Kota di Eropa yang Menjadi Pelopor Pemutusan Hubungan dengan Israel
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di saat Gaza terbakar oleh serangan tanpa henti, ketika rumah-rumah luluh lantak dan anak-anak kehilangan masa depan, suara solidaritas tidak hanya datang dari demonstrasi jalanan atau ruang kelas aktivis. Suara itu kini terdengar dari balai kota—dari ruang sidang yang biasanya membahas drainase, izin bangunan, atau anggaran taman kota.
Kini, beberapa kota di Eropa Barat memilih bersikap. Mereka memutus hubungan resmi dengan kota atau institusi di Israel, sebagai bentuk penolakan terhadap kekerasan yang terus berulang terhadap rakyat Palestina.
Yang mencengangkan, kota-kota ini bukan bagian dari dunia Muslim. Mereka justru berada di jantung negara-negara sekuler, liberal, dan demokratis. Tapi dari sanalah muncul suara: suara moral, suara warga biasa, suara yang menyatakan bahwa diam adalah bentuk lain dari kekejaman.
Apakah Kota-Kota Ini Mayoritas Muslim?
Tidak. Semua kota dan wilayah ini berada di negara-negara Eropa Barat yang mayoritas non-Muslim. Satu-satunya pengecualian adalah İzmir di Turki, tetapi İzmir sendiri merupakan kota sekuler dengan tradisi modern dan liberal. Solidaritas terhadap Palestina, di sini, lahir bukan dari semata identitas keagamaan—melainkan dari kesadaran nurani.
Kota Pelopor yang Memutuskan Hubungan:
1. Barcelona, Spanyol
Jenis kerja sama: Sister-city dengan Tel Aviv dan Gaza sejak 1998.
Tekanan masyarakat: Digalang oleh gerakan Pau i JustÃcia, didukung lebih dari 4.000 warga.
Bentuk tekanan: Petisi, aksi BDS, dan lobi langsung ke wali kota.
Proses keputusan:
- Dihentikan oleh Wali Kota Ada Colau (Februari 2023),
- sempat dipulihkan,
- lalu diputus secara resmi oleh dewan kota pada 30 Mei 2025.
Catatan: Barcelona menjadi pelopor kota besar pertama di Eropa yang menyuarakan boikot terhadap Israel secara resmi.
2. Ixelles (Elsene), Brussels, Belgia
Jenis kerja sama: Hubungan sister-city dengan Megiddo, Israel utara.
Tekanan masyarakat: Aktivis HAM, komunitas Palestina lokal, akademisi.
Bentuk tekanan: Usulan formal dalam dewan kota, aksi solidaritas publik.
Waktu pemutusan: Juli 2024, ditangguhkan secara resmi.
Catatan: Meskipun hanya distrik kecil, Ixelles memberi contoh bahwa keputusan lokal bisa punya dampak simbolik besar.
3. İzmir, Turki
Jenis kerja sama: Persahabatan kota dengan Tel Aviv.
Tekanan masyarakat: Didorong parlemen kota dan opini publik, setelah serangan Israel di Gaza kian brutal.
Bentuk tekanan: Keputusan bulat seluruh fraksi dewan.
Pemutusan: 13 Agustus 2024, hubungan dihentikan secara resmi.
Catatan: İzmir menunjukkan bahwa solidaritas terhadap Palestina bisa datang dari kekuatan sipil, bukan sekadar dari puncak negara.
4. Liège, Belgia
Jenis kerja sama: Hubungan simbolik dengan institusi Israel, serta sister-city dengan Ramallah.
Tekanan masyarakat: Petisi warga dan kelompok pro-Palestina.
Bentuk tekanan: Dialog langsung dan desakan ke dewan kota.
Pemutusan: 25 April 2023, seluruh hubungan dibekukan.
Catatan: Keputusan ini berani karena dilakukan di tengah meningkatnya tekanan untuk “netral”.
5. Oslo, Norwegia
Jenis kerja sama: Pengadaan publik dan proyek budaya dengan lembaga/lembaga di Israel.
Tekanan masyarakat: Gerakan BDS dan organisasi HAM lokal.
Bentuk tekanan: Kebijakan formal larangan pembelian dari wilayah pendudukan.
Pemutusan: Bertahap sejak 2019, diperluas pada 2022–2023.
Catatan: Oslo memulai tren etika pengadaan di tingkat kota yang kini diikuti kota-kota lain.
6. Emilia-Romagna & Puglia, Italia
Jenis kerja sama: Kemitraan regional dalam teknologi, pertanian, dan pendidikan dengan institusi Israel.
Tekanan masyarakat: Aksi buruh, mahasiswa, jaringan solidaritas Palestina.
Bentuk tekanan: Mosi parlemen daerah dan aksi demonstrasi.
Pemutusan: Mei–Juni 2025, kedua wilayah secara resmi menghentikan semua bentuk kerja sama.
Catatan: Di tengah stagnasi nasional, keputusan lokal ini membuka ruang baru perlawanan etis di tingkat daerah.
Apakah Ini Gelombang Baru? Mengapa Terjadi Sekarang?
Ya, ini adalah gelombang baru, yang terjadi pasca eskalasi kekerasan Israel terhadap Gaza sejak Oktober 2023, terutama setelah peristiwa Rafah, di mana ratusan warga Palestina terbunuh dalam waktu singkat.
Perubahan sikap ini disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Meningkatnya kesadaran publik: Gambar dan video kekejaman Israel tersebar luas melalui media sosial, memicu reaksi emosional dan moral.
2. Tekanan sipil yang terorganisir: Gerakan BDS, kampus, komunitas Muslim lokal, dan organisasi HAM bekerja sama secara sistematis.
3. Kebebasan politik lokal: Kota-kota memiliki otonomi yang cukup untuk membuat keputusan etis tanpa perlu restu dari pemerintah pusat.
4. Kekecewaan terhadap kebijakan nasional atau Uni Eropa: Banyak kota merasa pemerintah pusat mereka terlalu pasif atau terlalu berhati-hati dalam menanggapi kekejaman Israel.
Apa Dampaknya bagi Israel?
1. Simbolik tapi signifikan: Meski tidak berdampak langsung pada ekonomi atau militer Israel, keputusan kota-kota ini mencoreng legitimasi moral dan simbolik Israel di kancah internasional.
2. Dukungan terhadap BDS: Keputusan-keputusan ini memberi amunisi moral dan hukum bagi gerakan BDS internasional.
3. Mendorong isolasi bertahap: Jika semakin banyak kota atau wilayah menempuh langkah serupa, Israel akan menghadapi boikot terfragmentasi yang menyebar secara horizontal.
4. Mengguncang narasi “konsensus Barat”: Keputusan ini menunjukkan bahwa tidak semua orang Barat mendukung Israel—dan bahwa keberpihakan pada Palestina bukan monopoli dunia Islam.
Ketika Politik Lokal Menjadi Jalan Etika Global
Kisah kota-kota ini memberi pelajaran: bahwa perubahan besar bisa dimulai dari ruang kecil. Ketika negara bungkam, kota berbicara. Ketika pemerintah nasional ragu, masyarakat lokal bertindak.
Inilah saat ketika politik lokal menjadi jalan etika global—dan ketika keputusan kecil dari balai kota menjadi bagian dari mozaik perlawanan terhadap ketidakadilan global.
0 komentar: