Ketika Tulang Punggung Penjajah Israel Perlahan Pergi
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Di tengah debu konflik dan percikan senjata di Timur Tengah, ada cerita yang lebih diam, tapi lebih dalam: migrasi. Bukan tentang satu dua orang yang pindah rumah, tapi tentang pergerakan ribuan manusia—yang datang ke Israel dengan harapan, lalu pergi dengan getir. Inilah narasi tentang bagaimana negara yang dibangun oleh para pendatang, kini mulai kehilangan daya tariknya sebagai “tanah impian.”
Imigran: Bukan Tentara, Tapi Tulang Punggung
Israel lahir dari semangat aliyah—hijrah orang Yahudi ke Tanah yang Dijanjikan. Namun, bukan militer yang membentuk kekuatan Israel, melainkan para imigran. Mereka membawa keahlian di bidang teknologi, medis, pertanian, hingga keuangan. Mereka adalah tenaga penggerak ekonomi, para inovator di Tel Aviv, peneliti di Haifa, dan insinyur di Negev.
Selama beberapa dekade, imigrasi menjadi kebanggaan. Pemerintah menggelontorkan miliaran shekel untuk program penyambutan, pendidikan, hingga subsidi perumahan bagi para olim—sebutan bagi para pendatang Yahudi. Bahkan dalam kondisi sulit, seperti saat perang Rusia-Ukraina, puluhan ribu Yahudi datang ke Israel karena diyakini lebih aman dan menjanjikan.
Namun, sejak 2023, angin mulai berubah. Dari negeri yang dibanjiri harapan, Israel mulai disusupi arus sebaliknya: emigrasi.
Dari Janji Jadi Cemas
Pemerintah Israel memang menawarkan banyak: uang tunai, rumah, pelatihan bahasa, bahkan pembebasan pajak. Tapi bagi banyak pendatang baru, janji tak lagi cukup ketika rudal meluncur, harga rumah melonjak, dan reformasi hukum memecah masyarakat.
“Yang kami cari bukan hanya tempat tinggal, tapi kehidupan,” ujar seorang olim dari Prancis, yang pada 2024 memutuskan kembali ke Eropa karena pendidikan anak-anaknya terganggu oleh sirene perang dan ketakutan akan invasi.
Data tak bisa disembunyikan:
Tahun 2022, lebih dari 74.000 orang masuk. Tapi 2023 dan 2024 mencatat arus keluar lebih besar dari masuk. Net migration negatif. Ini bukan sekadar angka—ini tanda bahwa sesuatu yang dalam sedang terjadi di dalam tubuh Israel.
Kenapa Mereka Pergi?
Pertama, perang yang tak berkesudahan. Serangan dari Gaza, bayangan konflik dengan Hizbullah, dan kini konfrontasi terbuka dengan Iran telah membuat banyak orang mempertanyakan apakah ini tempat aman untuk keluarga mereka.
Kedua, ketimpangan dan tekanan ekonomi. Harga rumah di Israel melambung gila-gilaan. Gaji yang stagnan, inflasi yang menyiksa, dan beban pajak menekan. Bagi para profesional muda, New York atau Berlin lebih menawarkan masa depan.
Ketiga, polarisasi politik. Ketika demokrasi dipertanyakan oleh undang-undang reformasi hukum dan protes sipil memuncak, banyak warga—terutama generasi muda—merasa kehilangan arah.
Dampak: Negara Tanpa Akar Baru?
Jika yang keluar adalah orang-orang yang terampil, kaya, dan muda, maka dalam jangka panjang, Israel akan menghadapi krisis brain drain.
Sistem kesehatan bisa kehilangan dokter.
Teknologi bisa kehilangan programmer.
Ekonomi bisa kehilangan investor.
Dan yang lebih menakutkan: masyarakat kehilangan harapan.
Tak hanya itu, migrasi bukan cuma soal statistik, tapi juga legitimasi ideologi. Jika negara yang didirikan untuk menampung umat Yahudi justru ditinggalkan oleh Yahudi sendiri, lalu apa yang tersisa?
Antara Bertahan dan Bertanya
Namun tidak semua gelap. Masih ada ribuan orang yang tetap datang, meski tidak sebanyak dulu. Masih ada solidaritas, masih ada keyakinan. Tapi hari-hari ini, pertanyaan yang lebih jujur mulai muncul di kalangan Yahudi global:
Apakah Israel masih tanah impian atau sudah menjadi tanah ujian?
Dan mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah modernnya, Israel harus menjawab itu bukan dengan militer, tapi dengan reformasi, kesejahteraan, dan keadilan bagi semua warganya.
Penutup
Imigrasi adalah awal berdirinya Israel. Tapi ketika emigrasi mengambil alih, itu bukan hanya soal siapa yang datang dan pergi—tapi siapa yang percaya, dan siapa yang tidak lagi percaya. Negeri ini tak akan runtuh oleh perang, tapi bisa goyah oleh hilangnya harapan.
Dan ketika tulang punggung itu mulai menjauh, hanya waktu yang akan menjawab: apakah Israel akan menyesuaikan diri—atau perlahan kehilangan jiwanya sendiri.
0 komentar: