Israel: Negara di Atas Gelombang
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Israel adalah negara di atas gelombang—mengambang di atas riak sejarah yang dipaksakan, berdiri di antara badai politik, gelora konflik, dan reruntuhan nilai kemanusiaan. Ia bukan lahir dari kedalaman nurani umat manusia, melainkan dari laboratorium kolonialisme modern, di mana luka dijadikan dasar negara, dan pengusiran dianggap permulaan harapan.
Ini adalah negara tanpa tujuan kemanusiaan. Ia tidak dibangun untuk menciptakan kedamaian universal, tetapi untuk melindungi eksklusivitas satu kelompok atas nama sejarah dan penderitaan masa lalu. Tujuannya bukan inklusi, melainkan pemisahan. Bukan keadilan, melainkan kekuasaan. Negara ini menyebut dirinya demokrasi, tapi gagal memberi ruang bagi martabat manusia yang berbeda darinya.
Ia pun negara tanpa undang-undang dasar. Tanpa konstitusi yang utuh, ia menjelma menjadi negara yang dapat diatur sesuka waktu dan suara mayoritas dominan. Hukum bukan pilar keadilan, tapi alat politik. Maka rakyat tak dilindungi oleh kesepakatan luhur, melainkan oleh siapa yang berkuasa hari ini. Keadilan menjadi relatif, dan demokrasi menjadi manipulasi.
Israel adalah negara tanpa tanah air—karena tanahnya diperoleh bukan dengan cinta, melainkan dengan paksa. Diproklamirkan bukan di atas sejarah sosial bersama, tapi di atas reruntuhan desa-desa Palestina yang dihancurkan. Ia tidak tumbuh dari akar organik yang menghormati penghuni lama, tapi dari bibit ideologi yang menafikan eksistensi orang lain. Inilah tanah air yang dideklarasikan, bukan diwarisi.
Negara ini juga berisi kelompok masyarakat yang terus berkonflik. Yahudi Ortodoks menolak Yahudi sekuler. Yahudi Rusia bersitegang dengan Yahudi Etiopia. Arab Israel hidup dalam ketakutan. Palestina di wilayah pendudukan hidup dalam keterasingan. Tak ada identitas tunggal yang menyatukan, hanya musuh bersama yang dijadikan alasan untuk tetap saling bertahan. Sebuah masyarakat yang retak dari dalam, meski berusaha utuh di luar.
Ini juga adalah negara tanpa penduduk asli. Orang-orang yang menanam zaitun, mengumandangkan azan, membunyikan lonceng gereja, dan menggembala sejak berabad-abad lamanya—disebut tak ada. Mereka diusir, dilabeli asing, lalu dijadikan target. Sementara yang datang dari jauh, dari Eropa, dari Amerika, dari Rusia—dianggap “pulang”. Inilah ironi: negeri yang mengusir anak kandung, lalu menyambut tamu sebagai pewaris tunggal.
Israel bahkan dipenuhi warga dengan kewarganegaraan ganda. Banyak dari mereka datang bukan karena cinta tanah air, melainkan karena kesempatan, atau sekadar pelarian dari krisis identitas. Paspor Amerika di satu saku, paspor Israel di saku lainnya. Dalam damai, mereka hidup di Tel Aviv. Dalam bahaya, mereka pulang ke New York atau Berlin. Sebuah negara yang warganya bisa meninggalkan tanahnya kapan saja—karena tanah itu belum benar-benar menjadi “milik hati”.
Dan yang paling nyata: Israel adalah negara yang terus berperang dengan tetangganya. Tak ada hari tanpa ketegangan. Mesir, Suriah, Lebanon, Yordania, Iran—semua pernah atau sedang menjadi musuh. Palestina, tetangga yang ditolak keberadaannya, terus menjadi korban dan kambing hitam. Israel bukanlah rumah dalam lingkaran damai, melainkan benteng dalam lautan konflik.
Akhirnya...
Israel berdiri, tapi goyah.
Ia bersinar, tapi dari api, bukan cahaya.
Ia bertahan, tapi di atas ketakutan.
Ia ada, tapi belum menjadi negara yang seutuhnya hidup.
Sebab negara sejati bukan dibangun dari klaim sejarah, tapi dari keberanian memberi ruang bagi orang lain.
Bukan dari dinding beton dan senjata, tapi dari keadilan dan pengakuan.
Dan selama itu belum terjadi, Israel akan tetap menjadi… negara di atas gelombang—yang setiap saat bisa dihantam oleh gelombang yang lebih besar dari dirinya sendiri.
0 komentar: