Memenangkan Perang Psikologis: Dari Uhud ke Gaza
Prolog: Saat Ketakutan Dijadikan Senjata
Di setiap perang, senjata bukan hanya berupa pedang, panah, tank, atau rudal. Ada senjata yang lebih halus, namun lebih mematikan: ketakutan.
Ia disebarkan lewat kabar burung, diplomasi, ultimatum, atau bahkan sekadar bisikan: “Kalian sudah terkepung, tak ada jalan keluar.”
Al-Qur’an telah mencatat pola ini sejak awal. Allah ï·» berfirman dalam QS. Ali ‘Imran: 173:
> “(Yaitu) orang-orang yang ketika ada orang berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,’ justru perkataan itu menambah keimanan mereka. Lalu mereka berkata: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami, dan Allah sebaik-baik Pelindung.’”
Ayat ini turun pasca Perang Uhud, ketika kaum Muslimin yang luka-luka diberitahu bahwa Quraisy akan menyerang lagi. Secara logika manusia, berita itu seharusnya membuat mereka gentar. Tetapi iman membalikkan logika: justru semakin teguh, semakin berani.
Inilah hakikat perang psikologis: siapa yang runtuh imannya lebih dulu, dialah yang kalah bahkan sebelum panah dilepaskan.
---
Netanyahu, Trump, dan Panggung Opini Dunia
Mari melompat ke zaman kita.
Di Majelis Umum PBB, Netanyahu tampil dengan wajah “negarawan damai.” Ia tahu dunia sudah jenuh dengan perang Gaza. Puluhan ribu warga sipil tewas, opini internasional melawan Israel, bahkan Barat sendiri mulai retak.
Maka ia tampil bersama Donald Trump dengan narasi gencatan senjata. Pesannya sederhana: “Kami bukan penolak perdamaian. Kami siap. Hamaslah yang keras kepala.”
Ini strategi lama Israel. Bukan untuk benar-benar menghentikan perang, melainkan untuk menang di panggung opini dunia.
Tapi yang mengejutkan, Hamas justru membalik narasi. Mereka tidak menunggu deadline 5 Oktober yang diberikan Trump. Pada 3 Oktober, mereka sudah menjawab: siap menerima gencatan senjata, siap membebaskan sandera, bahkan siap menyerahkan pemerintahan Gaza kepada teknokrat independen.
Narasi pun terbalik. Hamas, yang biasanya dicitrakan fanatik dan barbar, tampil sebagai pihak yang lebih cepat, lebih rasional, dan lebih konstruktif.
Netanyahu panik. Ia pun berkata: “Itu penolakan.”
Padahal yang terjadi sebaliknya. Tapi bagi Netanyahu, bukan isi proposal yang penting—melainkan siapa yang menguasai citra.
---
Sirah Nabawiyah: Diplomasi dan Khianat Yahudi Madinah
Apa yang kita saksikan ini sejatinya bukan hal baru. Rasulullah ï·º pun pernah menghadapi pola serupa di Madinah.
Kaum Yahudi di Madinah terikat dengan Piagam Madinah, sebuah kesepakatan hidup bersama. Tetapi berulang kali mereka berkhianat.
Bani Qaynuqa’ menyalahi perjanjian, merendahkan kehormatan Muslimah, hingga akhirnya diusir.
Bani Nadhir bersekongkol dengan Quraisy dan merencanakan pembunuhan Nabi ï·º, hingga mereka pun diusir.
Bani Quraizhah berkhianat saat Perang Ahzab, berpihak pada musuh di saat genting, hingga akhirnya dihadapi dengan hukuman tegas.
Dalam setiap langkah, Nabi ï·º selalu menggunakan perjanjian sebagai legitimasi. Beliau tidak menyerang duluan. Tetapi ketika janji dilanggar, Rasulullah ï·º menekan dengan fakta, dan bila perlu dengan senjata.
Sejarawan Ibnu Katsir menyebut strategi Rasulullah ï·º ini sebagai “hikmah yang menggabungkan kesabaran diplomasi dan ketegasan militer.”
Inilah pola yang kembali kita lihat hari ini. Israel—seperti Yahudi Madinah—menggunakan perjanjian sebagai alat citra. Bukan untuk ditepati, melainkan untuk dimainkan.
---
Psikologi Perang: Ketakutan Sebagai Senjata
Pakar militer Carl von Clausewitz dalam karyanya On War menyebut bahwa perang adalah “kontes kehendak.” Yang dikalahkan lebih dulu bukan pasukan, tapi kemauan untuk melawan.
Sementara pakar psikologi perang, B.H. Liddell Hart, menulis bahwa “strategi terbaik adalah menembus pikiran lawan, bukan barisan tentaranya.”
Inilah yang Israel lakukan. Gempuran narasi, ancaman deadline, pencitraan di PBB—semuanya adalah senjata psikologis.
Tetapi ayat Ali ‘Imran 173 memberi rahasia: bila iman kuat, propaganda berubah menjadi penguat. Ketika dunia berkata “takutlah, kamu terkepung,” seorang mukmin berkata: “Hasbunallah wa ni‘mal wakil.”
---
Perang Opini: Dari Uhud ke Gaza
Mari kita lihat paralelnya.
Uhud: kaum Muslimin lemah, terluka, lalu ditakut-takuti akan ada serangan lanjutan.
Gaza: Hamas lemah, terkepung, ditekan oleh ultimatum Amerika dan narasi global.
Di Uhud, iman menumbuhkan keberanian baru.
Di Gaza, Hamas menjawab lebih cepat, membalik narasi, dan membuat Netanyahu salah langkah.
Dua-duanya menunjukkan hal sama: kekuatan psikologis lebih menentukan daripada jumlah senjata.
---
Tafsir Strategis: Mengapa Hamas Menjawab Lebih Cepat?
Pertanyaannya: mengapa Hamas tidak menunggu deadline 5 Oktober?
Dari sudut diplomasi, jawabannya jelas:
1. Membalik narasi. Jika mereka menunggu, dunia bisa menuduh “Hamas menunda, berarti tidak serius.” Dengan menjawab lebih awal, mereka tampak siap damai.
2. Menguasai opini global. Jawaban cepat membuat dunia melihat: Hamaslah yang lebih gesit, bukan Israel.
3. Membuka ruang legitimasi. Dengan menyebut teknokrat independen dan kerangka nasional Palestina, Hamas menempatkan dirinya sebagai bagian dari solusi, bukan masalah.
Seorang analis militer Turki, İbrahim Karagül, pernah menulis: “Hamas tidak perlu menang di medan perang, cukup bertahan dengan martabat. Itu sudah menghancurkan strategi Israel.”
---
Netanyahu Terjebak Narasi Sendiri
Ketika Hamas menerima, Netanyahu justru menyebutnya “penolakan.” Mengapa?
Karena jika Hamas menerima, Israel otomatis tampil sebagai pihak yang memperpanjang perang. Dan itu bencana citra.
Inilah dilema Israel: mereka ingin perang untuk melemahkan Gaza, tapi ingin tampil damai di dunia internasional. Begitu Hamas mengambil posisi damai, seluruh skenario runtuh.
---
Ayat-Ayat Tentang Khianat dan Citra
Al-Qur’an mencatat tabiat ini:
> “Mereka ingin menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri mereka sendiri tanpa mereka sadari.”
(QS. Al-Baqarah: 9)
Dan juga:
> “Jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah engkau kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.”
(QS. Al-Anfal: 61)
Tetapi bila mereka hanya menjadikan perdamaian sebagai alat tipu daya, maka Allah pun menyingkapkan kedok mereka.
---
Refleksi: Perang Jiwa Lebih Menentukan
Hari ini, Gaza mengajarkan kita pelajaran Uhud.
Bahwa kekuatan sejati bukan pada rudal, bukan pada veto Amerika, bukan pada podium PBB.
Kekuatan sejati ada pada jiwa yang berani berkata: Hasbunallahu wa ni‘mal wakil.
Israel mungkin lebih kuat dalam senjata. Amerika mungkin lebih kuat dalam diplomasi. Tapi siapa yang lebih kuat dalam jiwa, dialah yang akan bertahan.
Seorang pakar strategi Cina, Sun Tzu, pernah berkata: “Musuh yang sudah kalah dalam pikirannya, tidak perlu lagi kau hadapi di medan perang.”
Maka Gaza, dengan segala penderitaan, justru sedang memenangkan perang psikologis.
---
Penutup: Dari Uhud ke Gaza
Perang psikologis adalah garis panjang sejarah umat Islam. Dari Madinah abad ke-7 hingga Gaza abad ke-21. Dari Yahudi yang berkhianat di Piagam Madinah hingga Netanyahu yang memelintir narasi PBB. Dari propaganda Quraisy hingga ultimatum Trump.
Tetapi jawaban mukmin tetap sama:
“Hasbunallahu wa ni‘mal wakil.”
Dan selama kalimat ini hidup di dada para pejuang, maka mereka tidak pernah benar-benar kalah.
Link Kami
Beberapa Link Kami yang Aktif