basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Israel: Negara di Atas Gelombang Oleh: Nasrulloh Baksolahar Israel adalah negara di atas gelombang—mengambang di atas riak sejar...

Israel: Negara di Atas Gelombang

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Israel adalah negara di atas gelombang—mengambang di atas riak sejarah yang dipaksakan, berdiri di antara badai politik, gelora konflik, dan reruntuhan nilai kemanusiaan. Ia bukan lahir dari kedalaman nurani umat manusia, melainkan dari laboratorium kolonialisme modern, di mana luka dijadikan dasar negara, dan pengusiran dianggap permulaan harapan.

Ini adalah negara tanpa tujuan kemanusiaan. Ia tidak dibangun untuk menciptakan kedamaian universal, tetapi untuk melindungi eksklusivitas satu kelompok atas nama sejarah dan penderitaan masa lalu. Tujuannya bukan inklusi, melainkan pemisahan. Bukan keadilan, melainkan kekuasaan. Negara ini menyebut dirinya demokrasi, tapi gagal memberi ruang bagi martabat manusia yang berbeda darinya.

Ia pun negara tanpa undang-undang dasar. Tanpa konstitusi yang utuh, ia menjelma menjadi negara yang dapat diatur sesuka waktu dan suara mayoritas dominan. Hukum bukan pilar keadilan, tapi alat politik. Maka rakyat tak dilindungi oleh kesepakatan luhur, melainkan oleh siapa yang berkuasa hari ini. Keadilan menjadi relatif, dan demokrasi menjadi manipulasi.

Israel adalah negara tanpa tanah air—karena tanahnya diperoleh bukan dengan cinta, melainkan dengan paksa. Diproklamirkan bukan di atas sejarah sosial bersama, tapi di atas reruntuhan desa-desa Palestina yang dihancurkan. Ia tidak tumbuh dari akar organik yang menghormati penghuni lama, tapi dari bibit ideologi yang menafikan eksistensi orang lain. Inilah tanah air yang dideklarasikan, bukan diwarisi.

Negara ini juga berisi kelompok masyarakat yang terus berkonflik. Yahudi Ortodoks menolak Yahudi sekuler. Yahudi Rusia bersitegang dengan Yahudi Etiopia. Arab Israel hidup dalam ketakutan. Palestina di wilayah pendudukan hidup dalam keterasingan. Tak ada identitas tunggal yang menyatukan, hanya musuh bersama yang dijadikan alasan untuk tetap saling bertahan. Sebuah masyarakat yang retak dari dalam, meski berusaha utuh di luar.

Ini juga adalah negara tanpa penduduk asli. Orang-orang yang menanam zaitun, mengumandangkan azan, membunyikan lonceng gereja, dan menggembala sejak berabad-abad lamanya—disebut tak ada. Mereka diusir, dilabeli asing, lalu dijadikan target. Sementara yang datang dari jauh, dari Eropa, dari Amerika, dari Rusia—dianggap “pulang”. Inilah ironi: negeri yang mengusir anak kandung, lalu menyambut tamu sebagai pewaris tunggal.

Israel bahkan dipenuhi warga dengan kewarganegaraan ganda. Banyak dari mereka datang bukan karena cinta tanah air, melainkan karena kesempatan, atau sekadar pelarian dari krisis identitas. Paspor Amerika di satu saku, paspor Israel di saku lainnya. Dalam damai, mereka hidup di Tel Aviv. Dalam bahaya, mereka pulang ke New York atau Berlin. Sebuah negara yang warganya bisa meninggalkan tanahnya kapan saja—karena tanah itu belum benar-benar menjadi “milik hati”.

Dan yang paling nyata: Israel adalah negara yang terus berperang dengan tetangganya. Tak ada hari tanpa ketegangan. Mesir, Suriah, Lebanon, Yordania, Iran—semua pernah atau sedang menjadi musuh. Palestina, tetangga yang ditolak keberadaannya, terus menjadi korban dan kambing hitam. Israel bukanlah rumah dalam lingkaran damai, melainkan benteng dalam lautan konflik.



Akhirnya...

Israel berdiri, tapi goyah.
Ia bersinar, tapi dari api, bukan cahaya.
Ia bertahan, tapi di atas ketakutan.
Ia ada, tapi belum menjadi negara yang seutuhnya hidup.

Sebab negara sejati bukan dibangun dari klaim sejarah, tapi dari keberanian memberi ruang bagi orang lain.
Bukan dari dinding beton dan senjata, tapi dari keadilan dan pengakuan.
Dan selama itu belum terjadi, Israel akan tetap menjadi… negara di atas gelombang—yang setiap saat bisa dihantam oleh gelombang yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Tanah yang Menolak Dikosongkan Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di ujung dunia yang dipagari tembok, kawat berduri, dan sanksi senjat...


Tanah yang Menolak Dikosongkan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Di ujung dunia yang dipagari tembok, kawat berduri, dan sanksi senjata paling mematikan, ada sebuah bangsa yang terus mencoba dihapus dari peta. Bukan hanya peta geopolitik, tapi juga dari peta demografi, dari sejarah, bahkan dari ingatan. Itulah proyek paling gelap yang kini sedang dijalankan: depopulasi—usaha sistematis untuk mengurangi, menggusur, menghapus satu bangsa dari tanah yang mereka cintai, dan yang mencintai mereka kembali.

Palestina, terutama Gaza dan Tepi Barat, sedang menghadapi ujian sejarah semacam ini. Tapi sejarah punya memori panjang. Ia tahu, pernah ada benua seperti Amerika dan Australia yang berhasil dibersihkan dari penduduk aslinya oleh para kolonialis. Dengan senjata, penyakit, propaganda, dan hukum buatan, para penjajah Eropa menciptakan dunia baru—tanpa orang lama. Maka pertanyaannya muncul kembali hari ini: apakah Israel sedang dan akan berhasil melakukan hal yang sama di Palestina?



Gaza: Tidak Punya Tempat Lain

Di Gaza, orang-orang lahir bukan dengan paspor, tapi dengan nasib. Mereka tidak punya tempat untuk lari. Tak ada rumah kedua di Toronto. Tak ada nenek moyang yang bisa ditelusuri untuk mendapatkan kewarganegaraan Jerman. Mereka lahir di kamp pengungsi, besar di bawah drone, tidur dalam suara dentuman. Tapi besok paginya mereka bangun—dan tetap tinggal.

Gaza tidak punya rencana cadangan. Karena tanah itu bukan hanya tempat, tapi harga diri. Dan kehormatan, bagi bangsa yang telah dihancurkan berkali-kali, justru menjadi alasan untuk tidak pergi.

Israel tahu ini. Maka senjata mereka tidak hanya bom dan peluru. Tapi juga kelaparan, pengungsian internal, pemusnahan infrastruktur, dan blokade yang menusuk ke perut anak-anak. Ini bukan sekadar perang. Ini perhitungan penduduk. Ini politik angka hidup dan mati.



Tepi Barat: Tanah yang Digigit Sedikit Demi Sedikit

Sementara itu, di Tepi Barat, depopulasi berjalan dengan cara yang lebih sunyi, tapi tak kalah sistematis. Pemukim ilegal—datang dengan paspor ganda dan perlindungan militer—mengambil tanah hektar demi hektar. Penduduk Palestina ditekan oleh hukum, dikurung dalam dinding, dan dihadapkan pada pilihan: pergi atau tenggelam dalam penderitaan yang perlahan.

Ada desa-desa yang tak lagi punya nama di peta. Ada ladang zaitun yang berubah menjadi jalan bagi militer. Dan ada keluarga yang melihat rumahnya dihancurkan bukan karena perang, tapi karena surat dari “pengadilan pemukim.”

Israel membangun jalan, hukum, dan tembok, bukan untuk semua orang, tapi untuk sebagian—yang datang dari luar dan diberi hak atas tanah yang bukan milik mereka. Itu bukan pembangunan. Itu pembersihan.



Rintangan yang Tak Bisa Ditembus Senjata

Tapi ada satu hal yang tidak bisa diatasi oleh sistem canggih Israel: tekad rakyat Palestina. Mereka yang tidak punya tempat pergi, tak bisa diusir semudah itu. Mereka tidak hanya tinggal di tanah itu, mereka menjadi tanah itu. Tidak ada senjata yang bisa memisahkan akar dari bumi tanpa membuat keduanya mati.

Tekanan internasional mulai berubah. Mahkamah Internasional menyebut ini sebagai genosida. Opini publik global—terutama generasi muda—tidak lagi diam. Dan di setiap reruntuhan sekolah Gaza, ada tangan kecil yang memegang buku, bukan untuk pergi dari sejarah, tapi untuk menulisnya ulang.



Tanah yang Akan Memihak yang Bertahan

Dalam sejarah, penjajah selalu datang dengan kekuatan. Tapi mereka yang bertahan selalu datang dengan cinta. Dan cinta, dalam bentuk yang paling murni, adalah ketika seseorang tinggal di tempat yang ingin membunuhnya—karena dia tahu, tanah itu lebih membutuhkannya daripada ketakutannya sendiri.

Israel mungkin bisa mengguncang dunia dengan teknologi militer. Tapi rakyat Gaza mengguncang nurani dunia dengan daya tahannya.

“Depopulasi hanya bisa terjadi jika penduduknya menyerah. Tapi Gaza tidak menyerah. Dan Tepi Barat masih melawan—dalam bisu, dalam diam, dalam doa, dalam batu, dalam darah.”

Tanah Palestina, dalam luka-lukanya, tetap hidup. Dan selama ada satu keluarga yang menolak meninggalkan rumahnya, sejarah akan menulis ulang dirinya sendiri: bukan untuk mereka yang datang, tapi untuk mereka yang tetap tinggal.

Ketika Warga Israel Bersiap Pergi Sebelum Negara Runtuh Oleh: Nasrulloh Baksolahar Watak Diaspora dalam Paspor Ganda Di balik wa...

Ketika Warga Israel Bersiap Pergi Sebelum Negara Runtuh

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Watak Diaspora dalam Paspor Ganda

Di balik wajah modern Israel—dengan kibbutz teknologi, kampus elit, dan kekuatan militer termutakhir—tersimpan kecemasan laten yang diwariskan selama ribuan tahun: ketidakpastian akan tempat tinggal terakhir. Maka tak heran jika kewarganegaraan ganda menjadi bukan hanya dokumen hukum, tetapi cermin watak historis bangsa Yahudi itu sendiri.

Sejak pengusiran dari tanah Kanaan oleh Babilonia dan Romawi, lalu diaspora panjang akibat Inkuisisi, pogrom, hingga Holocaust, bangsa Yahudi terbiasa hidup tanpa tanah tetap. Mereka tak tumbuh dengan akar, melainkan dengan sayap: fleksibilitas identitas dan mobilitas lintas batas.

Mereka ahli bertahan bukan dengan benteng lagi, tapi juga dengan cadangan pilihan tempat hidup. Dan hari ini, bentuk modernnya adalah paspor asing di samping paspor Israel.

Di sinilah paspor ganda menjadi warisan yang tak tertulis dari mentalitas diaspora. Tradisi Exodus tak pernah benar-benar selesai. Bahkan setelah berdirinya negara Israel, banyak Yahudi—terutama kalangan sekuler—tetap menyimpan satu pintu keluar. Mereka mencintai tanah ini, tapi tidak yakin akan tinggal selamanya.



Konflik Mendorong Pintu Darurat

Seiring memburuknya konflik di kawasan, gelombang permohonan paspor asing melonjak—terutama setelah serangan 7 Oktober 2023 oleh Hamas. Ketakutan bukan hanya pada roket, tapi pada masa depan yang tak stabil:

Ketegangan di Gaza dan Tepi Barat yang tak kunjung selesai.

Ancaman rudal dari Hizbullah Lebanon dan Suriah yang makin presisi.

Serangan rudal dari Ansarullah Yaman yang kini menyasar Laut Merah dan Tel Aviv.

Warga Israel, khususnya yang sekuler dan berpendidikan, menyediakan paspor asing bagi anak-anak mereka bahkan sebelum anak itu bisa bicara. Mereka mendatangi konsulat Jerman, Polandia, Kanada, atau Prancis. Bukan untuk pindah esok hari—tapi untuk bersiap bila esok tak ada lagi.

Hari ini, paspor asing lebih bernilai dari rumah, tanah, bahkan saham teknologi.



Mengapa Israel Mengizinkan Kewarganegaraan Ganda?

Israel sangat longgar soal paspor ganda. Bukan tanpa alasan:

1. Sejarah Imigrasi dan Aliyah

Negara ini dibangun dari orang-orang yang datang dari Rusia, Eropa, AS, Yaman, dan Afrika Utara. Mereka tiba dengan membawa paspor lama, dan Israel tidak ingin memutuskan keterhubungan mereka dengan dunia luar—terutama karena Yahudi diaspora punya pengaruh politik dan ekonomi global.

2. Mobilitas dan Keamanan

Kewarganegaraan ganda memudahkan warganya bepergian ke negara yang tidak bersahabat dengan Israel—tanpa membuka identitas.

3. Asuransi Politik

Bagi sebagian warga, paspor asing adalah jalan kabur darurat jika konflik sipil meledak, pemerintah ekstremis berkuasa, atau ekonomi kolaps. Paspor itu menjadi jaminan hidup alternatif—sebuah “Plan B” kolektif bangsa yang masih trauma oleh sejarahnya sendiri.



Kelompok Mana yang Paling Banyak Punya Paspor Ganda?

Kaum Sekuler — PALING BANYAK

Berasal dari latar imigran Eropa dan Amerika.

Paling sadar risiko politik dan ekonomi.

Anak-anak mereka yang lahir di Israel pun didaftarkan untuk paspor Jerman, Polandia, atau AS.


Arab Israel — JUGA CUKUP BANYAK, Tapi Dengan Nuansa Lain

Sebagian memiliki koneksi ke Yordania, Tepi Barat, bahkan Eropa.

Bagi mereka, paspor asing adalah jembatan identitas, bukan strategi kabur.


Pemukim Ilegal Yahudi — BANYAK JUGA

Ironis: mereka paling vokal tentang “tanah yang dijanjikan,” tapi tetap menyimpan paspor Prancis atau AS.

Banyak dari mereka adalah imigran yang belum melepas kewarganegaraan lama.


Haredim — PALING SEDIKIT

Hidup dalam komunitas tertutup, fokus agama.

Kurang peduli urusan internasional.

Meski begitu, sebagian kecil masih menyimpan paspor lama dari diaspora.



Ancaman Bagi Masa Depan Israel

1. Brain Drain

Paspor asing membuat generasi muda berbakat mudah pindah ke luar negeri—dan mereka tidak kembali.

2. Krisis Loyalitas

Saat Israel berkonflik dengan negara lain, warga dengan paspor asing bisa ditarik oleh kesetiaan ganda.

3. Ketimpangan Sosial Baru

Paspor menjadi kelas sosial: yang punya bebas ke luar negeri, punya opsi masa depan. Yang tidak? Terjebak dalam krisis internal.

4. Ancaman Keamanan

Paspor ganda bisa digunakan untuk menyelundupkan identitas, logistik, atau informasi. Ini menciptakan potensi lubang intelijen.



Negara dengan Dua Jiwa

Israel adalah negara yang dibangun oleh mimpi dan trauma. Tapi kini, banyak warganya hidup dengan dua paspor dan dua kemungkinan masa depan. Yang satu sebagai warga negara Israel. Yang lain sebagai pewaris trauma diaspora—yang tahu bahwa sejarah bisa berulang.

Saat anak-anak Tel Aviv punya paspor Berlin dan anak-anak pemukiman ekstrem punya paspor New York, pertanyaannya bukan lagi “apakah mereka cinta Israel?” tapi “apakah mereka siap tinggal jika Israel berubah?”

Masa Depan Penjajah Israel yang Kian Retak Oleh: Nasrulloh Baksolahar Dalam bayang-bayang menara-menara kaca Tel Aviv, pusat ken...


Masa Depan Penjajah Israel yang Kian Retak


Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Dalam bayang-bayang menara-menara kaca Tel Aviv, pusat kendali Iron Dome, dan barak-barak elit militer Unit 8200, berdetak sebuah bom waktu sosial dan demografis yang nyaris tak terdengar. Israel, negara kecil dengan reputasi besar di bidang militer dan teknologi, kini menghadapi ancaman yang tak datang dari luar, melainkan dari dalam tubuhnya sendiri. Bukan roket, bukan embargo, bukan tekanan diplomatik yang paling membahayakan masa depan Israel—melainkan ketegangan sosial yang kian mengkristal di antara empat kelompok besar masyarakatnya.

Masing-masing kelompok itu membawa dunia sendiri. Mereka hidup berdampingan, tapi tidak berjalan searah. Mereka memakai bahasa yang sama, tapi bicara dalam logika yang berbeda. Dan bila tak segera ada koreksi arah, benturan di antara mereka bisa menjadi lebih dahsyat dari semua perang yang pernah mereka menangkan.



Sekuler: Otak Negara yang Perlahan Pergi

Mereka adalah para insinyur, ilmuwan, pendiri startup, jenderal militer, diplomat, dan ekonom. Mereka membangun citra Israel sebagai “Start-Up Nation” yang disegani dunia. Tapi kini, mereka mulai merasa asing di tanah yang dulu mereka rancang.

Mereka melihat negara yang mereka bangun mulai diambil alih oleh aturan agama yang tak mereka pilih, oleh politik sayap kanan yang menusuk akal sehat, dan oleh anggaran negara yang lebih banyak mengalir ke yeshiva daripada ke riset dan pengembangan.

Mereka tidak marah. Mereka hanya meninggalkan. Berbondong-bondong menuju Berlin, Toronto, New York, Paris. Mereka membawa koper, ijazah, dan kenangan akan sebuah negara yang mungkin tidak akan pernah kembali seperti semula.



Haredim: Menang Dalam Jumlah, Tapi Tidak Dalam Gagasan

Di sisi lain, komunitas Haredim terus tumbuh dalam jumlah dan kekuatan politik. Setiap tahun, anak-anak Haredi memenuhi ruang-ruang kelas yang menolak matematika, sains, dan bahasa Inggris. Mereka belajar Taurat siang malam, menolak wajib militer, dan sebagian besar hidup dari subsidi negara.

Namun pertumbuhan populasi mereka sangat cepat—jauh melampaui kelompok lainnya. Ini bukan sekadar angka kelahiran, tapi arah masa depan.

Pertanyaannya: apa jadinya Israel jika mayoritas penduduknya tidak bekerja, tidak mau belajar teknologi, dan tidak mempercayai negara demokratis sekuler?



Para Pemukim: Menanam Ideologi di Atas Tanah Sengketa

Mereka menyebut diri sebagai penjaga tanah yang dijanjikan, meski dunia menyebut mereka pelanggar hukum internasional. Para pemukim Yahudi di Tepi Barat adalah perpaduan antara nasionalisme religius dan fanatisme ideologis. Mereka memperluas permukiman dengan dukungan penuh pemerintah, dilindungi tentara, dan dibiayai oleh pajak yang dibayar oleh kelompok sekuler.

Mereka bukan sekadar beban fiskal. Mereka adalah sumber ketegangan geopolitik yang tak kunjung padam. Mereka memperkecil kemungkinan perdamaian dengan Palestina, memicu kemarahan dunia Arab, dan mendorong Israel ke jurang keterasingan diplomatik.

Israel boleh menambah wilayah fisik, tapi kehilangan wilayah moral dan politik.



Arab Israel: Warga yang Tak Pernah Dianggap Penuh

Berjumlah hampir 20% dari populasi, Arab Israel adalah warga negara yang hidup di antara pengakuan dan penolakan. Mereka membayar pajak, belajar, bekerja sebagai dokter, pengacara, sopir, guru. Tapi mereka tidak pernah menjadi “kita”. Mereka tetap “mereka”.

Namun di balik diskriminasi dan pengucilan itu, muncul generasi baru yang terdidik, melek teknologi, dan punya ambisi. Mereka tidak lagi sekadar bertahan. Mereka mulai bersaing. Dan ketika ruang terus ditutup, mereka bisa berubah dari jembatan perdamaian menjadi simbol perlawanan internal.



Israel yang Akan Datang: Negara Tanpa Pusat Kekuatan 

Jika tren ini terus berlanjut, Israel di masa depan bukan lagi negara kuat dengan fondasi sekuler dan teknologi tinggi. Ia akan menjadi negara dengan pusat yang kosong:

Inovasi tetap ada, tapi tak sebesar dulu—karena para penciptanya sudah pindah ke luar negeri.

Militer tetap kuat, tapi dijalankan oleh negara yang makin tertutup dan religius.

Ekonomi tetap hidup, tapi diseret oleh beban subsidi untuk kelompok yang tak produktif.

Politik tetap sibuk, tapi hanya mengurus konflik internal dan eksternal yang tak kunjung selesai.

Dan yang paling parah: dunia internasional bisa kehilangan kepercayaan terhadap Israel sebagai mitra yang rasional. Negara-negara yang dulu jadi sekutu bisa mulai menjauh. Geopolitik berubah. Diplomasi meredup.



Dari Ancaman Luar ke Ledakan Dalam

Israel dibangun oleh mimpi besar dan ketakutan besar. Tapi kini, ancaman terbesarnya bukan dari luar, melainkan dari dalam. Saat kaum sekuler pergi, Haredim tumbuh, pemukim meledakkan batas, dan Arab Israel terus dipinggirkan—Israel sedang menciptakan sebuah dunia dengan banyak kutub tapi tanpa pusat.

Pertanyaannya bukan lagi: “Apakah Israel akan bertahan?”
Tapi: “Israel yang mana yang akan bertahan?”
Apakah yang modern dan terbuka? Ataukah yang religius dan eksklusif?



Jika tak ada arah bersama yang disepakati, maka kekuatan militer dan teknologi tak akan cukup menyelamatkan Israel dari kehancuran yang perlahan tapi pasti—karena negara bisa bertahan dari musuh luar, tapi tak bisa diselamatkan dari pertikaian di dalam rumah sendiri.

Ketika Tulang Punggung Penjajah Israel Perlahan Pergi Oleh: Nasrulloh Baksolahar Di tengah debu konflik dan percikan senjata di ...


Ketika Tulang Punggung Penjajah Israel Perlahan Pergi

Oleh: Nasrulloh Baksolahar



Di tengah debu konflik dan percikan senjata di Timur Tengah, ada cerita yang lebih diam, tapi lebih dalam: migrasi. Bukan tentang satu dua orang yang pindah rumah, tapi tentang pergerakan ribuan manusia—yang datang ke Israel dengan harapan, lalu pergi dengan getir. Inilah narasi tentang bagaimana negara yang dibangun oleh para pendatang, kini mulai kehilangan daya tariknya sebagai “tanah impian.”



Imigran: Bukan Tentara, Tapi Tulang Punggung

Israel lahir dari semangat aliyah—hijrah orang Yahudi ke Tanah yang Dijanjikan. Namun, bukan militer yang membentuk kekuatan Israel, melainkan para imigran. Mereka membawa keahlian di bidang teknologi, medis, pertanian, hingga keuangan. Mereka adalah tenaga penggerak ekonomi, para inovator di Tel Aviv, peneliti di Haifa, dan insinyur di Negev.

Selama beberapa dekade, imigrasi menjadi kebanggaan. Pemerintah menggelontorkan miliaran shekel untuk program penyambutan, pendidikan, hingga subsidi perumahan bagi para olim—sebutan bagi para pendatang Yahudi. Bahkan dalam kondisi sulit, seperti saat perang Rusia-Ukraina, puluhan ribu Yahudi datang ke Israel karena diyakini lebih aman dan menjanjikan.

Namun, sejak 2023, angin mulai berubah. Dari negeri yang dibanjiri harapan, Israel mulai disusupi arus sebaliknya: emigrasi.



Dari Janji Jadi Cemas

Pemerintah Israel memang menawarkan banyak: uang tunai, rumah, pelatihan bahasa, bahkan pembebasan pajak. Tapi bagi banyak pendatang baru, janji tak lagi cukup ketika rudal meluncur, harga rumah melonjak, dan reformasi hukum memecah masyarakat.

“Yang kami cari bukan hanya tempat tinggal, tapi kehidupan,” ujar seorang olim dari Prancis, yang pada 2024 memutuskan kembali ke Eropa karena pendidikan anak-anaknya terganggu oleh sirene perang dan ketakutan akan invasi.

Data tak bisa disembunyikan:
Tahun 2022, lebih dari 74.000 orang masuk. Tapi 2023 dan 2024 mencatat arus keluar lebih besar dari masuk. Net migration negatif. Ini bukan sekadar angka—ini tanda bahwa sesuatu yang dalam sedang terjadi di dalam tubuh Israel.



Kenapa Mereka Pergi?

Pertama, perang yang tak berkesudahan. Serangan dari Gaza, bayangan konflik dengan Hizbullah, dan kini konfrontasi terbuka dengan Iran telah membuat banyak orang mempertanyakan apakah ini tempat aman untuk keluarga mereka.

Kedua, ketimpangan dan tekanan ekonomi. Harga rumah di Israel melambung gila-gilaan. Gaji yang stagnan, inflasi yang menyiksa, dan beban pajak menekan. Bagi para profesional muda, New York atau Berlin lebih menawarkan masa depan.

Ketiga, polarisasi politik. Ketika demokrasi dipertanyakan oleh undang-undang reformasi hukum dan protes sipil memuncak, banyak warga—terutama generasi muda—merasa kehilangan arah.



Dampak: Negara Tanpa Akar Baru?

Jika yang keluar adalah orang-orang yang terampil, kaya, dan muda, maka dalam jangka panjang, Israel akan menghadapi krisis brain drain.
Sistem kesehatan bisa kehilangan dokter.
Teknologi bisa kehilangan programmer.
Ekonomi bisa kehilangan investor.
Dan yang lebih menakutkan: masyarakat kehilangan harapan.

Tak hanya itu, migrasi bukan cuma soal statistik, tapi juga legitimasi ideologi. Jika negara yang didirikan untuk menampung umat Yahudi justru ditinggalkan oleh Yahudi sendiri, lalu apa yang tersisa?



Antara Bertahan dan Bertanya

Namun tidak semua gelap. Masih ada ribuan orang yang tetap datang, meski tidak sebanyak dulu. Masih ada solidaritas, masih ada keyakinan. Tapi hari-hari ini, pertanyaan yang lebih jujur mulai muncul di kalangan Yahudi global:

Apakah Israel masih tanah impian atau sudah menjadi tanah ujian?

Dan mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah modernnya, Israel harus menjawab itu bukan dengan militer, tapi dengan reformasi, kesejahteraan, dan keadilan bagi semua warganya.



Penutup
Imigrasi adalah awal berdirinya Israel. Tapi ketika emigrasi mengambil alih, itu bukan hanya soal siapa yang datang dan pergi—tapi siapa yang percaya, dan siapa yang tidak lagi percaya. Negeri ini tak akan runtuh oleh perang, tapi bisa goyah oleh hilangnya harapan.

Dan ketika tulang punggung itu mulai menjauh, hanya waktu yang akan menjawab: apakah Israel akan menyesuaikan diri—atau perlahan kehilangan jiwanya sendiri.

Ketika Doa Menyatu dengan Bilah dan Peluru Oleh: Nasrulloh Baksolahar  Di tengah gelombang laut penjajahan yang menghantam pesis...

Ketika Doa Menyatu dengan Bilah dan Peluru

Oleh: Nasrulloh Baksolahar 


Di tengah gelombang laut penjajahan yang menghantam pesisir dan pedalaman Nusantara, para pejuang tidak hanya mengangkat senjata—mereka mengangkat kehormatan. Dari kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak, Banten, Mataram, Cirebon, hingga Giri Kedaton, lahirlah barisan-barisan yang tak hanya mengandalkan taktik dan tenaga, tapi juga iman dan semangat jihad.

Dalam tangan para sultan, panglima, ulama, santri, dan rakyat, senjata bukan sekadar alat tempur, melainkan manifestasi ruh perjuangan.



Keris, Tombak, dan Pedang: Bilah yang Ditajamkan oleh Doa

Sultan Trenggana dari Demak, Sultan Agung dari Mataram, hingga Sultan Ageng dari Banten dikenal membawa keris pusaka ke medan perang. Bukan sekadar lambang, keris menjadi senjata dalam duel kehormatan, sebagai tanda bahwa pemimpin pun siap gugur demi negeri. Di sisi lain, tombak panjang dan pedang bermata dua menjadi senjata utama dalam barisan laskar, dibawa oleh para panglima seperti Adipati Yunus atau Tumenggung Singaranu.

Tak kalah penting, tongkat besi para ulama yang biasa digunakan dalam dakwah, berubah menjadi alat pertahanan diri ketika musuh mulai menyerang masjid dan pesantren. Setiap bilah tajam itu diselubungi bacaan hizib dan ayat-ayat suci.



Bedil, Panah, dan Bambu Runcing: Suara Ledakan dari Tanah dan Langit

Senjata api mulai diperkenalkan lewat jaringan perdagangan Muslim dari Arab, Gujarat, Turki, dan Aceh. Meriam Lela dan senapan lontak dijadikan kekuatan andalan pelabuhan Cirebon dan Jepara. Namun di balik itu, rakyat kecil menciptakan bedil bambu, panah beracun, dan bambu runcing, menjadikannya senjata gerilya yang ditakuti pasukan VOC.

Di ladang dan gunung, petani menjadikan golok dan parang sebagai senjata pelindung, menyimpan amarah dan tekad yang diam-diam menanti komando dari pesantren.



Bukan dari Eropa, Tapi dari Doa dan Persaudaraan Muslim

Sebagian senjata itu memang datang dari luar negeri: pedang Arab, meriam dari Turki, senapan dari Gujarat, hingga teknik tempur dari para pelaut Aceh. Tapi kekuatan sesungguhnya tidak berasal dari mesiu dan logam asing—melainkan dari keyakinan bahwa mereka sedang mempertahankan akidah dan amanah para wali.

Di Giri Kedaton, Cirebon, dan Banten, senjata-senjata itu dirawat dengan minyak cendana, diasapi dengan menyan, dan dibacakan dzikir. Ia bukan benda mati, tapi bagian dari jiwa para mujahid.





Senjata Legendaris, Jiwa Abadi

Beberapa senjata dikenang sebagai legenda:
1. Keris Kyai Carubuk milik Sultan Trenggana,
2. Tombak Kyai Plered milik Sultan Agung,
3. Keris Kyai Mangir milik gerilyawan Mataram,
4. dan Meriam Ki Jimat di pelabuhan Cirebon.

Mereka bukan hanya benda, tapi saksi—dan simbol—bahwa bangsa ini pernah melawan dengan penuh harga diri.



Melawan Senjata Canggih Belanda dengan Iman yang Tajam

Penjajah datang membawa senapan canggih dan barisan tentara bayaran. Tapi pejuang Islam membawa dzikir, wirid, dan semangat ukhuwah. Mereka berperang dalam barisan yang dimulai dari shalat malam dan dzikir al-Fath. Karena mereka tahu: kekuatan sejati tak selalu ada di peluru, tapi di dada yang tak takut mati.



Jejak Senjata Itu Masih Hidup Sampai Hari Ini

Senjata-senjata zaman kesultanan itu melahirkan taklim gerilya pesantren, laskar-laskar rakyat di zaman Diponegoro, dan bahkan taktik TKR dan Hizbullah di masa revolusi kemerdekaan. Meski bentuknya berubah, semangatnya tetap satu: bahwa kemerdekaan adalah warisan suci yang dilindungi oleh bilah iman dan peluru tauhid.



Bilah, Doa, dan Darah yang Tidak Pernah Sia-Sia

Mereka berperang bukan untuk menjadi pahlawan, tapi untuk menjaga agar anak cucu tidak menjadi budak. Senjata-senjata itu menjadi saksi bahwa bangsa ini tidak pernah diam saat diinjak, dan bahwa kehormatan tak akan pernah bisa ditaklukkan oleh senjata buatan manusia.

Keris boleh berkarat, meriam boleh berkarat, tapi semangat jihad tak akan pernah padam.

Di Balik Timbangan Ada Perlawanan Oleh: Nasrulloh Baksolahar Mereka bukan hanya pengukur harga. Mereka adalah penjaga harga diri...

Di Balik Timbangan Ada Perlawanan

Oleh: Nasrulloh Baksolahar


Mereka bukan hanya pengukur harga. Mereka adalah penjaga harga diri bangsa. Di balik setiap keranjang lada, tumpukan kain, dan timbangan emas, para pedagang Muslim menanam benih kemerdekaan. Saat para penjajah mengira pasar hanya tempat transaksi, para wali dan sultan telah menjadikannya medan jihad.

Saat kompeni menebar monopoli, para pedagang menyusun strategi. Dan saat penjajah menginjakkan kaki di bumi Nusantara, para saudagar Muslim telah lebih dulu menanam tekad untuk tidak tunduk, tak akan dijual dengan harga berapa pun.



Para Wali dan Sultan yang Juga Saudagar

Wali Sanga bukan hanya berdakwah di mimbar, tapi juga berdagang di pelabuhan. Sunan Giri mengirim kapal dagangnya ke timur jauh, Sunan Kalijaga menjual hasil rakyat untuk membiayai perjuangan, dan Sultan Trenggana dari Demak membangun pasar sekaligus benteng.

Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah raja sekaligus pengatur distribusi lada terbesar yang membuat VOC menggigil. Di bawah kendalinya, pelabuhan Banten jadi pusat perdagangan internasional sekaligus pangkalan logistik jihad. Dan Pangeran Diponegoro? Ia mendirikan jaringan pasar desa untuk menghidupkan perlawanan dari akar rumput.

Mereka semua tahu: barang dagangan bisa habis, tapi semangat merdeka tak boleh luntur.



Pasar: Benteng yang Tak Bisa Dihancurkan Meriam

Saat senjata dibatasi, pedagang Muslim menyelundupkan mesiu dalam peti kayu, menyembunyikan senjata di bawah karung beras, dan menyelipkan surat rahasia di antara lembar kain dagang.

Pelabuhan Jepara, Gresik, Cirebon, hingga Banten menjadi simpul jihad. Dari tempat inilah kapal berlayar membawa bukan hanya rempah, tapi juga kabar perjuangan dan bantuan bagi para mujahid. Kafilah dagang berubah menjadi konvoi kebebasan. Gudang berubah jadi lumbung perjuangan.

“Kami berdagang bukan untuk kaya, tapi untuk merdeka.”



Ketika Penjajah Mengincar Pasar, Mereka Menyalakan Perlawanan

VOC tahu siapa musuh sebenarnya: bukan hanya para sultan, tapi juga para pedagang Muslim. Maka dibuatlah monopoli. Diberlakukan pajak mencekik. Pasar rakyat dirusak, pedagang ditangkap, bahkan diasingkan.

Tapi mereka lupa satu hal: pedagang Muslim bisa bangkit dari reruntuhan, karena mereka tak dagang demi untung, tapi demi umat.

Para saudagar membentuk jaringan rahasia. Mereka berpura-pura patuh di hadapan kompeni, tapi di malam hari menyuplai laskar dengan makanan dan senjata. Mereka berdagang sambil menyebarkan pesan: “Jangan beli barang VOC. Jangan jual harga diri pada penjajah.”



Nama-Nama yang Terlupakan Tapi Berjasa

Nyai Gede Pinatih: saudagar Gresik yang membiayai Sunan Giri dan pengiriman dakwah ke luar Jawa.

Haji Hasanuddin Banten: penguasa lada yang menyumbangkan armada untuk Sultan Ageng.

Para saudagar Arab, Gujarat, Makassar: yang membawa senapan, mesiu, dan ilmu dari luar negeri.

Mereka tak tercatat di buku sejarah resmi, tapi amal mereka tercatat di langit perjuangan.



Dari Pasar ke Panggung Sejarah

Apa yang mereka wariskan?

1. Semangat ekonomi mandiri.

2. Kesadaran bahwa dagang bukan hanya mencari nafkah, tapi membebaskan umat dari ketergantungan.

3. Lahirnya Sarekat Dagang Islam, koperasi umat, dan gerakan ekonomi rakyat.


Mereka adalah benih yang menumbuhkan semangat perlawanan ekonomi hari ini. Karena bangsa yang tak punya kemandirian dagang, akan dijajah dengan cara yang lebih halus: melalui harga, utang, dan pasar.



Jika Kau Tak Punya Senjata, Milikilah Timbangan

Bangsa ini bukan hanya dibela oleh tentara, tapi juga oleh para pedagang. Mereka tak menembak peluru, tapi mengalirkan logistik. Mereka tak berteriak di medan tempur, tapi berbisik dalam tawar-menawar: “Sebagian keuntungan ini untuk jihad.”

“Jika senjata dikuasai penjajah, maka kita pakai dagang sebagai senjata.”
“Dan kalau jalan menuju benteng ditutup, maka pasar kita jadikan benteng!”

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (356) Al-Qur’an (3) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (541) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (27) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (7) Namrudz (2) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (230) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (478) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (486) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (234) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (228) Sirah Sahabat (150) Sirah Tabiin (42) Sirah Ulama (144) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)