basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Sejarah Interaksi Islam dengan Ragam Peradaban: Membersihkan dan Mentrasformasikan untuk Dunia Bayangkan sebuah sungai besar yan...


Sejarah Interaksi Islam dengan Ragam Peradaban: Membersihkan dan Mentrasformasikan untuk Dunia

Bayangkan sebuah sungai besar yang menampung air dari ribuan anak sungai, masing-masing membawa warna dan rasa yang berbeda. Islam adalah sungai itu. Ia lahir di Jazirah Arab, namun airnya menapaki lembah Yunani, pegunungan Persia, dataran India, hingga hutan-hutan Nusantara. Setiap pertemuan meninggalkan jejak, dan setiap jejak memperkaya kehidupan manusia yang disentuhnya.

Sungguh, Islam bukan sekadar agama; ia adalah peradaban yang belajar dari dunia, memurnikan nilai, dan menyalurkannya kembali dalam bentuk yang lebih universal.


---

1. Yunani: Cahaya Akal dan Filosofi

Bayangkan para ulama Muslim duduk di perpustakaan Baghdad, tangan mereka menelusuri naskah-naskah Aristoteles, Plato, Galen. Mereka tidak sekadar menerjemahkan kata, tetapi menerjemahkan jiwa. Ibnu Rushd menegaskan bahwa akal bukan musuh wahyu, melainkan alat untuk memahami kebenaran Ilahi. Al-Farabi membangun sistem filsafat politik yang menyeimbangkan akal dan iman, menunjukkan bahwa manusia bisa berpikir kritis sambil tetap tunduk pada nilai-nilai Tuhan.

Islam mengajarkan satu pelajaran abadi: rasionalitas yang bersih, ketika diarahkan oleh cahaya wahyu, menjadi jalan menuju kebijaksanaan sejati. Warisan ini tidak berhenti di dunia Muslim; Eropa kemudian bangkit dari gelap abad pertengahan berkat transmisi ilmu ini.


---

2. Romawi: Hukum dan Struktur Sosial

Romawi meninggalkan jejak administrasi, sistem hukum, dan ketertiban sosial. Islam mengambilnya, menambahkan dimensi moral dan spiritual. Di bawah hukum Romawi, masyarakat tunduk pada negara; di bawah hukum Islam, masyarakat tunduk pada Tuhan.

Khilafah Umar bin Khattab menegakkan diwan, pasar, dan sistem administrasi modern yang menunjukkan bahwa ketertiban sosial dan ibadah publik adalah satu kesatuan. Islam mengajarkan: hukum bukan sekadar aturan, tetapi cermin dari keadilan Ilahi.

Bayangkan jalan-jalan kota Muslim awal: tertata rapi, pasar adil, masjid menyebar di pusat komunitas — semuanya berbicara tentang keseimbangan antara dunia dan Tuhan.


---

3. Persia: Seni, Sastra, dan Adab

Persia mengajarkan kehalusan estetika dan simbolisme istana. Islam menerima bentuknya, tetapi memberi jiwa. Seni Persia diubah menjadi medium untuk menegaskan keadilan, cinta Ilahi, dan etika pemerintahan.

Sastrawan seperti Nizami, Sa’di, dan Rumi menulis dengan estetika Persia, namun menekankan tauhid dan cinta spiritual. Raja tidak lagi pusat dunia; manusia yang bijak dan adil menjadi cerminan sifat Tuhan. Dari sini lahir dunia sastra sufistik yang menyebar ke seluruh wilayah Islam, mengajarkan bahwa keindahan lahir dari kesadaran jiwa, bukan dari kemegahan semata.


---

4. Mesir: Simbol dan Spiritualitas

Mesir kuno penuh simbolisme dan arsitektur yang menakjubkan. Islam tidak merusak, tetapi menafsir ulang. Para sufi Mesir, seperti Dzu al-Nun al-Mishri, menemukan makna mistis dari piramida, mengubah fokus ke keabadian jiwa melalui amal dan dzikir.

Arsitektur mesjid, terutama gaya Mamluk dan Fatimiyyah, menunjukkan bagaimana geometri dan proporsi Mesir kuno dihidupkan kembali dalam bahasa Islam: bentuk tetap klasik, jiwa tetap Ilahi. Ruang menjadi media spiritual, dan manusia belajar menatap dunia sebagai refleksi dari harmoni Ilahi.


---

5. India: Cinta, Metafisika, dan Jiwa

Di India, spiritualitas adalah nafas kehidupan, namun sering terselubung dalam politeisme. Islam menyucikan dan menuntun kerinduan itu ke arah tauhid. Dari sini lahirlah sufisme yang lembut dan penuh cinta — Rumi, Amir Khusrow, dan Syah Waliullah menjadi simbol pertemuan antara jiwa dan Tuhan.

Cinta Ilahi tidak lagi abstrak; ia menjadi praktik hidup, melalui puisi, musik, tarian, dan doa. Para ulama Muslim menafsirkan warisan India sebagai jembatan bagi dunia, menyampaikan bahwa manusia dapat menggapai Tuhan melalui cinta, renungan, dan pengabdian.


---

6. Nusantara: Islam yang Menyatu dengan Adat

Ketika Islam tiba di Nusantara, ia tidak membawa pedang, tetapi kata, doa, dan perjalanan spiritual. Para wali, pedagang, dan guru menanamkan tauhid ke dalam hati rakyat yang telah mengenal Hindu-Buddha.

Tradisi lokal tidak dihancurkan; justru diubah maknanya. Wayang menjadi cerita moral dan spiritual, gamelan menjadi harmoni dzikir, batik menjadi ekspresi tauhid dalam pola. Masjid Demak berdiri bukan di atas kemegahan batu, tetapi di atas keimanan yang luas dan inklusif. Islam di Nusantara menjadi perpaduan antara lokalitas dan universalitas — sebuah dialog budaya yang menyejukkan hati dan memperkaya jiwa.


---

7. Transfer Budaya untuk Seluruh Manusia

Keajaiban Islam adalah bahwa setiap warisan yang diubahnya tidak hanya untuk Muslim. Dari Andalusia ke Eropa, dari Baghdad ke Nusantara, ilmu, seni, hukum, dan spiritualitas yang lahir dari interaksi ini menjadi milik seluruh umat manusia.

Universitas modern lahir dari madrasah Nizamiyyah dan al-Qarawiyyin. Rumah sakit modern lahir dari bimaristan. Kota modern meniru pola Andalusia. Semua ini menunjukkan bahwa Islam sebagai peradaban universal tidak pernah membatasi kebaikan bagi satu kelompok saja.


---

8. Refleksi Akhir: Sungai yang Terus Mengalir

Islam adalah sungai besar yang menampung berbagai peradaban, menyucikannya dengan wahyu, dan menyalurkannya kembali ke dunia. Ia mengajarkan keseimbangan: antara akal dan iman, dunia dan akhirat, bentuk dan jiwa.

Ketika kita menatap sejarahnya, kita melihat satu pesan abadi: peradaban adalah harta manusia yang harus diserap, ditafsirkan, dan disebarluaskan demi kebaikan bersama. Di tangan manusia yang bijak, warisan ini terus hidup, menjadi cahaya bagi generasi berikutnya.

Seperti Martin S. Briggs menekankan: keindahan Islam bukan hanya kemegahan fisik, tetapi jalan untuk memahami Tuhan dan menghubungkan hati manusia satu sama lain. Dan seperti Oleg Grabar berkata: ruang suci bukan sekadar tempat berdoa, melainkan pengalaman jiwa yang mengubah kesepian menjadi penghayatan spiritual.

Sistem Pendidikan Sekolah di Gaza Menurut Barat 1. Di Kelas yang Remang Itu: Awal Sebuah Ideologi Di sebuah sekolah yang separuh...


Sistem Pendidikan Sekolah di Gaza Menurut Barat



1. Di Kelas yang Remang Itu: Awal Sebuah Ideologi

Di sebuah sekolah yang separuh dindingnya runtuh, seorang guru masih menulis di papan tulis yang berdebu: “Tanah ini milik kita, dan Allah menyukai orang yang sabar.”
Anak-anak menyalin kalimat itu dengan pensil tumpul, sebagian dengan tangan gemetar, sebagian lagi dengan mata yang kosong karena kehilangan ayah di malam sebelumnya.

Dari luar, kelas itu tampak sederhana—seperti ruang belajar darurat di tengah reruntuhan. Tapi bagi pengamat Barat, ruang seperti inilah yang mereka sebut laboratorium ideologi perlawanan: tempat di mana sejarah, identitas, dan dendam membentuk generasi baru yang tak kenal menyerah.

Pendidikan di Gaza bukan sekadar pengajaran membaca dan berhitung. Ia adalah sistem makna yang hidup—berfungsi sebagai benteng moral, ruang terapi, sekaligus pabrik identitas. Seperti kata seorang peneliti dari lembaga IMPACT-SE, “buku-buku teks di Gaza lebih mirip manifestasi politik daripada sekadar alat belajar.”

Namun, bagi para guru dan keluarga yang kehilangan segalanya, pendidikan adalah satu-satunya bentuk harapan yang masih bisa diwariskan. Di tengah reruntuhan, kata “syahid” bukan sekadar simbol heroik, tapi cara untuk bertahan hidup secara spiritual.


---

2. Suara dari Barat: Pendidikan Sebagai Mesin Konflik

Banyak laporan dari Barat—terutama dari lembaga seperti IMPACT-SE, The Times of Israel, dan Washington Institute for Near East Policy—menggambarkan pendidikan di Gaza sebagai sistem yang memelihara “budaya kematian”.

Matthew Levitt, dalam bukunya Hamas: Politics, Charity, and Terrorism in the Service of Jihad, menyebut pendidikan sebagai “investasi strategis bagi kelangsungan perlawanan.”
Menurutnya, Hamas tidak hanya membangun jaringan militer, tetapi juga lembaga pendidikan, klinik sosial, dan yayasan amal yang terhubung satu sama lain—semuanya menjadi ekosistem yang menumbuhkan loyalitas ideologis.

IMPACT-SE menambahkan, sejak 2016, buku teks di Gaza dan Tepi Barat menonjolkan tiga tema besar:

1. Kehilangan tanah dan identitas nasional.

2. Kemuliaan mati syahid dan pengorbanan.

3. Narasi historis tunggal tanpa ruang bagi “yang lain.”


Bagi pengamat Barat, ini adalah bentuk “radikalisasi sistemik”—sebuah pendidikan yang bukan menumbuhkan nalar kritis, tetapi mengabadikan konflik.
Namun, seperti semua konflik ideologi, kebenarannya tak sesederhana itu.


---

3. Bahasa, Lagu, dan Permainan: Normalisasi Kekerasan atau Ketahanan Identitas?

Anak-anak Gaza tumbuh dengan lagu-lagu perjuangan, puisi tentang tanah yang dirampas, dan permainan perang di antara puing-puing rumah.
Dalam pandangan peneliti Eropa, hal ini dianggap sebagai “normalisasi kekerasan”. Tapi bagi para orang tua di Gaza, lagu itu bukan propaganda; itu adalah doa yang disamarkan dalam melodi.

Seorang sosiolog Palestina di Universitas Birzeit menulis: “Kami tidak mengajarkan kebencian. Kami mengajarkan nama-nama tempat yang hilang.”
Ketika seorang anak menyebut Jaffa, Haifa, Al-Lydd, itu bukan ajakan perang, melainkan usaha untuk tidak lupa pada akar sejarah yang telah dihapus peta.

IMPACT-SE menemukan bahwa buku geografi Palestina tidak menampilkan Israel sebagai entitas negara. Dalam sudut pandang pedagogis, itu dilihat sebagai “pengingkaran terhadap realitas geopolitik”. Tapi dalam logika masyarakat yang dijajah, itu adalah penegasan eksistensi: menolak memberi pengakuan kepada kekuatan yang menindasnya.

Seperti dikatakan Paulo Freire, tokoh pendidikan pembebasan dari Brasil:

 “Ketika pendidikan tidak memerdekakan, ia akan menjadi alat penindasan. Tapi ketika kaum tertindas menguasai bahasa pendidikan, ia berubah menjadi senjata kebebasan.”

Mungkin inilah yang terjadi di Gaza—sebuah pendidikan yang meminjam bahasa penjajahan, tapi membalikkan maknanya menjadi perlawanan.


---

4. Sekolah yang Runtuh, Ide yang Tak Mati

Dalam setiap perang Israel-Gaza, ratusan sekolah hancur.
Namun laporan UNICEF dan UNRWA menunjukkan hal yang aneh: walau bangunannya musnah, kelas-kelas informal terus tumbuh di masjid, tenda pengungsian, bahkan terowongan bawah tanah.
Anak-anak tetap belajar membaca Al-Qur’an, menulis nama-nama syuhada, dan menggambar rumah yang hilang.

Inilah paradoks yang sering gagal dipahami dunia luar: penghancuran fisik justru mengabadikan semangat ideologis.
Ketika semua simbol material dihapus, yang tersisa hanyalah makna, dan makna adalah sesuatu yang tak bisa dibom.

Bahkan laporan PBB tahun 2024 menyebut bahwa 70 persen anak di Gaza mengalami trauma perang, namun banyak dari mereka menunjukkan “ketahanan luar biasa yang bersumber dari keyakinan religius dan komunitas sosial.”

Dalam bahasa psikologi sosial, ini disebut collective resilience.
Dalam bahasa spiritual, ini disebut iman.


---

5. Dua Pembacaan Dunia: Indoktrinasi atau Keteguhan Identitas?

Barat melihat kurikulum Gaza dengan kacamata keamanan.
Mereka khawatir generasi baru akan tumbuh menjadi pasukan militan.
Namun bagi banyak keluarga Palestina, pendidikan perlawanan bukan tentang membunuh, melainkan tentang bertahan—bertahan dari lupa, dari kehinaan, dari kehilangan makna.

The Guardian menulis pada 2024: “Ketika negara tak bisa menjamin keamanan, sekolah menjadi tempat terakhir bagi anak-anak untuk memahami kenapa dunia melukai mereka.”
Di sisi lain, Financial Times menyoroti bahwa hilangnya sistem pendidikan formal membuat ruang informal (seperti madrasah dan halaqah) menjadi medium dominan bagi transmisi nilai-nilai perjuangan.

Di sinilah dua narasi saling bertabrakan:

Barat berbicara tentang “de-radicalization”.

Palestina berbicara tentang “de-colonization”.


Dan keduanya, pada hakikatnya, memperdebatkan hal yang sama: siapa yang berhak menentukan arti kebebasan.


---

6. Ulama dan Pakar: Antara Etika Syahid dan Pendidikan Jiwa

Dalam dunia Islam, konsep jihad dan syahid bukan sekadar ajaran perang, melainkan spiritualitas pengorbanan.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis:

“Barangsiapa berperang untuk membela yang tertindas, itu bagian dari cinta kepada Allah; tapi barangsiapa mencintai darah, ia telah keluar dari rahmat-Nya.”

Artinya, jihad yang benar bukanlah penanaman kebencian, tetapi kesetiaan pada keadilan.

Sayyid Qutb dalam Ma’alim fi al-Thariq mengingatkan:

“Sebuah bangsa akan tetap lemah jika pendidikan hanya melahirkan budak. Maka didiklah generasi yang takut hanya kepada Allah, bukan kepada tiran.”

Dari sini terlihat bahwa pendidikan perlawanan dalam tradisi Islam tidak identik dengan kekerasan, melainkan dengan pembebasan spiritual dari ketakutan dan kehinaan.
Namun, ketika ajaran ini berhadapan dengan konteks militeristik dan pendudukan, maknanya bisa bergeser: dari spiritual menjadi politik.

Sementara Fazlur Rahman mengingatkan bahwa setiap sistem pendidikan Islam yang tertutup dari dialog akan melahirkan stagnasi moral.
Maka, bahkan pendidikan jihad pun memerlukan ruang kritik—agar tetap manusiawi dan tidak kehilangan tujuan etiknya.


---

7. Dunia Intelijen: Sekolah Sebagai Ruang Rekrutmen dan Pertahanan Sosial

Bagi lembaga keamanan seperti CTC Sentinel dan Washington Institute, sekolah-sekolah Hamas bukan hanya ruang ajar, tetapi juga sarana perekrutan dan legitimasi sosial.
Mereka melihat korelasi antara aktivitas da’wah, pemberian beasiswa bagi keluarga syuhada, dan kemunculan kader militan baru.

Namun, analisis RAND Corporation dan Brookings Institution menambahkan perspektif berbeda:

“Upaya menekan lembaga pendidikan berbasis agama di wilayah konflik justru sering memperkuat daya tariknya.”

Ketika semua kanal politik ditutup, pendidikan menjadi saluran terakhir ekspresi kolektif.
Dan ketika identitas terancam, maka setiap bentuk pengetahuan berubah menjadi bentuk perlawanan.


---

8. Soft Power yang Sulit Dimusnahkan

Dalam analisis geopolitik, kekuatan militer mudah dihancurkan, tapi soft power berbasis ideologi jauh lebih sulit dihapus.
Levitt menyebutnya “the infrastructure of faith and narrative.”

Di Gaza, sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga arena spiritual.
Ketika seorang anak mendengar cerita tentang Ibrahim yang tidak takut pada api, ia belajar tentang keberanian.
Ketika ia mendengar tentang Bilal yang sabar disiksa, ia belajar tentang kesetiaan.
Dan ketika ia melihat reruntuhan rumahnya sendiri, ia menafsirkan semua kisah itu menjadi pengalaman pribadi.

Maka, setiap bom yang dijatuhkan ke sekolah bukan hanya menghancurkan tembok, tapi juga memperdalam keyakinan bahwa dunia memang melawan mereka.
Di sinilah paradoks abadi konflik Gaza: perang yang dimaksudkan untuk menghancurkan ide justru menyuburkannya.


---

9. Mencari Jalan Tengah: Pendidikan yang Membebaskan, Bukan Menjerat

Bagaimana seharusnya pendidikan di Gaza dilihat?
Sebagai ancaman? Atau sebagai kesempatan untuk penyembuhan?

Beberapa inisiatif lokal mencoba menulis ulang paradigma itu.
Guru-guru muda di Khan Younis menggabungkan pelajaran sains dengan tafsir spiritual tentang penciptaan, agar anak-anak belajar berpikir kritis tanpa kehilangan iman.
Di kamp pengungsian Rafah, sekelompok relawan mendirikan “Sekolah Harapan” — ruang belajar di tenda, dengan moto sederhana: “Belajar adalah bertahan hidup.”

PBB, UNESCO, dan berbagai NGO telah menyusun rancangan “Education for Peace and Memory”, sebuah kurikulum yang menggabungkan narasi sejarah dengan etika kemanusiaan. Namun, keberhasilan inisiatif ini tergantung pada dua hal yang paling rapuh di Gaza: keamanan dan kepercayaan.

Sebagaimana dikatakan Paulo Freire:

“Pendidikan sejati lahir dari dialog, bukan dari paksaan.”

Maka, jika reformasi kurikulum datang dari luar tanpa mengakui luka sejarah Gaza, ia akan ditolak mentah-mentah.
Tapi jika perubahan lahir dari dalam—dari guru yang juga korban perang—ia mungkin akan diterima sebagai bentuk penyembuhan.


---

10. Penutup: Antara Dendam dan Doa

Pendidikan di Gaza adalah kisah tentang manusia yang menolak dilupakan.
Ia mengandung dua wajah: satu yang penuh keberanian, dan satu lagi yang menyimpan luka yang belum sembuh.
Bagi Barat, ia tampak seperti mesin kebencian.
Bagi Gaza, ia adalah upaya mempertahankan martabat di tengah dunia yang menolak mendengarkan.

Seorang ulama di kamp pengungsian pernah berkata:

“Kami mengajar anak-anak bukan untuk membenci, tapi agar mereka tahu mengapa dunia membenci mereka—dan tidak menyerah karena itu.”

Barangkali di situlah letak paradoks sekaligus keindahan paling pahit dari pendidikan di Gaza:
ia lahir dari kehancuran, tapi terus menumbuhkan harapan.
Ia menanamkan keberanian, tapi juga risiko dendam.
Ia ingin membebaskan, tapi sering terjerat dalam lingkaran kekerasan yang sama.

Namun sebagaimana Al-Qur’an mengingatkan:

“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Yusuf: 87)

Mungkin masih ada ruang untuk sebuah pendidikan yang tak hanya mengajarkan perlawanan, tetapi juga mengajarkan cara mencintai dalam reruntuhan.
Karena hanya dari cinta yang sadar akan luka, lahir perdamaian yang benar-benar manusiawi.

Upaya Barat Mengintervensi Kurikulum Sekolah di Gaza untuk Melemahkan Perjuangan Ketika bantuan internasional mengalir ke sistem...


Upaya Barat Mengintervensi Kurikulum Sekolah di Gaza untuk Melemahkan Perjuangan


Ketika bantuan internasional mengalir ke sistem pendidikan di wilayah yang dilanda konflik, terdapat dinamika yang kompleks: bukan hanya soal buku dan ruang kelas, tetapi juga tentang siapa yang menulis narasi, siapa yang mengajarkan nilai, dan siapa yang akhirnya menentukan masa depan generasi muda. Di Gaza—terjepit antara blokade, kehancuran, dan perjuangan—pendidikan menjadi arena persaingan ideologis penting. Barat melalui donor, lembaga multilateral dan NGO mencoba “memasuki” ruang itu dengan satu misi: reformasi kurikulum agar “menjadi moderat, damai, dan toleran.” Namun, realitas menunjukkan bahwa upaya itu menghadapi resistensi struktur lokal, konflik identitas, dan persoalan legitimasi.


---

1. Konteks Intervensi Barat: Donor, Reformasi, dan Harapan

Sejak pertengahan 2010-an, lembaga-donor Barat (termasuk Uni Eropa) mengikat bantuan ke sistem pendidikan Palestina dengan persyaratan reformasi: kurikulum harus selaras dengan standar UNESCO tentang pendidikan untuk perdamaian dan toleransi. Namun seperti dilaporkan oleh IMPACT‑se (Institute for Monitoring Peace and Cultural Tolerance in School Education), implementasi reformasi itu belum mencapai hasil yang bermakna. Laporan IMPACT-se menyebut bahwa meski ada restrukturisasi kurikulum sejak 2016, materi pendidikan di Gaza dan Tepi Barat “masih memuat banyak konten yang mempromosikan kekerasan, penolakan terhadap Israel, martir sebagai teladan, dan jihad sebagai pilihan pendidikan.”

Dari perspektif Barat, ini bukan hanya persoalan konten: ini persoalan legitimasi sebuah sistem pendidikan yang dapat membentuk generasi masa depan. Oleh sebab itu, bantuan pendidikan menjadi alat diplomasi, sekaligus instrumen perubahan sosial.


---

2. Ringkasan Laporan IMPACT-se

Laporan tersebut terbagi dalam beberapa bab yang masing-masing menyoroti aspek-aspek penting. Berikut ringkasan per bab yang telah Anda sediakan:

Bab 1: Pendahuluan
Sistem pendidikan di wilayah Palestina dilegitimasi ulang sejak 2016 oleh Palestinian Authority (PA). Harapan internasional bahwa kurikulum baru akan lebih moderat dibandingkan yang lama—namun IMPACT-se menemukan kurikulum “baru” justru lebih jauh dari standar UNESCO.

Bab 2: Analisis Kurikulum dan Text-book (2016–sekarang)
Analisis atas lebih dari 1.000 buku teks dari PA; temuan utama: pengayaan sistematis tema seperti jihad, syahid, nasionalisme ekstrem; contoh: buku matematika memakai data “jumlah syuhada” untuk soal; peta yang menghilangkan Israel; penghapusan bagian yang menyebut sejarah Yahudi atau keberadaan Israel.

Bab 3: Reaksi Sekolah terhadap Peristiwa 7 Oktober 2023
Studi kasus 11 sekolah menunjukkan posting media sosial sekolah yang memuji aksi militer Hamas, sekolah‐sekolah di Tepi Barat dan Gaza ikut menampilkan sikap “kemenangan” terhadap serangan.

Bab 4: Hubungan dengan Lembaga Internasional (UNRWA)
Beberapa sekolah United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA) di Gaza dipimpin oleh orang-orang yang secara terbuka terkait dengan Hamas atau PIJ; materi pembelajaran memuat glorifikasi kekerasan dan martir.

Bab 5: Implikasi dan Dampak Pendidikan untuk Perlawanan
Pendidikan dilihat sebagai “mesin reproduksi” perlawanan: sekolah mencetak identitas generasi yang siap berkonflik, bukan berdialog. Efek jangka panjang: generasi sulit dicetak untuk perdamaian jika sejak kecil dibentuk dalam narasi penjajahan dan syahid.

Bab 6: Rekomendasi dan Tantangan Reformasi
Donor Barat mengikat bantuan ke komitmen reformasi pendidikan; namun realitas di lapangan menghadapi kendala besar: infrastuktur rusak, pembelajaran daring tak efektif, trauma anak besar. Rekomendasi: pengawasan independen bahan ajar; pelatihan guru; pendidikan inklusif; dukungan psikososial.



---

3. Upaya Intervensi Barat: Realitas, Kendala, dan Dampak

Realitas intervensi:

Uni Eropa menyetujui ratusan juta euro untuk bantuan pendidikan Palestina, dengan syarat reformasi kurikulum. Misalnya, laporan menyebut 380 juta euro dialokasikan untuk pendidikan Gaza (IMPACT-se) namun menunjukkan bahwa konten masih bermasalah.

Program pelatihan guru, pengiriman buku baru, dan upaya mengganti materi pembelajaran dilakukan oleh NGO dan lembaga donor.


Kendala utama:

Infrastruktur sekolah banyak rusak akibat perang dan blokade. Laporan menyebut bahwa 97% sekolah di Gaza rusak atau tidak layak. 

Legitimasi lokal: banyak masyarakat Palestina menganggap intervensi Barat sebagai intrusi budaya atau pemaksaan nilai luar, sehingga resistensi muncul.

Lingkungan konflik: ketika anak-anak hidup di bawah ancaman harian, nilai “martyr”, “perlawanan”, dan “pengorbanan” menjadi narasi penerimaan sosial—menjadikan reformasi sulit karena mekanisme sosialnya kuat.


Dampak yang dilaporkan:

Laporan IMPACT-se menyebut bahwa alih-alih menghapus konten kekerasan, kurikulum justru tetap memuat glorifikasi jihad dan martir. 

Di sisi Barat, muncul kekhawatiran bahwa sekolah-sekolah itu menjadi “breeding ground for extremism”. 

Pada saat yang sama, artikel Guardian menyebut bahwa rusaknya sistem pendidikan di Gaza akan menghancurkan masa depan generasi, mengingat anak-anak kehilangan akses bersekolah hingga bertahun-tahun. 



---

4. Pakar dan Ulama: Pandangan Moral dan Etis

Pakar pendidikan:

Paulo Freire (Brasil): dalam Pedagogy of the Oppressed, ia mengatakan bahwa pendidikan bisa menjadi alat pembebasan jika anak belajar untuk menjadi subjek bukan objek. Jika sekolah hanya mengajarkan narasi tunggal tanpa ruang dialog, ia menjadi “pendidikan terbelakang.”

John Haldeman (teoretikus pendidikan konflik): menekankan bahwa pendidikan di zona konflik harus menggabungkan pengajaran trauma, rekonsiliasi, dan pemahaman antar-kelompok.


Ulama dan pemikir Islam:

Al-Ghazali (Ihya Ulumuddin): menegaskan bahwa pengorbanan (syahid) dalam Islam adalah untuk keadilan dan pembebasan, bukan sebagai glorifikasi agresi atau kebencian terhadap sesama manusia.

Sayyid Qutb (Ma’alim fi al-Thariq): mengkritik sistem pendidikan yang membuat manusia “tunduk” bukan “mandiri”—baginya, pendidikan yang benar membangkitkan kesadaran terhadap tirani, menuntut keadilan, bukan sekadar membalas.

Fazlur Rahman: mengingatkan bahwa sistem pendidikan Islam yang tertutup dari dialog dan kritik justru akan melahirkan stagnasi moral dan distorsi ajaran.


Dengan demikian, dalam perspektif moral-islam, pendidikan yang membentuk generasi “siap mati” tanpa ruang bagi hidup dan dialog adalah penyimpangan dari nilai etis utama: keadilan, kemanusiaan, dan persaudaraan.


---

5. Kritikan dan Kontra-Argumen: Dari Kacamata Palestina

Sementara Barat mengangkat reformasi nilai sebagai tujuan utama, banyak suara Palestina menyoroti dua hal:

Konteks penjajahan dan blokade: Pendidikan yang membicarakan “tanah yang dirampas”, “pengungsi”, dan “kembali ke Haifa/Jaffa” bukan sekadar ideologi—ia adalah memori kolektif atas barang yang hilang. Dalam artikel The Guardian, disebut bahwa banyak siswa memilih nilai-nilai identitas sebagai cara untuk bertahan di tengah kehancuran. 

Hak untuk mendidik dalam bahasa sendiri: Beberapa keluarga Palestina melihat intervensi donor Barat sebagai “standar ganda”—ketika Israel sendiri tidak diintervensi secara kurikuler, mereka dituntut mengubah narasi. Kritik ini menimbulkan resistensi budaya terhadap perubahan kurikulum.


Oleh sebab itu, bila intervensi Barat ingin berhasil, ia harus mempertimbangkan pengakuan atas trauma historis, legitimasi identitas, serta turut melibatkan komunitas lokal dalam pembuatan kurikulum.


---

6. Refleksi: Apakah Intervensi Barat Justru Melemahkan Perjuangan?

Pada level praktis, intervensi Barat bermaksud “melemahkan narasi radikal” melalui pendidikan, tetapi pada level simbolik dan praktis, ia juga bisa dianggap sebagai bentuk tekanan budaya atau diplomasi yang mendalangi perubahan nilai. Bila narasi perlawanan adalah bagian dari identitas masyarakat yang hidup dalam blokade dan konflik, maka intervensi yang tidak sensitif terhadap konteks bisa menimbulkan resistensi dan kemudian memperkuat narasi anti-Barat.

Seperti terlihat dalam laporan IMPACT-se: meskipun donor mencairkan ratusan juta euro, kurikulum tetap memuat unsur yang sama. Dua hipotesis muncul:

Reformasi nominal saja (penggantian buku, bukan isi) sehingga narasi lama tetap hidup di bawah permukaan.

Perlawanan identitas semakin menguat sebagai respons terhadap tekanan eksternal: ketika sekolah dihancurkan, ide dan identitas menjadi satu-satunya “tanah” yang tersisa.

Dengan demikian, pendidikan yang dimaksud untuk menghasilkan “warga global dan toleran” malah bisa memperkuat warga yang merasa tersudut dan menganggap dirinya berada dalam perang identitas.


---

7. Jalan ke Depan: Strategi Pendidikan Alternatif

Agar intervensi Barat dan reformasi pendidikan di Gaza benar-benar membebaskan, bukan membungkam, maka beberapa strategi dapat dipertimbangkan:

Kolaborasi lokal-internasional: Libatkan guru, orang tua, tokoh agama lokal dalam merancang buku teks baru; jangan hanya materi impor.

Narasi dual: konflik + rekonsiliasi: Kurikulum harus mengakui trauma dan sejarah kehilangan, namun juga mengajarkan kapasitas dialog, hak asasi manusia, rekonsiliasi antar-kelompok.

Pelatihan guru “pedagogi trauma”: Guru bukan sekadar pengajar akademik, tetapi fasilitator psikososial bagi anak-anak yang hidup dalam konflik.

Evaluasi mandiri & transparansi: Donor harus mensyaratkan evaluasi independen, dan sekolah-sekolah harus terbuka mempublikasikan materi ajar.

Pendidikan perdamaian dan kewargaan global: Masukkan modul yang mengajarkan pemahaman antar-agama, hak asasi manusia, dan tanggung jawab global — bukan hanya narasi lokal saja.



---

8. Penutup reflektif

Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi penanaman makna. Bila makna itu dibentuk oleh pengalaman penjajahan, pemerkasaan, dan trauma, maka pendidikan menjadi medan pertarungan ideologis. Intervensi Barat dalam pendidikan Gaza adalah bab penting dalam sejarah baru: bagaimana donor luar ingin mengubah bukan hanya infrastruktur sekolah, tetapi juga hati dan pikiran generasi masa depan. Namun jika reformasi hanya bersifat permukaan atau dipandang sebagai bentuk pemaksaan budaya, maka ia bisa memantul sebagai penguatan perjuangan—bukan pelunakan.

Seperti sebuah metafora yang pernah muncul dalam pembicaraan pendidikan konflik:

“Batu bata sekolah mungkin roboh oleh bom, tapi narasi yang tertulis di hati anak itu akan tumbuh sebagai akar pohon baru.”

Maka, apabila pendidikan yang ingin dilemahkan oleh Barat bukan diganti oleh narasi yang membebaskan, tanpa pengakuan atas rasa luka dan identitas yang tersingkir—maka intervensi itu hanya akan menjadi bayangan di balik konflik yang terus berlanjut.

Kapan Datangnya Keadilan Allah yang Mengazab Israel, Pelaku Genosida di Gaza? Sebagai renungan tauhid-keadilan dalam cermin Sura...


Kapan Datangnya Keadilan Allah yang Mengazab Israel, Pelaku Genosida di Gaza?


Sebagai renungan tauhid-keadilan dalam cermin Surah Gāfir ayat 78

 “Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus rasul-rasul sebelum kamu … Tidak ada seorang rasul pun membawa suatu mukjizat, kecuali dengan izin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskanlah segala perkara dengan adil. Ketika itu, rugilah para pelaku kebatilan.”
(Gāfir: 78)

Pertanyaan — “Kapan keputusan Allah yang adil menimpa pelaku genosida Israel di Gaza datang?” — berada di titik persimpangan antara iman, keadilan Ilahi, dan sunatullah (aturan Allah dalam sejarah). Al-Qur’an memang tidak memberikan tanggal pasti kapan “putusan” itu terjadi, tetapi ia memberi tahu pola-pola tetap bagaimana kaum zalim pada akhirnya akan dihadapkan dengan keadilan-Nya. Jika kita membaca ayat ini dalam konteks yang lebih luas, muncul empat tanda besar bahwa keputusan Allah sudah bergerak, meskipun belum selesai.


---

1. Keadilan Allah bergerak lewat sejarah, bukan hanya lewat petir dari langit

Ayat 78 memberi tahu bahwa keputusan Allah bisa datang setelah masa ujian panjang—ketika kebenaran dan kebatilan masih bercampur, manusia diberi waktu untuk mengungkapkan pilihan mereka, dan ketika akhirnya “perintah Allah datang” maka perkara diputuskan dengan adil.
Sejarah para nabi menunjukkan bahwa kaum-kaum seperti Fir‘aun, kaum ‘Ad, kaum Samud, dan Bani Israil yang mendustakan nabi mereka — semua diberi masa panjang; kemudian keputusan Allah datang. Dengan demikian, keputusan Allah terhadap pelaku genosida di Gaza “pasti datang”, namun dalam irama sejarah yang hanya Allah ketahui.

Ulama seperti Ibn Kathīr memaparkan bahwa azab atau keputusan Ilahi ditangguhkan bukan karena kelemahan Allah, tetapi karena hikmah-Nya — agar hujjah (argumen) bisa sempurna, agar pilihan manusia bisa nyata.


---

2. Ketika kebenaran sudah ditegakkan di muka bumi, tetapi masih ditentang dengan darah

Dalam banyak tafsir dikatakan: keputusan Allah (قُضِيَ بِالْحَقّ) datang ketika kezaliman sudah mencapai batas maksimal — ketika darah anak-anak tertumpah, ketika bumi yang amanah dihancurkan, ketika manusia menutup pintu damai yang dibuka oleh Allah.
Konteks Gaza menunjukkan bahwa: ribuan anak tewas, infrastuktur hancur, blokade dan pendudukan terus berjalan — menurut laporan PBB dan berbagai organisasi kemanusiaan. Ini menandakan fase sebelum keputusan mutlak: قبْلَ القَضَاءِ.
Seperti firman Allah:

“Dan sungguh, Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri sebelum Dia mengutus di ibu kota mereka seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka.”
(Al-Qashash: 59)

Artinya, Allah terlebih dahulu menegakkan hujjah di muka bumi — kebenaran yang tak bisa disangkal — barulah keputusan akan datang. Dan sekarang hujjah telah banyak, sehingga yang tertunda hanyalah waktu.




---

 3. Tanda-tanda bahwa keputusan Allah mulai tampak: keguncangan dari dalam

Para mufasir seperti al-Rāzī mencatat bahwa ketika keputusan Allah mendekat, kaum yang zalim akan diguncang dari dalam—meskipun belum jatuh secara fisik.

Beberapa fakta terkini yang mencerminkan ini:

Di dalam Israel sendiri muncul protes besar terhadap pemerintahnya: ribuan warga menolak perang Gaza, menuntut perdamaian dan pembebasan sandera. 

Data menunjukkan tingkat emigrasi warga Israel meningkat drastis—yang menandakan rasa aman yang semakin rapuh. 

Putusan hukum internasional yang menolak legitimasi pendudukan Israel: International Court of Justice menyatakan kehadiran Israel di wilayah pendudukan ilegal. 


Inilah fase awal dari خَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُونَ — mereka yang batil sudah mulai merugi, bahkan sebelumnya azab zahir turun. Sebelum air menenggelamkan Fir‘aun, Allah telah menenggelamkan rasa aman di dadanya.


---

4. Keadilan Allah sering datang melalui tangan hamba-Nya

Allah berfirman:

 “Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang zalim menguasai sebagian yang lain, disebabkan apa yang mereka kerjakan.” (Al-An‘ā m: 129)
“Dan Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (Ar-Ra‘d: 11)


Artinya: keputusan Ilahi sering melalui tangan manusia — melalui gerakan moral, kesadaran bangsa, lembaga hukum internasional — bukan selalu bom atau gempa.

Contoh:

PBB menambahkan puluhan perusahaan ke daftar hitam karena terlibat dalam pemukiman Israel. 

Para donor dan negara menuntut reformasi jerih pendidikan dan penyelesaian damai.
Semua ini adalah bagian dari سُنَنُ اللَّهِ — bagaimana keadilan Ilahi bekerja lewat manusia juga.


---

Lima fakta nyata yang dilakukan Israel — yang dianggap menolong keberadaan mereka, namun sebenarnya menghancurkannya

1. Ekspansi pemukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur — Israel legalisasi dan rencana pembentukan 22 permukiman baru, yang dikutuk sebagai pelanggaran hukum internasional. 

2. Penegakan blokade dan perang terus-menerus di Gaza, dengan hasil kerusakan masif dan kehilangan legitimasi di mata dunia.

3. Pengabaian norma hukum internasional — keputusan ICJ bahwa pendudukan Israel di wilayah Palestina adalah “tidak sah”. 

4. Krisis internal yang membesar — demonstrasi besar di Israel serta pelarian warganya sebagai tanda rapuhnya sistem. 

5. Penurunan soft power dan isolasi diplomatik — dukungan internasional bagi Israel mulai menipis karena persepsi moral yang memburuk.

Semua fakta ini menunjukkan bahwa meskipun banyak tindakan yang dianggap “menolong keberadaan” Israel, realitasnya adalah melemahkan legitimasi moral, politik, dan strategis mereka.


---

Kutipan dari ulama tafsir

Al-Ghazzālī: “Jika kekuasaan dijalankan tanpa keadilan, maka ia menjadi penebar ketakutan bukan pengayom.”

Sayyid Qutb (dalam Ma‘ālim fī al-Tharīq): “Pendidikan benar ialah membangkitkan kesadaran, bukan membelenggu manusia dalam kekuasaan.”

Keduanya mengingatkan kita bahwa kekuasaan tanpa moralitas akan roboh—dan ini cocok dengan pola sejarah: kaum yang menindas akhirnya ditinggalkan oleh waktu dan kebenaran.


---

 Gaza sebagai medan keputusan moral dunia

Gaza hari ini adalah cermin besar: bukan hanya konflik wilayah, tetapi pertaruhan nurani dunia.
Siapakah yang masih bisa diam ketika anak-anak menanti malam dan adzan di tengah reruntuhan?
Siapakah yang masih membisu ketika suara doa tertahan oleh bom dan debu?

Surah Gāfir mengingatkan kita bahwa keputusan Allah bukan hanya berupa “hukuman” tapi juga penyingkap siapa manusia sebenarnya. Gaza menjadi medan ujian: bukan hanya bagi yang menindas, tetapi juga bagi yang berpihak atau diam terhadap kezaliman.

“Apabila telah datang perintah Allah, diputuskanlah segala perkara dengan adil.” (Gāfir: 78)

Mungkin keputusan itu sudah mulai — bukan sebagai ledakan besar, tapi sebagai keruntuhan lembut: kehilangan legitimasi, runtuhnya dukungan moral, bangkitnya suara‐suara damai.


---

Penutup reflektif

Ketika kekuasaan menolak cahaya, maka cahaya itu tetap menyinari.
Dalam sejarah para rasul, kita belajar: kekuasaan zaman ini akan diganti oleh keadilan Tuhan kemudian.
Sedangkan bagi mereka yang menderita, keadilan itu mungkin belum nampak secara penuh — tapi sudah berjalan.

Kita dipercaya untuk menjadi bagian dari lautan hujjah: berbicara ketika perlu, bertindak ketika bisa, menolak ketika hak dipinggirkan.
Karena ketika keadilan Tuhan menampakkan dirinya, bukan hanya pelaku kezaliman yang akan berhadapan — tetapi mereka yang diam saat darah mengalir akan diuji juga.

Semoga tulisan ini menjadi renungan — bukan hanya untuk mereka yang melihat dari luar Gaza, tetapi untuk kita semua yang hidup dengan keimanan bahwa Tuhan tidak pernah melupakan, dan keadilan-Nya tidak pernah tertunda tanpa hikmah.

Cara Terakhir Israel Menghancurkan Gaza: Menanam Budak-Budak Kolonial Ketika bom berhenti, bukan berarti perang berakhir. Justru...


Cara Terakhir Israel Menghancurkan Gaza: Menanam Budak-Budak Kolonial



Ketika bom berhenti, bukan berarti perang berakhir. Justru di saat gencatan senjata diumumkan, Israel menyiapkan bentuk baru dari penghancuran Gaza: bukan lagi dengan misil, tapi dengan manusia yang dijadikan alat—budak kolonial yang menabur kehancuran dari dalam.


---

1. Dari Bom ke Budak: Evolusi Kekerasan Kolonial

Israel tahu bahwa penghancuran fisik Gaza bukanlah akhir. Batu bisa dibangun kembali, reruntuhan bisa dibersihkan. Tapi masyarakat yang rusak—jiwa yang kehilangan makna hidup bersama—itulah kehancuran yang paling permanen.

Maka setelah gagal menaklukkan Hamas melalui kekuatan militer, Israel beralih pada “pemerintahan melalui perantara”: membentuk geng kriminal bersenjata, memberi mereka uang, kendaraan, senjata, dan perlindungan, lalu melepaskan mereka di tengah rakyat yang lapar.
Tujuannya: menjadikan rakyat Gaza saling membunuh atas nama kelangsungan hidup.

Empat geng besar—Abu Shabab di Rafah, Husam al-Astal di Khan Younis, Ashraf al-Mansi di Beit Lahia, dan Rami Heles di Gaza timur—menjadi simbol dari kolonialisme gaya baru: pendudukan tanpa tentara.
Israel tidak lagi perlu hadir secara langsung; cukup menanamkan budak-budak yang bekerja untuknya dengan wajah Palestina.


---

2. Rekayasa Kekacauan: Kolonialisme Tanpa Tanda Tangan

Langkah ini bukan improvisasi, tapi kelanjutan dari pola lama. Tahun 1982, Israel membentuk South Lebanon Army—pasukan bayaran lokal untuk melakukan pekerjaan kotor di kamp pengungsi Sabra dan Shatila. 3.500 warga Palestina dibantai tanpa satu pun tentara Israel tertuduh.

Kini cetak biru yang sama diterapkan di Gaza.
Israel menciptakan milisi proksi yang dapat memprovokasi perang saudara, menjarah konvoi bantuan, dan menimbulkan kekacauan yang bisa dijadikan dalih bagi Israel untuk berkata:

 “Lihat, mereka tidak mampu memerintah diri sendiri.”

Dalam logika kolonial, kekacauan bukanlah kegagalan, tapi strategi.
Semakin Gaza terlihat kacau, semakin kuat alasan Israel untuk bertahan di 58% wilayah yang kini mereka kuasai—dengan dalih “menjaga stabilitas.”


---

3. Budak Kolonial: Wajah Lokal dari Proyek Zionis

Yasser Abu Shabab hanyalah satu contoh paling mencolok dari budak kolonial ini.
Dulunya pengedar narkoba, buronan hukum, dan kolaborator dengan jaringan ISIS di Sinai, kini ia dijadikan “pemimpin masyarakat” versi Israel.
Kepada dia dijanjikan uang, senjata, rumah, dan “kehormatan semu” sebagai pelindung rakyat Gaza—padahal sejatinya ia melindungi rencana penjajahan.

Para budak kolonial ini diberi kebebasan menjarah truk bantuan di bawah lindungan tank Israel. Mereka membunuh polisi Gaza yang mencoba menegakkan hukum. Dan setiap kali Hamas mencoba menumpas mereka, drone Israel menembaki Hamas dengan alasan “menargetkan teroris.”

Itulah bentuk baru kolonialisme: menjadikan pengkhianatan sebagai profesi.


---

4. Gagalnya Skema Kolonial: Budak yang Tak Diterima Bangsanya

Namun seperti di Lebanon dulu, eksperimen ini mulai gagal.
Geng-geng buatan Israel ini tidak pernah diterima rakyat Gaza—tidak oleh keluarganya sendiri, bahkan oleh klannya. Mereka diasingkan, dikutuk, dan diburu oleh masyarakat yang sadar bahwa tangan mereka berlumur darah sesama.

Alih-alih menghancurkan Hamas, taktik ini justru memperkuatnya.
Warga Gaza yang muak dengan kekacauan mulai kembali ke barisan perlawanan. Hamas kini membentuk “Unit Panah”, pasukan yang bertugas memburu geng kriminal dan kolaborator.
Kematian para pengkhianat itu menjadi simbol kebangkitan baru Gaza: bahwa kehormatan tidak bisa dibeli, dan penjajahan tidak bisa dipoles dengan dalih keamanan.


---

5. Desa Potemkin: Menjual Ilusi Rekonstruksi

Namun, Israel tidak berhenti di situ.
Kini mereka mulai membangun “desa-desa percontohan”—sebuah proyek kosmetik yang disebut “rekonstruksi Gaza.”
Padahal, wilayah yang akan dibangun hanyalah 58% zona yang kini kosong dari penduduk—kecuali para geng dan keluarga mereka yang menjadi “model warga Gaza baru.”

Seperti desa Potemkin di era Tsar Rusia, ini hanyalah panggung palsu: fasad beton untuk menipu dunia bahwa Gaza sedang dibangun, padahal dua juta warganya dibiarkan mati kelaparan di luar pagar.
Israel ingin dunia melihat Abu Shabab dan gengnya sebagai simbol “pemulihan”, agar dunia lupa bahwa yang mereka bangun bukan kehidupan, melainkan kuburan yang diberi cat baru.


---

6. Kolonialisme 2.0: Pemerintahan Melalui Kekacauan

Dalam pandangan Israel, budak kolonial ini berfungsi seperti virus: menyebarkan keruntuhan dari dalam, menghancurkan kepercayaan, memecah solidaritas, dan menanamkan rasa takut terhadap sesama.
Inilah kolonialisme 2.0—pemerintahan tanpa pemerintahan, penjajahan tanpa bendera.

Mereka bukan penjajah yang datang dengan tank, tapi dengan uang, senjata, dan janji palsu.
Mereka tidak berperang untuk tanah, tapi untuk legitimasi narasi bahwa “Palestina gagal karena dirinya sendiri.”


---

7. Kesimpulan: Antara Pengkhianat dan Pewaris

Namun sejarah memiliki logika sendiri.
Setiap kali penjajahan menanamkan pengkhianat, tanah itu menumbuhkan pewaris.
Setiap kali Gaza dilumpuhkan, dari reruntuhannya lahir generasi yang lebih keras kepala, lebih jujur, dan lebih siap mati daripada menyerah.

Budak-budak kolonial akan hilang bersama tuannya.
Tapi Gaza, seperti Al-Quds dan Beirut, akan tetap menulis kisahnya sendiri—bukan dengan tinta propaganda, melainkan dengan darah orang-orang yang menolak tunduk.

Kebodohan Israel dalam Diplomasi dan Perang: Era Modern dan Bani Israil  “Mereka mengira sedang membangun kekuatan, padahal mere...


Kebodohan Israel dalam Diplomasi dan Perang: Era Modern dan Bani Israil 


“Mereka mengira sedang membangun kekuatan, padahal mereka sedang menggali lubang kejatuhan.”
— Refleksi atas sejarah Bani Israil dan Zionisme modern



Prolog: Negeri yang Menolak Belajar dari Sejarah

Setiap kekuatan besar memiliki masa ketika mereka tidak lagi mampu mendengar suara kebenaran. Bukan karena telinga mereka tuli, tapi karena kesombongan menutup ruang tafakkur. Israel hari ini berada pada titik itu—berjalan di atas bara sejarah yang sama, dengan langkah-langkah yang sudah ditunjukkan oleh Bani Israil ribuan tahun lalu: keras kepala, menolak nasihat, dan menantang hukum keadilan Allah.

Dalam tafsir Al-Qurthubi atas Surah Al-Baqarah ayat 61, para mufasir menulis:

 “Kebinasaan mereka bukan karena kurang pengetahuan, tapi karena kesombongan setelah tahu kebenaran.”

Maka sejarah pun berulang—kali ini di Gaza, di mana negeri yang menganggap dirinya “bangsa pilihan” kembali terperosok dalam jebakan ilahiah: kebodohan yang disangka strategi.


---

1. Melanggar Perjanjian: Tradisi Lama yang Berulang

Tidak ada dosa diplomasi yang lebih fatal selain mengingkari janji di depan dunia.
Perjanjian Oslo (1993), Wye River (1998), Annapolis (2007)—semuanya menjadi saksi bahwa Israel memandang perjanjian bukan sebagai jalan damai, tapi alat manipulasi waktu.

Laporan The Guardian (2024) mengungkap bahwa Israel menolak lebih dari 60 resolusi PBB yang menyerukan penghentian pembangunan pemukiman ilegal.
Profesor Rashid Khalidi dari Columbia University menyebut:

 “Israel tidak pernah melihat perjanjian sebagai kontrak moral. Bagi mereka, itu hanya jeda taktis antara dua penaklukan.”

Seperti Bani Israil di masa Musa yang berjanji untuk taat, namun segera menyembah anak lembu, demikian pula Zionis modern—mengangkat pena di meja perundingan, lalu mengangkat senjata di hari berikutnya.


---

2. Genosida: Kekerasan yang Mengundang Kejatuhan Moral

Ketika kezaliman berubah menjadi kebijakan negara, maka keruntuhan moral tak bisa ditunda.
PBB (Juni 2025) melaporkan lebih dari 42.000 warga sipil Gaza terbunuh, 70% di antaranya perempuan dan anak-anak.
Mahkamah Internasional (ICJ) menuduh Israel melakukan genosida, sementara Amnesty International menulis bahwa Israel “secara sistematis menghancurkan kehidupan sipil sebagai instrumen politik.”

Israel mengira bahwa menumpahkan darah akan menghapus perlawanan.
Namun seperti dikatakan Sayyid Qutb dalam Fi Zhilal al-Qur’an:

 “Darah syuhada bukan tanda kekalahan, tapi tanda bahwa bumi telah menolak kezaliman.”

Inilah kebodohan yang paling tragis: mereka membunuh anak-anak, tapi justru menanam benih ideologi perlawanan yang tak bisa dibom.


---

3. Menyerang Iran: Menantang Kekuatan di Luar Nalar

April 2024, Reuters dan Al Jazeera melaporkan: Israel meluncurkan serangan drone ke pangkalan militer di Isfahan, Iran. Dunia menahan napas.
Iran membalas dengan hujan rudal balistik ke Tel Aviv.
Hanya keberuntungan diplomasi Amerika yang mencegah perang besar.

Namun, di balik itu, muncul paradoks:
Israel ingin menampilkan kekuatan, tetapi justru memperlihatkan ketergantungan total pada AS dan Eropa.

Analisis Foreign Affairs menyebut tindakan itu sebagai “strategi kebodohan hegemonik”—berani menyerang tanpa kesiapan menghadapi konsekuensi global.

Seperti Bani Israil yang menantang kaum Amalek tanpa izin Allah (QS. Al-Ma’idah: 21–24), lalu kalah telak, Israel modern pun mengulangi pola lama: sombong sebelum berperang, lalu bersembunyi di balik sekutu ketika kalah.


---

4. Menyerang Qatar: Menggigit Tangan yang Memberi Napas

Qatar adalah mediator utama di Gaza—menyalurkan bantuan kemanusiaan, memfasilitasi pertukaran tawanan, dan mengalirkan gaji pegawai sipil Palestina.
Namun laporan The New York Times (Februari 2025) menyebut, Israel secara terbuka menuduh Qatar “mendanai terorisme” karena menyalurkan dana lewat UNRWA.

Padahal, dana itu yang selama ini menahan Gaza dari kelaparan total.
Dengan menuduh Qatar, Israel menutup satu-satunya pintu negosiasi yang masih terbuka.

Dr. Marwan Bishara (Al Jazeera Analyst) menyebut:

“Israel menembak kaki sendiri. Qatar adalah jembatan terakhir antara dunia Arab dan Barat. Menghancurkannya adalah bunuh diri diplomatik.”

Bani Israil pernah melakukan hal serupa—menolak manna dan salwa yang Allah beri, dan meminta makanan yang lebih rendah nilainya (Al-Baqarah: 61).
Kini Israel modern menolak bantuan diplomatik dan memilih bara permusuhan.


---

5. Menyerang Negara Perbatasan: Menciptakan Musuh dari Segala Arah

Lebanon, Suriah, dan Yordania—tiga negara yang seharusnya menjadi buffer stabilitas, kini berubah menjadi medan panas akibat ulah Israel.
Serangan udara Israel ke Lebanon selatan (2025) menewaskan pekerja sipil dan menghancurkan proyek rekonstruksi, dilaporkan oleh Reuters dan France24.
Hizbullah membalas dengan roket ke Galilea; ratusan keluarga Yahudi di utara Israel mengungsi.

The Economist menulis:

 “Israel kini dikelilingi oleh tembok ketakutan yang ia bangun sendiri.”

Seperti Bani Israil di padang Tih yang takut melawan musuh karena dosa mereka sendiri, Israel kini hidup dalam paranoia—melihat setiap tetangga sebagai ancaman, bukan peluang damai.


---

6. Keputusan Aneksasi Tepi Barat: Menyulut Api yang Tak Akan Padam

Pada 2024, parlemen Israel mengesahkan rancangan hukum yang memperluas yurisdiksi sipil atas Tepi Barat, langkah yang disebut The Washington Post sebagai “pengakuan de facto atas aneksasi.”

Keputusan ini menandai akhir “solusi dua negara.”
Bahkan Uni Eropa menilai kebijakan itu “menutup peluang perdamaian untuk satu generasi ke depan.”

Namun Netanyahu menyebutnya “pemenuhan janji ilahi.”
Ironinya, klaim itu justru menyeret Israel ke jurang internasional—kehilangan dukungan moral dan diplomatik, bahkan dari sekutu Barat.

Seperti Bani Israil yang mengklaim tanah suci tapi menolak hukum Allah di dalamnya, Israel modern ingin menguasai wilayah tanpa keadilan di dalamnya.


---

7. Mengandalkan Propaganda daripada Kebenaran

Israel memenangi perang informasi di abad ke-20, tapi kalah telak di abad ke-21.
Laporan BBC dan The Intercept (2025) menunjukkan bahwa kampanye media Israel di X dan TikTok gagal karena diserbu oleh narasi independen dari warga Gaza.

Rakyat dunia menyaksikan genosida secara real-time.
Foto anak-anak di reruntuhan lebih kuat dari ribuan juru bicara pemerintah.

Seorang analis media dari Harvard Kennedy School, Prof. Nicco Mele, menulis:

“Israel sedang menghadapi kekuatan baru: empati digital. Anda tidak bisa memanipulasi nurani publik selamanya.”

Inilah kebodohan baru: ketika kebenaran bisa direkam oleh ponsel, kebohongan negara menjadi bahan tertawaan sejarah.


---

8. Mengabaikan Diaspora Yahudi yang Menolak Genosida

Gelombang protes dari komunitas Yahudi sendiri mengguncang fondasi Zionisme.
Gerakan Jewish Voice for Peace di AS, Not in Our Name di Inggris, dan ratusan rabbi progresif menolak genosida di Gaza.

Survei Haaretz (Juli 2025) menunjukkan 37% Yahudi muda di diaspora tidak lagi mendukung Israel secara moral.

Namun, alih-alih mendengar, pemerintah Israel menuduh mereka “pengkhianat.”
Inilah kebodohan spiritual yang sama seperti nenek moyang mereka—menolak nabi-nabi yang datang dari bangsa sendiri karena tidak sesuai dengan ambisi duniawi.


---

9. Mengandalkan Amerika Serikat Secara Buta

Ketergantungan total kepada Washington kini menjadi kutukan.
Kongres AS mulai terbelah; gerakan mahasiswa di universitas-universitas besar menolak pendanaan perang Israel.
The Washington Post (2025) melaporkan bahwa sebagian senator mulai menolak tambahan bantuan militer senilai $14 miliar.

Sejarah membuktikan: bangsa yang menggantungkan diri pada kekuatan luar akan runtuh ketika sekutunya berubah arah.
Seperti kaum Bani Israil yang meminta raja lain memimpin mereka karena kehilangan iman kepada Allah (Al-Baqarah: 246), Israel kini kehilangan kemandirian spiritual dan moral.


---

10. Mengabaikan Hukum Alam: Bahwa Kezaliman Tidak Pernah Menang Lama

Setiap kezaliman memiliki tanggal kadaluarsa.
Seperti Fir’aun yang tenggelam bukan karena Musa kuat, tapi karena air tunduk pada perintah Allah.
Demikian pula Israel—kemenangan militernya menyembunyikan kekalahan moral yang semakin nyata.

The Economist Intelligence Unit (2025) melaporkan penurunan besar dalam “kepercayaan global terhadap Israel” dan lonjakan isolasi diplomatik.
Bahkan perusahaan besar seperti Nestlé dan Unilever menarik investasinya dari Israel akibat tekanan publik.

Allah berfirman:

 “Dan janganlah engkau mengira bahwa Allah lalai terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim.” (Ibrahim: 42)


---

Refleksi Akhir: Sejarah yang Menyempurnakan Hukum Allah

Dalam tafsir Ibn Katsir atas Surah Al-Ankabut:40, disebutkan:

 “Allah tidak mengazab kaum yang zalim sekaligus, melainkan memberi mereka kesempatan agar keburukan mereka sempurna, sehingga azab turun dengan keadilan penuh.”

Mungkin inilah fase yang kini kita saksikan.
Kebodohan demi kebodohan Israel bukan kebetulan, tetapi bagian dari sunnatullah agar dunia melihat—bahwa bangsa yang menolak rahmat Allah akan hancur oleh logika kekuatannya sendiri.

Gaza mungkin tampak kalah di mata dunia, tetapi seperti doa-doa di langit malamnya, ia sedang menjadi saksi bahwa keadilan Allah tidak tidur.

 “Dan mereka merencanakan tipu daya, maka Kami pun merencanakan tipu daya, sedang mereka tidak menyadarinya.”
(An-Naml: 50)


---

Epilog: Kebenaran yang Tidak Bisa Dihancurkan

Mungkin ini saatnya dunia berhenti memandang Gaza sebagai perang, dan mulai melihatnya sebagai cermin.
Setiap roket yang jatuh, setiap rumah yang runtuh, dan setiap doa ibu yang kehilangan anak—semuanya sedang menulis babak baru sejarah.

Israel bisa menang di medan tempur, tetapi ia sedang kalah dalam peperangan yang lebih besar: perang melawan hati nurani manusia.

Dan di sanalah, seperti dalam setiap kisah nabi dan tiran sebelumnya,
keputusan Allah yang adil sedang bergerak — pelan, tapi pasti.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (361) Al-Qur’an (6) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fiqh (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) kecerdasan (2) Kecerdasan (263) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) kisah para nabi dan rasul (1) Kisah para nabi dan rasul (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (577) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) nusantara (3) Nusantara (249) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (568) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (260) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah penguasa (6) Sirah Penguasa (243) sirah Sahabat (2) Sirah Sahabat (160) Sirah Tabiin (43) Sirah ulama (21) Sirah Ulama (157) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)