basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Dari Era Pra Hijrah ke Gaza: Warisan Generasi Progresif dalam Menolak Ketidakadilan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di lembah sempit ...

Dari Era Pra Hijrah ke Gaza: Warisan Generasi Progresif dalam Menolak Ketidakadilan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Di lembah sempit Syi'b Abu Thalib, sejarah mencatat bagaimana dua kabilah besar Arab—Bani Hasyim dan Bani Muthalib—bertahan dalam kepungan ekonomi, isolasi sosial, dan tekanan kolektif, hanya karena satu hal: mereka melindungi Nabi Muhammad ï·º. Sebagian belum memeluk Islam, tetapi mereka menolak menyerahkan kebenaran hanya karena tekanan elite Quraisy. Mereka memilih bertahan, meski harus makan daun pohon dan menenangkan anak-anak yang menangis kelaparan di malam hari.

Hari ini, ribuan kilometer dari Mekah, suara yang sama menggema dari Gaza, dari kampus-kampus di New York dan London, dari jalan-jalan di Paris, Cape Town, Jakarta, dan Santiago. Dunia menyaksikan bagaimana generasi progresif global bangkit melawan kezaliman yang terus menimpa rakyat Palestina. Mereka, seperti para pelindung Rasul di awal Islam, bukan semua Muslim, bukan semua Arab, dan bukan semua tinggal di Palestina. Tapi mereka tahu, kebenaran tidak punya paspor.



Kebangkitan Nurani yang Berulang

Generasi progresif hari ini—terdiri dari anak-anak muda, mahasiswa, akademisi, aktivis, jurnalis, dan warga biasa dari berbagai latar belakang—bangkit bukan karena mereka dibayar, tapi karena mereka melihat luka yang dipertontonkan di layar ponsel mereka setiap hari. Mereka menyaksikan rumah dihancurkan, anak-anak dibunuh, masjid dibom, dan warga sipil diseret keluar dari sejarah.

Seperti Thufail bin Amr ad-Dausi, pemimpin dari Yaman yang datang ke Mekah dan memeluk Islam karena terpesona oleh Al-Qur’an, mereka juga masuk ke lorong kesadaran karena kebenaran itu menembus batas, dan nurani tak bisa diboikot.



Perjuangan Tanpa Batas

Generasi progresif hari ini tidak diam:

Mereka menggelar demonstrasi massal, menuntut pemerintah mereka menghentikan dukungan pada penjajahan Israel.

Mereka mendirikan kamp-kamp protes di universitas-universitas terkemuka seperti Harvard, Columbia, Oxford, dan Sorbonne.

Mereka mendorong gerakan BDS (Boikot, Divestasi, Sanksi) untuk memutus aliran dana ke perusahaan yang mendukung pendudukan.

Mereka menulis, mengajar, berdonasi, bahkan menyusup kapal bantuan untuk menembus blokade Gaza.

Mereka juga melawan narasi palsu, membongkar propaganda, dan mengubah opini publik secara global.


Mereka bukan generasi yang pasrah atau apatis. Mereka generasi yang sadar bahwa diam adalah pengkhianatan, dan berpihak pada yang lemah adalah warisan para nabi.


Dari Madinah ke Palestina

Dulu, di Madinah, kaum Anshar menerima Nabi ï·º dengan tangan terbuka. Mereka belum banyak tahu tentang Islam, tapi mereka tahu siapa yang terzalimi. Mereka tahu siapa yang dikepung karena menyuarakan tauhid. Dan mereka tahu siapa yang harus dibela meski risikonya besar.

Hari ini, generasi progresif melakukan hal yang sama. Mereka menjadi Anshar zaman ini, membuka ruang, membuka suara, dan membuka hati mereka untuk perjuangan yang tak mereka mulai, tapi mereka pilih untuk lanjutkan.



Mengapa Ini Penting?

Karena di tengah gempuran militer, teknologi, dan media yang berat sebelah, kemenangan pertama Palestina bukan pada roket, tapi pada narasi. Ketika opini publik dunia mulai berubah, ketika dukungan pada penjajahan mulai retak dari dalam, maka pijakan politik global mulai goyah.

Generasi progresif bukan lagi kelompok pinggiran. Mereka adalah mayoritas sunyi yang mulai bersuara. Survei-survei di Amerika dan Eropa menunjukkan peningkatan signifikan dukungan terhadap Palestina, terutama di kalangan usia 18–35 tahun. Mereka lahir di era digital, tumbuh bersama informasi, dan tidak bisa ditipu oleh propaganda sepihak.



Jalan Ini Pernah Dilalui

Jalan yang ditempuh generasi progresif hari ini bukan jalan baru. Ia adalah jalan yang pernah dilalui oleh orang-orang seperti Abu Thalib, Suwaid bin Shamit, Iyas bin Mu'adz, dan Thufail bin Amr. Jalan orang-orang yang berdiri tegak walau sendirian, yang melindungi risalah walau belum beriman, dan yang berkata “cukup” ketika dunia membisu.

Dan seperti Syi'b Abu Thalib yang pernah gelap, kelaparan, dan sunyi, Gaza pun sedang melewati lembah yang sama. Tapi kita tahu, setelah boikot itu, datang hijrah. Setelah hijrah, datang kemenangan.

Generasi progresif hari ini sedang menulis bagian mereka dalam sejarah kemenangan itu.

Generasi Progresif dan Perjuangan Palestina Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di balik layar-layar ponsel yang menggenggam dunia, di te...

Generasi Progresif dan Perjuangan Palestina

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Di balik layar-layar ponsel yang menggenggam dunia, di tengah riuh demonstrasi dan seruan di media sosial, lahir satu generasi yang tak lagi percaya pada janji-janji lama: generasi progresif.

Mereka tak dibentuk oleh propaganda, tapi oleh luka sejarah. Mereka menyaksikan, merekam, dan menggugat. Mereka bukan hanya mewarisi dunia yang retak, tapi berikhtiar menyatukannya kembali. Palestina, bagi mereka, bukan sekadar peta yang dicabik-cabik, tapi simbol kebenaran yang dipertahankan.



Siapakah Generasi Progresif?

Generasi progresif adalah anak-anak zaman yang lahir di tengah badai. Mereka lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an—Generasi Z dan sebagian Milenial muda. Mereka dibesarkan dalam dunia digital, di mana setiap bom di Gaza bisa dilihat real-time, dan setiap tangisan anak Palestina tak bisa disangkal.

Tapi progresif bukan hanya usia. Ia adalah kesadaran, bahwa dunia tidak netral, dan diam berarti berpihak pada penindas. Mereka membawa nilai-nilai: keadilan, kesetaraan, solidaritas, dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Dan mereka tidak membatasi itu pada bangsanya saja.



Mengapa Generasi Ini Muncul?

Karena dunia yang mereka warisi bukan dunia yang mereka pilih. Mereka tumbuh di tengah:

1. Krisis iklim yang diabaikan elite.

2. Rasisme struktural yang membusuk diam-diam.

3. Penjajahan yang dibungkus diplomasi.

4. Ketimpangan ekonomi yang menumpuk kekayaan pada segelintir.

5. Mereka menyaksikan dunia menutup mata pada Gaza, tapi bersedih berlebihan pada jendela yang pecah di Tel Aviv. Mereka mulai bertanya: siapa sebenarnya yang layak disebut korban?



Apakah Mereka Bertumbuh?

Ya, dan dengan kecepatan yang menggelisahkan para elite lama. Survei demi survei mencatatnya:

1. Di Amerika Serikat, survei Quinnipiac (2023) menunjukkan 52% anak muda <35 tahun lebih bersimpati kepada Palestina, dibanding hanya 27% yang pro-Israel.

2. Di Inggris, YouGov (2024) mencatat mayoritas usia 18–24 menganggap pendudukan Israel atas Palestina sebagai bentuk apartheid.


Sementara pemerintah mereka—baik AS, Inggris, atau Eropa—masih mempertahankan hubungan militer dan diplomatik dengan Israel, generasi muda berbelok tajam. Mereka tidak melihat Palestina sebagai ancaman, tapi sebagai cermin nurani dunia.



Apa yang Mereka Lakukan?

Generasi progresif tak tinggal dalam retorika. Mereka turun ke jalan, masuk ke ruang-ruang kekuasaan, dan mengguncang status quo. Bentuk perjuangan mereka antara lain:

1. Demonstrasi massal: ribuan mahasiswa menduduki kampus-kampus di AS dan Eropa, menuntut universitas menarik dana dari perusahaan yang terlibat dalam pendudukan Israel.

2. Boikot (BDS): mendorong boikot produk, perusahaan, dan institusi yang terlibat dengan proyek kolonial Israel.

3. Penggalangan dana dan bantuan: menyumbangkan miliaran dolar untuk korban di Gaza lewat platform digital.

4. Advokasi hukum dan petisi: mendorong tuntutan ke Mahkamah Internasional, mendesak PBB dan negara-negara agar bertindak.

5. Media sosial dan edukasi digital: menciptakan konten edukatif, membongkar propaganda, dan menyebarluaskan sejarah Palestina.



Apa Dampaknya Bagi Palestina?

Pengaruh mereka belum sampai membebaskan Palestina secara fisik. Tapi dalam perang narasi, generasi progresif adalah pasukan terdepan.

Mereka membuat dukungan terhadap Israel menurun drastis di opini publik muda.

Mereka menekan perusahaan besar untuk menghentikan kerja sama dengan Israel.

Mereka membuat Palestina kembali hidup di ruang publik, tak lagi terpinggirkan sebagai isu “kompleks dan sensitif”.

Yang terpenting, mereka membawa harapan bagi rakyat Palestina bahwa dunia tidak seluruhnya tuli. Bahwa masih ada yang percaya, bahwa yang benar tetap benar, meski minoritas mempercayainya.



Sebuah Kebangkitan Nurani

Generasi progresif mungkin belum punya kekuasaan. Tapi mereka punya sesuatu yang lebih kuat: keberanian untuk mengatakan tidak. Mereka berkata tidak pada penjajahan, pada penindasan, pada propaganda yang membungkus kekerasan dengan diplomasi.

Dan mungkin, bila sejarah nanti berbalik, bila Palestina suatu hari merdeka sepenuhnya, dunia akan mengingat bahwa kemerdekaan itu bukan sekadar hasil negosiasi elite—tapi juga hasil dari jutaan langkah kecil, yang dimulai oleh generasi yang menolak diam di hadapan kezaliman.

Generasi itu bernama: generasi progresif.

Kota di Eropa yang Menjadi Pelopor Pemutusan Hubungan dengan Israel Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di saat Gaza terbakar oleh seran...

Kota di Eropa yang Menjadi Pelopor Pemutusan Hubungan dengan Israel

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Di saat Gaza terbakar oleh serangan tanpa henti, ketika rumah-rumah luluh lantak dan anak-anak kehilangan masa depan, suara solidaritas tidak hanya datang dari demonstrasi jalanan atau ruang kelas aktivis. Suara itu kini terdengar dari balai kota—dari ruang sidang yang biasanya membahas drainase, izin bangunan, atau anggaran taman kota.

Kini, beberapa kota di Eropa Barat memilih bersikap. Mereka memutus hubungan resmi dengan kota atau institusi di Israel, sebagai bentuk penolakan terhadap kekerasan yang terus berulang terhadap rakyat Palestina.

Yang mencengangkan, kota-kota ini bukan bagian dari dunia Muslim. Mereka justru berada di jantung negara-negara sekuler, liberal, dan demokratis. Tapi dari sanalah muncul suara: suara moral, suara warga biasa, suara yang menyatakan bahwa diam adalah bentuk lain dari kekejaman.



Apakah Kota-Kota Ini Mayoritas Muslim?

Tidak. Semua kota dan wilayah ini berada di negara-negara Eropa Barat yang mayoritas non-Muslim. Satu-satunya pengecualian adalah İzmir di Turki, tetapi İzmir sendiri merupakan kota sekuler dengan tradisi modern dan liberal. Solidaritas terhadap Palestina, di sini, lahir bukan dari semata identitas keagamaan—melainkan dari kesadaran nurani.



Kota Pelopor yang Memutuskan Hubungan:

1. Barcelona, Spanyol

Jenis kerja sama: Sister-city dengan Tel Aviv dan Gaza sejak 1998.

Tekanan masyarakat: Digalang oleh gerakan Pau i Justícia, didukung lebih dari 4.000 warga.

Bentuk tekanan: Petisi, aksi BDS, dan lobi langsung ke wali kota.

Proses keputusan:
  - Dihentikan oleh Wali Kota Ada Colau (Februari 2023),
  - sempat dipulihkan,
  - lalu diputus secara resmi oleh dewan kota pada 30 Mei 2025.

Catatan: Barcelona menjadi pelopor kota besar pertama di Eropa yang menyuarakan boikot terhadap Israel secara resmi.


2. Ixelles (Elsene), Brussels, Belgia

Jenis kerja sama: Hubungan sister-city dengan Megiddo, Israel utara.

Tekanan masyarakat: Aktivis HAM, komunitas Palestina lokal, akademisi.

Bentuk tekanan: Usulan formal dalam dewan kota, aksi solidaritas publik.

Waktu pemutusan: Juli 2024, ditangguhkan secara resmi.

Catatan: Meskipun hanya distrik kecil, Ixelles memberi contoh bahwa keputusan lokal bisa punya dampak simbolik besar.


3. İzmir, Turki

Jenis kerja sama: Persahabatan kota dengan Tel Aviv.

Tekanan masyarakat: Didorong parlemen kota dan opini publik, setelah serangan Israel di Gaza kian brutal.

Bentuk tekanan: Keputusan bulat seluruh fraksi dewan.

Pemutusan: 13 Agustus 2024, hubungan dihentikan secara resmi.

Catatan: İzmir menunjukkan bahwa solidaritas terhadap Palestina bisa datang dari kekuatan sipil, bukan sekadar dari puncak negara.


4. Liège, Belgia

Jenis kerja sama: Hubungan simbolik dengan institusi Israel, serta sister-city dengan Ramallah.

Tekanan masyarakat: Petisi warga dan kelompok pro-Palestina.

Bentuk tekanan: Dialog langsung dan desakan ke dewan kota.

Pemutusan: 25 April 2023, seluruh hubungan dibekukan.

Catatan: Keputusan ini berani karena dilakukan di tengah meningkatnya tekanan untuk “netral”.


5. Oslo, Norwegia

Jenis kerja sama: Pengadaan publik dan proyek budaya dengan lembaga/lembaga di Israel.

Tekanan masyarakat: Gerakan BDS dan organisasi HAM lokal.

Bentuk tekanan: Kebijakan formal larangan pembelian dari wilayah pendudukan.

Pemutusan: Bertahap sejak 2019, diperluas pada 2022–2023.

Catatan: Oslo memulai tren etika pengadaan di tingkat kota yang kini diikuti kota-kota lain.


6. Emilia-Romagna & Puglia, Italia

Jenis kerja sama: Kemitraan regional dalam teknologi, pertanian, dan pendidikan dengan institusi Israel.

Tekanan masyarakat: Aksi buruh, mahasiswa, jaringan solidaritas Palestina.

Bentuk tekanan: Mosi parlemen daerah dan aksi demonstrasi.

Pemutusan: Mei–Juni 2025, kedua wilayah secara resmi menghentikan semua bentuk kerja sama.

Catatan: Di tengah stagnasi nasional, keputusan lokal ini membuka ruang baru perlawanan etis di tingkat daerah.



Apakah Ini Gelombang Baru? Mengapa Terjadi Sekarang?

Ya, ini adalah gelombang baru, yang terjadi pasca eskalasi kekerasan Israel terhadap Gaza sejak Oktober 2023, terutama setelah peristiwa Rafah, di mana ratusan warga Palestina terbunuh dalam waktu singkat.

Perubahan sikap ini disebabkan oleh beberapa faktor:

1. Meningkatnya kesadaran publik: Gambar dan video kekejaman Israel tersebar luas melalui media sosial, memicu reaksi emosional dan moral.

2. Tekanan sipil yang terorganisir: Gerakan BDS, kampus, komunitas Muslim lokal, dan organisasi HAM bekerja sama secara sistematis.

3. Kebebasan politik lokal: Kota-kota memiliki otonomi yang cukup untuk membuat keputusan etis tanpa perlu restu dari pemerintah pusat.

4. Kekecewaan terhadap kebijakan nasional atau Uni Eropa: Banyak kota merasa pemerintah pusat mereka terlalu pasif atau terlalu berhati-hati dalam menanggapi kekejaman Israel.



Apa Dampaknya bagi Israel?

1. Simbolik tapi signifikan: Meski tidak berdampak langsung pada ekonomi atau militer Israel, keputusan kota-kota ini mencoreng legitimasi moral dan simbolik Israel di kancah internasional.

2. Dukungan terhadap BDS: Keputusan-keputusan ini memberi amunisi moral dan hukum bagi gerakan BDS internasional.

3. Mendorong isolasi bertahap: Jika semakin banyak kota atau wilayah menempuh langkah serupa, Israel akan menghadapi boikot terfragmentasi yang menyebar secara horizontal.

4. Mengguncang narasi “konsensus Barat”: Keputusan ini menunjukkan bahwa tidak semua orang Barat mendukung Israel—dan bahwa keberpihakan pada Palestina bukan monopoli dunia Islam.




Ketika Politik Lokal Menjadi Jalan Etika Global

Kisah kota-kota ini memberi pelajaran: bahwa perubahan besar bisa dimulai dari ruang kecil. Ketika negara bungkam, kota berbicara. Ketika pemerintah nasional ragu, masyarakat lokal bertindak.

Inilah saat ketika politik lokal menjadi jalan etika global—dan ketika keputusan kecil dari balai kota menjadi bagian dari mozaik perlawanan terhadap ketidakadilan global.

Gema Gaza di Lorong Demokrasi Lokal Inggris Oleh: Nasrulloh Baksolahar Ketika Gaza Menjadi Kotak Suara Di Inggris, isu Palestina...

Gema Gaza di Lorong Demokrasi Lokal Inggris

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Ketika Gaza Menjadi Kotak Suara

Di Inggris, isu Palestina bukan lagi sekadar urusan diplomasi internasional yang jauh dari jangkauan rakyat biasa. Ia telah menjelma menjadi denyut politik lokal: terdengar di lorong balai kota, masjid-masjid, universitas, hingga pemukiman multikultural di Birmingham, Leicester, Bradford, dan Tower Hamlets. Dalam sunyi demokrasi lokal, gema Gaza menggema dan mulai mengubah peta elektoral Inggris dari bawah ke atas.

Selama beberapa dekade, sikap resmi Inggris cenderung netral terhadap konflik Israel-Palestina—meski kerap ditafsirkan sebagai condong ke Israel. Namun, sejak 2023 hingga 2025, perang di Gaza mengubah banyak hal. Gambar anak-anak Palestina bersimbah darah menyebar ke layar gawai warga dan menyentuh nurani banyak pemilih, khususnya komunitas Muslim dan kelompok progresif muda.

Ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah pusat, terutama atas kegagalan mengecam kebrutalan Israel, berubah menjadi bentuk perlawanan elektoral. Ia tidak membakar Downing Street, namun menjalar lewat pemilihan dewan kota, wali kota, dan anggota parlemen lokal.



Palestina sebagai Cermin Nurani Kota

Di Tower Hamlets—wilayah dengan populasi Muslim Bangladesh terbesar di Inggris—isu Palestina menjadi penentu kemenangan. Partai independen lokal yang tegas menyuarakan pembelaan terhadap Palestina berhasil merebut kursi dari Partai Buruh. Hal serupa terjadi di Birmingham dan Leicester, di mana kandidat yang mendukung hak rakyat Palestina mendapat sambutan luas. Bahkan Partai Buruh pun terdorong menyesuaikan retorikanya agar tidak kehilangan simpati dari komunitas Muslim dan pemuda progresif.

Isu Palestina menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme, rasisme, dan ketidakadilan global. Ia menjadi refleksi nurani masyarakat kota.



Otonomi Kota dan Diplomasi Simbolik

Secara formal, kebijakan luar negeri Inggris berada di tangan Westminster. Namun, kota-kota memiliki otonomi moral dan kultural. Beberapa mulai memanfaatkan diplomasi kota (city diplomacy): mengeluarkan resolusi dewan yang mengecam tindakan Israel, menyerukan gencatan senjata, hingga memutus hubungan kota kembar (twinning) dengan kota-kota di Israel.

Contohnya, Dewan Kota Leicester pada 2024 mengeluarkan pernyataan resmi untuk menghentikan kerja sama dengan institusi tertentu di Israel. Meski tidak punya kekuatan hukum, tindakan ini menyampaikan pesan moral yang kuat.



Demografi Muslim dan Arah Elektoral Baru

Berdasarkan sensus 2021:

Populasi Muslim Inggris (England & Wales): 3,87 juta (6,5%) dari total 59,6 juta.

84,5% Muslim berusia di bawah 50 tahun.

Di London, 15% dari penduduknya adalah Muslim (~1,3 juta).

Kota-kota dengan konsentrasi Muslim tinggi: Tower Hamlets (39,9%), Birmingham (30%), Bradford, Newham, dan Manchester.

Proyeksi menunjukkan populasi Muslim bisa mencapai 10–17% pada 2050. Pengaruh elektoral mereka tumbuh, terutama di wilayah urban dengan kursi marginal.



Dampak Elektoral Isu Palestina

Suara Muslim mulai menjadi penentu di pemilu lokal dan nasional. Kandidat yang menyuarakan solidaritas terhadap Palestina mampu menarik dukungan luas, tidak hanya dari Muslim, tetapi juga dari pemilih muda yang kritis dan peka terhadap isu global. Ini membuat partai-partai besar seperti Labour harus merevisi pendekatan mereka.

Kemenangan kandidat pro-Palestina di kota seperti Tower Hamlets dan dukungan atas inisiatif pro-divestasi di Sutton (London) menunjukkan bahwa solidaritas terhadap Gaza bukan lagi suara pinggiran. Ia telah masuk ke ruang utama demokrasi lokal.



Isu Palestina Memasuki Gelandang Politik Lokal

Isu Palestina telah bergerak dari diplomasi diplomatik ke gelanggang politik lokal Inggris. Ia menjadi ujian moral bagi politisi—bagaimana menyeimbangkan solidaritas global dan loyalitas domestik.

Komunitas Muslim, dengan konsentrasi di kota-kota besar, telah menjadi engine politik pro‑Palestina.

Politik lokal tumbuh menjadi medan yang relevan untuk menyuarakan solidaritas, menunjukan bahwa politik kecil bisa punya efek besar di panggung global.

Dalam sistem demokrasi, suara nurani kini tak bisa diabaikan: suara untuk Gaza bukan tabu, tapi menuntut tempat di kantor wali kota, di dewan kota, bahkan dalam perdebatan parlemen.

Inggris menunjukkan bahwa zaman berubah: politik lokal bukan sekadar fasilitas layanan publik—ia bisa menjadi panggung suara etika dunia, yang membuktikan bahwa kota-kota pun bisa bicara kepada dunia.

Zohran Mamdani: Pergolakan Hati Amerika dalam Isu Palestina  Oleh: Nasrulloh Baksolahar New York City. Kota yang kon...

Zohran Mamdani: Pergolakan Hati Amerika dalam Isu Palestina 

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



New York City. Kota yang konon tak pernah tidur, tak pernah netral, dan tak pernah sepi dari suara-suara dunia. Di tengah gemuruh subway, hiruk-pikuk Fifth Avenue, dan denting gelas kopi yang tak kunjung dingin, satu isu menembus batas kampanye wali kota biasa: Palestina.

Di panggung pemilihan wali kota tahun ini, bukan soal sampah kota, infrastruktur, atau tunawisma yang menjadi sorotan utama. Yang menyala justru satu kata yang membelah dunia: intifadah. Di tengahnya berdiri Zohran Mamdani — seorang politisi muda, Muslim, progresif, dan anti-Zionis — yang kini bukan hanya menjadi kandidat, tetapi juga simbol perubahan, kontroversi, dan perlawanan nurani.



New York: Kota yang Menjadi Cermin Amerika dan Dunia

Mengapa New York? Karena New York adalah miniatur Amerika dan jendela dunia. Ini kota tempat lahirnya Wall Street, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan media-media yang menentukan narasi global. Siapa yang berkuasa di New York, bukan hanya memimpin kota — ia memimpin arah wacana.

Secara politik, New York sering menjadi penentu arah partai Demokrat secara nasional. Gagasan yang diterima dan diujicobakan di kota ini, sering menjadi materi kampanye nasional. Walikota-walikota New York sebelumnya seperti Michael Bloomberg atau Rudy Giuliani bahkan sempat masuk bursa capres.

Dan dalam dunia pasca-2023, di mana dukungan terhadap Israel mulai dipertanyakan secara moral pasca serangan terhadap Gaza, kemenangan calon anti-Zionis seperti Mamdani menjadi bukan hanya kasus lokal, tapi sinyal global — bahwa bahkan di pusat kekuasaan Yahudi terbesar di luar Israel, narasi bisa bergeser.



Struktur Sosial New York yang Pluralisme

New York bukan kota homogen. Ia rumah bagi sekitar 8,5 juta jiwa, dengan struktur demografis yang kompleks:

Komunitas Yahudi: Sekitar 13%, salah satu yang terbesar di dunia. Banyak dari mereka aktif secara politik dan finansial.

Komunitas Muslim: Sekitar 9%, sebagian besar berasal dari imigran Asia Selatan, Arab, dan Afrika.

Imigran asing: Sekitar 36% penduduk New York lahir di luar AS.

Hispanik dan Latin: Sekitar 29%.

Kulit Hitam/Afrika-Amerika: Sekitar 24%.

Asia-Amerika: Sekitar 14%.


Dalam struktur inilah, Mamdani tumbuh dan berkampanye. Ia tidak hanya membawa suara minoritas, tetapi mengikat nurani kolektif kota ini yang sedang lelah dengan politik lama. Ia bicara tentang Palestina, tapi sebenarnya ia bicara tentang keadilan — dan keadilan adalah bahasa yang dimengerti semua kelompok, dari Harlem hingga Queens.

Mamdani menyasar basis muda, multirasial, progresif — mereka yang sudah muak dengan politik kompromi. Survei American Pulse mencatat bahwa 46% pemilih muda (18–44 tahun) justru mendukungnya karena sikapnya terhadap Palestina dan intifadah. Di sinilah kekuatannya: bukan karena ia menang logistik, tapi karena ia menang hati.



Isu Palestina: Mengapa Jadi Sorotan di Tengah Masalah Kota?

Banyak yang bertanya: mengapa seorang calon wali kota New York bicara soal Palestina, bukan tentang metro rusak, harga sewa rumah, atau kriminalitas?

Jawabannya: karena Palestina adalah cermin nurani.

Palestina menjadi simbol moral dunia modern. Dalam konflik yang timpang, di mana satu pihak dibela penuh oleh kekuatan militer raksasa dan media global, muncul pertanyaan eksistensial: siapa kita sebagai manusia ketika menyaksikan penderitaan dan memilih diam?

Dan rakyat New York — dengan sejarah panjang sebagai pelabuhan para pengungsi, korban perang, dan pencari harapan — memahami narasi ini dengan dalam. Dari Yahudi yang lolos dari Holocaust, hingga imigran Latin yang kabur dari kekacauan Amerika Selatan, mereka tahu arti penindasan.

Ketika Mamdani berbicara soal “globalisasikan intifadah”, ia bukan sedang menyerukan kekerasan. Ia sedang menyerukan solidaritas lintas bangsa, perlawanan terhadap kolonialisme, dan keadilan yang bersifat universal.



Politik Pajak, Kesejahteraan, dan Luka Moral Amerika

Namun ada dimensi lain yang membuat isu Palestina semakin kuat menggema: politik pajak.

Rakyat Amerika — termasuk warga New York — mulai sadar bahwa miliaran dolar uang pajak mereka digunakan untuk membiayai senjata dan bom yang jatuh di Gaza. Mereka mulai membandingkan: ketika Israel dibom, bantuan militer langsung mengalir. Tapi ketika Los Angeles terbakar atau New York tenggelam oleh badai, respons pemerintah justru lamban dan pelit.

Pertanyaan pun muncul: apakah Amerika masih berfungsi untuk rakyatnya sendiri?

Di sinilah narasi Mamdani menyentuh saraf terdalam publik Amerika. Ia bukan hanya membela Palestina — ia menghadapkan kebijakan luar negeri pada realitas domestik yang sakit. Ia mengingatkan bahwa membela keadilan global tak boleh mengorbankan kesejahteraan lokal.


Pergulatan yang Akan Menentukan Arah Sejarah?

Zohran Mamdani bukan hanya seorang kandidat wali kota. Ia adalah cermin dari Amerika yang sedang bergulat dengan masa depannya. Antara dukungan terhadap status quo Israel, atau solidaritas terhadap rakyat Palestina. Antara politik lama yang kompromistis, atau politik baru yang berbasis nurani.

Kemenangannya akan memicu efek domino — dari ruang-ruang kota hingga Capitol Hill. Dan meski banyak yang menuduhnya sebagai antisemit, banyak pula yang melihatnya sebagai penjaga moralitas baru Amerika.

Dalam kontestasi ini, kita tidak hanya menyaksikan pertarungan politik. Kita menyaksikan pertarungan antara ketakutan dan keberanian, antara kenangan dan harapan, antara politik yang membungkam dan politik yang bersuara.

Dan New York, seperti biasa, kembali menjadi tempat sejarah menulis babak barunya.

“Jika saya menyuarakan keadilan untuk Palestina, apakah saya membenci Yahudi? Tidak. Saya menyuarakan kemanusiaan — bukan kebencian.” – Zohran Mamdani

Infrastruktur yang Dibangun dan Dihancurkan Sendiri oleh Yahudi: Dari Madinah ke Palestina Jejak Lama, Luka yang Belum Sembuh Da...

Infrastruktur yang Dibangun dan Dihancurkan Sendiri oleh Yahudi: Dari Madinah ke Palestina



Jejak Lama, Luka yang Belum Sembuh

Dalam lorong waktu yang panjang, sejarah selalu menyimpan satu pelajaran pahit bagi siapa pun yang berani mengulang kesalahan lama: bahwa tangan yang membangun, bisa jadi adalah tangan yang merobohkan. Kaum Yahudi, dari Madinah abad ke-7 hingga Palestina abad ke-21, telah meninggalkan jejak yang mengejutkan: mereka membangun benteng dengan kekuatan, lalu menghancurkannya sendiri karena ketakutan, dendam, dan perhitungan politik.

Ini bukan hanya catatan masa lalu. Ini adalah pola. Pola pengkhianatan, keserakahan, dan kebencian yang memicu siklus kehancuran. Bukan oleh musuh mereka, tapi oleh tangan mereka sendiri. Sejarah di Madinah mencatatnya dengan darah dan debu. Palestina hari ini melanjutkannya dengan drone dan buldoser.

Dan Allah telah lebih dulu mengingatkan, dalam satu ayat yang mengguncang hati dan menyayat nurani:

"Maka mereka menghancurkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang Mukmin. Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan."
— (QS Al-Hasyr:2)



Madinah: Ketika Kesepakatan Dikhianati, Rumah Jadi Abu

Bani Qainuqa’: Arogansi yang Menghancurkan

Kaum Yahudi dari Bani Qainuqa’ hidup berdampingan dengan umat Islam di bawah Piagam Madinah. Mereka bukan rakyat kecil—mereka pandai, punya industri logam, punya kekuasaan ekonomi. Namun kekuasaan tanpa adab melahirkan arogansi. Saat mereka melecehkan seorang wanita Muslim di pasar dan merendahkan Rasulullah ï·º, persaudaraan itu pecah. Dikepung, mereka menyerah. Tapi sebelum pergi, mereka meruntuhkan rumah dan tokonya sendiri, lebih memilih melihatnya hancur daripada digunakan oleh kaum Muslim.

Bani Nadhir: Konspirasi Berujung Kehinaan

Berbenteng, berharta, dan merasa tak terkalahkan, Bani Nadhir berani merancang pembunuhan terhadap Nabi Muhammad ï·º. Tapi Allah membongkar makar itu. Mereka dikepung, disuruh pergi, diberi waktu membawa apa yang mereka sanggup. Tapi, seperti sebelumnya, mereka memilih menghancurkan rumah mereka sendiri. Sebuah simbol bahwa pengkhianatan tidak hanya meruntuhkan kepercayaan, tapi juga peradaban.

Bani Quraizhah: Duri Dalam Daging yang Terbakar Sendiri

Saat Madinah dikepung dalam Perang Khandaq, Bani Quraizhah—yang terikat perjanjian damai—justru membuka pintu dari dalam. Mereka berkhianat ketika kaum Muslimin paling rentan. Setelah pengepungan dan kekalahan, mereka dihukum sesuai hukum Yahudi sendiri. Sebagian mereka merobohkan rumah dan membakar simpanan mereka agar tak tersisa apa pun untuk “musuh” mereka. Sebuah ironi: kekayaan yang dibanggakan tak bisa diselamatkan oleh kejahatan yang mereka mulai.



Palestina: Ketika Kekuasaan Membakar Rumah Sendiri

Hari ini, kisah lama itu menjelma dalam wajah baru. Negara Israel yang dibentuk oleh kaum Yahudi modern membangun perumahan, pangkalan militer, menara pengawas, dan jaringan permukiman ilegal di tanah Palestina. Namun ketika keadaan berbalik, mereka sendiri yang menghancurkannya. Bukan karena takdir, tapi karena strategi militer, rasa takut akan pembalasan, atau karena ingin menutupi kegagalan.

Apa yang dulu terjadi di Madinah, kini terlihat nyata di Gaza dan Tepi Barat: Israel membangun dengan tangan kirinya, dan merobohkan dengan tangan kanannya.



Jejak Penghancuran oleh Tangan Sendiri di Palestina

1. Gaza, 2005 – Gush Katif Dibumihanguskan

Ariel Sharon memerintahkan evakuasi 8.000 pemukim Yahudi dari Jalur Gaza. Tapi mereka tidak pergi begitu saja. 21 permukiman Yahudi dihancurkan dengan buldoser Israel sendiri. Mengapa? Karena mereka takut Hamas akan menempatinya. Mereka lebih rela kehilangan bangunan daripada menyerahkan kendali. Trauma nasional pun membekas, bukan dari serangan musuh, tetapi dari rasa kalah kepada diri sendiri.

2. Yamit, Sinai, 1982 – Kota yang Diruntuhkan untuk Damai

Setelah damai dengan Mesir, seluruh kota Yahudi Yamit di Sinai dihancurkan. Bukan oleh musuh, tapi oleh tentara Israel sendiri. Kota yang dibangun bertahun-tahun diratakan hanya dalam hitungan hari. Mereka tak ingin Mesir “mewarisi” hasil kolonisasi mereka. Harga damai dibayar dengan penghancuran mimpi mereka sendiri.

3. Benteng Netzarim, Gaza, 2005 – Simbol Pertahanan yang Dilenyapkan

Pos militer Netzarim, jantung pertahanan Israel di tengah Gaza, dibongkar sebelum penarikan. Daripada jatuh ke tangan Hamas, mereka meledakkannya sendiri. Simbol pertahanan berubah jadi bukti kegagalan strategi jangka panjang.

4. Lebanon Selatan, 2000 – Kabur Sambil Menghancurkan

Ehud Barak memerintahkan mundur dari Lebanon Selatan. Tapi mereka tidak pergi begitu saja. Benteng, bunker, dan pos pengawasan dihancurkan untuk mencegah direbut Hizbullah. Kekalahan diplomatik ini menjadi noda yang terus menghantui militer Israel.

5. Outpost Migron, Tepi Barat, 2012 – Dibangun Ilegal, Dihancurkan Sendiri

Permukiman ilegal yang dibangun tanpa izin dibongkar oleh Israel sendiri setelah tekanan dari Mahkamah Agung. Bukan tanpa perlawanan: pemukim Yahudi menyerang tentaranya sendiri. Negara dan rakyatnya bertarung soal tanah yang bukan milik mereka.

6. Amona, 2017 – Perang Saudara Mini

40 rumah Yahudi di Amona dihancurkan karena berdiri di atas tanah milik Palestina. Negara Israel melawan ekstremisnya sendiri. Yang menang bukan hukum, tapi konflik batin sebuah bangsa yang retak di dalam.

7. Pos Militer Rafah, 2024 – Mundur dan Meruntuhkan

Setelah tekanan global dan ancaman dari Hamas, Israel menghancurkan sendiri pos militernya di Rafah. Jalur logistik dihancurkan karena ketakutan akan serangan balik. Tapi yang mereka hancurkan bukan sekadar infrastruktur—mereka merobek ilusi kendali.

8. Evyatar, 2021 – Harapan yang Dihancurkan Pemerintahnya Sendiri

Pemukim Yahudi membangun Evyatar tanpa izin. Pemerintah Israel menghancurkannya setelah gelombang protes. Yang tersisa hanyalah debu dan kekecewaan dua kubu yang tak sepakat tentang masa depan.

9. Kerem Shalom, 2023 – Pos Perdagangan yang Dihapus

Setelah serangan besar, Israel menghancurkan sendiri pos dagang Kerem Shalom agar tidak dipakai kelompok perlawanan. Rantai ekonomi yang mereka bangun sendiri dipotong dengan pisau ketakutan.

10. Gaza Utara, 2023 – Hancur Sebelum Digunakan

Peralatan berat, bunker, dan jaringan komunikasi yang dibangun di Gaza Utara dihancurkan oleh tentara Israel sendiri saat mundur. Mereka takut alat-alat itu digunakan oleh Hamas. Tapi efeknya adalah kehilangan aset militer bernilai jutaan dolar—dihancurkan oleh tangan yang membelinya sendiri.



Ketika Sejarah Tak Dibelajari, Ia Menghukum dengan Cara yang Sama

Mereka membangun. Mereka mengkhianat. Lalu mereka hancurkan.
Dari Madinah ke Gaza, dari benteng ke bunker, dari rumah ke reruntuhan.

Surat Al-Hasyr ayat 2 tidak sekadar menggambarkan masa lalu, tapi membentuk pola abadi:

 "Maka mereka menghancurkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri..."

Peringatan ini bukan hanya untuk kaum Yahudi, tapi untuk siapa saja yang memulai kerusakan dan berpikir ia bisa mengendalikannya. Yang merobohkan kehormatan dan perjanjian, akan melihat kehancuran bangkit dari tangan mereka sendiri.

Dan kini, saat dunia menyaksikan Israel mulai merobek-robek bangunannya sendiri—pertanyaannya bukan lagi, “kapan mereka hancur”, tapi:

“Sudah sejauh mana tangan mereka menggali kuburannya sendiri?”

Yahudi di Madinah, Zionisme di Palestina, Berakhir Sama? Oleh: Nasrulloh Baksolahar Sejarah tak sekadar catatan masa lalu—ia ada...


Yahudi di Madinah, Zionisme di Palestina, Berakhir Sama?

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Sejarah tak sekadar catatan masa lalu—ia adalah cermin. Dan yang sedang tercermin kini adalah ulangan dari kisah lama: tentang satu kaum yang membangun benteng kekuasaan, merajut jejaring ekonomi, memahat simbol kejayaan—hanya untuk kemudian menghancurkannya sendiri dengan tangan mereka. Inilah yang terjadi di Madinah. Dan kini, ia berulang dengan lebih besar dan lebih telanjang di Palestina.



Yahudi di Madinah: Membentengi Kekuasaan, Menjerat Ekonomi

Jauh sebelum Nabi Muhammad ï·º hijrah ke Yatsrib, kaum Yahudi sudah lebih dulu datang. Mereka tidak sekadar membangun rumah—mereka membangun dominasi. Mereka tidak sekadar berbisnis—mereka mengendalikan. Dari Bani Nadhir, Quraizhah, hingga Qainuqa’, mereka memagari diri dengan benteng, memonopoli pasar, dan menghisap kekayaan penduduk lokal melalui sistem riba dan kontrak pertanian yang timpang.

Namun ketika kebenaran datang lewat risalah kenabian, mereka membuangnya. Mereka tidak hanya menolak, tapi mengkhianati. Dan ketika Allah menghukum mereka, yang mereka hancurkan pertama kali bukan musuh-musuh mereka—tetapi rumah mereka sendiri. Mereka menggali kehancuran dengan tangan mereka. Sebuah potret tragis dari kesombongan yang berbuah kehinaan.

"Mereka menghancurkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin..."
— Al-Hasyr: 2

Hari ini, pertanyaannya: apakah kita sedang menyaksikan babak kedua dari tragedi itu—di Palestina?



Zionisme: Ideologi Gila yang Menuju Tembok Buntu

Zionisme bukan gerakan spiritual. Ia bukan kepulangan suci. Zionisme adalah proyek kolonial berselimut kitab suci. Sebuah gerakan yang mencuri ayat, lalu mengusir manusia. Ia lahir dari trauma Eropa, tumbuh dalam pelukan imperialis Inggris, dan mewujud dalam genosida di tanah Palestina.

Dengan dalih “Tanah yang Dijanjikan,” Zionisme memulai ekspansi. Tapi yang dijanjikan oleh siapa? Tuhan? Atau ambisi manusia? Dan kini, setelah 100 tahun lebih proyek itu digerakkan, dunia mulai membuka mata: proyek ini bukanlah rumah pulang, tapi bom waktu yang sedang menghitung mundur.

Tanda-tanda kehancurannya bukan lagi samar: isolasi internasional, kejatuhan moral, dan pemberontakan dari dalam. Zionisme sedang memakan anak-anaknya sendiri.



Tanah yang Dijanjikan: Surga Palsu yang Kini Ditinggalkan

Konsep "Tanah yang Dijanjikan" dulu menjadi magnet. Ribuan Yahudi datang dari Eropa dengan mimpi: rumah damai, negeri aman. Tapi apa yang mereka temukan? Perang. Ketakutan. Dinding-dinding kebencian. Mereka datang membawa harapan—dan kini pulang membawa kecewa.

Yang dijanjikan ternyata bukan surga, tapi medan perang abadi. Hari demi hari, narasi tentang negeri impian berubah menjadi berita tentang pemboman, blokade, dan pembantaian. Dan kini, banyak dari mereka yang dulu datang dengan koper dan harapan, pergi kembali dengan paspor kedua dan rasa hampa.



Demokrasi Israel: Topeng yang Mulai Terkelupas

Israel menyebut dirinya satu-satunya demokrasi di Timur Tengah. Tapi demokrasi macam apa yang hanya melayani satu ras? Demokrasi macam apa yang memenjarakan anak-anak Palestina dan membiarkan ekstremis Yahudi membakar rumah-rumah warga Arab?

Yang disebut demokrasi itu ternyata hanya etalase. Di baliknya, apartheid bekerja siang malam. Hari ini, perpecahan di tubuh Israel semakin brutal: sekuler vs Haredim, Yahudi vs Arab, elit vs akar rumput. Demokrasi ini tidak sedang dirawat, tapi sedang dirusak dari dalam—oleh pemimpinnya sendiri.



Militerisme Israel: Kekuatan yang Kini Kehilangan Nafas

Dulu, tentara Israel dianggap tak terkalahkan. Dari Haganah, Irgun, hingga IDF, mereka menancapkan taring di tanah Palestina. Setiap warga dilatih jadi tentara, setiap rumah bisa jadi pos tempur. Tapi hari ini, sesuatu berubah. Anak-anak muda mulai menolak wajib militer. Para serdadu pulang dengan trauma. Dan musuh-musuh Israel—yang dulu dianggap kecil—kini menyerang dari banyak arah sekaligus.

Militer Israel mungkin masih kuat di atas kertas. Tapi semangatnya? Sudah keropos. Kemenangan demi kemenangan militer kini dibayar dengan kekalahan moral yang tak tertanggungkan.



Pertahanan Udara: Iron Dome yang Tak Lagi Tahan Guncangan

Teknologi pertahanan udara Israel pernah menjadi kebanggaan: Iron Dome, Arrow, David’s Sling. Tapi teknologi tak bisa menghadang sejarah. Serangan simultan dari Gaza, Lebanon, dan Iran dalam dua tahun terakhir membuka fakta: tembok besi itu punya celah, dan musuh tahu cara menemukannya.

Lebih dari itu: biaya mempertahankan ilusi keamanan ini semakin tak masuk akal. Ketergantungan pada AS semakin mempermalukan. Israel kini bukan simbol kekuatan—melainkan simbol kepanikan.



Kewarganegaraan Ganda: Jalan Masuk yang Kini Jadi Jalan Keluar

Israel dulu menarik warga Yahudi dari seluruh dunia dengan janji: kewarganegaraan instan, tanah, perlindungan, dan identitas. Tapi kini, janji itu berbalik arah. Paspor Israel tak lagi jadi harapan, tapi beban. Mereka yang dulu datang, kini antre membuat paspor Portugal, Prancis, bahkan Argentina. Negeri yang dulu jadi "rumah pulang" kini jadi tempat yang ingin ditinggalkan.

Zionisme mengira mereka bisa mengikat Yahudi dunia dengan tanah. Tapi ternyata, tanah yang berdarah hanya melahirkan rasa ingin lari.



Akhir Sebuah Ilusi: Ketika Sejarah Membalas Dendam

Zionisme bukan proyek keabadian. Ia bukan nubuat suci. Ia hanyalah narasi politik yang dibungkus mitos. Dan hari ini, narasi itu retak di mana-mana. Dunia tidak lagi percaya. Rakyat Palestina tidak lagi takut. Dan banyak Yahudi sendiri mulai mempertanyakan segalanya.

Apa yang dulu terjadi di Madinah—di mana pengkhianatan dibalas kehancuran—kini tampak sedang terjadi di Palestina. Sejarah, rupanya, sedang membuka lembar baru... dari buku lama.

"Tidaklah mereka menghancurkan melainkan diri mereka sendiri, namun mereka tidak menyadarinya."
— Al-Hasyr: 2

Dan bila mereka masih belum sadar, sejarah akan memastikan mereka belajar—dengan cara paling pahit.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (488) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)