hatinya tak bisa diam. Jiwa yang selama ini damai karena berbagi, kini berperang dengan rasa takut.



Pagi harinya, matahari belum sepenuhnya naik. Udara masih lembab. Saat perempuan itu membuka pintu rumahnya, ia terpaku.

Di depan pintu, berdiri seorang lelaki tua renta. Tubuhnya kurus, bajunya lusuh, dan wajahnya seperti pecahan musim kemarau. Ia tidak bicara banyak. Hanya mengangkat tangannya yang bergetar:

“Wahai putri… tolong beri aku sedekah… demi Allah... aku belum makan sejak dua hari lalu…”

Perempuan itu menatapnya lama. Suasana batin keduanya mendidih dalam diam. Ia tahu, memberi berarti kehilangan. Tapi di hadapannya berdiri seseorang yang mungkin akan kehilangan nyawa tanpa secuil roti.

Dengan suara pelan dan gemetar, ia menjawab:

“Bagaimana aku bisa memberimu… sedang raja mengancam akan memotong tanganku jika aku bersedekah?”

Pengemis itu menunduk, tapi kemudian berkata lagi dengan mata berkaca:

“Aku tidak meminta tanganmu... hanya roti... demi Allah…”

Perempuan itu memalingkan wajah, lalu menatap ke dalam dapurnya. Hanya dua potong roti tersisa. Satu untuk hari ini, satu untuk besok. Tapi hatinya mengingat suara lain—bukan suara raja, melainkan suara nurani:

“Apa gunanya tangan yang utuh, jika hati menjadi beku?”

Ia mengambil dua roti itu, kembali ke pintu, dan meletakkannya di tangan pengemis dengan lirih:

“Ambillah… semoga Allah memberiku kekuatan jika tangan ini harus hilang…”



Hari berganti. Tapi berita tak pernah berhenti. Di istana, telinga sang raja mendengar kabar perempuan yang berani menantang titahnya. Maka tanpa banyak bicara, ia mengirim pasukan.

“Potong tangannya. Biar jadi pelajaran.”

Dan perempuan itu pun kehilangan kedua tangannya. Ia tak menangis. Ia tak melawan. Ia hanya menatap langit, seolah berkata:

“Ya Allah, jika ini harga dari memberi, maka jangan biarkan aku menyesal.”



Tahun berlalu.

Di istana, raja muda itu duduk termenung di kursi takhtanya. Hari-harinya penuh pesta dan pujian, tapi hatinya kosong. Ia berkata kepada ibunya,

“Wahai ibu, aku ingin menikah. Tapi bukan dengan siapa pun. Aku ingin perempuan yang wajahnya bersih… yang hatinya bening… yang jika kupandang, jiwaku tenang.”

Ibunya tersenyum tipis.

“Ada seorang perempuan seperti itu, Nak. Wajahnya sejuk. Tatapannya dalam. Tapi… ia memiliki cacat yang parah.”

“Cacat seperti apa?” tanya sang raja.

“Kedua tangannya buntung.”

Sang raja terdiam. Tapi hatinya justru penasaran.

“Datangkan dia ke istana.”



Ketika perempuan itu hadir di istana, ia datang dengan sederhana. Jubahnya biasa. Tapi langkahnya teguh. Ia tidak membawa kemewahan, tapi membawa ketenangan.

Sang raja menatapnya. Dan dalam hatinya bergema satu bisikan:

“Ada luka yang justru menjadikan seseorang bercahaya.”

Dengan suara mantap, ia berkata:

“Maukah engkau menjadi istriku?”

Perempuan itu menjawab dengan kepala tertunduk:

“Jika engkau menghendaki, aku bersedia…”

Raja pun menikahinya.



Setelah pernikahan itu, raja bertanya dengan hati yang mulai ingin tahu:

“Katakan padaku… mengapa tanganmu tiada?”

Perempuan itu mengangkat wajahnya. Ia tidak ragu. Tidak pula menyimpan marah.

“Tangan ini hilang… karena aku memberikan dua potong roti… kepada orang yang lapar… ketika seluruh negeri takut memberi…”

Sang raja terdiam. Seolah petir menyambar batinnya. Ia sadar.

“Perempuan yang kini menjadi istriku… adalah perempuan yang dahulu kuhukum…”

Dan air matanya mengalir. Bukan karena penyesalan semata, tetapi karena ia melihat di hadapannya bukan perempuan cacat, melainkan perempuan yang tangannya mungkin hilang… tapi hatinya lebih utuh dari seluruh kerajaan.



Kadang Allah mengambil sesuatu dari kita, agar kita melihat dengan cara yang tak bisa dijangkau oleh tangan.

Terkadang, satu potong roti… lebih berat dari seluruh emas di istana.


Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar

Dijadikan Wakil Kaisar Dzulkarnain karena Mengurus Mayit Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin petang menyapa lembut ketika pasukan R...

Dijadikan Wakil Kaisar Dzulkarnain karena Mengurus Mayit

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin petang menyapa lembut ketika pasukan Raja Dzulkarnain memasuki sebuah kota. Gema takbir kemenangan menyertai langkah-langkah para prajuritnya. Penduduk kota, tua muda, lelaki dan perempuan, berhamburan ke jalanan. Mereka ingin menyaksikan sang penguasa dunia yang namanya menggetarkan timur dan barat.

Namun, di tengah kerumunan yang riuh itu, ada seorang lelaki tua yang tampak sibuk menggali tanah. Kedua tangannya kotor oleh debu dan lumpur. Ia sama sekali tak menoleh, bahkan ketika iring-iringan kaisar lewat di hadapannya. Wajahnya tenang, seperti tak terganggu oleh sorak-sorai atau denting pedang para prajurit.

Dzulkarnain memperhatikannya. Ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu. Ia lalu memerintahkan para pengawalnya mendekat dan memanggil sang pria.

"Wahai lelaki, mengapa engkau tidak ikut menyambut kedatanganku? Sedangkan semua penduduk kota ini meninggalkan pekerjaannya dan bersuka cita melihat pasukanku?" tanya Dzulkarnain dengan lembut namun tegas.

Lelaki itu berdiri. Wajahnya penuh wibawa. Ia menatap Dzulkarnain tanpa gentar, lalu menjawab:

"Wahai Raja, saya sedang sibuk mengurusi kematian. Maka saya tak punya waktu untuk menyambut kehidupan dunia yang fana. Lagi pula, saya sudah belajar bahwa kekuasaan dan kehormatan dunia bukan sesuatu yang patut dikagumi."

Dzulkarnain mengernyit. "Apa maksudmu?"

Lelaki itu pun mulai berkisah, suaranya dalam dan tenang:

"Beberapa tahun silam, ada dua orang wafat di kota ini. Yang satu seorang raja, yang satu lagi rakyat jelata yang miskin. Sesuai adat kami, keduanya dimakamkan di tempat yang sama—tak ada istimewa, tak ada perbedaan."

Suasana mendadak hening. Dzulkarnain menatapnya penuh perhatian, mulai tergetar oleh arah kisah ini.

"Beberapa hari kemudian, saya datang menengok kuburan mereka. Kain kafan mereka sudah mulai berubah warna—sama-sama dimakan tanah. Tidak ada yang istimewa pada jasad sang raja dibanding si miskin."

Dzulkarnain mulai menunduk, seolah bayang-bayang kematian mengingatkannya akan sesuatu yang sering dilupakan para penguasa.

"Beberapa waktu kemudian, saya kembali datang. Daging keduanya sudah mulai hancur. Tak tersisa keelokan wajah, apalagi mahkota atau tanda kebesaran."

Mata Dzulkarnain mulai berkaca-kaca. Keangkuhan dunia seolah retak perlahan di hadapan kebenaran yang dibawa lelaki ini.

"Dan akhirnya, saya menengok lagi setelah waktu berlalu lebih lama. Yang tersisa hanyalah tulang belulang. Dan sungguh, saya tak mampu membedakan tulang raja dengan tulang si miskin. Sama-sama rapuh, sama-sama diam."

Lelaki itu menatap lurus ke arah Dzulkarnain.

"Maka sejak saat itu, saya tak lagi mengagumi pangkat, takjub pada gelar, atau terpesona oleh barisan pasukan. Semuanya akan menuju liang yang sama."

Hening. Hanya desir angin dan detak hati yang masih terasa.

Dzulkarnain diam sejenak. Lalu ia mendekat, menggenggam tangan lelaki itu.

"Engkau telah mengajariku sesuatu yang tak diajarkan oleh para menteri dan jenderalku."
Kemudian, dengan suara tegas namun penuh hormat, Dzulkarnain mengangkat lelaki itu sebagai wakilnya untuk memimpin kota tersebut.

"Orang yang pantas memimpin adalah yang tak mencintai kekuasaan. Sebab dia akan menjaga amanah, bukan menikmati kehormatan."



Refleksi:

Mengapa kekuasaan diberikan kepada mereka yang tak menginginkannya?

Karena orang yang mencintai kekuasaan akan memanfaatkannya, sedang orang yang takut pada kekuasaan akan menjaganya seperti menjaga bara api.

Rasulullah ï·º bersabda:

> “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, karena jika kamu diberi tanpa memintanya, kamu akan dibantu (oleh Allah), tetapi jika kamu diberi karena memintanya, kamu akan dibebani.”
(HR. Bukhari dan Muslim)


Sumber:
Ibnu al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar.

Peti Dinar yang Menjadi Belenggu di Akhirat  Oleh: Nasrulloh Baksolahar Angin senja berembus pelan di halaman rumah Hasan Al-Bas...

Peti Dinar yang Menjadi Belenggu di Akhirat 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Angin senja berembus pelan di halaman rumah Hasan Al-Bashri. Seorang lelaki datang dengan wajah letih, duduk di antara para hadirin. Nafasnya terengah, seakan membawa kabar yang berat dari perjalanan jiwa.

“Wahai Hasan,” katanya lirih. “Baru saja kami menjenguk Abdullah bin al-Ahtam.”

Hasan menoleh dengan tenang. Para hadirin pun diam. Lelaki itu melanjutkan,

“Keadaannya… sangat lemah. Tubuhnya lunglai di atas ranjang. Nafasnya berat, wajahnya pucat. Kami kira ajal sudah dekat.”

Hasan menyimak tanpa menyela.

Lelaki itu menceritakan kembali percakapannya, “Kami bertanya padanya, ‘Wahai Abu Ma’mar, bagaimana keadaanmu?’”

Ia menjawab lemah, “Demi Allah… aku sakit…”

Namun tiba-tiba, ia menunjuk ke arah peti di sudut rumahnya. “Di situ ada seratus ribu dinar. Belum aku keluarkan zakatnya… Belum juga kugunakan untuk sanak kerabatku…”

Hening.

“Wahai Abu Ma’mar,” kami bertanya, “untuk apa engkau mengumpulkan semua itu?”

Dengan suara berat, ia menjawab, “Aku kumpulkan sebagai antisipasi… untuk menghadapi zaman yang penuh bencana. Untuk menjaga diri dari kesewenangan penguasa… dan, ya… untuk kebanggaan diri…”


Mendengar cerita itu, Hasan Al-Bashri menarik nafas dalam. Pandangannya tajam namun getir.

"Celaka..." bisiknya lirih, lalu suaranya meninggi pelan-pelan, "Celaka orang yang diperdaya oleh setan—dengan ketakutan palsu tentang masa depan. Ketakutan akan lapar, akan penguasa, akan kehilangan… Hingga lupa pada amanah Allah dan kesempatan hidup yang telah diberikan padanya."

Hasan menunduk. Suasana jadi sendu. Lalu ia berkata lagi dengan suara bergetar:

“Sungguh… ia pergi dari dunia ini sebagai orang yang terampas. Pergi dengan hati yang gundah, hina, dan penuh cela.”


Kemudian, dengan tatapan tajam kepada para muridnya, ia berseru,

“Wahai para pewaris! Jangan tertipu sebagaimana sahabat kalian tertipu!”

Beberapa kepala menunduk. Ada yang memejamkan mata. Kata-kata Hasan menusuk ke dalam dada.

“Harta datang kepadamu secara halal. Maka jangan sampai ia berubah menjadi malapetaka.”

Hasan berjalan beberapa langkah, lalu berhenti, seolah menimbang sesuatu di dadanya. Kemudian ia melanjutkan:

“Lihatlah orang yang mengumpulkannya! Ia kerja keras siang dan malam, menempuh gurun dan rimba, melewati dataran tandus dan tanah asing… Ia genggam hartanya erat-erat, mengikatnya rapat dalam peti. Tapi ia lupa—lupa pada zakat, lupa pada fakir miskin, lupa pada kerabatnya sendiri.”


Lalu Hasan terdiam.

Diam yang menggantung di langit-langit ruangan. Para muridnya menahan nafas, menunggu kata selanjutnya.

Dengan suara pelan, nyaris berbisik, Hasan berkata:

“Sesungguhnya… hari kiamat adalah hari penyesalan. Dan penyesalan yang paling besar… adalah ketika seseorang melihat hartanya berada di timbangan amal orang lain…”

Seseorang terperanjat. Yang lain menoleh penuh tanda tanya. Bagaimana mungkin?

Hasan menjelaskan,

“Ya… dia diberi harta oleh Allah. Disuruh menginfakkan, tapi ia kikir. Takut miskin. Maka harta itu jatuh ke tangan ahli warisnya. Lalu ahli warisnya gunakan… dan amalnya tercatat di timbangan orang lain…”

Ia menatap satu per satu wajah di sekelilingnya. Kemudian ia menutup:

“Sebuah kesalahan yang tak termaafkan… dan pertaubatan yang tidak teraih.”


Malam pun turun pelan. Tapi kata-kata Hasan tak tenggelam. Ia menetap seperti api yang membakar kesadaran:
Bahwa harta bisa menjadi ujian paling halus yang meninabobokan iman,
dan peti dinar yang tidak terbuka di dunia,
bisa menjadi belenggu di akhirat.

"Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih."
(QS. At-Taubah: 34)

"Kita bukan pemilik harta, hanya pemikul amanah yang akan ditanya satu per satu."



Sumber:
Ibnu Al-Jauzy, 500 Kisah Shalihin  Penuh Hikmah, Pustaka Al-Kautsar

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (563) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (243) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (507) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (490) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (251) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (235) Sirah Sahabat (152) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (153) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)