Pertanyaan “Apakah Palestina bertambah lemah?” jika dilihat dari era 1948 hingga genosida di Gaza hari ini bukanlah pertanyaan sederhana. Ia menyentuh nadi sejarah, luka kolektif, sekaligus paradoks ketahanan. Mari kita susun secara bertahap dalam kerangka sejarah, geopolitik, dan refleksi spiritual.
---
1. 1948: Hari Nakbah — Awal Luka yang Tak Pernah Sembuh
Tahun 1948 menjadi titik mula ketika lebih dari 750.000 warga Palestina diusir dari tanah mereka dalam peristiwa Nakbah (bencana). Desa-desa dihancurkan, ladang dirampas, rumah ditinggalkan dalam kepedihan. Secara militer, Palestina memang kalah; mereka tidak memiliki negara, tidak punya struktur militer formal, hanya pasukan kabilah yang berusaha melawan milisi Zionis yang didukung Inggris.
Pertanyaan muncul: apakah saat itu Palestina lemah? Ya, dalam arti fisik dan geopolitik. Tetapi pada saat yang sama, kekuatan moral dan identitas mereka mulai dipatri: mereka tidak hilang meski diusir.
> “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman.”
— QS. Ali ‘Imran: 139
---
2. 1967: Kekalahan Dunia Arab dan Keterasingan Palestina
Perang Enam Hari 1967 membuat Israel merebut Yerusalem Timur, Tepi Barat, Gaza, Sinai, dan Dataran Tinggi Golan. Dunia Arab terpukul. Palestina, yang sebelumnya “dititipkan” pada Yordania dan Mesir, semakin kehilangan pijakan. Dari sini lahirlah PLO (Palestine Liberation Organization) yang dipimpin Yasser Arafat.
Di mata dunia, Palestina tampak semakin lemah karena kehilangan sisa tanah mereka. Namun justru di titik ini, Palestina menemukan bentuk politiknya: mereka tidak lagi sekadar pengungsi, tetapi bangsa dengan organisasi perlawanan.
---
3. 1987: Intifada Pertama — Batu Melawan Tank
Intifada pertama meletus pada tahun 1987. Anak-anak muda Palestina, dengan batu di tangan, melawan tentara Israel yang bersenjata lengkap. Dari sinilah dunia menyaksikan: Palestina mungkin tidak punya senjata, tapi mereka punya narasi dan keberanian.
Hadits Nabi ﷺ terasa hidup dalam momen ini:
> “Janganlah kamu menganggap remeh amal kebaikan sekecil apapun, meskipun hanya dengan wajah ceria ketika bertemu saudaramu.”
— HR. Muslim
Batu melawan tank mungkin tampak kecil. Tetapi ia menjadi simbol kebaikan, perlawanan, dan keberanian yang mengguncang opini global.
---
4. 1993: Oslo — Janji Manis yang Menjadi Racun
Perjanjian Oslo dianggap sebagai momentum “pengakuan.” Palestina (PLO) mengakui Israel, dan Israel “berjanji” memberi jalan menuju negara Palestina. Namun apa yang terjadi? Permukiman Yahudi justru terus berkembang. Palestina diberi janji masa depan, Israel mendapat legitimasi instan.
Di sini, Palestina kembali dilemahkan secara politik. Namun secara spiritual, rakyat Palestina sadar: diplomasi Barat hanya jebakan. Oslo mengajari mereka bahwa kekuatan sejati tidak lahir dari meja runding yang timpang.
---
5. 2000: Intifada Kedua — Darah Membayar Janji Kosong
Kunjungan Ariel Sharon ke Masjid Al-Aqsa pada tahun 2000 memicu Intifada kedua. Kali ini lebih berdarah. Ribuan syuhada gugur. Dunia menyaksikan Israel menggunakan kekuatan brutal, sementara Palestina menolak tunduk.
Secara militer, lagi-lagi Palestina tampak lemah. Namun pada titik ini, lahir generasi baru perlawanan yang tidak lagi hanya mengandalkan PLO: muncul Hamas, Jihad Islami, dan faksi-faksi yang menolak kompromi Oslo.
---
6. 2006: Gaza Memilih Hamas
Dalam pemilu demokratis yang jujur, Hamas menang telak di Gaza. Tetapi hasil itu justru membuat Palestina semakin terisolasi. Amerika dan Eropa memboikot, Israel memblokade. Gaza berubah menjadi penjara terbuka.
Apakah ini kelemahan? Dari sudut politik, ya: Palestina semakin terpecah, Fatah dan Hamas berselisih. Tetapi dari sisi moral dan semangat perlawanan, Gaza menjadi benteng terakhir. Dunia menyaksikan: meski diblokade, rakyat Gaza tetap bertahan.
---
7. 2008–2023: Siklus Perang dan Blokade
Israel berulang kali menyerang Gaza: 2008, 2012, 2014, 2021. Setiap kali, ratusan hingga ribuan syuhada jatuh. Rumah hancur, infrastruktur porak-poranda. Tetapi setiap kali pula, perlawanan Palestina bertambah solid: dari roket sederhana yang jatuh di ladang kosong, menjadi roket yang bisa mencapai Tel Aviv.
Kelemahan fisik Palestina ditutupi oleh kekuatan spiritual dan kreativitas perlawanan. Setiap kali Israel ingin menghancurkan, justru lahir generasi baru pejuang.
---
8. 2023–2025: Genosida Gaza dan Paradoks Kekuatan
Tragedi Gaza 2023–2025 adalah genosida yang nyata: lebih dari 40.000 warga syahid, jutaan terusir, rumah sakit hancur. Secara material, inilah titik terlemah Palestina. Tetapi anehnya, inilah juga titik di mana Palestina semakin kuat secara moral dan global.
Dunia menyaksikan kebenaran di layar.
Solidaritas global meningkat, dari mahasiswa Amerika hingga nelayan Yaman yang ikut “Flotilla Sumud.”
Israel semakin kehilangan legitimasi moral, bahkan di mata Yahudi sendiri.
Ayat ini menjadi nyata:
> “Mereka membuat tipu daya, dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.”
— QS. Ali ‘Imran: 54
---
9. Apakah Palestina Bertambah Lemah?
Jika kita melihat dari 1948 hingga genosida:
Secara militer dan material: Palestina memang lemah, tidak bisa dibandingkan dengan kekuatan nuklir Israel dan dukungan penuh Amerika.
Secara politik: sering dipermainkan dalam perundingan, dipecah belah oleh kekuatan besar.
Tetapi secara moral, spiritual, dan simbolik: Palestina justru semakin kuat.
Mereka tidak hilang. Identitas mereka bertahan. Narasi mereka merambah dunia. Anak-anak Gaza yang kehilangan rumah tetap hafal Qur’an.
---
10. Refleksi Penutup
Palestina mungkin tampak lemah di mata dunia, tetapi sejarah menunjukkan sesuatu yang berbeda: semakin ditindas, semakin kuat ia hidup.
Seperti rumput yang tumbuh di celah beton, Palestina selalu kembali, menolak mati.
> Rasulullah ﷺ bersabda:
“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang senantiasa memperjuangkan kebenaran, tidak akan membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka, hingga datang ketentuan Allah dan mereka tetap dalam keadaan demikian.”
— HR. Muslim
Maka, jawaban dari pertanyaan itu adalah: Palestina tidak bertambah lemah. Mereka sedang ditempa. Mereka mungkin kehilangan tanah, rumah, bahkan nyawa. Tapi mereka menemukan sesuatu yang lebih kuat: kesabaran, keyakinan, dan janji Allah.
0 komentar: