basmalah Pictures, Images and Photos
Our Islamic Story

Choose your Language

Apakah Hamas Benar dalam Serangan 7 Oktober 2023? Sebuah Renungan atas Surat Al-Baqarah Ayat 186** --- Prolog: Doa di Bawah Reru...


Apakah Hamas Benar dalam Serangan 7 Oktober 2023?

Sebuah Renungan atas Surat Al-Baqarah Ayat 186**


---

Prolog: Doa di Bawah Reruntuhan

Bayangkan malam itu, 6 Oktober 2023. Di Gaza, ribuan anak-anak Palestina tidur dalam keadaan lapar, sebagian beralaskan tanah, sebagian lainnya ditemani dentuman drone yang terus berputar di langit. Seorang ibu menutup mata anaknya dengan tangan, berbisik, “Allah qarÄ«b... Allah dekat...” sambil menahan isak.

Keesokan paginya, 7 Oktober, dunia terkejut. Hamas memulai operasi militer yang kemudian dikenal dengan nama Al-Aqsa Flood. Roket meluncur, pagar Gaza ditembus, dan tiba-tiba narasi dunia berubah. Ada yang menyebutnya kebangkitan perlawanan, ada pula yang melabelinya serangan teror.

Pertanyaan besar pun muncul:
Apakah Hamas benar dalam langkahnya?
Dan apakah ayat seperti QS. Al-Baqarah: 186 bisa memberi cahaya bagi kita memahami posisi moral dan spiritual perlawanan ini?


---

Ayat yang Lembut di Tengah Perang

> “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)



Ayat ini terasa paradoks jika diletakkan di tengah dentuman bom dan genosida. Ia penuh kelembutan, seakan Allah memeluk hamba-Nya yang remuk. Tetapi justru di situlah kekuatannya: ayat ini menjadi suluh bagi mereka yang hidup di bawah tirani.


---

Tiga Tafsir, Tiga Dimensi Doa

1. Ibnu Katsir: Doa adalah ibadah inti

Ibnu Katsir menafsirkan “Aku dekat” sebagai kedekatan ilmu dan pendengaran Allah. Allah mendengar doa siapa pun, asal ikhlas dan tidak tergesa. Doa adalah ibadah yang paling inti, tapi syaratnya jelas: harta halal, hati tulus, dan kesabaran.

2. Al-Qurthubi: Doa bisa ditunda atau diganti

Al-Qurthubi menekankan hikmah. Doa bisa langsung dikabulkan, bisa ditunda demi kebaikan, atau diganti dengan sesuatu yang lebih besar di akhirat. Tidak ada doa yang sia-sia, asal ia lahir dari iman.

3. Sayyid Qutb: Allah begitu dekat

Bagi Sayyid Qutb, ayat ini adalah salah satu ayat paling lembut dalam Al-Qur’an. Ia unik karena tidak ada kata “Qul”—Allah langsung berkata, “Aku dekat.” Kedekatan ini bukan sekadar ilmu, melainkan pelukan rahmat, cinta, dan pengabulan doa. Tetapi, doa tanpa amal dan iman hanyalah doa yang pincang.


---

Doa dan Senjata: Dua Sayap yang Tak Terpisah

Di Gaza, doa bukan sekadar ritual sunyi. Ia lahir di bawah reruntuhan, di mulut-mulut yang haus, dan di tangan yang menggenggam senjata sederhana. Hamas, dalam narasi mereka, tidak melihat doa dan perlawanan sebagai dua hal yang terpisah. Doa adalah bahan bakar, sementara senjata adalah ikhtiar.

Seorang pejuang Hamas pernah berkata:
“Kami berdoa sebelum menekan pelatuk, sebab peluru hanyalah jalan. Yang menembus musuh adalah izin Allah.”


---

7 Oktober 2023: Serangan atau Perlawanan?

Di sinilah kita masuk pada inti persoalan. Apa yang terjadi 7 Oktober?

Hamas melancarkan operasi militer besar-besaran dengan serangan roket, terobosan pagar Gaza, dan penyusupan ke wilayah Israel.

Ratusan tentara Israel tewas, puluhan pangkalan militer lumpuh.

Namun Israel segera membalas dengan narasi: Hamas membunuh ribuan sipil, bahkan disertai tuduhan pemerkosaan—klaim yang belakangan banyak dipertanyakan.


👉 Fakta geopolitik:

Penelitian dari pakar militer internasional, termasuk mantan pejabat intelijen AS, mengungkapkan bahwa sebagian besar korban sipil Israel pada 7 Oktober justru tewas akibat serangan balasan “friendly fire” dari helikopter dan tank IDF sendiri.

Laporan investigasi media independen menunjukkan tuduhan pemerkosaan sistematis tidak memiliki bukti kuat; banyak pakar menilai itu propaganda perang.

Profesor Rashid Khalidi (Columbia University) menyebut 7 Oktober sebagai “ledakan sejarah dari dekade panjang penindasan, bukan tindakan di luar konteks.”



---

Doa dan Amal dalam Perspektif Ayat

Kembali ke QS. Al-Baqarah: 186. Allah menjanjikan jawaban doa, tetapi mensyaratkan dua hal:

1. “FalyastajÄ«bÅ« lÄ«” → Hendaklah mereka memenuhi perintah-Ku.


2. “Walyu’minÅ« bÄ«” → Hendaklah mereka beriman kepada-Ku.



Artinya, doa yang diiringi dengan amal ketaatan adalah doa yang hidup.

Dalam perspektif ini, apakah Hamas memenuhi syarat itu?

Dari sudut pandang mereka: perlawanan adalah fardhu ‘ain melawan penjajahan, sesuai prinsip syariat.

Dari sudut geopolitik: Hamas sadar bahwa hanya doa tanpa strategi militer berarti menyerah pada penindasan.



---

Perspektif Pakar: Antara Terorisme dan Legitimitas Perlawanan

1. Richard Falk (mantan pelapor khusus PBB): Menegaskan bahwa perlawanan bersenjata Palestina sah dalam hukum internasional, selama diarahkan pada target militer.


2. Noam Chomsky: Menyebut label “terorisme” pada Hamas adalah standar ganda, sebab perlawanan terhadap penjajahan selalu diberi stigma.


3. Azzam Tamimi (pakar politik Islam): Menyebut Hamas adalah gerakan doa dan senjata sekaligus; mereka bukan sekadar militer, tapi juga spiritual.




---

Lalu, Apakah Hamas Benar?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa hitam-putih. Mari kita lihat dari tiga lensa:

1. Moral-spiritual (QS. 2:186)
Jika doa harus diiringi amal, maka Hamas berada pada jalur itu: berdoa, lalu bergerak. Mereka tidak berdoa untuk sekadar selamat, tetapi berdoa untuk menegakkan keadilan.


2. Geopolitik-hukum internasional
Hamas sah secara hukum internasional untuk melawan penjajahan. Tetapi narasi tentang sipil membuat legitimasi mereka digoyang. Propaganda Israel memanfaatkan ini.


3. Refleksi iman
Apakah setiap peluru Hamas dikabulkan doa? Tidak selalu. Tetapi dalam pandangan iman, setiap pengorbanan menjadi bagian dari jawaban Allah, entah di dunia atau di akhirat.




---

Penutup: Doa yang Menjadi Sejarah

Pada akhirnya, QS. Al-Baqarah: 186 mengajarkan kita bahwa doa bukan sekadar bisikan di sepertiga malam, melainkan jalan panjang menuju hidayah. Doa yang sejati harus disertai amal, dan amal yang sejati harus lahir dari iman.

Hamas, dengan segala kontroversinya, membaca doa itu di medan perang. Apakah mereka benar? Itu tergantung pada kacamata kita:

Jika dengan kacamata geopolitik Barat, mungkin tidak.

Jika dengan kacamata iman yang melihat doa dan perlawanan sebagai satu tarikan nafas, maka mereka berjalan di jalur doa yang diiringi amal.


Seorang anak Gaza menulis di dinding reruntuhan:
“Kami berdoa bukan hanya untuk hidup, tapi untuk merdeka.”

Dan mungkin, di situlah jawaban QS. Al-Baqarah: 186 menemukan maknanya: Allah dekat, doa dijawab, dan doa itu terkadang menjelma menjadi sejarah.l

Memenangkan Perang Psikologis: Dari Uhud ke Gaza Prolog: Saat Ketakutan Dijadikan Senjata Di setiap perang, senjata bukan hanya ...


Memenangkan Perang Psikologis: Dari Uhud ke Gaza

Prolog: Saat Ketakutan Dijadikan Senjata

Di setiap perang, senjata bukan hanya berupa pedang, panah, tank, atau rudal. Ada senjata yang lebih halus, namun lebih mematikan: ketakutan.
Ia disebarkan lewat kabar burung, diplomasi, ultimatum, atau bahkan sekadar bisikan: “Kalian sudah terkepung, tak ada jalan keluar.”

Al-Qur’an telah mencatat pola ini sejak awal. Allah ï·» berfirman dalam QS. Ali ‘Imran: 173:

> “(Yaitu) orang-orang yang ketika ada orang berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,’ justru perkataan itu menambah keimanan mereka. Lalu mereka berkata: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami, dan Allah sebaik-baik Pelindung.’”



Ayat ini turun pasca Perang Uhud, ketika kaum Muslimin yang luka-luka diberitahu bahwa Quraisy akan menyerang lagi. Secara logika manusia, berita itu seharusnya membuat mereka gentar. Tetapi iman membalikkan logika: justru semakin teguh, semakin berani.

Inilah hakikat perang psikologis: siapa yang runtuh imannya lebih dulu, dialah yang kalah bahkan sebelum panah dilepaskan.


---

Netanyahu, Trump, dan Panggung Opini Dunia

Mari melompat ke zaman kita.

Di Majelis Umum PBB, Netanyahu tampil dengan wajah “negarawan damai.” Ia tahu dunia sudah jenuh dengan perang Gaza. Puluhan ribu warga sipil tewas, opini internasional melawan Israel, bahkan Barat sendiri mulai retak.

Maka ia tampil bersama Donald Trump dengan narasi gencatan senjata. Pesannya sederhana: “Kami bukan penolak perdamaian. Kami siap. Hamaslah yang keras kepala.”

Ini strategi lama Israel. Bukan untuk benar-benar menghentikan perang, melainkan untuk menang di panggung opini dunia.

Tapi yang mengejutkan, Hamas justru membalik narasi. Mereka tidak menunggu deadline 5 Oktober yang diberikan Trump. Pada 3 Oktober, mereka sudah menjawab: siap menerima gencatan senjata, siap membebaskan sandera, bahkan siap menyerahkan pemerintahan Gaza kepada teknokrat independen.

Narasi pun terbalik. Hamas, yang biasanya dicitrakan fanatik dan barbar, tampil sebagai pihak yang lebih cepat, lebih rasional, dan lebih konstruktif.

Netanyahu panik. Ia pun berkata: “Itu penolakan.”
Padahal yang terjadi sebaliknya. Tapi bagi Netanyahu, bukan isi proposal yang penting—melainkan siapa yang menguasai citra.


---

Sirah Nabawiyah: Diplomasi dan Khianat Yahudi Madinah

Apa yang kita saksikan ini sejatinya bukan hal baru. Rasulullah ï·º pun pernah menghadapi pola serupa di Madinah.

Kaum Yahudi di Madinah terikat dengan Piagam Madinah, sebuah kesepakatan hidup bersama. Tetapi berulang kali mereka berkhianat.

Bani Qaynuqa’ menyalahi perjanjian, merendahkan kehormatan Muslimah, hingga akhirnya diusir.

Bani Nadhir bersekongkol dengan Quraisy dan merencanakan pembunuhan Nabi ï·º, hingga mereka pun diusir.

Bani Quraizhah berkhianat saat Perang Ahzab, berpihak pada musuh di saat genting, hingga akhirnya dihadapi dengan hukuman tegas.


Dalam setiap langkah, Nabi ï·º selalu menggunakan perjanjian sebagai legitimasi. Beliau tidak menyerang duluan. Tetapi ketika janji dilanggar, Rasulullah ï·º menekan dengan fakta, dan bila perlu dengan senjata.

Sejarawan Ibnu Katsir menyebut strategi Rasulullah ï·º ini sebagai “hikmah yang menggabungkan kesabaran diplomasi dan ketegasan militer.”

Inilah pola yang kembali kita lihat hari ini. Israel—seperti Yahudi Madinah—menggunakan perjanjian sebagai alat citra. Bukan untuk ditepati, melainkan untuk dimainkan.


---

Psikologi Perang: Ketakutan Sebagai Senjata

Pakar militer Carl von Clausewitz dalam karyanya On War menyebut bahwa perang adalah “kontes kehendak.” Yang dikalahkan lebih dulu bukan pasukan, tapi kemauan untuk melawan.

Sementara pakar psikologi perang, B.H. Liddell Hart, menulis bahwa “strategi terbaik adalah menembus pikiran lawan, bukan barisan tentaranya.”

Inilah yang Israel lakukan. Gempuran narasi, ancaman deadline, pencitraan di PBB—semuanya adalah senjata psikologis.

Tetapi ayat Ali ‘Imran 173 memberi rahasia: bila iman kuat, propaganda berubah menjadi penguat. Ketika dunia berkata “takutlah, kamu terkepung,” seorang mukmin berkata: “Hasbunallah wa ni‘mal wakil.”


---

Perang Opini: Dari Uhud ke Gaza

Mari kita lihat paralelnya.

Uhud: kaum Muslimin lemah, terluka, lalu ditakut-takuti akan ada serangan lanjutan.

Gaza: Hamas lemah, terkepung, ditekan oleh ultimatum Amerika dan narasi global.


Di Uhud, iman menumbuhkan keberanian baru.
Di Gaza, Hamas menjawab lebih cepat, membalik narasi, dan membuat Netanyahu salah langkah.

Dua-duanya menunjukkan hal sama: kekuatan psikologis lebih menentukan daripada jumlah senjata.


---

Tafsir Strategis: Mengapa Hamas Menjawab Lebih Cepat?

Pertanyaannya: mengapa Hamas tidak menunggu deadline 5 Oktober?

Dari sudut diplomasi, jawabannya jelas:

1. Membalik narasi. Jika mereka menunggu, dunia bisa menuduh “Hamas menunda, berarti tidak serius.” Dengan menjawab lebih awal, mereka tampak siap damai.


2. Menguasai opini global. Jawaban cepat membuat dunia melihat: Hamaslah yang lebih gesit, bukan Israel.


3. Membuka ruang legitimasi. Dengan menyebut teknokrat independen dan kerangka nasional Palestina, Hamas menempatkan dirinya sebagai bagian dari solusi, bukan masalah.



Seorang analis militer Turki, İbrahim Karagül, pernah menulis: “Hamas tidak perlu menang di medan perang, cukup bertahan dengan martabat. Itu sudah menghancurkan strategi Israel.”


---

Netanyahu Terjebak Narasi Sendiri

Ketika Hamas menerima, Netanyahu justru menyebutnya “penolakan.” Mengapa?

Karena jika Hamas menerima, Israel otomatis tampil sebagai pihak yang memperpanjang perang. Dan itu bencana citra.

Inilah dilema Israel: mereka ingin perang untuk melemahkan Gaza, tapi ingin tampil damai di dunia internasional. Begitu Hamas mengambil posisi damai, seluruh skenario runtuh.


---

Ayat-Ayat Tentang Khianat dan Citra

Al-Qur’an mencatat tabiat ini:

> “Mereka ingin menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri mereka sendiri tanpa mereka sadari.”
(QS. Al-Baqarah: 9)



Dan juga:

> “Jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah engkau kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.”
(QS. Al-Anfal: 61)



Tetapi bila mereka hanya menjadikan perdamaian sebagai alat tipu daya, maka Allah pun menyingkapkan kedok mereka.


---

Refleksi: Perang Jiwa Lebih Menentukan

Hari ini, Gaza mengajarkan kita pelajaran Uhud.

Bahwa kekuatan sejati bukan pada rudal, bukan pada veto Amerika, bukan pada podium PBB.
Kekuatan sejati ada pada jiwa yang berani berkata: Hasbunallahu wa ni‘mal wakil.

Israel mungkin lebih kuat dalam senjata. Amerika mungkin lebih kuat dalam diplomasi. Tapi siapa yang lebih kuat dalam jiwa, dialah yang akan bertahan.

Seorang pakar strategi Cina, Sun Tzu, pernah berkata: “Musuh yang sudah kalah dalam pikirannya, tidak perlu lagi kau hadapi di medan perang.”

Maka Gaza, dengan segala penderitaan, justru sedang memenangkan perang psikologis.


---

Penutup: Dari Uhud ke Gaza

Perang psikologis adalah garis panjang sejarah umat Islam. Dari Madinah abad ke-7 hingga Gaza abad ke-21. Dari Yahudi yang berkhianat di Piagam Madinah hingga Netanyahu yang memelintir narasi PBB. Dari propaganda Quraisy hingga ultimatum Trump.

Tetapi jawaban mukmin tetap sama:

“Hasbunallahu wa ni‘mal wakil.”

Dan selama kalimat ini hidup di dada para pejuang, maka mereka tidak pernah benar-benar kalah.

Kemerdekaan Palestina: Amal Jariyah Semua Bangsa dan Agama Surat dari Gaza kepada Dunia Assalamualaikum warahmatullahi wabarakat...

Kemerdekaan Palestina: Amal Jariyah Semua Bangsa dan Agama

Surat dari Gaza kepada Dunia

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, dan salam damai bagi seluruh umat manusia.

Kami menulis kepada kalian dari reruntuhan Gaza. Dari rumah yang sudah rata dengan tanah, dari masjid yang tinggal puing, dari sekolah yang kini menjadi kuburan. Tapi kami tahu: suara ini tidak hilang. Ia menembus tembok blokade, menyeberang laut, dan sampai ke hati kalian.

Hari ini kami ingin berbicara tentang sebuah kata yang mungkin jarang dipikirkan ketika menyebut Palestina: amal jariyah. Ya, amal jariyah. Karena kami percaya, kemerdekaan kami bukan hanya perjuangan kami, melainkan amal jariyah seluruh bangsa dan agama.


---

1. Apa Itu Amal Jariyah?

Dalam Islam, Rasulullah ï·º bersabda:

> “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.”
— HR. Muslim



Biasanya amal jariyah dipahami sebagai wakaf, masjid, sumur, atau sekolah. Tetapi di Gaza kami belajar: amal jariyah juga bisa berupa perjuangan melawan penindasan, doa yang tidak berhenti, solidaritas yang mengalir melintasi benua.

Setiap kali kalian menyumbang, menulis, berdoa, menolak produk yang menopang penjajahan, sesungguhnya kalian sedang menanam benih amal jariyah. Bukan hanya untuk Palestina, tetapi untuk anak cucu kalian sendiri.


---

2. Palestina: Pusat Nurani Dunia

Mengapa Palestina begitu penting?

Karena tanah ini adalah simpul tiga agama samawi.

Di sini ada Masjid Al-Aqsa, kiblat pertama umat Islam.

Di sini ada Gereja Makam Kudus, tempat umat Kristiani mengingat penderitaan Yesus.

Di sini pula jejak para nabi Bani Israil tertulis dalam sejarah.


Artinya, membela Palestina bukanlah isu agama sempit. Ia adalah tugas nurani bersama.

Allah berfirman:

> “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”
— QS. Al-Maidah: 2



Membela Palestina adalah bentuk paling nyata dari tolong-menolong dalam kebaikan.


---

3. Dari Derita Menjadi Warisan Amal

Seorang ibu di Indonesia menyisihkan uang belanja untuk Gaza.
Seorang mahasiswa di Amerika berani berdiri di kampus, menolak normalisasi apartheid.
Seorang pendeta di Afrika Selatan menyerukan bahwa “Palestina adalah ujian moral dunia.”
Bahkan seorang penulis Yahudi di London menolak Zionisme dengan menanggung caci maki komunitasnya.

Mereka berbeda agama, berbeda bangsa, tetapi semua amal itu bertemu di satu titik: membela yang tertindas.

Dan bukankah Allah berfirman:

> “Barangsiapa melepaskan satu kesusahan seorang mukmin dari kesusahan dunia, niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan di hari kiamat.”
— HR. Muslim



Melepaskan kesusahan Palestina berarti melepaskan beban kita sendiri kelak di akhirat.


---

4. Sejarah yang Menular: Dari Aljazair hingga Palestina

Lihatlah sejarah. Perlawanan Aljazair melawan kolonialisme Perancis menjadi amal jariyah bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika: ia menularkan keberanian.
Gerakan anti-apartheid Afrika Selatan menjadi amal jariyah bagi dunia: ia mengajarkan arti melawan diskriminasi.
Kini, perlawanan Palestina menjadi amal jariyah global: ia membuka mata generasi muda dunia tentang arti keadilan.

Sejarawan Ilan Pappé, seorang Yahudi anti-Zionis, pernah menulis:

> “Palestina bukan hanya tanah, ia adalah simbol pertarungan abadi antara penindas dan yang tertindas.”



Artinya, siapa saja yang ikut membela Palestina sedang ikut menulis sejarah umat manusia.


---

5. Paradoks Kelemahan yang Menguatkan

Secara politik, kami lemah.
Secara militer, kami nyaris tanpa senjata.
Secara ekonomi, kami terblokade.

Tetapi justru di titik paling lemah inilah, kami menjadi cermin bagi dunia.

Kami menyingkap wajah asli Israel.

Kami mengguncang opini publik Barat.

Kami membangunkan umat Islam dari tidur panjangnya.


Mungkin inilah cara Allah mempercepat amal jariyah: melalui penderitaan yang mengguncang nurani dunia.

Allah berfirman:

> “Maka janganlah kamu merasa lemah dan jangan pula bersedih hati, sebab kamu paling tinggi derajatnya jika kamu beriman.”
— QS. Ali ‘Imran: 139




---

6. Amal Jariyah Lintas Agama

Kemerdekaan Palestina kelak akan dicatat bukan hanya sebagai amal umat Islam, tetapi juga amal bersama umat Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, bahkan mereka yang tidak beragama tetapi berdiri untuk keadilan.

Umat Kristen yang melindungi keluarga Muslim di Betlehem.

Yahudi Neturei Karta yang berbaris bersama Muslim menolak Zionisme.

Kaum sekuler yang menulis artikel panjang membela Gaza.


Mereka semua sedang menabung amal jariyah. Karena membela manusia tertindas adalah hukum universal yang diakui semua tradisi iman.


---

7. Amal Jariyah yang Mengalir ke Generasi

Bayangkan suatu hari Palestina merdeka. Anak-anak Gaza yang hari ini tidur di puing, esok menjadi dokter, insinyur, ulama, dan penulis.

Mereka akan berkata:

> “Aku bisa sekolah karena dulu seorang ibu di Indonesia menyumbang.”
“Aku bisa membaca karena dulu seorang profesor di Spanyol menolak normalisasi Israel.”



Itulah amal jariyah yang tidak berhenti. Ia mengalir bukan hanya di masjid atau sumur, tetapi di masa depan anak-anak yang merdeka.


---

8. Kesaksian Hadits: Thaifah Manshurah

Rasulullah ï·º bersabda:

> “Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menentang mereka hingga datang keputusan Allah.”
— HR. Bukhari dan Muslim



Ulama banyak mengaitkan hadits ini dengan penduduk Syam — termasuk Palestina. Maka sesungguhnya, perjuangan Palestina sendiri adalah amal jariyah yang diwariskan Nabi kepada kita.


---

9. Amal Jariyah Politik Dunia

Bahkan negara-negara yang ikut menolong Palestina kelak akan mendapat amal jariyah sejarah.

Turki yang mengirim kapal kemanusiaan.

Afrika Selatan yang menggugat Israel di Mahkamah Internasional.

Malaysia, Indonesia, Bolivia, Irlandia, dan banyak lagi yang membuka suara di forum dunia.


Semua itu akan dicatat bukan hanya di arsip politik, tetapi di buku amal jariyah.


---

10. Penutup: Palestina, Amal yang Tak Pernah Padam

Saudara-saudara, kemerdekaan Palestina bukan sekadar proyek politik. Ia adalah amal jariyah kolektif seluruh umat manusia.

Setiap doa, setiap aksi, setiap tulisan, setiap boikot, adalah air yang mengalir di sungai amal jariyah. Dan ketika hari itu tiba — ketika Palestina merdeka — dunia akan tahu bahwa kemerdekaan itu bukan milik satu bangsa, tetapi warisan seluruh umat manusia.

Mungkin kita tidak akan menyaksikannya dengan mata, tetapi amal itu tetap hidup. Karena Allah tidak pernah menyia-nyiakan sekecil apapun amal kebaikan.

> “Barangsiapa berbuat kebaikan seberat zarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa berbuat kejahatan seberat zarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasannya).”
— QS. Az-Zalzalah: 7–8



Maka benar, kemerdekaan Palestina adalah amal jariyah semua bangsa dan semua agama. Sebuah amal yang akan terus hidup, bahkan setelah dunia ini lelah berputar.


---

Salam dari Gaza.
Kami mungkin lapar, tetapi hati kami penuh harapan.
Kami mungkin hancur, tetapi amal kalian sedang membangun kembali kami.
Dan kelak, ketika Palestina merdeka, pahala amal jariyah itu akan kembali kepada kalian — abadi, tak pernah putus.

Pertanyaan “Apakah Palestina bertambah lemah?” jika dilihat dari era 1948 hingga genosida di Gaza hari ini bukanlah pertanyaan s...


Pertanyaan “Apakah Palestina bertambah lemah?” jika dilihat dari era 1948 hingga genosida di Gaza hari ini bukanlah pertanyaan sederhana. Ia menyentuh nadi sejarah, luka kolektif, sekaligus paradoks ketahanan. Mari kita susun secara bertahap dalam kerangka sejarah, geopolitik, dan refleksi spiritual.


---

1. 1948: Hari Nakbah — Awal Luka yang Tak Pernah Sembuh

Tahun 1948 menjadi titik mula ketika lebih dari 750.000 warga Palestina diusir dari tanah mereka dalam peristiwa Nakbah (bencana). Desa-desa dihancurkan, ladang dirampas, rumah ditinggalkan dalam kepedihan. Secara militer, Palestina memang kalah; mereka tidak memiliki negara, tidak punya struktur militer formal, hanya pasukan kabilah yang berusaha melawan milisi Zionis yang didukung Inggris.

Pertanyaan muncul: apakah saat itu Palestina lemah? Ya, dalam arti fisik dan geopolitik. Tetapi pada saat yang sama, kekuatan moral dan identitas mereka mulai dipatri: mereka tidak hilang meski diusir.

> “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman.”
— QS. Ali ‘Imran: 139




---

2. 1967: Kekalahan Dunia Arab dan Keterasingan Palestina

Perang Enam Hari 1967 membuat Israel merebut Yerusalem Timur, Tepi Barat, Gaza, Sinai, dan Dataran Tinggi Golan. Dunia Arab terpukul. Palestina, yang sebelumnya “dititipkan” pada Yordania dan Mesir, semakin kehilangan pijakan. Dari sini lahirlah PLO (Palestine Liberation Organization) yang dipimpin Yasser Arafat.

Di mata dunia, Palestina tampak semakin lemah karena kehilangan sisa tanah mereka. Namun justru di titik ini, Palestina menemukan bentuk politiknya: mereka tidak lagi sekadar pengungsi, tetapi bangsa dengan organisasi perlawanan.


---

3. 1987: Intifada Pertama — Batu Melawan Tank

Intifada pertama meletus pada tahun 1987. Anak-anak muda Palestina, dengan batu di tangan, melawan tentara Israel yang bersenjata lengkap. Dari sinilah dunia menyaksikan: Palestina mungkin tidak punya senjata, tapi mereka punya narasi dan keberanian.

Hadits Nabi ï·º terasa hidup dalam momen ini:

> “Janganlah kamu menganggap remeh amal kebaikan sekecil apapun, meskipun hanya dengan wajah ceria ketika bertemu saudaramu.”
— HR. Muslim



Batu melawan tank mungkin tampak kecil. Tetapi ia menjadi simbol kebaikan, perlawanan, dan keberanian yang mengguncang opini global.


---

4. 1993: Oslo — Janji Manis yang Menjadi Racun

Perjanjian Oslo dianggap sebagai momentum “pengakuan.” Palestina (PLO) mengakui Israel, dan Israel “berjanji” memberi jalan menuju negara Palestina. Namun apa yang terjadi? Permukiman Yahudi justru terus berkembang. Palestina diberi janji masa depan, Israel mendapat legitimasi instan.

Di sini, Palestina kembali dilemahkan secara politik. Namun secara spiritual, rakyat Palestina sadar: diplomasi Barat hanya jebakan. Oslo mengajari mereka bahwa kekuatan sejati tidak lahir dari meja runding yang timpang.


---

5. 2000: Intifada Kedua — Darah Membayar Janji Kosong

Kunjungan Ariel Sharon ke Masjid Al-Aqsa pada tahun 2000 memicu Intifada kedua. Kali ini lebih berdarah. Ribuan syuhada gugur. Dunia menyaksikan Israel menggunakan kekuatan brutal, sementara Palestina menolak tunduk.

Secara militer, lagi-lagi Palestina tampak lemah. Namun pada titik ini, lahir generasi baru perlawanan yang tidak lagi hanya mengandalkan PLO: muncul Hamas, Jihad Islami, dan faksi-faksi yang menolak kompromi Oslo.


---

6. 2006: Gaza Memilih Hamas

Dalam pemilu demokratis yang jujur, Hamas menang telak di Gaza. Tetapi hasil itu justru membuat Palestina semakin terisolasi. Amerika dan Eropa memboikot, Israel memblokade. Gaza berubah menjadi penjara terbuka.

Apakah ini kelemahan? Dari sudut politik, ya: Palestina semakin terpecah, Fatah dan Hamas berselisih. Tetapi dari sisi moral dan semangat perlawanan, Gaza menjadi benteng terakhir. Dunia menyaksikan: meski diblokade, rakyat Gaza tetap bertahan.


---

7. 2008–2023: Siklus Perang dan Blokade

Israel berulang kali menyerang Gaza: 2008, 2012, 2014, 2021. Setiap kali, ratusan hingga ribuan syuhada jatuh. Rumah hancur, infrastruktur porak-poranda. Tetapi setiap kali pula, perlawanan Palestina bertambah solid: dari roket sederhana yang jatuh di ladang kosong, menjadi roket yang bisa mencapai Tel Aviv.

Kelemahan fisik Palestina ditutupi oleh kekuatan spiritual dan kreativitas perlawanan. Setiap kali Israel ingin menghancurkan, justru lahir generasi baru pejuang.


---

8. 2023–2025: Genosida Gaza dan Paradoks Kekuatan

Tragedi Gaza 2023–2025 adalah genosida yang nyata: lebih dari 40.000 warga syahid, jutaan terusir, rumah sakit hancur. Secara material, inilah titik terlemah Palestina. Tetapi anehnya, inilah juga titik di mana Palestina semakin kuat secara moral dan global.

Dunia menyaksikan kebenaran di layar.

Solidaritas global meningkat, dari mahasiswa Amerika hingga nelayan Yaman yang ikut “Flotilla Sumud.”

Israel semakin kehilangan legitimasi moral, bahkan di mata Yahudi sendiri.


Ayat ini menjadi nyata:

> “Mereka membuat tipu daya, dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.”
— QS. Ali ‘Imran: 54




---

9. Apakah Palestina Bertambah Lemah?

Jika kita melihat dari 1948 hingga genosida:

Secara militer dan material: Palestina memang lemah, tidak bisa dibandingkan dengan kekuatan nuklir Israel dan dukungan penuh Amerika.

Secara politik: sering dipermainkan dalam perundingan, dipecah belah oleh kekuatan besar.

Tetapi secara moral, spiritual, dan simbolik: Palestina justru semakin kuat.


Mereka tidak hilang. Identitas mereka bertahan. Narasi mereka merambah dunia. Anak-anak Gaza yang kehilangan rumah tetap hafal Qur’an.


---

10. Refleksi Penutup

Palestina mungkin tampak lemah di mata dunia, tetapi sejarah menunjukkan sesuatu yang berbeda: semakin ditindas, semakin kuat ia hidup.

Seperti rumput yang tumbuh di celah beton, Palestina selalu kembali, menolak mati.

> Rasulullah ï·º bersabda:
“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang senantiasa memperjuangkan kebenaran, tidak akan membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka, hingga datang ketentuan Allah dan mereka tetap dalam keadaan demikian.”
— HR. Muslim



Maka, jawaban dari pertanyaan itu adalah: Palestina tidak bertambah lemah. Mereka sedang ditempa. Mereka mungkin kehilangan tanah, rumah, bahkan nyawa. Tapi mereka menemukan sesuatu yang lebih kuat: kesabaran, keyakinan, dan janji Allah.

Puasa, Cara Praktis Cerdas Finansial Oleh: Nasrulloh Baksolahar Apa hubungan antara puasa dan kecerdasan finansial? Mungkin terl...

Puasa, Cara Praktis Cerdas Finansial

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Apa hubungan antara puasa dan kecerdasan finansial? Mungkin terlihat jauh, bahkan seperti dua dunia yang berbeda. Namun sejatinya, kecerdasan finansial tidak pernah lepas dari kematangan jiwa. Dan puasa adalah latihan paling praktis dalam membentuk kematangan itu.

Puasa, lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga. Ia adalah latihan spiritual yang membentuk ketahanan diri, kejernihan hati, dan kepekaan terhadap batas antara keinginan dan kebutuhan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menjelaskan bahwa puasa adalah cara membersihkan jiwa:

> "Sesungguhnya kenyang menguatkan keinginan syahwat, dan puasa itu menghancurkannya."



Kenyang yang berlebihan menyuburkan syahwat dan menjauhkan seseorang dari kejernihan berpikir. Dalam konteks keuangan, syahwat adalah nafsu konsumtif, keinginan tak terbatas yang mendorong seseorang hidup di luar batas kemampuan. Ketika seseorang berpuasa, ia belajar menahan diri—dari makan, minum, hingga membeli hal-hal yang tidak perlu.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Al-Ghunyah menyamakan nafsu dengan binatang buas:

> "Nafsu bagaikan binatang buas. Bila ia kenyang, ia mengaum. Bila lapar, ia tunduk dan jinak."



Dalam kelaparan itulah seseorang mengenal batas. Ia tidak lagi dikendalikan oleh dorongan syahwat, tetapi oleh akal sehat dan nurani. Maka dari itu, puasa melatih seseorang untuk membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Bukankah inti dari kecerdasan finansial adalah kemampuan membedakan dua hal itu?

Hasan Al-Banna dalam risalahnya menyatakan:

> "Puasa adalah latihan keikhlasan yang mendalam. Tidak ada yang tahu apakah seseorang benar-benar berpuasa kecuali dirinya sendiri dan Allah. Oleh karena itu, puasa adalah madrasah untuk melatih pengawasan diri (muraqabah), keikhlasan, dan keteguhan hati dalam menghadapi dorongan hawa nafsu."



Cobalah perhatikan: pengeluaran uang sering kali bukan soal kebutuhan, tapi gaya hidup, pamer, atau pelampiasan emosi. Orang yang tidak bisa mengelola syahwat takkan pernah mencapai kematangan finansial. Puasa adalah fondasi paling awal dan paling efektif untuk mengelola syahwat. Maka, kecerdasan finansial adalah efek samping dari kedewasaan spiritual.

Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an saat menafsirkan QS Al-Baqarah: 183 berkata:

> "Puasa adalah sarana yang efektif untuk membentuk manusia bertakwa. Ia memotong dorongan hawa nafsu dari sumbernya dan mendidik jiwa agar mencintai ketinggian spiritual, membenci kedangkalan syahwat, serta menguatkan kontrol ruhani atas naluri hewani."



Pengelolaan harta berakar dari pengelolaan hawa nafsu. Mereka yang terbiasa menahan diri akan lebih bijak dalam mengatur pengeluaran, lebih cermat dalam berinvestasi, dan lebih kuat dalam menghadapi godaan utang konsumtif.

Puasa menanamkan kesadaran: dunia ini bukan hanya tentang hari ini. Menunda kesenangan hari ini demi kebaikan esok adalah prinsip utama dalam semua teori keuangan modern. Bahkan penelitian psikologi di Amerika menunjukkan bahwa anak yang mampu menahan diri tidak langsung memakan permen saat dibagikan—justru tumbuh menjadi pribadi yang lebih sukses secara ekonomi.

Puasa adalah pelajaran untuk menahan, menunda, dan menimbang. Tanpa harus membaca puluhan buku manajemen keuangan, tanpa harus mengikuti banyak seminar, seseorang yang berpuasa dengan benar sudah belajar manajemen konsumsi, disiplin, dan pengendalian diri—inti dari kecerdasan finansial.

Sungguh, banyak orang bergaji besar tetapi tidak kaya. Sebaliknya, ada yang bergaji kecil tapi hidup berkecukupan. Bedanya bukan pada jumlah pendapatan, tetapi pada kedewasaan dalam mengelola. Dan kedewasaan itu bermula dari ketenangan hati, dari kejernihan jiwa yang dilatih melalui puasa.

Keharaman dalam pendapatan adalah musuh kecerdasan finansial. Pendapatan haram mendorong seseorang pada gaya hidup mewah yang artifisial, tanpa keberkahan. Bahkan, seperti kata Imam Al-Ghazali, hati yang gelap tak akan mampu menerima ilham. Bagaimana bisa seseorang mengembangkan hartanya dengan bijak jika cahaya Allah tak menembus hatinya?

> "Lapar akan menumbuhkan kejernihan hati dan menyingkapkan tabir antara hamba dan Rabb-nya." — Syekh Abdul Qadir al-Jailani



Dari sinilah akan lahir strategi keuangan yang sejati. Inovasi tidak muncul dari pikiran yang penuh syahwat, tetapi dari hati yang tenang dan bersih. Oleh sebab itu, puasa adalah pintu makrifat sekaligus manajemen keuangan paling esensial.

Berpuasalah. Tidak hanya di bulan Ramadan, tetapi juga dalam gaya hidup sehari-hari. Berpuasa dari barang-barang yang tidak perlu. Berpuasa dari belanja impulsif. Berpuasa dari pemborosan.

Para sufi bahkan berhati-hati dalam hal yang halal dan mubah. Mereka hanya menggunakan dunia sebatas menjaga harga diri di hadapan manusia. Rumah cukup yang melindungi. Makanan cukup yang menyehatkan. Pakaian cukup yang menutupi aurat dan menjaga martabat.

> "Seburuk-buruk manusia adalah mereka yang memakan berbagai makanan, meminum berbagai minuman, mengenakan berbagai pakaian, dan berbicara dengan keras." — Rasulullah SAW



Puasa mengajari kita untuk menahan, agar bisa menikmati. Berpuasa hari ini agar bisa menikmati masa depan. Tidak semua hal harus dinikmati sekarang. Ada kalanya, menunda adalah bentuk terbaik dari kebijaksanaan.

Cobalah lakukan. Satu bulan puasa dengan sungguh-sungguh akan memperbaiki gaya hidup. Uang lebih hemat. Makan lebih teratur. Pikiran lebih tenang. Hati lebih peka. Dan saat lebaran, banyak yang menyadari: tabungannya utuh, pengeluarannya sedikit, tapi hidupnya lebih bermakna.

Maka, mulailah dari diri sendiri. Bukan dari teori. Bukan dari seminar. Tapi dari satu keputusan sederhana: Aku ingin berpuasa. Karena puasa bukan hanya urusan langit, tapi juga strategi bijak di bumi. Ia membentuk hati, menata diri, dan memberi kita kemampuan untuk berkata: Cukup.

Itulah awal dari kecerdasan finansial sejati.

Saat Heraklius dan Rustum Mengagumi Umat Rasulullah saw Oleh: Nasrulloh Baksolahar Nikmat itu bernama Islam. Nikmat itu adalah m...


Saat Heraklius dan Rustum Mengagumi Umat Rasulullah saw

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Nikmat itu bernama Islam. Nikmat itu adalah menjadi bagian dari umat Rasulullah ï·º. Adakah kebahagiaan lain yang melebihi dua nikmat ini? Ideologi apapun, sebesar apa pun, tak mampu menghadirkan ketenangan sejati bagi jiwa manusia. Keturunan, suku, kebangsaan—semuanya tak menjamin kebahagiaan abadi, kecuali bila hidup dijalani dalam naungan Islam dan dalam barisan umat Nabi Muhammad ï·º.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah berkata:

> "Nikmat yang paling besar atas manusia adalah Islam. Barang siapa diberi Islam, maka ia telah diberi kebaikan dunia dan akhirat."



Islam bukan hanya agama, tetapi jalan hidup. Ia adalah tiket keselamatan abadi dan petunjuk untuk segala kebingungan manusia modern.


---

Doa Rasulullah ï·º agar wafat dalam Islam:

> "Ya Allah, tetapkanlah aku dalam Islam saat hidup dan wafatkanlah aku dalam keadaan Islam." (HR. Ahmad dan Abu Ya’la – hasan)



Bahkan Rasulullah ï·º, sosok maksum yang dijamin surga, masih memohon kepada Allah agar tetap dalam Islam hingga akhir hayatnya. Maka, bagaimana dengan kita?

Nabi Musa, menurut riwayat dalam kitab Al-Wafa karya Imam Ibnul Jauzi, pernah berdoa agar dimasukkan sebagai bagian dari umat Nabi Muhammad ï·º. Dan kelak, ketika Nabi Isa AS turun ke bumi di akhir zaman, ia akan menjadi makmum shalat di belakang Imam Mahdi. Ini adalah bukti keagungan umat ini—umat Rasulullah ï·º.

Dari Jabir bin Abdullah RA, Rasulullah ï·º bersabda:

> "Isa bin Maryam akan turun, lalu pemimpin mereka (Al-Mahdi) berkata kepadanya: 'Majulah, jadi imam untuk kami shalat.' Tapi Isa berkata: 'Tidak, sebagian kalian adalah pemimpin bagi yang lain, sebagai bentuk penghormatan Allah terhadap umat ini.'" (HR. Muslim, no. 155)



Betapa umat ini dimuliakan. Seorang Nabi besar, Isa bin Maryam AS, memilih menjadi makmum dari umat ini. Maka bersyukurlah dan jagalah kemuliaan itu.


---

Heraklius: Sang Kaisar yang Hampir Beriman

Hati Heraklius, kaisar Romawi, pernah tergetar ingin menjadi bagian dari umat Rasulullah ï·º. Surat dakwah dari Nabi membuatnya merenung dalam diam. Ia mengundang Abu Sufyan, kala itu masih dalam barisan Quraisy, untuk menggali lebih dalam tentang sang Nabi dari Madinah.

Dalam hadis sahih riwayat Bukhari, Heraklius menginterogasi Abu Sufyan:

Apakah dia berasal dari keluarga mulia?

Apakah ada pendahulunya yang mengaku sebagai nabi?

Siapa pengikutnya?

Apakah mereka bertambah atau berkurang?


Abu Sufyan menjawab dengan jujur, karena takut dicap pendusta di hadapan kaumnya. Heraklius menyimpulkan bahwa Muhammad ï·º adalah nabi sejati. Ia tahu dari kitab-kitab sebelumnya, dan merasakan kebenaran dalam berita kenabian itu.

Dikisahkan bahwa Heraklius pernah mengajak Abu Sufyan ke ruang rahasianya—sebuah perpustakaan besar berisi gambar dan catatan para nabi. Di sana, Heraklius menunjukkan potret para Nabi, termasuk Muhammad ï·º. Bahkan disebutkan bahwa terdapat pula gambaran para sahabat utama: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Ia mengetahui peran mereka dalam risalah Islam.

Namun kekuasaan mengikat kuat. Ia tak sanggup menghadapi tekanan politik dan pengaruh istananya. Maka niat itu ia kubur, dan akhirnya memilih menyingkir ke Konstantinopel.

Heraklius tahu—kebenaran Islam tak bisa dibendung. Tapi ia tidak berani mengambil risiko kehilangan tahtanya.


---

Rustum: Panglima Persia yang Menyaksikan Kebenaran

Panglima Rustum, jenderal agung Kekaisaran Persia, menyelidiki kekuatan umat Islam dengan cermat sebelum Perang Qadisiyyah. Ia mengundang utusan muslim, Rib‘i bin ‘Amir, untuk berdialog.

Rustum bertanya:

> "Apa tujuan kalian datang ke negeri kami?"



Rib‘i menjawab:

> "Allah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari penyembahan sesama makhluk menuju penyembahan hanya kepada Allah, dari sempitnya dunia menuju kelapangan akhirat, dan dari kezaliman berbagai sistem menuju keadilan Islam."



Rustum terhenyak. Ia tak menyangka dari lisan orang biasa terpancar kebijaksanaan yang luar biasa. Ia berkata kepada para penasihatnya:

> "Aku belum pernah melihat orang yang lebih rendah derajatnya di dunia, kini memiliki keyakinan dan kekuatan seperti ini. Jika semua umat Muhammad seperti ini, maka sesungguhnya mereka akan menguasai dunia."



Dalam pengamatannya terhadap pasukan Islam, Rustum mencatat:

> "Mereka tidak tidur di malam hari, tidak makan di siang hari kecuali sedikit, sangat taat kepada pemimpin, dan sangat takut kepada Tuhan. Jika menyerang, mereka seperti singa menerkam mangsanya."



Ia lalu menyimpulkan:

> "Bangsa seperti ini tak mungkin dikalahkan oleh bangsa seperti kita yang telah tenggelam dalam kemewahan dan kebejatan."



Kekuatan umat Islam bukan pada jumlah, tetapi pada keyakinan, akhlak, dan konsistensi mereka terhadap kebenaran.

Menurut riwayat, ketika akhirnya kalah dan melihat kehancuran Persia, Rustum berkata lirih:

> "Sungguh Muhammad telah mengubah dunia. Dia mengirim kaum miskin dan menjadikan mereka penakluk kerajaan-kerajaan besar."




---

Umat Pamungkas: Harapan Dunia

Tak ada lagi umat setelah umat Rasulullah ï·º. Inilah umat pamungkas. Umat yang Allah pilih untuk mengemban risalah terakhir. Umat yang tak lahir dari suku, warna kulit, atau keturunan, tapi dari iman, akhlak, dan ketaatan kepada Islam.

Syarifuddin Prawiranegara pernah berkata bahwa tak ada kekuatan dunia yang bisa menyelesaikan persoalan global kecuali umat Islam—bila mereka kembali kepada ajaran Islam secara utuh.

Umat ini memikul amanah besar. Dunia menanti solusi, dan Islam memegang kunci. Namun semua itu hanya akan menjadi kenyataan bila kita:

Konsisten dalam beriman

Jujur dalam beramal

Kuat dalam ukhuwah

Kritis terhadap kebatilan


Jurus terakhir peradaban adalah Islam. Jurus pamungkas. Tak ada solusi selain kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ï·º.


---

Menjadi Umat Rasulullah ï·º: Sebuah Kehormatan dan Tanggung Jawab

Mari renungkan...

Nabi Musa ingin menjadi bagian dari umat ini. Nabi Isa akan menjadi makmum di belakang Imam Mahdi dari umat ini. Kaisar Romawi menyimpan keinginan diam-diam menjadi bagian dari umat ini. Jenderal Persia mengakui keunggulan spiritual dan moral umat ini.

Lalu, kita yang terlahir sebagai umat Rasulullah ï·º, apakah hanya akan diam tanpa peran?

Sejarah umat manusia dari Adam hingga hari kiamat sedang menanti penutup terbaik. Umat pamungkas harus tampil bukan sekadar sebagai jumlah, tapi sebagai solusi.

Kemenangan dan kebahagiaan hakiki ada dalam genggaman mereka yang kembali kepada Islam, hidup dalam Islam, dan wafat dalam Islam.

Semoga Allah menjadikan kita bukan hanya sebagai pengikut, tapi juga pembela dan pewaris risalah ini.

Aamiin.

Di Tenda Rasulullah SAW, Saat Mesir Dikepung Raja Louis IX Oleh: Nasrulloh Baksolahar Bayangkan sebuah malam di perkemahan, di t...

Di Tenda Rasulullah SAW, Saat Mesir Dikepung Raja Louis IX

Oleh: Nasrulloh Baksolahar

Bayangkan sebuah malam di perkemahan, di tepi kota Mansuriyah. Angin gurun bertiup pelan, membawa debu-debu kecemasan yang tak kunjung reda. Langit malam seperti berat menanggung beban bumi. Di satu sisi, tentara Salib yang dipimpin Raja Louis IX mengepung Mesir. Di sisi lain, umat Islam berdiri pada satu titik paling genting dalam sejarah perlawanan mereka.

Itulah masa akhir dinasti Ayyubiyah. Dimyath sudah jatuh. Kini, Mansuriyah menjadi benteng terakhir. Sultan, ulama, dan rakyat bahu membahu mempertahankan satu-satunya harapan itu. Dalam pekatnya malam dan panasnya siang, darah dan doa bertemu di satu titik.

Namun di tengah hiruk-pikuk dan ancaman senjata, ada satu pemandangan yang mencengangkan. Para ulama tak hanya menghunus doa, tapi juga membuka lembaran-lembaran kitab. Di perkemahan, di sela gemuruh perang, mereka membaca Ar-Risalah al-Qusyairiyah. Kitab sufi yang dalam dan luhur itu menjadi pelita di tengah gelapnya kekacauan.

Di antara mereka ada Syeikh Izzuddin Abdussalam, sang "sultan para ulama", dan yang paling menonjol: Syekh Hasan Asy-Syadzali. Seorang yang tua renta, matanya sudah buta, tapi hatinya terang benderang. Di kemahnya, ia merebahkan tubuh letihnya, bukan karena takut, tapi karena beban cinta pada umat yang begitu berat dipikul sendiri.

Malam itu, ia tertidur. Tapi tidurnya bukan tidur biasa. Dalam tidurnya, ia melihat cahaya. Sebuah tenda. Tinggi menjulang ke langit. Cahayanya menyinari bumi. Para malaikat, manusia, dan ruh-ruh suci berdesakan ingin memasukinya.

"Tenda siapa ini?" tanya beliau.

"Tenda Rasulullah SAW," jawab suara itu.

Maka Syekh Hasan bergegas. Di pintu tenda itu, ia bertemu 70 orang ulama dan orang-orang shalih. Di antara mereka, ia mengenali wajah Syeikh Izzuddin Abdussalam.

Dengan rendah hati, ia berkata, "Tak layak aku masuk sebelum yang paling alim dari kita melangkah lebih dahulu." Maka mereka pun masuk. Dan Rasulullah SAW menyambut mereka dengan penuh kasih. Tangannya menunjuk ke kanan dan kiri, meminta mereka duduk di sekelilingnya.

Air mata Syekh Hasan tumpah. Bukan karena takut. Tapi karena haru. Karena kecintaan. Karena beban umat yang ia pikul di jiwanya. Dalam bisik tangis itu, ia menyampaikan gundahnya kepada Rasulullah SAW. Tentang umat, tentang perang, tentang harapan yang nyaris padam.

Rasulullah SAW menggenggam tangannya dan berkata:

"Jangan khawatir. Jika umat ini dipimpin oleh orang yang zalim, maka lihatlah apa yang terjadi..."

Beliau menggenggam jari-jarinya kuat-kuat, lalu melepaskannya pelan-pelan, seperti menunjukkan kejatuhan yang lambat tapi pasti.

"Namun jika pemimpinnya orang bertakwa, maka Allah-lah penjaga mereka."

Beliau membukakan kedua telapak tangannya. Lalu membaca firman Allah:

> "Barangsiapa yang membela Allah, Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman, maka panji Allah-lah yang akan menang." (QS. Al-Ma'idah: 56)



Dan kepada Sultan, Rasulullah SAW menitipkan pesan:

> "Tangan Allah akan selalu terbuka bagi pemimpin yang adil. Yang mengayomi umat. Yang menasihati mereka agar taat kepada Allah. Maka nasehatilah dia, tulislah surat, dan sampaikan padanya bahwa orang zalim adalah musuh Allah."



Kemudian beliau membacakan ayat lain:

> "Maka bersabarlah engkau (Muhammad), sungguh janji Allah itu benar. Dan jangan sampai orang-orang yang tidak meyakini kebenaran itu membuatmu gelisah." (QS. Ar-Rum: 60)



Syekh Hasan pun terbangun. Matanya tak melihat, tapi hatinya telah melihat lebih terang dari matahari. Ia bangkit. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia tahu ini bukan semata perang pedang, tapi perang jiwa.

Sejarawan besar, Dr. Muhammad Ash-Shalabi, mencatat betapa pengaruh Syekh Hasan Asy-Syadzali sangat besar. Ia menyuntikkan harapan kepada Sultan Najmuddin Ayyub. Ia menggerakkan rakyat. Ia mengerahkan murid-muridnya. Tapi bukan dengan senjata, melainkan dengan kalimat suci. Dengan tasbih, dengan doa, dengan dzikir yang tak putus.

Di malam-malam penuh kegelisahan, murid-muridnya membaca Hizib Nashr dan hizib untuk membutakan mata musuh. Mereka berdiri tegak dalam sujud panjang, sementara langit turun membawa rahmat.

Akhirnya kemenangan pun datang. Tentara Salib porak-poranda. Raja Louis IX tertangkap. Sebuah kemenangan yang bukan hanya karena strategi, tapi karena doa. Karena kehadiran orang-orang pilihan di barisan umat.

Syekh Hasan Asy-Syadzali pun kembali ke Iskandariah. Mengajar. Membina. Mendidik. Dan tarekat Syadziliyah pun menyebar hingga ke pelosok dunia Islam. Bahkan jauh di masa kemudian, KH Hasyim Asy'ari pun mengajarkan hizib-hizib beliau kepada para santri dan pejuang di masa penjajahan Belanda.

Konon, Ki Haji Nur Ali dari Bekasi—seorang pejuang dan ulama besar—di masa rezim represif pun mengajarkan wirid-wirid ini kepada para santrinya.

Syekh Hasan Asy-Syadzali mengajarkan bahwa kemenangan bukan semata kerja strategi, tapi buah dari kedekatan jiwa kepada Allah. Jiwa yang hening, hati yang tunduk, lisan yang basah oleh nama-Nya.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari hari ini?

Bahwa di tengah kekacauan zaman, di tengah kepungan berbagai krisis, umat ini tetap memiliki tenda besar: Tenda Rasulullah SAW. Tenda itu tegak dengan dzikir, dengan ilmu, dengan ketundukan, dengan cinta yang tak terbagi.

Selama masih ada ulama yang jujur, murid yang tekun, umat yang sabar, dan pemimpin yang bertakwa—maka janji Allah tetap berlaku: "Panji Allah-lah yang akan menang."

Dan jika tak ada lagi kekuatan fisik yang bisa dibanggakan, maka masih ada tasbih. Masih ada air mata. Masih ada harapan yang tak pernah mati di dada orang-orang shalih.

Tenda itu masih ada. Tinggi menjulang. Menunggu siapa pun yang ingin datang, dengan jiwa yang bersih dan niat yang lurus.

Seperti kata Syekh Hasan Asy-Syadzali:

> "Segala kemenangan berasal dari pertolongan Allah. Dan jiwa yang dekat dengan Allah-lah yang paling pantas memikul panji kemenangan itu."



Semoga kita termasuk di dalamnya. Amin.

Cari Artikel Ketik Lalu Enter

Artikel Lainnya

Indeks Artikel

!qNusantar3 (1) 1+6!zzSirah Ulama (1) Abdullah bin Nuh (1) Abu Bakar (3) Abu Hasan Asy Syadzali (2) Abu Hasan Asy Syadzali Saat Mesir Dikepung (1) Aceh (6) Adnan Menderes (2) Adu domba Yahudi (1) adzan (1) Agama (1) Agribisnis (1) Ahli Epidemiologi (1) Air hujan (1) Akhir Zaman (1) Al-Baqarah (1) Al-Qur'an (360) Al-Qur’an (4) alam (3) Alamiah Kedokteran (1) Ali bin Abi Thalib (1) Andalusia (1) Angka Binner (1) Angka dalam Al-Qur'an (1) Aqidah (1) Ar Narini (2) As Sinkili (2) Asbabulnuzul (1) Ashabul Kahfi (1) Aurangzeb alamgir (1) Bahasa Arab (1) Bani Israel (1) Banjar (1) Banten (1) Barat (1) Belanja (1) Berkah Musyawarah (1) Bermimpi Rasulullah saw (1) Bertanya (1) Bima (1) Biografi (1) BJ Habibie (1) budak jadi pemimpin (1) Buku Hamka (1) busana (1) Buya Hamka (53) Cerita kegagalan (1) cerpen Nabi (8) cerpen Nabi Musa (2) Cina Islam (1) cinta (1) Covid 19 (1) Curhat doa (1) Dajjal (1) Dasar Kesehatan (1) Deli Serdang (1) Demak (3) Demam Tubuh (1) Demografi Umat Islam (1) Detik (1) Diktator (1) Diponegoro (2) Dirham (1) Doa (1) doa mendesain masa depan (1) doa wali Allah (1) dukun (1) Dunia Islam (1) Duplikasi Kebrilianan (1) energi kekuatan (1) Energi Takwa (1) Episentrum Perlawanan (1) filsafat (3) filsafat Islam (1) Filsafat Sejarah (1) Fir'aun (2) Firasat (1) Firaun (1) Gamal Abdul Naser (1) Gelombang dakwah (1) Gladiator (1) Gowa (1) grand desain tanah (1) Gua Secang (1) Haji (1) Haman (1) Hamka (3) Hasan Al Banna (7) Heraklius (4) Hidup Mudah (1) Hikayat (3) Hikayat Perang Sabil (2) https://www.literaturislam.com/ (1) Hukum Akhirat (1) hukum kesulitan (1) Hukum Pasti (1) Hukuman Allah (1) Ibadah obat (1) Ibnu Hajar Asqalani (1) Ibnu Khaldun (1) Ibnu Sina (1) Ibrahim (1) Ibrahim bin Adham (1) ide menulis (1) Ikhwanul Muslimin (1) ilmu (2) Ilmu Laduni (3) Ilmu Sejarah (1) Ilmu Sosial (1) Imam Al-Ghazali (2) imam Ghazali (1) Instropeksi diri (1) interpretasi sejarah (1) ISLAM (2) Islam Cina (1) Islam dalam Bahaya (2) Islam di India (1) Islam Nusantara (1) Islampobia (1) Istana Al-Hambra (1) Istana Penguasa (1) Istiqamah (1) Jalan Hidup (1) Jamuran (1) Jebakan Istana (1) Jendral Mc Arthu (1) Jibril (1) jihad (1) Jiwa Berkecamuk (1) Jiwa Mujahid (1) Jogyakarta (1) jordania (1) jurriyah Rasulullah (1) Kabinet Abu Bakar (1) Kajian (1) kambing (1) Karamah (1) Karya Besar (1) Karya Fenomenal (1) Kebebasan beragama (1) Kebohongan Pejabat (1) Kebohongan Yahudi (1) Kecerdasan (253) Kecerdasan Finansial (4) Kecerdasan Laduni (1) Kedok Keshalehan (1) Kejayaan Islam (1) Kejayaan Umat Islam (1) Kekalahan Intelektual (1) Kekhalifahan Islam (2) Kekhalifahan Turki Utsmani (1) Keluar Krisis (1) Kemiskinan Diri (1) Kepemimpinan (1) kerajaan Islam (1) kerajaan Islam di India (1) Kerajaan Sriwijaya (2) Kesehatan (1) Kesultanan Aceh (1) Kesultanan Nusantara (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (1) Keturunan Rasulullah saw (1) Keunggulan ilmu (1) keunggulan teknologi (1) Kezaliman (2) KH Hasyim Ashari (1) Khaidir (2) Khalifatur Rasyidin (1) Kiamat (1) Kisah (1) Kisah Al Quran (1) kisah Al-Qur'an (1) Kisah Hadist (4) Kisah Nabi (1) Kisah Nabi dan Rasul (1) Kisah Para Nabi (1) kisah para nabi dan (2) Kisah Para Nabi dan Rasul (576) kisah para nabi dan rasul. Nabi Daud (1) kisah para nabi dan rasul. nabi Musa (2) Kisah Penguasa (1) Kisah ulama (1) kitab primbon (1) Koalisi Negara Ulama (1) Krisis Ekonomi (1) Kumis (1) Kumparan (1) Kurikulum Pemimpin (1) Laduni (1) lauhul mahfudz (1) lockdown (1) Logika (1) Luka darah (1) Luka hati (1) madrasah ramadhan (1) Madu dan Susu (1) Majapahi (1) Majapahit (4) Makkah (1) Malaka (1) Mandi (1) Matematika dalam Al-Qur'an (1) Maulana Ishaq (1) Maulana Malik Ibrahi (1) Melihat Wajah Allah (1) Memerdekakan Akal (1) Menaklukkan penguasa (1) Mendidik anak (1) mendidik Hawa Nafsu (1) Mendikbud (1) Menggenggam Dunia (1) menulis (1) Mesir (1) militer (1) militer Islam (1) Mimpi Rasulullah saw (1) Minangkabau (2) Mindset Dongeng (1) Muawiyah bin Abu Sofyan (1) Mufti Johor (1) muhammad al fatih (3) Muhammad bin Maslamah (1) Mukjizat Nabi Ismail (1) Musa (1) muslimah (1) musuh peradaban (1) Nabi Adam (71) Nabi Ayub (1) Nabi Daud (3) Nabi Ibrahim (3) Nabi Isa (2) nabi Isa. nabi ismail (1) Nabi Ismail (1) Nabi Khaidir (1) Nabi Khidir (1) Nabi Musa (29) Nabi Nuh (6) Nabi Sulaiman (2) Nabi Yunus (1) Nabi Yusuf (15) Namrudz (2) Nasrulloh Baksolahar (1) NKRI (1) nol (1) Nubuwah Rasulullah (4) Nurudin Zanky (1) Nusa Tenggara (1) Nusantara (245) Nusantara Tanpa Islam (1) obat cinta dunia (2) obat takut mati (1) Olahraga (6) Orang Lain baik (1) Orang tua guru (1) Padjadjaran (2) Palembang (1) Palestina (541) Pancasila (1) Pangeran Diponegoro (3) Pasai (2) Paspampres Rasulullah (1) Pembangun Peradaban (2) Pemecahan masalah (1) Pemerintah rapuh (1) Pemutarbalikan sejarah (1) Pengasingan (1) Pengelolaan Bisnis (1) Pengelolaan Hawa Nafsu (1) Pengobatan (1) pengobatan sederhana (1) Penguasa Adil (1) Penguasa Zalim (1) Penjajah Yahudi (35) Penjajahan Belanda (1) Penjajahan Yahudi (1) Penjara Rotterdam (1) Penyelamatan Sejarah (1) peradaban Islam (1) Perang Aceh (1) Perang Afghanistan (1) Perang Arab Israel (1) Perang Badar (3) Perang Ekonomi (1) Perang Hunain (1) Perang Jawa (1) Perang Khaibar (1) Perang Khandaq (2) Perang Kore (1) Perang mu'tah (1) Perang Paregreg (1) Perang Salib (4) Perang Tabuk (1) Perang Uhud (2) Perdagangan rempah (1) Pergesekan Internal (1) Perguliran Waktu (1) permainan anak (2) Perniagaan (1) Persia (2) Persoalan sulit (1) pertanian modern (1) Pertempuran Rasulullah (1) Pertolongan Allah (3) perut sehat (1) pm Turki (1) POHON SAHABI (1) Portugal (1) Portugis (1) ppkm (1) Prabu Satmata (1) Prilaku Pemimpin (1) prokes (1) puasa (1) pupuk terbaik (1) purnawirawan Islam (1) Qarun (2) Quantum Jiwa (1) Raffles (1) Raja Islam (1) rakyat lapar (1) Rakyat terzalimi (1) Rasulullah (1) Rasulullah SAW (1) Rehat (493) Rekayasa Masa Depan (1) Republika (2) respon alam (1) Revolusi diri (1) Revolusi Sejarah (1) Revolusi Sosial (1) Rindu Rasulullah (1) Romawi (4) Rumah Semut (1) Ruqyah (1) Rustum (1) Saat Dihina (1) sahabat Nabi (1) Sahabat Rasulullah (1) SAHABI (1) satu (1) Sayyidah Musyfiqah (1) Sejarah (2) Sejarah Nabi (1) Sejarah Para Nabi dan Rasul (1) Sejarah Penguasa (1) selat Malaka (2) Seleksi Pejabat (1) Sengketa Hukum (1) Serah Nabawiyah (1) Seruan Jihad (3) shalahuddin al Ayubi (3) shalat (1) Shalat di dalam kuburannya (1) Shalawat Ibrahimiyah (1) Simpel Life (1) Sirah Nabawiyah (256) Sirah Para Nabi dan Rasul (3) Sirah Penguasa (239) Sirah Sahabat (155) Sirah Tabiin (43) Sirah Ulama (156) Siroh Sahabat (1) Sofyan Tsauri (1) Solusi Negara (1) Solusi Praktis (1) Sriwijaya Islam (3) Strategi Demonstrasi (1) Suara Hewan (1) Suara lembut (1) Sudah Nabawiyah (1) Sufi (1) sugesti diri (1) sultan Hamid 2 (1) sultan Islam (1) Sultan Mataram (3) Sultanah Aceh (1) Sunah Rasulullah (2) sunan giri (3) Sunan Gresi (1) Sunan Gunung Jati (1) Sunan Kalijaga (1) Sunan Kudus (2) Sunatullah Kekuasaan (1) Supranatural (1) Surakarta (1) Syariat Islam (18) Syeikh Abdul Qadir Jaelani (2) Syeikh Palimbani (3) Tak Ada Solusi (1) Takdir Umat Islam (1) Takwa (1) Takwa Keadilan (1) Tanda Hari Kiamat (1) Tasawuf (29) teknologi (2) tentang website (1) tentara (1) tentara Islam (1) Ternate (1) Thaharah (1) Thariqah (1) tidur (1) Titik kritis (1) Titik Kritis Kekayaan (1) Tragedi Sejarah (1) Turki (2) Turki Utsmani (2) Ukhuwah (1) Ulama Mekkah (3) Umar bin Abdul Aziz (5) Umar bin Khatab (3) Umar k Abdul Aziz (1) Ummu Salamah (1) Umpetan (1) Utsman bin Affan (2) veteran islam (1) Wabah (1) wafat Rasulullah (1) Waki bin Jarrah (1) Wali Allah (1) wali sanga (1) Walisanga (2) Walisongo (3) Wanita Pilihan (1) Wanita Utama (1) Warung Kelontong (1) Waspadai Ibadah (1) Wudhu (1) Yusuf Al Makasari (1) zaman kerajaan islam (1) Zulkarnain (1)