Puasa, Cara Praktis Cerdas Finansial
Oleh: Nasrulloh Baksolahar
Apa hubungan antara puasa dan kecerdasan finansial? Mungkin terlihat jauh, bahkan seperti dua dunia yang berbeda. Namun sejatinya, kecerdasan finansial tidak pernah lepas dari kematangan jiwa. Dan puasa adalah latihan paling praktis dalam membentuk kematangan itu.
Puasa, lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga. Ia adalah latihan spiritual yang membentuk ketahanan diri, kejernihan hati, dan kepekaan terhadap batas antara keinginan dan kebutuhan. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menjelaskan bahwa puasa adalah cara membersihkan jiwa:
> "Sesungguhnya kenyang menguatkan keinginan syahwat, dan puasa itu menghancurkannya."
Kenyang yang berlebihan menyuburkan syahwat dan menjauhkan seseorang dari kejernihan berpikir. Dalam konteks keuangan, syahwat adalah nafsu konsumtif, keinginan tak terbatas yang mendorong seseorang hidup di luar batas kemampuan. Ketika seseorang berpuasa, ia belajar menahan diri—dari makan, minum, hingga membeli hal-hal yang tidak perlu.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Al-Ghunyah menyamakan nafsu dengan binatang buas:
> "Nafsu bagaikan binatang buas. Bila ia kenyang, ia mengaum. Bila lapar, ia tunduk dan jinak."
Dalam kelaparan itulah seseorang mengenal batas. Ia tidak lagi dikendalikan oleh dorongan syahwat, tetapi oleh akal sehat dan nurani. Maka dari itu, puasa melatih seseorang untuk membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Bukankah inti dari kecerdasan finansial adalah kemampuan membedakan dua hal itu?
Hasan Al-Banna dalam risalahnya menyatakan:
> "Puasa adalah latihan keikhlasan yang mendalam. Tidak ada yang tahu apakah seseorang benar-benar berpuasa kecuali dirinya sendiri dan Allah. Oleh karena itu, puasa adalah madrasah untuk melatih pengawasan diri (muraqabah), keikhlasan, dan keteguhan hati dalam menghadapi dorongan hawa nafsu."
Cobalah perhatikan: pengeluaran uang sering kali bukan soal kebutuhan, tapi gaya hidup, pamer, atau pelampiasan emosi. Orang yang tidak bisa mengelola syahwat takkan pernah mencapai kematangan finansial. Puasa adalah fondasi paling awal dan paling efektif untuk mengelola syahwat. Maka, kecerdasan finansial adalah efek samping dari kedewasaan spiritual.
Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an saat menafsirkan QS Al-Baqarah: 183 berkata:
> "Puasa adalah sarana yang efektif untuk membentuk manusia bertakwa. Ia memotong dorongan hawa nafsu dari sumbernya dan mendidik jiwa agar mencintai ketinggian spiritual, membenci kedangkalan syahwat, serta menguatkan kontrol ruhani atas naluri hewani."
Pengelolaan harta berakar dari pengelolaan hawa nafsu. Mereka yang terbiasa menahan diri akan lebih bijak dalam mengatur pengeluaran, lebih cermat dalam berinvestasi, dan lebih kuat dalam menghadapi godaan utang konsumtif.
Puasa menanamkan kesadaran: dunia ini bukan hanya tentang hari ini. Menunda kesenangan hari ini demi kebaikan esok adalah prinsip utama dalam semua teori keuangan modern. Bahkan penelitian psikologi di Amerika menunjukkan bahwa anak yang mampu menahan diri tidak langsung memakan permen saat dibagikan—justru tumbuh menjadi pribadi yang lebih sukses secara ekonomi.
Puasa adalah pelajaran untuk menahan, menunda, dan menimbang. Tanpa harus membaca puluhan buku manajemen keuangan, tanpa harus mengikuti banyak seminar, seseorang yang berpuasa dengan benar sudah belajar manajemen konsumsi, disiplin, dan pengendalian diri—inti dari kecerdasan finansial.
Sungguh, banyak orang bergaji besar tetapi tidak kaya. Sebaliknya, ada yang bergaji kecil tapi hidup berkecukupan. Bedanya bukan pada jumlah pendapatan, tetapi pada kedewasaan dalam mengelola. Dan kedewasaan itu bermula dari ketenangan hati, dari kejernihan jiwa yang dilatih melalui puasa.
Keharaman dalam pendapatan adalah musuh kecerdasan finansial. Pendapatan haram mendorong seseorang pada gaya hidup mewah yang artifisial, tanpa keberkahan. Bahkan, seperti kata Imam Al-Ghazali, hati yang gelap tak akan mampu menerima ilham. Bagaimana bisa seseorang mengembangkan hartanya dengan bijak jika cahaya Allah tak menembus hatinya?
> "Lapar akan menumbuhkan kejernihan hati dan menyingkapkan tabir antara hamba dan Rabb-nya." — Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Dari sinilah akan lahir strategi keuangan yang sejati. Inovasi tidak muncul dari pikiran yang penuh syahwat, tetapi dari hati yang tenang dan bersih. Oleh sebab itu, puasa adalah pintu makrifat sekaligus manajemen keuangan paling esensial.
Berpuasalah. Tidak hanya di bulan Ramadan, tetapi juga dalam gaya hidup sehari-hari. Berpuasa dari barang-barang yang tidak perlu. Berpuasa dari belanja impulsif. Berpuasa dari pemborosan.
Para sufi bahkan berhati-hati dalam hal yang halal dan mubah. Mereka hanya menggunakan dunia sebatas menjaga harga diri di hadapan manusia. Rumah cukup yang melindungi. Makanan cukup yang menyehatkan. Pakaian cukup yang menutupi aurat dan menjaga martabat.
> "Seburuk-buruk manusia adalah mereka yang memakan berbagai makanan, meminum berbagai minuman, mengenakan berbagai pakaian, dan berbicara dengan keras." — Rasulullah SAW
Puasa mengajari kita untuk menahan, agar bisa menikmati. Berpuasa hari ini agar bisa menikmati masa depan. Tidak semua hal harus dinikmati sekarang. Ada kalanya, menunda adalah bentuk terbaik dari kebijaksanaan.
Cobalah lakukan. Satu bulan puasa dengan sungguh-sungguh akan memperbaiki gaya hidup. Uang lebih hemat. Makan lebih teratur. Pikiran lebih tenang. Hati lebih peka. Dan saat lebaran, banyak yang menyadari: tabungannya utuh, pengeluarannya sedikit, tapi hidupnya lebih bermakna.
Maka, mulailah dari diri sendiri. Bukan dari teori. Bukan dari seminar. Tapi dari satu keputusan sederhana: Aku ingin berpuasa. Karena puasa bukan hanya urusan langit, tapi juga strategi bijak di bumi. Ia membentuk hati, menata diri, dan memberi kita kemampuan untuk berkata: Cukup.
Itulah awal dari kecerdasan finansial sejati.
0 komentar: